IDENTIFIKASI DAN POLA SEBARAN MAKROALGA DI PERAIRAN PANTAI PUNAGA KABUPATEN TAKALAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI DAN POLA SEBARAN MAKROALGA DI PERAIRAN PANTAI PUNAGA KABUPATEN TAKALAR"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI DAN POLA SEBARAN MAKROALGA DI PERAIRAN PANTAI PUNAGA KABUPATEN TAKALAR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sains Biologi pada Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar Oleh: ST. MARDHATILLAH NIM FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2018

2 i

3 ii

4 iii

5 KATA PENGANTAR Segala puji kepada Allah swt. atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Identifikasi dan Pola Sebaran Makroalga di Perairan Pantai Punaga Kabupaten Takalar. Shalawat serta salam senentiasa tercurahkan kepada baginda Rasul Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabatnya. Serta terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, H. Mustafa A.ma dan Hj. Sadriah Manronta yang telah merawat dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang. Terima kasih atas do a, restu dan kepercayaan serta dukungan moril juga materi yang tak pernah surut selama saya menuntut ilmu. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Selanjutnya penulis haturkan terima kasih, doa dan harapan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, motivasi, kerjasama maupun bimbingan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih ini penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Ag., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar serta sejajarannya. 2. Bapak Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dan sejajarannya. iv

6 3. Bapak Dr. Mashuri Masri, S.Si., M.Kes., selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi yang dengan sabar membimbing kami memberi kami motivasi-motivasi, kemudahan dalam setiap urusan akademik kami, yang selalu memperjuangkan mahasiswa BIOLOGI agar mudah dalam menyelesaikan studinya. 4. Bapak Hasyimuddin, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I atas kesabaran, bimbingan dan pengarahannya kepada penulis selama penyelesaian skripsi. Terima kasih pula telah dengan tulus hati meluangkan waktu membimbing dan selalu memberi motivasi-motivasi yang sangat bermanfaat selama penulis menyusun skripsi ini, yang selalu memberi kemudahan kepada penulis. 5. Bapak Ar. Syarif Hidayat, S.Si., M.Kes. selaku Dosen Pembimbing II dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, maupun masukan baik kepada penulis dalam penyelesaian skripsi. 6. Ibu Isna Rasdianah Aziz S.Si., M.Sc., selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan serta saran yang sangat membangun untuk memulai penelitian dan penulisan skripsi. 7. Bapak Dr. H. Muh. Sadik Sabry, M.Ag. selaku Dosen Penguji yang telah memberi masukan dan arahan yang sangat bermanfaat bagi penulis. Terima kasih kepada Bapak yang telah rela meluangkan waktunya demi menghadiri setiap pelaksanaan ujian penulis. 8. Dr. Hafsan, S.Si., M.Pd. selaku Dosen Sekretaris yang selalu dengan senang hati meluangkan waktunya untuk menghadiri setiap pelaksanaan ujian penulis. v

7 9. Ibu St. Aisyah Sijid, S.Pd., M.Kes. selaku Dosen Sekretaris yang selalu dengan senang hati meluangkan waktunya untuk menghadiri setiap pelaksanaan ujian penulis. Terima kasih pula atas segala kebaikan, motivasi, dan arahannya selama penulis menjadi mahasiswa Jurusan Biologi. 10. Ibu Dr. Fatmawati Nur, S.Si., M.Si. dan Ibu Nurlaila Mappanganro, S.P.,M.P. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas kesabaran, bimbingan dan pengarahannya kepada penulis selama studi di Jurusan Biologi. Terima kasih pula telah dengan tulus hati meluangkan waktu membimbing dan selalu memberi motivasi-motivasi yang sangat bermanfaat selama ini. 11. Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si, selaku Kepala Laboratorium Oseanologi Universitas Hasanuddin yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Laboratorium Oseanologi Universitas Hasanuddin. 12. Ibu Dr. Ir. Daisy Wowor, M.Sc. selaku Kepala Laboratorium Crustacea Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Laboratorium Crustacea LIPI. 13. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengajar yang selama ini telah mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 14. Ibu Ulfa Triyani A. Latif, S,Si., M.Pd., selaku Dosen Pengajar atas segala kebaikan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Dosen yang vi

8 amat sabar dalam menghadapi penulis selama menjalani studi di Jurusan Biologi. Terima kasih, Bu, jasa Ibu tidak akan pernah kami lupakan. 15. Seluruh Karyawan dan Staf dalam lingkup Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar yang telah banyak membantu penulis dalam mengurus surat-menyurat selama penulis menjalani studi sebagai Mahasiswa Jurusan Biologi. 16. Kakak Ihwana Mustafa, Kakak Irvan Affandi, Kakak Ilham Amrizal dan keluarga telah memberi contoh yang baik kepada adik-adiknya. Terima kasih telah menjadi salah satu inspirasi saya dalam setiap hal. Terima kasih atas segala kebaikan, arahan, dukungan, kasih sayang maupun motivasi selama ini. 17. Sahabat-sahabatku; Dino, Mippo, Sajeng, Cicong, Eka, Anha dan Bombong yang telah menjadi sahabat yang selalu ada. Terima kasih untuk 11 tahun persahabatan. 18. Teman-teman seangkatan LACTEAL 14 yang sangat saya sayangi (Nurman, Gamal, Aso, Chum, Andika, Ari, Salim, Wahid, Saiful, Aksan, Khaliq, Haidir, Uga, Kurni, Puja, Irhamniah, Tari, Inang, Susan, Nunu, Fira, Almik, Uni Hakim, Inna, Ame, Sinwa, Nini, Eka, Wiwi, Pipit, Nabila, Risma, Ria, Eni, Jumania, Uni, Adin, Adys, Nana, Yaya, Nirwana, Fitria, Nurul, Nuka, Nini, Siti Fatima, Ima, Titi, Annisa, Dina, Ratih, Mida, Rasti, Cahaya, Sisil, dan Fhia) telah membawa kebahagiaan selama 4 tahun ini. Terima kasih telah berjuang bersama, juga menemani dalam suka maupun duka. vii

9 19. Teman-teman terdekat; Almik, Adin, Adys, Uga, Inna dan Nini. Terima kasih telah menemani dan berjuang bersama di Biologi. Semoga Allah swt. memberikan balasan atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin yaa robbal alaamiin. Makassar, 21 November 2018 Penulis ST. Mardhatillah Nim: viii

10 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... PENGESAHAN SKRIPSI... PERSETUJUAN PEMBIMBING... DEWAN PENGUJI... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... ABSTRACT... i ii iii iv v xi xiii xiv xvi xvii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 6 C. Ruang Lingkup Penelitian... 6 D. Kajian Pustaka... 6 E. Tujuan Penelitian... 9 F. Kegunaan Peneltian... 9 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Islam tentang Tumbuhan B. Tinjauan Umum Pola Sebaran C. Tinjauan Umum Alga D. Tinjauan Umum Kabupaten Takalar E. Kerangka Pikir BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian B. Waktu dan Lokasi Penelitian C. Populasi dan Sampel D. Variable Penelitian E. Definisi Operasional Variabel F. Metode Pengumpulan Data G. Alat dan Bahan H. Prosedur Kerja ix

11 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian B. Pembahasan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran x

12 DAFTAR TABEL 4.1. Hasil Identifikasi Jenis Makroalga Pola Sebaran Makrolaga Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan xi

13 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Jenis Makroalga di Perairan Pantai Punaga LAMPIRAN 2. Pola Sebaran Makroalga di Perairan Pantai Punaga LAMPIRAN 3. Cek Lokasi Peneltian LAMPIRAN 4. Lokasi Peneltian LAMPIRAN 5. Proses Pemasangan Transek, Plot, dan Pengambilan Sampel.. 84 LAMPIRAN 6. Proses Pengukuran Parameter Lingkungan LAMPIRAN 7 Alat dan bahan xii

14 ABSTRAK Nama : ST. Mardhatillah NIM : Judul Skripsi : Identifikasi dan Pola Sebaran Makroalga di Perairan Pantai Punaga Kabupaten Takalar Makroalga termasuk salah satu sumber daya hayati laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Makroalga memiliki potensi besar untuk dikembangkan, karena memiliki peranan penting baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Penelitian mengenai identifikasi dan pola sebaran makroalga di perairan Pantai Punaga Kecamatan Mangara bombong Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan telah dilakukan pada bulan Oktober hingga November Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis dan pola sebaran makroalga yang ada di pantai Punaga kecamatan Mangara bombong Kabupaten Takalar dengan mengidentifikasi makroalga yang ditemukan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode line transect. Pengambilan sampel dilakukan pada empat titik stasiun dengan menggunakan plot berukuran 1x1 m. Pada setiap plot dihitung jumlah spesies alga yang ditemukan serta jumlah individu/koloni. Identifikasi jenis dilakukan di lapangan dengan menggunakan buku identifikasi Seaweed of India dari Bhavanath ja et al. Data dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui pola sebaran jenis makroalga. Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu, salinitas, ph, DO, intensitas cahaya, kecepatan arus dan kekeruhan arus. Dari hasil penelitian diperoleh 15 spesies makroalga yang terdiri dari 8 jenis alga merah (Rhodophyceae), 4 jenis alga coklat (Phaeophyceae) dan 3 jenis alga hijau (Chlorophyceae). Jenis Makroalga dominan yaitu alga merah Dermonema virens dan jenis makroalga yang sedikit ditemukan yaitu Sargassum polycystum. Pola sebaran jenis makroalga diperoleh nilai Indeks Morisita yaitu 12 (mengelompok). Kata Kunci: Makroalga, Identifikasi, Pola Sebaran, Pantai Punaga xiii

15 ABSTRACT Name : ST. Mardhatillah NIM : Title of thesis : Identification and Distribution Pattern of Macroalgae at Punaga Beach of Takalar Regency Macroalgae is one of marine biological reseources that are widely found in Indonesian waters. Macroalgae has great potential to develop because it has an important role both ecologically and economically. Research of identification and distribution pattern of Macroalgae at Punaga Beach of Takalar Regency South Sulawesi Province has been conducted from October to November The purpose of this research is to provide an information about species and distribution pattern of macroalgae at Punaga Beach of Takalar Regency. Methods of data collection is done by using line transect method. Execute sampling at four station points by using 1x1 m of plot and repeating 3 times throwing at each points. Data were analyzed to know the distribution pattern of macroalgae. Environmental parameters including temperature, salinity, ph, DO, light intensity, water speed and water turbidity. The result of identification and distribution pattern of macroalga at Punaga Beach of Takalar Regency is found 15 species macroalgaes consisting of 8 species of red algae (Rhodophyceae), 4 species of brown algae (Phaeophyceae) and 3 species of green algae (Chlorophyceae). The dominant species that found is Dermonema virens and the fewest species that found is Sargassum polycystum. The distribution pattern of macroalga was obtained 12 of Morisita Index (clumped). Keywords : Macroalgae, Identification, Distribution Pattern, Punaga Beach xiv

16 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sejumlah besar pulau-pulau tersebut ( buah) merupakan pulau-pulau berukuran kecil. Pada setiap pulau terdapat tumbuhan, hewan dan jasat renik yang tinggi. Dari satu pulau dengan pulau yang lain bahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain dari pulau yang sama terdapat keadaan alam yang berbeda. Perpaduan antara sumber daya alam dan hayati dan tempat hidupnya yang berbeda, menumbuhkan berbagai ekosistem di dalamnya (Suhendang, 2002). Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna yang memiliki nilai potensial dan memiliki peranan penting secara ekologi dan ekonomi. Alga termasuk bagian dari flora yang terdiri atas banyak jenis dan memiliki peranan penting pada lingkungan laut (Palallo, 2013). Alga merupakan makhluk hidup yang dapat tumbuh dan berkembang di laut secara luas. Alga termasuk kelompok tumbuhan yang berklorofil yang bisa memiliki satu sel atau banyak sel dengan membentuk koloni. Alga memiliki kandungan bahanbahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif (Yanuhar, 2016). Tumbuhan ini dapat hidup dan bertahan dengan kondisi yang beragam dengan pola pertumbuhan dan adaptasi yang sangat baik. Alga laut merupakan kelompok yang hidup di perairan laut, baik itu perairan dangkal maupun

17 2 perairan dalam yang masih disinari oleh cahaya matahari. Berdasarkan ukurannya, alga dibagi dalam dua kelompok utama yaitu mikroalga dan makroalga (Kasim, 2016). Menurut Luning (1990), Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makroalga dari 8000 jenis makroalga yang ditemukan di seluruh dunia. Makroalga pada laut memiliki manfaat dan itu merupakan karunia Allah subhanahu wa ta'ala seperti yang disebutkan dalam QS al-nahl/16:14 yang berbunyi: و ه ى ٱن ذ سخ ز ٱنب ح ز ن ت أك ه ىا ي ه ن ح ا طز ي ا وت س ت خ ز ج ىا ي ه ح هيت ت هبس ى ها وت زي ٱن ف ه ك يىاخ ز ف يه ون تب ت غ ىا ي ف ض ه ه ۦ ون عه ك ى ت ش ك ز و ٤١ Terjemahnya: Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-nya, dan supaya kamu bersyukur (Kementerian Agama, 2012). Menurut tafsir al-misbah (2012) melalui surat al-nahl ayat 14, diuraikan apa yang terdapat di dalam air lagi tertutup olehnya. Ayat ini menyatakan bahwa: Dan Dia, yakni Allah subhanahu wa ta'ala, yang menundukkan lautan dan sungai serta menjadikannya arena hidup binatang dan tempatnya tumbuh berkembang serta pembentukan aneka perhiasan. Itu dijadikan demikian agar kamu dapat menangkap hidup-hidup atau yang mengapung dari ikan-ikan dan sebangsanya yang berdiam di sana sehingga kamu dapat memakan darinya daging yang segar, yakni binatangbinatang laut itu, dan kamu dapat mengeluarkan, yakni mengupayakan dengan cara

18 3 bersungguh-sungguh untuk mendapatkan darinya, yakni dari laut dan sungai itu perhiasan yang kamu pakai, seperti permata, mutiara, merjan dan sebagainya. Dalam ayat yang lain hal tersebut juga disebutkan dalam QS al-maidah/5:96 yang berbunyi: أ ح م ن ك ى صي ذ ٱنب ح ز وطعاي ه ۥ يت ع ا ن ك ى ون هس ي ارة وح ز و عه ي ك ى صي ذ ٱنب ز يا د ي ت ى ح ز ي ا و ٱت ق ىا ٱ لل ٱن ذ إ ن ي ه ت ح شز و ٦٩ Terjemahnya: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-nyalah kamu akan dikumpulkan (Kementerian Agama, 2012). Dalam tafsir Jalalain (1990), dijelaskan penguraian surat al-maidah ayat 96 yaitu (dihalalkan bagimu) hai umat manusia sewaktu kamu berada dalam keadaan halal/tidak ihram atau sedang ihram (binatang buruan laut) kamu boleh memakannya. Binatang buruan laut ialah binatang yang hidupnya hanya di laut/di air, seperti ikan. Berbeda dengan binatang yang terkadang hidup di laut dan terkadang hidup di darat seperti kepiting (dan makanan yang berasal dari laut) binatang laut yang terdampar dalam keadaan mati (sebagai makanan yang lezat) untuk dinikmati (bagimu) kamu boleh memakannya (dan bagi orang-orang yang bepergian) orang-orang yang musafir dari kalangan dengan menjadikannya sebagai bekal mereka. (Dan diharamkan atasmu binatang buruan darat) yaitu binatang yang hidup di sarat dari jenis binatang yang boleh dimakan, kamu dilarang memburunya (selagi kamu dalam keadaan ihram) jika yang meburunya itu adalah orang yang tidak sedang ihram, maka orang yang sedang

19 4 ihram diperbolehkan memakannya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sunah. (Dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-nya kamu kembali). Makroalga mempunyai peranan penting bagi ekosistem laut dan air tawar. Hal ini karena makroalga merupakan produktivitas primer yang dapat menyokong kehidupan konsumen tingkat pertama dan seterusnya. Secara ekologi, komunitas makroalga berperan sebagai tempat pembesaran dan perlindungan bagi jenis-jenis ikan tertentu dan merupakan makanan alami ikan-ikan dan hewan herbivora lainnya. Jika ditinjau dari segi biologi, makroalga laut memegang peranan sebagai produsen primer, penghasil bahan organik, dan oksigen di lingkungan perairan. Dari segi ekonomi, banyak jenis alga laut yang merupakan komoditas potensial untuk dikembangkan mengingat nilai gizi dan manfaat yang dikandungnya (Kasim, 2016). Di Indonesia data keragaman, kepadatan Makroalga belum terpola di beberapa perairan Pulau kecil maupun besar, karena kehadiran Makroalga di beberapa perairan masih banyak yang belum teridentifikasi (Setyawan, dkk., 2015). Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi rumput laut, dan rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan daerah ini. Areal budidaya rumput laut daerah ini mencapai seluas ha untuk budidaya di laut dan ha untuk budidaya di tambak. Potensi produksinya mencapai ton, yang terdiri dari Eucheuma cotonii ton dan Gracillaria varrucosa ton (Mahatama dan Farid, 2013). Kabupaten Takalar merupakan penghasil rumput laut terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan dengan produksi mencapai 500 ribu ton (Rahadiati, 2018).

20 5 Kabupaten Takalar terletak antara 5 30 sampai 5 38 LS dan antara sampai BT dengan luas wilayah 566,51 km 2. Jarak ibukota Kabupaten Takalar dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 45 km yang melalui Kabupaten Gowa. Penduduk Kabupaten Takalar berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2016 sebanyak jiwa yang terdiri atas jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2017). Sebagian besar mata pencaharian masyarakat disana adalah sebagai nelayan, dengan memanfaatkan kekayaan laut, daerah dengan kawasan pantai yang begitu luas bukan hanya menarik untuk berwisata namun juga cocok untuk lokasi perlindungan biota laut, namun mereka tidak banyak mengetahui keberadaan dan pemanfaatan Makroalga. Mayoritas penduduk di sekitar pantai Punaga berprofesi sebagai nelayan yang sebagian besar membudidayakan rumput laut yang kemudian dipanen dan dijual. Namun, penelitian dan eksplorasi tentang kekayaan laut pantai Punaga baik dari segi keanekragaman makroalga maupun komoditas lain belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan untuk melengkapi data Makroalga tentang pola penyebaran yang dilakukan di perairan dalam kondisi biofisik yang berbeda. Maka dari itu, penelitian tentang keanekaragaman dan pola sebaran makroalga di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar masih perlu dilakukan. Mengingat bahwa Makroalga berperan penting bagi ekosistem perairan, serta pada saat ini penelitian tentang Makroalga di kawasan perairan pantai Punaga

21 6 Kabupaten Takalar masih belum dilakukan maka perlu dilakukan penelitian sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran keanekaragaman dan pola sebaran makroalga. B. Rumusan Masalah 1. Makroalga apa saja yang terdapat di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar? 2. Bagaimana pola sebaran makroalga di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar? C. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan sampel berupa makroalga yang diambil bersama dengan nelayan di sekitar perairan pantai Punaga, Desa Punaga, Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya diidentifikasi untuk mengetahui ciri morfologi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Oseanografi Universitas Hasanuddin pada bulan Oktober-November D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu Adapun penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Sinyo Y, dkk. (2013) dengan judul Studi Keanekaragaman Jenis Makroalga di Perairan Pantai Pulau Dofamuel Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten

22 7 Halmahera Barat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 9 jenis makroalga yang tergolong dalam 3 divisi, yaitu: Halimeda incrasata, Halimeda macroloba, Halimeda opuntia, Halimeda selendrica, Ceratodictyon spongiosum, Padinata australis. Eucheuma sp, Laurencia sp dan Crytonemia cranulata. Keanekaragaman jenis makroalga di stasiun I dan II yaitu: jenis Halimeda makroloba dengan nilai keanekaragaman (0,357), di katagorikan tinggi, jenis Halimeda opuntia dengan nilai keanekaragaman (0,344), di kategorikan rendah, dan jenis Cryptonemia cramulata dengan nilai keanekaragaman (0,030) di kategorikan rendah. 2. Nurkiama, dkk. (2015) dengan judul Keanekaragaman dan Pola Sebaran Makroalga di Perairan Laut Pucung Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ditemukan 13 jenis makroalga (rumput laut) yaitu jenis Turbinaria ornata, Padina australis, Sargassum polycystum, Sargassum binderi, Glacillaria coronopifolia, Eucheuma spinosum, Achanthophora spicifera, Cadium geppi, Halimeda macrophysa, Eucheuma alvarezi, Boergerenia forbessi, Galaxaura kjellmani, Caulerva racemosa. Untuk kerapatan dan penutupan makroalga pada kelas Phaeophyta (alga coklat) yang tertinggi di Perairan Pulau Pucung dengan spesies Turbinaria ornata yaitu bernilai 3,35 koloni/m2 dan 14,52, koloni/m2 dan pada kelas Clorophyta (alga hijau) yang terendah dengan spesies Calerva racemosa yaitu bernilai 0,06 %, dan 0,20 %. Untuk komposisi makroalga yang tertinggi pada spesies Turbinaria ornata yaitu 20,35 % dan terendah Calerva racemosa yaitu 0,39 %. Untuk

23 8 indeks ekologi makroalga pada indeks keanekaragaman di kategorikan Tinggi bernilai (3,09), indeks keseragaman di kategorikan tinggi bernilai (0,79), dan pada indeks dominansi di kategorikan rendah bernilai (0,14). Untuk pola sebaran makroalga mengelompok, pada kualitas perairan Suhu berada pada kisaran 26-27⁰C, Derajat keasaman (ph) berada pada kisaran 7,30-7,84, Oksigen terlarut berada pada kisaran 5,57-6,17, salinitas berada pada kisaran 33-34, kedalam berada pada kisaran 1, m, dan kekeruhan berada pada kisaran 1,51-3,74 NTU. Kecepatan arus berada pada kisaran 0,0178-0,0135 m/dtk relatif rendah, dimana parameter tersebut dikategorikan optimal untuk pertumbuhan makroalga. Untuk kondisi substrat perairan Laut Pulau Pucung yang dominan ialah jenis pasir kasar. 3. Awalia R. (2017) dengan judul Biodiversitas Makroalga di Pantai Puntondo Kecamatan Mangara Bombang Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan diperoleh 12 spesies Makroalga yang terdiri dari 3 kelas diantaranya alga merah (Rhodophyceae) yang terdapat 3 spesies yaitu Gracilaria salicornia, Amphiroa rigida dan Eucheuma spinosum. Alga coklat (Phaeophyceae) terdapat Padina boergesenii, Sargassum tenerrimum, Sargassum cinereum, Sargassum prismaticum, Sargassum Vulgare dan Sargassum polycystum. Dan pada alga hijau (Chlorphyceae) terdapat Halimeda macroloba, Halimeda opuntia dan Eucheuma denticulatum. Jenis Makroalga yang umumnya dominan pada penelitian ini yaitu alga coklat Padina

24 9 boergesenii dan jenis spesies makroalga yang sedikit ditemukan yaitu Amphiroa rigida dan Sargassum polycystum. Rata-rata indeks keanekaragaman (H ) pada pantai Puntondo 0,083 dikategorikan rendah, indeks keseragaman (E) yaitu 0,033 dikategorikan tertekan. Dan indeks dominansi pada pantai Puntondo yaitu 0,023 dikategorikan rendah. E. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui makroalga apa saja yang terdapat di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar. 2. Untuk mengetahui pola sebaran makroalga di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar. F. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai sumber informasi dan referensi mengenai jenis keanekaragaman makroalga dan pola sebarannya. 2. Sebagai informasi pemanfaatan makroalga bagi masyarakat setempat. 3. Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

25 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Islam tentang Tumbuhan Organisme diciptakan oleh Tuhan tidak hanya satu jenis, tetapi berbagai jenis yang berbeda. Keragaman organisme yang banyak itu, menuntut manusia untuk dapat mengetahui agar mengenalnya, salah satunya adalah makroalga. Makroalga termasuk tumbuhan tingkat rendah yang hidup di air, setidaknya selalu menempati habitat yang lembab atau basah. Sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam QS Thaha/20:53 yang berbunyi: ٱن ذ جعم نك ى ٱ ل ر ض يه ذ ا وسهك ن ك ى ف يها س ب ل وأ شل ي ٱنس ا ء يا ء فأ خ زج ا ب ه ۦ أ س و ج ا ي ب اث شت ٣٥ Terjemahnya: Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam (Kementerian Agama, 2012). Menurut Tafsir al-misbah (2012) melalui surat Thaha ayat 53, dijelaskan bahwa ayat ini menyatakan bahwa: Dialah Tuhan yang menganugerahkan nikmat kehidupan dan pemeliharaan kepada hamba-hamba-nya. Dengan kekuasaan-nya, Dia telah menjadikan bumi sebagai hamparan untukmu, membuka jalan-jalan untuk kamu lalui dan menurunkan hujan di atas bumi sehingga terciptalah sungai-sungai. Dengan air itu Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang berbeda-beda warna, rasa, dan

26 11 manfaatnya. Ada yang berwarna putih dan hitam, ada pula yang rasanya manis dan pahit. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala telah menciptakan berbagai macam tumbuhan di muka bumi ini. Kemudian tumbuhtumbuhan itu dihidupkan atau ditumbuhkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dengan air. Artinya ada hubungan yang sangat erat antara air dengan tumbuhan. Interaksi yang terjalin antara tumbuhan dan air adalah sebuah fenomena ekologis yang terdapat di alam, yaitu interaksi antara organisme (tumbuhan) dengan lingkungannya. Dalam tafsir Ibnu Katsir (2002), disebutkan mahdan (bukan mihadan) yang artinya tempat menetap bagi kalian; kalian dapat berdiri, tidur, dan bepergian di permukaannya. Dan Yang telah menjadikan bagi kalian di bumi itu jalan-jalan. Yakni Dia telah menjadikan bagi kalian jalan-jalan agar kalian dapat berjalan di segala penjurunya. Sama halnya dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-nya dalam surah al-anbiya ayat 31: dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas agar mereka mendapat petunjuk. Dan menurukan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuhtumbuhan yang bermacam-macam. Yaitu berbagai macam tetumbuhan berupa tanamtanaman dan buah-buahan, ada yang rasanya masam, ada yang manis, dan ada yang pahit, serta berbagai jenis lainnya dari hasil tanam-tanaman dan buah-buahan.

27 12 B. Tinjauan Umum Pola Sebaran Penyebaran populasi merupakan pergerakan individu ke dalam atau keluar dari populasi. Penyebaran populasi berperan penting dalam penyebaran secara geografi dari tumbuhan, hewan atau manusia ke suatu daerah dimana mereka belum menempatinya. Penyebaran populasi dapat disebabkan karena adanya dorongan untuk mencari makan, menghidarkan diri dari predator, pengaruh iklim, terbawa air atau angin, kebiasaan kawin dan faktor fisik lainnya (Umar, 2011). Informasi kepadatan populasi saja belum cukup untuk memberikan suatu gambaran yang lengkap mengenai keadaan suatu populasi yang ditemukan dalam suatu habitat. Dua populasi mungkin dapat mempunyai kepadatan yang sama, tetapi mempunyai perbedaan yang nyata dalam pola penyebaran spatialnya (tempat). Kepadatan populasi suatu daerah sangat dipengaruhi oleh pola penyebaran populasinya (Umar, 2011). Perubahan-perubahan dalam jenis habitat juga dapat menyebabkan perubahanperubahan dalam pola penyebaran, dan dalam habitat yang sama, spesies-spesies yang berada biasanya memperlihatkan perbedaan pola penyebaran (Umar, 2011). Di alam, pola penyebaran secara teratur sangat jarang ditemukan, tetapi umumnya berpola mengelompok. Peyebaran individu dalam populasi merupakan salah satu aspek dari pengaturan ruangan bagi individu di alam populasinya (Umar, 2011). Secara umum populasi dapat dianggap sebagai suatu kelompok organisme yang terdiri atas individu-individu yang tergolong dalam satu jenis atau varietas,

28 13 ekotipe, atau satu unit taksonomi lain yang terdapat pada suatu tempat. Populasi memiliki karakteristik yang khas untuk kelompok yang tidak dimiliki oleh masingmasing dari anggotanya. Karakteristik ini antara lain adalah kepadatan, natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), potensi biotik, penyebaran umur dan bentuk pertumbuhan (Resosoedarmo, 1990). Natalitas dan mortalitas menentukan pertumbuhan populasi. Populasi tumbuh apabila natalitas melebihi mortalitas. Dalam suatu daerah atau ekosistem, pertumbuhan dipengaruhi oleh imigrasi dan emigrasi (Resosoedarmo, 1990). Populasi sebagai suatu individu yang dinamis dapat bertumbuh dalam perjalanan ruang dan waktu. Penanaman populasi dapat mengalami kenaikan atau penyusutan kepadatannya, tergantung pada kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidupnya. Bila daya dukung lingkungan tidak mendukung suatu kepadatan populasi, maka kepadatan populais dapat mengalami penyusutan, sebaliknya jika daya dukung lingkungan itu menunjang, sehingga kebutuhan populasi akan makanan, habitat serta kebutuhan lain terpenuhi maka akan meningkatkan populasi. Dengan kata lain adanya interaksi-interaksi antar individu di dalam populasi itu maupun dengan individu lain dari luar populasi maka populasi merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang dikenal dengan istilah seleksi alam (Resosoedarmo, 1990). Terdapat dua ciri dasar dari suatu populasi yaitu ciri biologi, yang merupakan ciri yang dipunyai oleh suatu individu pembangun populasi itu, serta ciri statistik yang merupakan ciri uniknya sebagai himpunan atau kelompok dari individuindividu. Seperti halnya suatu individu organisme suatu populasi pun memiliki

29 14 struktur dan organisme tertentu, yang sifatnya ada yang konstan ada pula yang mengalami perubahan sejalan dengan waktu, memiliki ontogeni atau sejarah perkembangan kehidupan, dapat dikenai dampak faktor-faktor lingkungan dan dapat memberikan respon terhadap faktor-faktor lingkungan (Heddy, 1986). Ruang dan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan jenis untuk hidupnya berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi. Pertumbuhan cenderung untuk melaju terus dengan cermat apabila ruang dan bahan-bahan berlimpah, dan akan mundur apabila kedua faktor tersebut berkurang yang kemudian akan mendatar bila ruang dan bahan-bahan menjadi terbatas (Heddy, 1986). Penyebaran populasi dalam suatu ekosistem dapat terjadi melalui tiga pola yaitu (Umar, 2011): 1. Emigrasi, yaitu pergerakan individu keluar daerah populasinya ke tempat lainnya dan tinggal secara permanen. 2. Imigrasi, yaitu pergerakan individu dari suatu daerah populasi lainnya dan tinggal secara permanen. 3. Migrasi, yaitu pergerakan secara dua arah suatu individu dari suatu daerah ke daerah populasi lainnya secara periodik. Keragaman tak terbatas dari pola penyebaran demikian yang terjadi dalam alam secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu (Michael, 1994): 1. Penyebaran teratur atau seragam (regular dispersion), dimana individu-individu terdapat pada tempat tertentu dalam komunitas. Penyebaran ini terjadi bila ada

30 15 persaingan yang keras sehingga timbul kompetisi yang mendorong pembagian ruang hidup yang sama. 2. Penyebaran secara acak (random dispersion), dimana individu-individu menyebar dalam beberapa tempat dan mengelompok dalam tempat lainnya. Penyebaran ini jarang terjadi, hal ini terjadi jika lingkungan homogen. 3. Penyebaran berkelompok/berumpun (clumped dispersion), dimana individuindividu selalu ada dalam kelompok-kelompok dan sangat jarang terlihat sendiri secara terpisah. Pola ini umumnya dijumpai di alam, karena adanya kebutuhan akan faktor lingkungan yang sama. Penyebaran secara teratur (regular dispersion) dengan individu-individu yang kurang lebih berjarak sama satu dengan yang lain, jarang terdapat di alam, tetapi umumnya di dalam suatu ekosistem yang dikelola, dan disini tanaman atau pohon memang sengaja diatur seperti itu yaitu jarak yang sama untuk menghasilkan produk yang optimal (Setiono, 1999). Penyebaran acak (random dispersion) juga sangat jarang terjadi di alam. Penyebaran semacam ini biasanya terjadi apabila faktor lingkungannya sangat seragam untuk seluruh daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat-sifat untuk berkelompok dan organisme tersebut, dalam tumbuhan ada bentuk-bentuk organ tertentu yang menunjang untuk terjadinya pengelompokan tumbuhan (Azhari, 2007).

31 16 Penyebaran secara berkelompok (clumped dispersion) dengan individuindividu yang bergerombol dalam kelompok-kelompok adalah yang paling umum terdapat di alam, terutama untuk hewan (Hastuti, 2007). Gambar 2.1. Pola Penyebaran Populasi (Frianto dan Novriyanti, 2016) Dari ketiga kategori ini, rumpun/berkelompok adalah pola yang paling sering diamati di alam dan merupakan gambaran pertama dari kemenangan dalam keadaan yang disukai lingkungan. Pada tumbuhan penggerombolan disebabkan oleh reproduksi vegetatif, susunan benih local dan fenomena lain. Dimana benih-benih cenderung tersusun dalam kelompok. Pada tumbuhan, penyebaran acak adalah umum dimana penyebaran benih disebabkan angin (Michael, 1994). Pola penyebaran dianalisis dengan rumus indeks Morisita dengan rumus (Nurkiama, 2015): Dimana: Iδ = Indeks Morisita

32 17 n N x = Jumlah transek pengambilan sampel = Jumlah seluruh individu dalam total n = Jumlah seluruh individu pada seluruh stasiun penelitian Nilai Indeks Morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: Iδ < 1, berarti penyebaran individu cenderung merata; Iδ = 1, berarti penyebaran individu cenderung acak; dan Iδ > 1, berarti penyebaran individu cenderung mengelompok. C. Tinjauan Umum Alga Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, termasuk keanekaragaman hayati lautnya. Salah satu organisme laut yang banyak dijumpai di hampir seluruh pantai di Indonesia adalah makroalga. Makroalga merupakan alga yang berukuran besar, dari beberapa centimeter sampai bermeter-meter. Alga sendiri adalah organisme yang masuk ke dalam Kingdom Protista mirip dengan tumbuhan, dengan struktur tubuh berupa thallus. Alga mempunyai pigmen klorofil sehingga dapat berfotosintesis. Alga kebanyakan hidup di wilayah perairan, baik perairan tawar maupun perairan laut (Marianingsih, 2013). Berdasarkan ukurannya, alga dibagi dalam dua kelompok utama yaitu mikroalga dan makroalga (Kasim, 2016). Mikroalga adalah mikroorganisme bersel satu atau disebut pula dengan organisme multisel dengan struktur sederhana.

33 18 Beberapa mikroalga yang multisel tersebut tersusun dengan struktur kompleks yang terdiri dari dinding sel, membran sel, kloroplas, mitokondria, ribosom dan inti sel. Mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk berfotosintesis, baik yang bersifat prokariotik ataupun eukariotik. Mikroalga ini dapat tumbuh dengan baik dan cepat di lingkungan perairan air laut atau air tawar, dimana dengan menggunakan zat pati di dalam kloroplas yang dikandungnya dapat mengkonversi energi dari sinar matahari, air dan karbon dioksida menjadi biomassa (Yanuhar, 2016). Makroalga adalah tumbuhan thallus (Thallophyta) dimana merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai akar, batang, bunga, dan daun sejati dengan artian bahwa kelompok tumbuhan yang hanya mempunyai semacam daun, batang, bunga, dan akar sebagai bagian dari morfologi tubuhnya. Secara ekologi, komunitas makroalga berperan sebagai tempat pembesaran dan perlindungan bagi jenis-jenis ikan tertentu dan merupakan makanan alami ikan-ikan dan hewan herbivora lainnya. Jika ditinjau dari segi biologi, makroalga memegang peranan sebagai produsen primer, penghasil bahan organik, dan oksigen di lingkungan perairan. Dari segi ekonomi, banyak jenis makroalga yang merupakan komoditas potensial untuk dikembangkan mengingat nilai gizi dan manfaat yang dikandungnya. Sebagian besar makroalga di Indonesia bernilai ekonomis tinggi yang dapat digunakan sebagai makanan dan secara tradisional digunakan sebagai obat-obatan oleh masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Dari ratusan jenis makroalga yang tumbuh dan berkembang di perairan Indonesia, hanya beberapa jenis yang telah diusahakan

34 19 secara komersial, yaitu Gracilaria sp., Gelidium sp., Hypnea sp., Eucheuma sp., dan Sargasum sp. (Kasim, 2016). Makroalga sebagian besar hidup di perairan laut. Untuk dapat tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup. Makroalga epifit pada benda-benda lain seperti, batu, batu berpasir, tanah berpasir, kayu, cangkang molluska, dan epifit pada tumbuhan lain atau makroalga jenis yang lain. Klasifikasi makroalga menurut Dawes (1981), terdiri dari 3 divisio yaitu Chlorophyta (alga hijau), Rhodophyta (alga merah), dan Phaeophyta (alga coklat). Chlorophyta memiliki pigmen dominan hijau. Pigmen tersebut berasal dari klorofil yang dikandung alga. Rhodophyta adalah alga berwarna merah. Warna merah pada Rhodophyta dikarenakan oleh cadangan fikorietrin yang lebih dominan, dibanding pigmen lain. Rhodophyta juga memiliki pigmen lain yaitu klorofil, karotenoid dan pada jenis tertentu terdapat fikosianin. Sementara itu, Phaeophyta adalah alga bewarna cokelat. Warna cokelat dikarenakan oleh pigmen fikosantin yang dominan. Phaeophyta juga mengandung pigmen lain yaitu klorofil a dan b, karoten serta santofil. Phaeophyta adalah alga yang mempunyai ukuran lebih besar apabila dibandingkan Chlorophyta dan Rhodophyta (Marianingsih, 2013).

35 20 Gambar 2.2. Morfologi Makroalga (Afrianto dan Liviawati, 1993). Alga merupakan organisme autotrof yang dapat mensintesis makanannya sendiri dengan melakukan proses fotosintesis pada siang hari, saat terdapat cahaya matahari. Karbondioksida digunakan sebagai sumber karbon untuk mensintesis selsel baru dan oksigen. Pada saat gelap alga membutuhkan oksigen untuk respirasi dan senyawa organik untuk pertumbuhan. Pertumbuhan alga pada siang dan malam hari distimulasi oleh garam-garam, fosfor dan nitrat. Jadi kuantitas nutrien dan pencahayaan fotosintesis merupakan faktor penting bagi pertumbuhan alga dalam kolam oksidasi. Karbondioksida merupakan salah satu dari produk yang dihasilkan oleh metabolisme bakteri. Karbondioksida ini digunakan oleh alga selama proses fotosintesis dan sebaiknya bakteri memanfaatkan oksigen yang dihasilkan oleh alga untuk mengoksidasi bahan organik dalam limbah. Kondisi pencahayaan, kondisi operasional (ph, komposisi dan konsentrasi nutrien yang ada, waktu retensi hidrilik) dan parameter-parameter biologis (adaptasi alga, penyemaian alga, dan parasit) (Taufik, 2016).

36 21 Struktur tubuh alga laut terdiri dari 3 bagian utama, pertama dikenal dengan sebutan blade, yaitu struktur yang menyerupai daun pipih yang biasanya lebar. Kedua stipe, yaitu struktur yang menyerupai batang yang lentur dan berfungsi sebagai penahan goncangan ombak. Dan ketiga holdfast, yaitu bagian yang menyerupai akar dan berfungsi untuk melekatkan tubuhnya pada substrat (Sumich, 1992). Makroalga memiliki banyak manfaat, baik manfaat secara ekologis maupun ekonomis bagi masyarakat. Manfaat ekologis makroalga yaitu menyediakan habitat untuk beberapa jenis biota laut seperti jenis Crustacea, Mollusca, Echinodermata, ikan maupun alga kecil yang lainnya. Bentuknya yang rimbun mampu memberikan perlindungan terhadap ombak dan juga menjadi makanan bagi biota laut. Nilai ekonomis makroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan untuk laboratorium seperti bahan awetan basah, bahan media untuk perkembangbiakan bakteri dan jamur guna menghasilkan antibiotik, serta ada pula jenis makroalga yang digunakan sebagai obat- obatan (Marianingsih, 2013). Untuk alga yang sepenuhnya autotrofik, semua yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah cahaya, CO 2, air, nutrisi, dan trace elemen. Dengan cara fotosintesis alga akan mampu mensintesis semua senyawa biokimia yang diperlukan untuk pertumbuhan. Namun, hanya sebagian kecil ganggang yang sepenuhnya autotrofik; banyak yang tidak dapat mensintesis senyawa biokimia tertentu (vitamin tertentu, misalnya) (Barsanti, 2006). Parameter terpenting yang mengatur pertumbuhan alga adalah kuantitas dan kualitas nutrisi, cahaya, ph, salinitas, dan suhu. Parameter yang paling optimal dan

37 22 rentang yang ditoleransi adalah spesies spesifik dan berbagai faktor mungkin saling bergantung dan parameter yang optimal untuk satu set kondisi belum tentu optimal untuk yang lainnya (Barsanti, 2006). Adapun parameter lingkungan pada pertumbuhan alga adalah sebagai berikut: 1. Suhu Suhu di mana kultur dipertahankan idealnya sedekat mungkin dengan suhu di mana organisme dikumpulkan; organisme polar (<10 C); beriklim sedang (10-25 C); tropis (<20 C). Spesies yang paling umum dari mikroalga mentolerir suhu antara 16 dan 27 C, meskipun hal ini dapat bervariasi dengan komposisi media kultur, spesies, dan strain yang dibudidayakan. Nilai tengah C paling sering digunakan. Inkubator yang dikontrol suhu biasanya menggunakan suhu konstan (transfer ke suhu yang berbeda harus dilakukan dalam langkah 2 C per minggu), meskipun beberapa model memungkinkan siklus suhu. Suhu yang lebih rendah dari 16 C akan memperlambat pertumbuhan, sedangkan yang lebih tinggi dari 35 C mematikan untuk sejumlah spesies. 2. Cahaya Pada tumbuhan, cahaya adalah sumber energi yang mendorong reaksi fotosintesis pada alga dan dalam hal ini intensitas, kualitas spektral, dan fotoperiode perlu dipertimbangkan. Intensitas cahaya memiliki peran penting, tetapi persyaratannya sangat bervariasi dengan kedalaman kultur dan kepadatan kultur alga : pada kedalaman yang lebih tinggi dan konsentrasi sel, intensitas cahaya harus ditingkatkan untuk menembus melalui kultur. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi

38 23 (misalnya sinar matahari langsung, wadah kecil dekat dengan cahaya buatan) dapat menyebabkan hambatan cahaya. Paling sering digunakan intensitas cahaya berkisar antara 100 dan 200 µe dt 1 m 2, yang sesuai sekitar 5-10% dari cahaya matahari penuh (2000 µe dt 1 m 2). Selain itu, terlalu panas karena pencahayaan alami dan buatan harus dihindari. Cahaya mungkin alami atau dipasok oleh tabung fluoresen yang memancarkan cahaya biru atau spektrum cahaya merah, karena ini adalah bagian paling aktif dari spektrum cahaya untuk fotosintesis. Intensitas dan kualitas cahaya dapat dimanipulasi dengan filter. 3. ph Kisaran ph untuk spesies alga yang paling berbudaya adalah antara 7 dan 9, dengan kisaran optimal menjadi , meskipun ada spesies yang tinggal di lingkungan yang lebih asam/dasar. Keruntuhan kultur lengkap akibat gangguan banyak proses seluler dapat diakibatkan oleh kegagalan mempertahankan ph yang dapat diterima. Dalam kasus kultur alga dengan kepadatan tinggi, penambahan karbon dioksida memungkinkan untuk mengoreksi ph yang meningkat, yang dapat mencapai nilai pembatas hingga ph 9 selama pertumbuhan alga. 4. Salinitas Ganggang laut sangat toleran terhadap perubahan salinitas. Kebanyakan spesies tumbuh terbaik di salinitas yang sedikit lebih rendah daripada habitat asli mereka, yang diperoleh dengan menipiskan air laut dengan air keran. Salinitas g 1 1 ditemukan optimal.

39 24 D. Tinjauan Umum Kabupaten Takalar Secara astronomis, Kabupaten Takalar terletak antara 5⁰ 30 sampai 5⁰ 38 Lintang Selatan dan antara 119⁰ 22 sampai 119⁰ 39 Bujur Timur dengan luas wilayah 566,51 km 2. Jarak ibukota Kabupaten Takalar dengan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 45 km yang melalui Kabupaten Gowa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2017). Berdasarkan posisi geografis, Kabupaten Takalar memiliki batas-batas: di sebelah timur, berbatasan Kabupaten Gowa dan Jeneponto. Di sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Gowa. Sedangkan di sebelah barat dan selatan dibatasi oleh Selat Makassar dan Laut Flores (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2017).

40 25 Gambar 2.3. Peta Wilayah Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2017). Secara administratif Kabupaten Takalar terdiri dari 100 desa/kelurahan yang terletak di 9 kecamatan, yaitu Mangarabombang, Mappakasunggu, Sanrobone, Polombangkeng Selatan, Pattallassang, Polombangkeng Utara, Galesong Selatan, Galesong, dan Galesong Utara. Penduduk Kabupaten Takalar berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2016 sebanyak jiwa yang terdiri atas jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2017). E. Kerangka Pikir Input Proses Output Kabupaten Takalar merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan Masih banyak rumput laut di Kabupaten Takalar yang belum diidentifikasi, salah satunya di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar. Melakukan identifikasi dan mengamati pola sebaran dengan cara mengamati ciri morfologi dari makroalga dan melakukan analisis data pola sebarannya. Keanekaragaman makroalga berasal dari perairan pantai Punaga teridentifikasi serta model pola sebarannya.

41 26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif eksploratif didasarkan pada menggambarkan karakteristik morfologi dari makroalga yang berasal dari perairan laut pantai Punaga Kabupaten Takalar. B. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini direncanakan pada bulan September-Oktober Pengambilan sampel dilakukan di Desa Punaga Kecamatan Mangarabombang. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Botani, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Samata-Gowa. C. Populasi dan Sampel Pada penelitian ini makroalga yang berasal dari Kabupaten Takalar merupakan populasi. Sedangkan, sampel dalam penelitian ini adalah sebagian makroalga yang diambil dari perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar.

42 27 D. Variabel Penelitian Penelitian ini memiliki variabel tunggal yaitu jenis makroalga yang berasal dari perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar. E. Defenisi Operasional Variabel Adapun defenisi operasional variabel pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis makroalga yaitu dengan proses identifikasi yang dilakukan dengan mengamati ciri morfologi makroalga berupa bentuk batang, bentuk daun, bentuk bunga dan bentuk akar. Pola sebaran makroalga diketahui dengan mengukur jumlah individu makroalga dengan menggunakan metode line transek di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar dan dihitung dengan menggunakan rumus Indeks Morisita. F. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode secara sengaja atau Purposive Sampling, pengambilan sampel pada 3 stasiun. Setiap plot dihitung jumlah spesies alga yang ditemukan, serta jumlah individu/koloni. Identifikasi jenis dilakukan di lapangan dengan mengukur ukuran alga yang didapat.

43 28 G. Alat dan Bahan 1. Alat Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis menulis, mistar, plot ukuran 1 x 1 m 2, GPS (Global Positioning System), termometer, ph meter, kamera digital, tali rafia ukuran 50 m, toples, ember, gunting, meteran, dan alat snorkeling. 2. Bahan Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alga (ganggang laut), label, aquadest, buku-buku identifikasi maupun jurnal lainnya, kertas HVS, dan larutan formalin 4%. H. Prosedur Kerja Adapun prosedur kerja pada penelitian ini adalah: 1. Tahap persiapan Pada tahap ini dilakukan observasi kembali untuk mendapatkan gambaran kondisi lokasi penelitian dan menyiapkan alat-alat yang akan digunakan. 2. Penentuan titik stasiun penelitian Penentuan titik stasiun dilakukan dengan menyurvei terlebih dahulu lokasi penelitian tersebut. Survei penelitian dilakukan agar peneliti dapat menentukan titik stasiun pada lokasi. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan 4 titik stasiun. Titik stasiun pertama pada substrat berbatu sekitar pemukiman warga, titik stasiun kedua pada substrat berpasir sekitar pemukiman warga, titik stasiun ketiga pada substrat

44 29 berbatu sekitar wisata pantai dan titik stasiun keempat pada substrat berpasir sekitar wisata pantai. Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian 3. Pengambilan sampel makroalga Metode pengambilan sampel menggunakan metode garis transek (line transect) dengan teknik sampling kuadran (English et al. 1997). Lokasi pengambilan sampel dibedakan menjadi tiga stasiun. Penentuan ketiga stasiun tersebut berdasarkan perbedaan tipe substratnya, yaitu stasiun I dengan substrat berpasir, stasiun II dengan zona lamun, dan stasiun III dengan substrat berbatu. Pada setiap stasiun terdapat 3 transek, dimana setiap 1 transek dibuat tegak lurus garis pantai ke arah tubir (slope) menggunakan tali rafia sepanjang 50 m dengan 5 kuadran (plot ukuran 1 x 1 m 2 ).

45 30 Jarak antar kuadran dalam satu garis transek 10 m serta jarak antar transek 10 m. Pengambilan sampel dilakukan pada saat air surut dengan menggunakan tangan dan gunting untuk memotong maupun mengambil makroalga, dan dibantu dengan alat snorkelling. Dilakukan pengukuran faktor lingkungan yang meliputi suhu, ph, intensitas cahaya, DO (Dissolved Oxygen), salinitas, jenis substrat, kekeruhan air, dan kecepatan arus. Setiap jenis makroalga yang ditemui di dalam plot pengamatan, dimasukkan ke dalam toples, sampel yang telah diberi label sesuai dengan titik pengamatan lalu dihitung jumlah koloninya. Dalam pengamatan makroalga, satu koloni dianggap satu individu, jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu koloni lainnya maka setiap bagian yang terpisah itu dianggap sebagai satu individu tersendiri.

46 50 m 50 m 10 m 10 m 10 m 50 m 31 Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m 10 m 10 m 10 m 10 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m 10 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m 10 m 10 m 10 m 10 m 10 m 10 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m Plot 1x1 m

47 32 4. Identifikasi makroalga Setelah dilakukan pengambilan sampel, dilanjutkan dengan proses identifikasi. Identifikasi makroalga dilakukan di Laboratorium Botani berdasarkan buku-buku identifikasi dan dari jurnal lainnya. Sampel makroalga diidentifikasi dengan memperhatikan ciri atau karakter yang ada pada setiap sampel makroalga. 5. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik untuk menentukan pola penyebaran dengan menggunakan rumus indeks morisita: Dimana: Iδ n N x = Indeks Morisita = Jumlah transek pengambilan sampel = Jumlah seluruh individu dalam total n = Jumlah seluruh individu pada seluruh stasiun penelitian Nilai Indeks Morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: Iδ < 1, berarti penyebaran individu cenderung merata; Iδ = 1, berarti penyebaran individu cenderung acak; dan Iδ > 1, berarti penyebaran individu cenderung mengelompok.

48 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian 1. Hasil identifikasi Makroalga di Pantai Punaga Kabupaten Takalar Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di pantai Punaga diperoleh 15 spesies makroalga terdiri dari 8 jenis alga merah (Rhodophyceae), 4 jenis alga coklat (Phaeophyceae) dan 3 jenis alga hijau (Chlorophyceae). Pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) terdapat 126 individu, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) sebanyak 16 individu, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) terdapat 86 individu, dan pada stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) terdapat 28 individu. Adapun hasil pengamatan jenis makroalga pada tiap-tiap stasiun dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1. Hasil identifikasi jenis makroalga di perairan pantai Punaga kecamatan Punaga Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Kelas Nama Spesies Stasiun Jumlah I II III IV individu Tricleocarpa fragilis Acanthophora spicifera Botryocladia leptopoda Rhodophyceae Halymenia durvillei Halymenia floresia Chondracanthus acicularis Eucheuma spinosum Dermonema virens Padina boergesenii Phaeophyceae Sargassum swartzii Sargassum cinereum Sargasum polycystum

49 34 Chlorophyceae Codium geppiorum Lanjutan tabel 4.1. Kelas Nama Spesies Stasiun Jumlah I II III IV individu Chlorophyceae Codium dwarkense Halimeda macroloba Jumlah Jumlah spesies Adapun komposisi jenis makroalga di perairan pantai Punaga kecamatan Punaga Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan disajikan dalam bentuk diagram pie sebagai berikut: 2% Tricleocarpa fragilis 7% 1% 3% 4% 4% 5% 5% 2% 4% 2% Acanthophora spicifera Botryocladia leptopoda Halymenia durvillei Halymenia floresia Chondracanthus acicularis Eucheuma spinosum 10% 20% Dermonema virens Padina boergesenii Sargassum swartzii Sargassum cinereum Sargasum polycystum 29% 2% Codium geppiorum Codium dwarkense Halimeda macroloba Gambar 4.1. Diagram pie komposisi jenis makroalga di perairan pantai Punaga kecamatan Punaga Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan.

50 35 2. Pola sebaran Makroalga di Pantai Punaga Kabupaten Takalar bawah ini. Pola sebaran makrolaga di perairan pantai Punaga disajikan dalam tabel di Tabel 4.2. Pola sebaran makroalga di pantai Punaga Kabupaten Takalar Kelas Jenis n N Ʃx 2 Id Keterangan Tricleocarpa fragilis Mengelompok Acanthophora spicifera Mengelompok Botryocladia leptopoda Mengelompok Rhodophyceae Halymenia durvillei Mengelompok Halymenia floresia Mengelompok Chondracanthus acicularis Mengelompok Eucheuma spinosum Mengelompok Dermonema virens Mengelompok Padina boergesenii Mengelompok Phaeophyceae Sargassum swartzii Mengelompok Sargassum cinereum Mengelompok Sargassum polycystum Mengelompok Codium geppiorum Mengelompok Chlorophyceae Codium dwarkense Mengelompok Halimeda macroloba Mengelompok 3. Hasil parameter lingkungan Pengukuran parameter lingkungan meliputi pengukuran suhu, salinitas, ph, DO, intensitas cahaya, kecepatan arus dan kekeruhan air disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3. Hasil data pengukuran parameter lingkungan di pantai Punaga Kabupaten Takalar. Parameter Lingkungan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Suhu ( 0 C) Salinitas ( ) ph

51 36 Lanjutan tabel 4.3. Parameter Lingkungan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV DO (mg/l) Intensitas Cahaya (cm) Kecepatan Arus (cm/s) Kekeruhan Air (NTU) B. Pembahasan 1. Identifikasi Makroalga di Perairan Pantai Punaga Kabupaten Takalar Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di pantai Punaga diperoleh 15 spesies makroalga terdiri dari 8 jenis alga merah (Rhodophyceae), 4 jenis alga coklat (Phaeophyceae) dan 3 jenis alga hijau (Chlorophyceae), dimana jumlah individu yang paling banyak ditemukan yaitu pada spesies Dermonema virens dengan jumlah 73 individu. Sedangkan yang paling sedikit ditemukan yaitu pada spesies Sargassum polycystum dengan jumlah 2 individu. Pada penelitian jenis makroalga yang dilakukan di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar, Dermonema virens merupakan spesies dengan individu terbanyak. Hal ini disebabkan karena spesies tersebut umumnya tumbuh dan melekat pada substrat berbatu dan sejenisnya, sementara substrat yang mendominasi di pantai Punaga sendiri yaitu substrat berbatu. Dasar perairan yang keras, kokoh dan kuat yang tidak dapat dipindahkan oleh gelombang atau pengaruh lain, seperti batu-batuan dan batu karang merupakan substrat yang baik bagi kehidupan alga yang merupakan bagian terbesar dari vegetasi laut. Sedangkan spesies yang paling banyak ditemukan

52 37 pada substrat berpasir yaitu Sargassum swartzii. Pada substrat berpasir sendiri tidak begitu banyak ditemukan karena mayoritas makroalga tumbuh pada substrat berbatu dan sejenisnya. Dasar perairan yang lemah dan gembur kurang baik bagi kehidupan alga, tetapi banyak dihuni oleh alga berukuran kecil. Pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) ditemukan 10 jenis spesies makroalga, dimana terdapat 3 kelas yaitu Rhodophyceae, Phaeophyceae dan Chlorophyceae. Pada kelas Rhodophyceae terdapat 6 jenis spesies diantaranya Tricleocarpa fragilis, Botryocladia leptopoda, Halymenia durvillei, Chondracanthus acicularis, Eucheuma spinosum dan Dermonema virens. Pada kelas Phaeophyceae terdapat 2 jenis spesies yaitu Padina boergesenii dan Sargassum cinereum. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 2 jenis spesies, yaitu Codium geppiorum dan Codium dwarkense. Pada stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) ditemukan 5 jenis spesies makroalga. Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat 3 kelas yaitu Rhodophyceae, Phaeophyceae dan Chlorophyceae. Pada kelas Rhodophyceae terdapat 3 jenis spesies diantaranya Acanthophora spicifera, Botryocladia leptopoda dan Halymenia durvillei. Pada kelas Phaeophyceae terdapat 1 jenis spesies yaitu Sargassum swartzii. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 1 jenis spesies pula yaitu Codium geppiorum. Pada stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) ditemukan 12 jenis spesies makroalga. Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat 3 kelas yaitu Rhodophyceae, Phaeophyceae dan Chlorophyceae. Pada kelas Rhodophyceae

53 38 terdapat 7 jenis spesies diantaranya Tricleocarpa fragilis, Acanthophora spicifera, Halymenia durvillei, Halymenia floresia, Chondracanthus acicularis, Eucheuma spinosum dan Dermonema virens. Pada kelas Phaeophyceae terdapat 3 jenis spesies yaitu Padina boergesenii, Sargassum cinereum dan Sargassum polycystum. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 2 jenis spesies, yaitu Codium dwarkense dan Halimeda macroloba. Pada stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) ditemukan 5 jenis spesies makroalga. Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat 3 kelas yaitu Rhodophyceae, Phaeophyceae dan Chlorophyceae. Pada kelas Rhodophyceae terdapat 3 jenis spesies diantaranya Acanthophora spicifera, Halymenia durvillei dan Halymenia floresia. Pada kelas Phaeophyceae terdapat 1 jenis spesies yaitu Sargassum swartzii. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 1 jenis spesies pula yaitu Codium dwarkense. a. Alga merah (Rhodophyceae) 1) Tricleocarpa fragilis (Linnaeus) Huisman & Townsend Memiliki thallus yang dapat mencapai 7 cm berbentuk silindris, dengan permukaan yang licin dan berwarna merah muda pucat ke abu-abuan. Berkapur ringan dengan panjang permukaan annulate 6 11 mm, berdiameter mm dan semakin pendek sampai ujungnya. Segmen sedikit membulat di kedua ujungnya. Korteks dengan 3 atau 4 lapisan sel; sel-sel terdesin meningkat dan tidak berwarna, dengan gradasi ke sel-sel kortikal luar berpigmen yang lebih kecil. Jenis ini sering ditemukan pada substrat berbatu seperti pada karang, coral yang telah mati dan rumah

54 39 kerang di area yang dangkal. Jenis ini hidup pada kedalaman hingga 50 meter. Tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanah asam (Parker, 2016). Adapun klasifikasi Tricleocarpa fragilis menurut Huisman & Townsend (1993) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Nemaliales : Galaxauraceae : Tricleocarpa : Tricleocarpa fragilis 2) Acanthophora spicifera (Vahl) Børgesen Memiliki talus berbentuk silindris dengan percabangan mengarah ke segala arah dan tegak dengan tinggi dapat mencapai 20 cm. Spesies ini berwarna merah gelap keunguan, melekat pada substrat dengan cakram yang tidak beraturan. Diameter percabangan utama 1 2 mm. Cabang-cabang tidak beraturan atau bergantian. Terdapat duri-duri pendek dengan ujung runcing di permukaan talus. Panjang batang 1.5 mm, dengan jarak percabangan 2.29 mm. Ukuran luas penampang sel mm, bagian permukaan terdiri dari 1-2 korteks dengan diameter 2.72 mm, bentuk korteks memanjang. Sel kortikal pada permukaan bentuknya memanjang dengan diameter 2.57 mm. Alga ini sering ditemukan pada substrat karang dan berpasir. Secara umum dapat digunakan sebagai bahan makanan seperti

55 40 pemanfaatannya sebagai bahan dasar pembuatan agar-agar dan sebagai sumber carregeenan untuk pasta (Oryza, dkk., 2017). Adapun klasifikasi Acanthophora spicifera menurut Boergesen (1802) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Ceramiales : Rhodomelaceae : Acanthophora : Acanthophora spicifera 3) Botryocladia leptopoda (J. Agardh) Kylin Tumbuhan ini berwarna merah jambu atau merah keunguan, tinggi dapat mencapai 60 cm dan tegak. Batang berbentuk silindris, tebal, padat dan memiliki cabang yang tidak beraturan. Permukaan talus ditutupi dengan vesikula sub-bulat berbentuk seperti buah anggur yang dipenuhi lendir dengan diameter 1-5 mm. Korteks dengan 2-3 lapisan sel kecil, membentuk lapisan kontinyu di atas sel meduler, medula yang terdiri dari rongga yang diisi dengan lendir. Terdapat holdfast sebagai alat untuk menempel pada substrat. Alga ini sering ditemukan pada substrat berbatu di daerah yang dangkal (Bhavanath, 2009).

56 41 Adapun klasifikasi Botryocladia leptopoda menurut Kylin (1931) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Rhodymeniales : Rhodymeniaceae : Botryocladia : Botryocladia leptopoda 4) Halymenia durvillei C. A. Agardh Halymenia durvillei memiliki talus berbentuk pipih dengan panjang hingga 42 cm dan bercabang, talus pada H. durvillei memiliki lebar 5.4 cm serta meruncing. H. durvillei berwarna merah muda hingga warna merah serta memiliki permukaan talus yang licin dan halus (De Smedt et al., 2001). Percabangan berselang seling tak teratur pada kedua sisi talus atau pinnate alternate. Pada talus bagian bawah biasanya melebar dan mengecil ke bagian puncak, sedangkan pinggiran talus bergerigi. Rumpun dan bentuk holdfastnya yaitu cakram. Alga ini sering ditemukan pada substrat berkarang, berbatu, berpasir dan di daerah rataan terumbu karang. Umumnya selalu terendam air laut dan terkena ombak langsung (Langoy, 2011). Sebagian dari genus Halymenia tumbuh di area dengan temperature yang rendah tetapi secara umum genus ini ditemukan di area dengan temperatur yang hangat atau daerah tropis (Kantun et al., 2012). H. durvillei memiliki banyak manfaat

57 42 bagi masyarakat salah satunya yaitu sebagai penghasil karagenan dengan mutu terbaik yang berfungsi untuk industri pangan dan non pangan (Maghfiroh, 2016). Adapun klasifikasi Halymenia durvillei menurut Bory (1828) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Halymeniales : Halymeniaceae : Halymenia : Halymenia durvillei 5) Halymenia floresia (Clemente) C. Agardh Halymenia floresia merupakan alga merah yang memiliki talus yang pipih, tipis, licin, bergelatin, warna merah tua atau merah muda. Memiliki percabangan berselang seling tak teratur pada kedua sisi talus. Panjang talus dapat mencapai 15 45cm dengan lebar talus sekitar 1.5 4cm. Pada talus bagian bawah lebar dan semakin meruncing ke bagian puncak. Ujung talus H. floresia bercabang dan rimbun. Bentuk, ramifikasi dan ukurannya sangat bervariasi; beberapa spesimen memiliki margin datar pada keseluruhan pinggirnya, beberapa lainnya bergigi, dan yang lain sangat bergerigi. Tidak ada buah yang terlihat pada alga ini. H. floresia memiliki warna merah jambu-merah terang, namun warnanya akan segera hilang dan mengalami dekomposisi saat berada dalam air tawar (Harvey, 1862).

58 43 Alga ini sering ditemukan pada substrat berkarang, berbatu, berpasir dan di daerah rataan terumbu karang. Umumnya selalu terendam air laut dan terkena ombak langsung (Langoy, 2011). Sebagian dari genus Halymenia tumbuh di area dengan temperature yang rendah tetapi secara umum genus ini ditemukan di area dengan temperatur yang hangat atau daerah tropis (Kantun et al., 2012). Sama halnya dengan Halymenia durvillei, Halymenia floresia memiliki banyak manfaat bagi masyarakat salah satunya yaitu sebagai penghasil karagenan dengan mutu terbaik yang berfungsi untuk industri pangan dan non pangan (Maghfiroh, 2016). Adapun klasifikasi Halymenia floresia menurut C. A. Agardh (1807) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Halymeniales : Halymeniaceae : Halymenia : Halymenia floresia 6) Chondracanthus acicularis (Roth) Fredericq Alga ini berwarna merah gelap, ungu-merah, atau kehitaman. Bentuk talus melengkung, tajam, silindris, ramping, tinggi sekitar 3-5 cm, tebal 0.5 mm, memiliki banyak cabang, tidak beraturan dan bercabang bergantian. Alga ini memiliki talus yang terdiri atas medula dan korteks antisiklinal sel (Bhavanath, 2009). Talus pada

59 44 alga ini memiliki permukaan yang licin dan halus. Basal holdfast pada C. acicularis memiliki bentuk cakram. Korteks pada alga ini biasanya memiliki 6-8 lapisan sel. C. acicularis umumnya ditemukan pada substrat berbatu intertidal yang lebih rendah (Hommersand, 1993). C. acicularis memiliki kandungan karagenan dengan mutu yang tinggi, dimana karagenan merupakan merupakan sejenis polisakarida yang digunakan sebagai bahan kosmetik dan kapsul gelatin dan merupakan zat aditif yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan makanan (Pereira, 2009). Adapun klasifikasi Chondracanthus acicularis menurut Fredericq (1993) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gigartinales : Gigartinaceae : Chondracanthus : Chondracanthus acicularis 7) Eucheuma spinosum (C. Agardh) Dawson Thallus berbentuk silindris, percabangan thallus berujung runcing dan ditumbuhi tonjolan, berupa duri lunak. Permukaan tubuhnya licin, berwarna coklat tua, hijau coklat, hijau kuning atau merah ungu. Variasi warna ini terkait dengan kemampuan adaptasi karomatik dari jenis rumput laut ini yang tergantung dari

60 45 intensitas cahaya matahari yang diterima. Tinggi Eucheuma spinosum dapat mencapai 30 cm dan percabangan thallus pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari, ada yang memanjang dan ada yang melengkung. Eucheuma spinosum tumbuh pada perairan yang jernih, dasar perairannya berpasir atau berlumpur dan hidupnya menempel pada berbagai jenis jenis terumbu karang (Awaliah, 2017). Adapun klasifikasi Eucheuma spinosum menurut C. Agardh (1847) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gigartinales : Solieriaceae : Eucheuma : Eucheuma spinosum 8) Dermonema virens (J. Agardh) Pedroche & Ávila Ortíz Dermonema virens merupakan salah satu jenis alga rhodophyceae yang memiliki warna coklat gelap kemerahan dengan tipe talus rimbun dan berbentuk silindris. Tinggi talus sekitar 6 10cm dengan beberapa sumbu yang timbul dari basal yang berbentuk cakram. Permukaan talus agak seperti gelatin, licin dan tidak memiliki zat kapur. Sumbu secara dikotomi dan bercabang secara bertahap dan

61 46 meruncing dari pangkal ke ujung. Talus multiaxial dengan medulla lingar dan korteks. Dermonema virens umumnya sering menempel pada substrat berbatu intertidal dan juga terdapat pada batu koral. Alga jenis Dermonema virens ini umumnya dimanfaatkan sebagai makanan (Bhavanath, 2009). Adapun klasifikasi Dermonema virens menurut Pedroche & Ávila Ortíz (1996) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Nemaliales : Liagoraceae : Dermonema : Dermonema virens b. Alga coklat (Phaeophyceae) 1) Padina boergesenii Allender & Kraft Bentuk thallus seperti kipas membentuk segmen-segmen lembaran tipis (lobus) bagian atas lobus agak melebar dengan pinggir rata dan pada bagian puncak terdapat lekukan-lekukan yang pada ujungnya terdiri dari dua lapisan sel, tingginya 5-9 cm, berwarna cokelat kekuningan atau kadang-kadang memutih karena terdapat perkapuran, terdiri dari beberapa flabellate lobes lebar blade 3,2 cm. Memiliki garis konsentrik ganda pada permukaan bawah, mempunyai jarak sama satu dengan yang lain berkisar 2-3 mm. Pengapuran terjadi di bagian permukaan daun, memiliki

62 47 holdfast rhizoid yang berbentuk cakram. Habitat alga ini yaitu substrat berpasir dan karang mati di daerah intertidal, biasanya tumbuh menempel pada batu di daerah rataan terumbu baik di tempat-tempa yang terkena hambatan ombak langsung maupun terlindung (Meicy, 2016). Adapun klasifikasi Padina boergesenii menurut Allender & Kraft (1983) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Phaeophyta : Phaeophyceae : Dictyotales : Dictyoceae : Padina : Padina boergesenii 2) Sargassum swartzii C. Agardh Alga ini berwarna coklat gelap dengan tinggi talus mencapai cm dan lempengan yang berbentuk cakram. Memiliki daun dengan panjang sekitar cm dan lebar 3-4 mm. Pinggiran daun bergelombang dengan gigi marijinal yang kasar. Sargassum swartzii memiliki vesikel-vesikel berbentuk oval atau elips dengan panjang sekitar 4 mm dan lebar 3-4 mm. Alga ini umumnya ditemukan pada substrat batuan interdital (Bhavanath, 2009). S. swartzii mempunyai nilai ekonomis sebagai sumber alginat. Chauhan dan Khrisnamurthy pada tahun 1971 (Vashistha, 1984) melaporkan bahwa S. swartzii

63 48 mengandung banyak algin yang mempunyai viskositas yang tinggi. Selain sebagai bahan makanan, rumput laut juga dapat digunakan sebagai penghasil agar-agar, alginat, carrageenan, fulceran, pupuk, dan makanan ternak (Purwanti, 2013). Adapun klasifikasi Sargassum swartzii menurut C. Agardh (1820) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Phaeophyta : Phaeophyceae : Fucales : Sargassaceae : Sargassum : Sargassum swartzii 3) Sargassum cinereum J. G. Agardh Memiliki type thallus Tetratichous dan holdfast bentuk bulat/kuat dan tempat hidup di temukan pada subtrat pasir/karang mati (epipalik) jenis sargassum ini banyak tumbuh baik pada perairan dangkal dengan area yang terdapat gelombang dan arus lemah, hal ini didukung dengan type subtrat pasir/karang mati jenis ini lebih menyukai intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi (Dewi, 2012). Kandungan yang terdapat pada Sargassum cinereum yaitu protein, vitamin C, tanin, iodine, fenol dan alginate dan mempunyai manfaat sebagai bahan pangan, obatobatan, kosmetik dan tekstil. Selain itu juga, Sargassum sp. mengandung senyawa-

64 49 senyawa aktif steroida, alkaloida, fenol, dan triter penoid berfungsi sebagai antibakteri, antivirus, dan anti jamur (Kusumaningrum et al. 2007). Adapun klasifikasi Sargassum cinereum menurut J. G. Agardh (1848) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Phaeophyta : Phaeophyceae : Fucales : Sargassaceae : Sargassum : Sargassum cinereum 4) Sargassum polycystum C. Agardh Morfologi Sargassum polycystum tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri umum Phaeophyta. Talus silindris berduri-duri kecil merapat, holdfast membentuk cakram kecil, tepi daun bergerigi dan di atasnya terdapat perakaran/stolon yang rimbun berekspansi ke segala arah. Memiliki batang pendek dengan percabangan utama tumbuh rimbun. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter, Reseptakel dan vesikel muncul dari aksil (ketiak) talus daun, panjangnya mencapai 7 meter, warna talus umumnya cokelat (Aslan 1990). Sargassum polycystum mengandung alginat, vitamin C, vitamin E (αtokoferol), mineral, karotenoid, klorofil, florotanin, polisakarida sulfat, asam lemak, dan asam amino. Sargassum polycystum juga mengandung senyawa metabolit

65 50 sekunder yaitu steroid triterpenoid (Anggadiredja, 2009). Menurut Kadi (2005), makroalga Sargassum polycystum memiliki kandungan protein, vitamin C, tanin, iodine, fenol dan alginate dan bermanfaat sebagai bahan pangan, obat-obatan kosmetik dan tekstil (Awaliah, 2017). Adapun klasifikasi Sargassum polycystum menurut C. Agardh (1824) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Phaeophyta : Phaeophyceae : Fucales : Sargassaceae : Sargassum : Sargassum polycystum c. Alga hijau (Chlorophyceae) 1) Codium geppiorum O.C. Schmidt Codium geppiorum merupakan jenis alga yang berwarna hijau gelap. Talus dapat mencapai 3-5 cm dengan tekstur seperti spons. Alga ini memiliki holdfast sebagai alat melekat pada substratnya. Jenis percabangannya yaitu sub-dikotomi terbagi dan merayap, dan cabang berbentuk silinder dan utrikulus. C. geppiorum umumnya ditemukan di laut pasang surut pada substrat berbatu (Chang, 2002). Semua spesimen C. geppiorum di wilayah Indo-Pasifik dapat dibagi menjadi dua kelompok sesuai ukuran utrikelnya. Kelompok pertama, dengan utrikel yang

66 51 lebih panjang (> 500 µm), didistribusikan di Samudra Hindia (Egerod, 1975; Vandenheede dan Coppejans, 1996), dan satu lagi, dengan utrikel yang lebih pendek (<500 µm), didistribusikan di Samudera Pasifik (Tseng, 1983). C. geppiorum berperan sebagai produsen dala ekosistem. Berbagai jenis alga yang hidup bebas di air terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun fitoplankton. Sebagian besar fitoplankton adalah anggota alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya efektif melakukan fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan (Jumin, 1992). Adapun klasifikasi Codium geppiorum menurut O.C. Schmidt (1923) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Chlorophyta : Chlorophyceae : Bryopsidales : Codiaceae : Codium : Codium geppiorum 2) Codium dwarkense Børgesen Codium dwarkense merupakan salah satu jenis alga chlorhophyceae yang memiliki warna hijau gelap. Tipe talus yaitu remiform dan teksturnya seperti spons. Jenis C. dwarkense dilekatkan pada cakram dengan banyak silinder tegak kapak. Tinggi talus dapat mencapai 16 cm atau lebih tinggi. Percabangan jenis alga ini

67 52 tumbuh seara teratur dibagi secara terpolarisasi pada jarak 2 3 cm atau sedikit lebih banyak di antara keduanya divisi. Sudut antara cabang-cabang sempit, lurus dan mengarah ke atas. C. dwarkense biasanya melekat pada substrat berbatu intertidal dan batu berkapur. Alga jenis ini juga sering ditemukan tumbuh bersama dengan tempat tumbuhnya Sargassum. Di Australia Barat ditemukan di sepanjang pantai di daerah Kimberley dan Pilbara, jenis ini juga ditemukan di pantai lepas Afrika Timur, pulaupulau di Samudera Hindia dan pantai di Asia Barat Daya. Tidak berbeda dengan C. geppiorum, pigmen klorofil yang dimilikinya efektif melakukan fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan (Jumin, 1992). Adapun klasifikasi Codium dwarkense menurut Boergesen (1937) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Chlorophyta : Chlorophyceae : Bryopsidales : Codiaceae : Codium : Codium dwarkense

68 53 3) Halimeda macroloba Decaisne Halimeda macroloba merupakan jenis alga chlorophyceae yang talusnya mengandung zat kapur, tinggi talus dapat mencapai 23 cm. Segment tebal berbentuk kipas dengan lebar mencapai 21 mm dan panjang mencapai 15 mm serta bagian pinggir bergelombang. Basal segment mencapai lebar 20 mm dan panjang mencapai 15 mm. Di antara basal segment terdapat bantalan yang merupakan tempat pertumbuhan segment. Percabangan utama dichotomous atau trichotomous kelompok dalam satu rumpun. Holdfast berbentuk ubi diameter mencapai 10mm dan panjang mencapai 20mm serta tulat atau bongkol sebagai alat pengikat partikel-partikel pasir atau lumpur (Kadi, 1988). H. macroloba umumnya tumbuh subur pada substrat berpasir dan pasir berlumpur. Pertumbuhannya di alam dapat berasosiasi bersama pertumbuhan lamun. Keberadaannya juga banyak dijumpai di paparan terumbu karang dengan kedalaman kurang 2 m, pertumbuhan tahan terhadap kekeringan yang bersifat sementara waktu (Kadi, 1988).

69 54 Adapun klasifikasi Halimeda macroloba menurut Decaisne (1841) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Chlorophyta : Chlorophyceae : Bryopsidales : Halimedaceae : Halimeda : Halimeda macroloba 2. Pola sebaran Makroalga di pantai Punaga Kabupaten Takalar Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pantai Punaga Kabupaten Takalar telah ditemukan 15 spesies makroalga, dimana terdapat 3 kelas makroalga yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga coklat (Phaeophyceae) dan alga hijau (Chlorophyceae). Pada kelas Rhodophyceae terdapat 8 spesies makroalga di antaranya Tricleocarpa fragilis, Acanthophora spicifera, Botryocladia leptopoda, Halymenia durvillei, Halymenia floresia, Chondracanthus acicularis, Eucheuma spinosum dan Dermonema virens. Pada kelas Phaeophyceae terdapat 4 spesies makroalga di antaranya Padina boergesenii, Sargassum swartzii, Sargassum cinereum dan Sargassum polycystum. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 3 jenis spesies, yaitu Codium geppiorum, Codium dwarkense dan Halimeda macroloba.

70 55 Berdasarkan analisis data pada penelitian pola sebaran jenis makroalga, telah diperoleh nilai Indeks Morisita pada seluruh spesies yang ditemukan di perairan pantai Punaga adalah 12. Bila didasarkan pada klasifikasi Indeks Morisita (dalam Yusron, 2001) yaitu Id = 1 (pola penyebaran acak/random), Id < 1 (pola penyebaran merata/uniform) dan Id > 1 (pola penyebaran berkelompok/clumped), maka pola sebaran semua jenis makroalga yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar adalah Id > 1 (mengelompok). Hal ini disebabkan keadaan pantai yang masih alami, tidak begitu tercemar oleh aktivitas warga dan pengunjung di sekitar pantai tersebut. Menurut Soegiarto dalam Suryanti (2004), tempat hidup yang baik bagi pertumbuhan makroalga adalah pecahan karang, karang mati, dan karang hidup karena memenuhi syarat substrat dasar keras untuk melekatkan dirinya, serta masih terjangkau oleh cahaya matahari, karena cahaya ini sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup makroalga dalam proses fotosintesis. Substrat dasar yang keras sebagai tempat hidup makroalga, dimanfaatkan sebagai tempat untuk melekatkan diri agar tidak hanyut oleh arus yang kuat. Namun, di lain pihak, arus yang cukup kuat diperlukan untuk mengalirkan mineral-mineral sehingga kebutuhan makroalga terpenuhi (Awaliah, 2017). Menurut Jompa dalam Oktaviani (2002) pada substrat berupa karang mati lebih banyak ditemukan makroalga dibanding substrat karang hidup karena karang hidup memiliki lendir dan sel penguat yang pada proses awalnya dihuni oleh makroalga berbentuk tabung dan disusul kemudian oleh makroalga dalam bentuk atau

71 56 ukuran yang lebih besar. Menurut Aslan (1990), Eucheuma spinosum mempunyai habitat khas berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil dan substrat pada batu karang mati. Selain itu, para nelayan maupun masyarakat di sekitar pantai Punaga yang sumber pencahariannya dari rumput laut, hanya lebih mencari makroalga jenis spesies Eucheuma spinosum dan Eucheuma denticulatum karena jenis alga ini dimanfaatkan oleh masyarakat maupun para nelayan disana untuk menjualnya ke perusahaan ataupun mengekspornya ke luar daerah. Selain itu, masyarakat disana hanya mengetahui bahwa jenis alga Eucheuma spinosum yang memiliki lebih banyak manfaat dibanding jenis makroalga lainnya, selain bisa dijadikan bahan dasar agaragar jenis alga ini pula bisa dijadikan olahan makanan. Namun, masyarakat maupun para nelayan di sekitar pantai Punaga masih belum mengetahui bahwa jenis alga coklat (Phaeophyceae) maupun alga hijau (Chlorophyceae) memiliki banyak manfaat pula. Jenis alga coklat maupun alga hijau juga bisa dijadikan bahan dasar agar-agar dan jenis alga coklat bisa dijadikan bahan untuk pembuatan antibiotik. 3. Pengamatan parameter lingkungan a. Suhu Berdasarkan hasil pengukuran suhu yang dilakukan di perairan pantai Punaga pada 4 stasiun penelitian memiliki kisaran yang sempit dan berfluktuasi tidak terlalu besar yakni dari 29 C sampai 31 C, dimana pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) yaitu 29 C, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman

72 57 warga) 31 C, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) 30 C dan stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) 31 C. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses metabolisme dan penyebaran organisme. Kebanyakan organisme laut seperti makroalga mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang biak dalam kisaran suhu yang sempit dari kisaran total antara 0 40 C (Nybakken, 1992). Cepatnya pertumbuhan makroalga diduga karena kondisi lingkungan suhu yang tinggi, sehingga dapat mempercepat aktivitas fotosintesis makroalga. Namun, suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimiawi dalam talus makroalga. Sedangkan, secara fisiologis, suhu rendah dapat mengakibatkan aktifitas biokimia dalam talus berhenti. Menurut Luning (1990), suhu optimal untuk pertumbuhan makroalga di daerah tropis berkisar antara 15 C 30 C. Hutagalung (1988) menyatakan batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, alga coklat dan alga merah adalah 34.5 C, sedangkan untuk alga biru 85 C (Ayhuan, 2017). b. Salinitas Hasil pengukuran salinitas yang dilakukan pada 4 stasiun penelitian yakni dari 35 42, dimana pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) yaitu 35, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) 40, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) 37 dan stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) 42. Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah zat padat larut suatu volume air dan dinyatakan dalam permil, di perairan samudera salinitas biasanya

73 58 berkisar antara (34 35 ). Distribusi salinitas di perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain penguapan, curah hujan, pola sirkulasi air, dan kandungan air tawar yang masuk ke perairan laut. Air tawar yang masuk ke perairan laut dapat berasal dari curah hujan atau aliran permukaan dan aliran sungai (Erina, 2006). Organisme perairan mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Perubahan dapat mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme, termasuk makroalga yang hidup di laut. Luning (1990) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan makroalga adalah (Ahyuan, 2017). Menurut Lobban dan Harrison (1994), apabila kisaran salinitas air laut telah melebihi kisaran hidup alga, maka pertumbuhan dan perkembangan sel alga berbanding linier dan terbalik (negatif) dengan kenaikan salinitas. Salinitas menurunkan laju pertumbuhan melalui pengurangan laju pembesaran sel pada bagianbagian talus. Pengaruh salinitas tinggi terhadap pertumbuhan dan perubahan struktur alga antara lain lebih kecilnya ukuran stomata, sehingga penyerapan hara dan air berkurang pada akhirnya menghambat pertumbuhan alga baik pada tingkat organ, jaringan maupun sel. Menurut Seob et al. (2010) alga akan mengalami pertumbuhan yang lambat, apabila salinitas terlalu rendah (kurang 15 ppt) atau terlalu tinggi (lebih 35 ppt) dari kisaran salinitas yang sesuai dengan syarat hidupnya hingga jangka waktu tertentu. Menurut Seob et al. (2010) perbedaan salinitas mempengaruhi mekanisme fisiologi dan biokimia, sebab proses perubahan tekanan osmosis berkaitan erat dengan peran membran sel dalam proses transpor nutrient (Awaliah, 2017).

74 59 c. Derajat keasaman (ph) Hasil pengukuran ph yang dilakukan pada 4 stasiun penelitian yakni dari , dimana pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) yaitu 7.39, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) 7.4, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) 7.63 dan stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) Derajat keasaman (ph) merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Nilai ph sangat penting sebagai parameter kualitas air karena berperan mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Nilai ph merupakan suatu ekspresi dari konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam kolom air. Variasi ph umumnya bisa disebabkan oleh proses-proses kimia dan biologis yang dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat asam maupun alkalis. Variasi ph juga bisa disebabkan masukkan limbah yang bersifat asam atau alkalis dari daratan (Sanusi 2009). Lunning (1990) menyatakan pertumbuhan makroalga yang baik tumbuh pada kisaran ph Sementara Aslan (1998) mengemukakan nilai optimal untuk persyaratan lokasi budidaya rumput laut kisaran ph Perubahan nilai ph dapat mempengaruhi keseimbangan kandungan karbon dioksida (CO 2 ) yang secara umum dapat membahayakan kehidupan biota air laut dari tingkat produktivitas primer perairan (Ahyuan, 2017). Derajat keasaman (ph) berkisaran menandakan keadaan netral sedikit basah (Setyawan, 2015). Chapman (1962) dalam Supit (1989) menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran ph sehingga ph bukanlah masalah bagi pertumbuhannya. Selanjutnya Kylin (1927)

75 60 dalam Supit (1989) menemukan daya tahan alga laut yang tersebar yaitu pada ph Namun menurut Rao dan Mehta (1973) dalam Supit (1989), ada alga laut yang memerlukan kondisi ph perairan yang khas baginya (Awaliah, 2017). d. Oksigen terlarut (DO) Hasil pengukuran ph yang dilakukan di perairan pantai Punaga pada stasiun I sampai stasiun IV diperoleh kisaran nilai DO yakni pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) berkisar 6.32 mg/l, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) 6.35 mg/l, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) 6.40 mg/l dan stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) 6.43 mg/l. Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Semua tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada dalam air. Oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan lama serta intensitas cahaya sampai ke badan air tersebut. Oksigen terlarut (DO) dalam air laut dapat berasal dari hasil difusi dari udara (proses aerasi) dan hasil proses fotosintesis di siang hari (Hutagalung & Rozak, 1997). Atmadja (1996) menyatakan bahwa kisaran DO yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan makroalga yaitu >6 mg/l. Kadar pengukuran oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, salinitas, respirasi dan fotosintesis (Boyd, 1988). Dikatakan oleh Zottoli (1972) dalam jurnal Papilia (2013) bahwa konsentrasi DO air laut bervariasi, di laut lepas bisa mencapai 9.9 mg/l, sedangkan di wilayah pesisir konsentrasi DO akan semakin berkurang tergantung kepada kondisi

76 61 lingkungan sekitar. Konsentrasi DO di permukaan air laut dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan gas akan semakin rendah. Selanjutnya Brown (1978) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1 C dapat meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Armita, 2011). e. Intensitas cahaya Hasil pengamatan tingkat kecerahan yang dilakukan di perairan pantai Punaga dengan menggunakan secchi disc yaitu pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) berkisar 125 cm, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) 123 cm, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) 131 cm dan stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) 135 cm. Kecerahan air suatu perairan merupakan faktor yang penting untuk kehidupan biota dalam perairan air laut. Tingkat kecerahan air yang rendah dapat menurunkan nilai produktivitas peraian (Nybakken, 1992). Kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukkan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Wardoyo, 1981). Menurut Sulistijo dan Atmadja dalam Schaduw et al., (2013), kecerahan air untuk aktivitas fotosintesis dari makroalga berkisar antara meter atau dapat lebih. f. Kecepatan arus Menurut Hutabarat dan Evans (1986), arus adalah pergerakan massa air secara vertikal dan horizontal sehingga menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang

77 62 sangat tinggi luas yang terjadi di seluruh lautan dunia. Di samping itu juga, arus adalah suatu gerakan air yang menyebabkan air permukaan berpindah secara horizontal (Nurkiama, 2015). Arus dan gelombang merupakan faktor pendukung pertumbuhan makroalga, karena gelombang memiliki pengaruh yang besar terhadap aerasi, transport nutrien dan pengadukan air (Ayhuan, 2017). Hasil kecepatan arus di permukaan yang telah diukur berkisar (0, m/dtk). Nilai tersebut menandakan bahwa kecepatan arus di perairan pantai Punaga relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan angin sangat mempengaruhi kecepatan arus pantai Punaga, selain itu kecepatan arus di perairan pantai Punaga juga dipengaruhi oleh pasang surut. Perairan yang agak tenang justru tidak baik bagi habitat makroalga, karena akan menyebabkan terjadinya akumulasi silt (endapan lumpur) dan epifit yang melekat sehingga menghambat pertumbuhan makroalga. Soegiarto et al. (2011) mengatakan semakin kuatnya arus maka pertumbuhan makroalga akan semakin cepat karena difusi nutrien kedalam sel tanaman makroalga semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat, kisaran kecepatan arus yang baik dalam daerah areal budidaya rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 0.2 m/d-0.35 m/d (Ahyuan, 2017).

78 63 g. Kekeruhan air Hasil pengukuran kekeruhan di perairan pantai Punaga yang dilakukan pada 4 stasiun penelitian yakni dari NTU, dimana pada stasiun I (substrat berbatu sekitar pemukiman warga) yaitu NTU, stasiun II (substrat berpasir sekitar pemukiman warga) NTU, stasiun III (substrat berbatu sekitar wisata pantai) 2.66 NTU dan stasiun IV (substrat berpasir sekitar wisata pantai) 2.62 NTU. Kekeruhan merupakan fakor pembatas bagi proses fotosintesis dan produksi primer karena mempengaruhi penetrasi cahaya dimana kekeruhan perairan merupakan gambaran sifat optik dari suatu media air yang ditentukkan berdasarkan banyaknya sinar cahaya yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam kolom perairan (Boyd, 1988). Menurut Sutika (1989) dalam Armita (2011), mengatakan bahwa kekeruhan dapat mempengaruhi terjadinya gangguan respirasi, dapat menurunkan kadar oksigen dalam air dan terjadinya gangguan terhadap habitat. Menurut Walhi (2006) dalam Armita (2011), menyatakan bahwa kekeruhan standar untuk lingkungan makroalga sebesar 20 mg/l. Dari hasil pengamatan kekeruhan pada stasiun I dan II memperoleh kisaran NTU, hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan pada stasiun I dan II kurang optimal bagi pertumbuhan makroalga. Sedangkan pada stasiun III dan IV memperoleh kisaran NTU hal tesebut menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan pada stasiun III dan IV optimal bagi pertumbuhan makroalga.

79 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu: 1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pantai Punaga Kabupaten Takalar telah ditemukan 15 spesies makroalga, dimana terdapat 3 kelas makroalga yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga coklat (Phaeophyceae) dan alga hijau (Chlorophyceae). Pada kelas Rhodophyceae terdapat 8 spesies makroalga di antaranya Tricleocarpa fragilis, Acanthophora spicifera, Botryocladia leptopoda, Halymenia durvillei, Halymenia floresia, Chondracanthus acicularis, Eucheuma spinosum dan Dermonema virens. Pada kelas Phaeophyceae terdapat 4 spesies makroalga di antaranya Padina boergesenii, Sargassum swartzii, Sargassum cinereum dan Sargassum polycystum. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 3 jenis spesies, yaitu Codium geppiorum, Codium dwarkense dan Halimeda macroloba. 2. Nilai Indeks Morisita pada seluruh spesies yang ditemukan di perairan pantai Punaga adalah 12, maka pola sebaran semua jenis makroalga yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan di perairan pantai Punaga Kabupaten Takalar adalah Id > 1 (mengelompok).

80 65 B. Saran Adapun saran dari hasil penelitian ini yaitu: Sebaiknya masyarakat maupun petugas yang berada di Pantai Punaga tetap menjaga kelestarian makroalga karena memiliki banyak manfaat yang dapat menguntungkan bagi masyarakat. Selain itu, masyarakat maupun pengunjung di Pantai Punaga sebaiknya menjaga kebersihan lingkungan sekitar pantai agar tetap bisa menjadi tempat wisata yang nyaman bagi pengunjung.

81 66 KEPUSTAKAAN Afrianto, E., & Liviawati, E. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Jakarta: Penerbit Bhratara, Al-Mahally, Imam Jalaluddin, & Imam Jalaluddin As-suyutti. Tafsir Jalalain: Berikut Asbab An-nujulnya, Jilid I. Bandung: Sinar Baru, Al-Imam Abul Fida Isma il Ibnu Katsir ad-dimasyqi. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sinar Baru, Anggadiredja, T., Zatnika, A., Heri, P., & Istini, S. Rumput Laut. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya, Armita, D. Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput Laut dengan Daerah tidak ada Budidaya Rumput Laut, di Dusun Melelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangara Bambang, Kabupaten Takalar. Makassar: Universitas Hasanuddin, Aslan, L. Budidaya Alga Laut. Yogyakarta: Penerbit Kanisus, Atmadja, W., Kadi, A., Sulistijo, & Rachmaniar. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI, Awalia, R. Biodiversitas Makroalga di Pantai Puntondo Kecamatan Mangara bombang Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Skripsi. Makassar: Universitas Islam Negeri, Ayhuan, H.C., Zamani, N.P., & Soedharma, D. Analisis Struktur Komunitas Makroalga Ekonomis Penting di Perairan Intertidal Manokwari, Papua Barat (Structure Analysis of Makroalgae Community at Intertidal Coastal Area in Manokwari, West Papua). Bogor: Teknologi Perikanan dan Kelautan, Azhari, S. Bencana Air Karena Salah Urus. Indonesia: Jurnal Sosioteknologi, Bhavanath, J., Reddy C., Thekur, M., & Rao, M. Seaweeds of India. The Diversity and Distribution of Seaweed of the Gujarat Coast. Development in Applied Phycology. New York: Springer Science Business Media, Boyd, C. Water Quality in Pond for Aquaculture. Amerika Serikat: Agricultural Experiment Station, Auburn University, Chang, S., Dai, C., & Chang, J. A Taxonomic and Karyological Study of the Codium geppiorum Complex (Chlorophyta) in Southern Taiwan, including the Description of Codium nanwanense sp. nov.. Taiwan: Botanical Bulletin of Academia Sinica, 2002.

82 67 Dewi, R., Sanjayasari, D., & Wijayanto. Adaptasi Morfologi (Thallus dan Holdfast) Rumput Laut Dengan Variasi Substrat di Perairan Teluk Awur Kabupaten Jepara. Skripsi. Purwokerto: Fakultas Sains dan Teknik UNSOED Purwokerto, Effendi, H. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius, Egerod, L. Marine Algae of the Andaman Sea Coast of Thailand: Chlorophyceae. Denmark: Botanica Marina, English, S., Wilkinson, C., Baker, V. Survey Manual for Tropical Marine Resources 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science Erina, Y. Keterkaitan antara Komposisi Perifiton pada Lamun Enhalus azoroides dengan Tipe Substrat Lumpur dan Pasir di Yeluk Banten. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Frianto, D., & Novriyanti, E. Pola Penyebaran dan Potensi Kerapatan Taxus sumatrana di Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi (The Distribution Pattern and the Density Potential of Taxus sumatrana in Mount Tujuh, Kerinci District, Jambi). Riau: Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman, Harvey, W. Phycologia Australica, or a History of Australian Seaweeds. London: L. Reeve & Co., Henrietta Street, Covent Garden, Hastuti, L. Asal-usul Domestikasi Dalam Latar Belakang Ekologi. Sumatera Utara: Jurnal Ilmu Pertanian, Heddy, S. Pengantar Ekologi. Jakarta: CV. Rajawali, Hutabarat, S., & Evans, S. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia, Hutagalung, H. Pengaruh Suhu terhadap Kehidupan Organisme Laut. Jakarta: Pewarta Oseana, Hutagalung, H., & Rozak, A. Penentuan Kadar Oksigen Terlarut. Didalam: Hutagalung, H., Setiapermana, D., & Riyono H. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Hommersand, M., Guiry, M., Fredericq, S., & Leister, G. New Persperctives in the Taxonomy of the Gigartinaceae (Gigartinales, Rhodophyta). Belgia: Kluwer Academic Publishers, Jumin, Hasan Basri. Ekologi Tanaman. Jakarta: Rajawali Press, 1992.

83 68 Kantun, J., Sherwood, A., Rodriguez, R., Huisman, J., & Clerck, D. Branched Halymenia Species (Halymeniaceae, Rhodophyta) in the Indo-Pacific Region, Including Descriptions of Halymenia hawaiiana sp. nov. and H. tondoana sp. nov. Eropa: European Journal of Phycology, Kasim, M. Makro Alga. Jakarta: Penebar Swadaya, Kementerian Agama RI. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur an. Jakarta: Kementerian Agama RI, Kusumaningrum, I., Hastuti, R., & Haryanti, S. Pengaruh Perasan Sargassum crassifolium dengan Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). Diponegoro: Buletin Anatomi dan Fisiologi, Langoy, M., Saroyo. Dapas, F., Katili, D., & Hamsir, S. Deskripsi Alga Makro di Taman Wisata Alam Batuputih, Kota Bitung. Manado: Jurnal Ilmiah Sains, Lobban, C, & Harrison, P. Seaweed Ecology and Physiology. Inggris: Cambridge University Press, Luning, K. Seaweeds Their Environment, Biogeography and Ecophisiology. New York: John Wiley & Sons, Maghfiroh, Y. Pengaruh Penggunaan Isopropanol dengan Konsentrasi yang Berbeda terhadap Nilai Rendemen Keraginan yang diekstraksi dari Rumput Laut Halymenia durvillei. Skripsi. Surabaya: Perpustakaan Universitas Airlangga, Mahatama, E., & Farid, M. Daya Saing dan Saluran Pemasaran Rumput Laut: Kasus Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan (Seaweed Competitiveness and Marketing Channels: The Case of Jeneponto Regency, South Sulawesi). Jakarta Pusat: Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Mandal, F.B Invertebrates Zoology. New Delhi: PHI Learning Private Limited, Manginsella, F., Salaki, M.S., Batangas, Y.K., Rangan, J.D., Lalita, & Lintang A. Kepadatan Pola Penyebaran dan Keanekaragaman Rumput Laut di Pantai Kalasey, Sulawesi Utara. Manado: Universitas Sam Ratulangi, Marianingsih, P., Amelia, E., & Suroto, T. Inventarisasi dan Identifikasi Makroalga di Perairan Pulau Untung Jawa. Lampung: Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013.

84 69 Meicy, M. Inventarisasi Makroalga di Perairan Pesisir Pulau Menthage Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Manado: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Michael, P.E. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia, Nurhadi, & Yanti, F. Buku Ajar Taksonomi Invertebrata. Yogyakarta: Deepublish Publisher. Nurkiama, L., Muzahar, & Idris, F. Keanekaragaman dan Pola Sebaran Makroalga di Perairan Laut Pulau Pucung Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan. Riau: Universitas Maritim, Nybakken, J. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Bangen D G, Koesoebiono dan Ediman H). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Resosoedarmo, S. Pengantar Ekologi. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, Soegiarto, A., Sulistijo, & Wanda, S. Rumput Laut (Algae). Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. Jakarta: Penerbit Lembaga Oseanologi Nasional, Oktaviani, D. Distribusi Sapsial Makroalga di Perairan Kepulauan Spermonde. Makassar: Jurusan Ilmu kelautan, Universitas Hasanuddin, Oryza, D., Mahanal, S., dan Sari, M.S. Identifikasi Rhodophyta Sebagai Bahan Ajar di Perguruan Tinggi. Malang: Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia, Palallo, A. Distribusi Makroalga Pada Ekonomis Lamun dan Terumbu Karang di Pulau Bonebatang Kecamatan Ujung Tanah Kelurahan Barang Lompo. Makassar: Universitas Hasanuddin, Papalia S., & Hairati, A. Produktivitas Biomassa Makroalga di Perairan Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan. Bogor: Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, Parker, C. Tricleocarpa fragilis (Linnaeus) Huisman & Townsend. Scientific Description. Australia: Flora Base, the Western Australian Flora, Pereira, L., Critchley, A., Amado, A., & Claro, P. A Comparative Analysis of Phycocolloids Produced by Underutilized Versus Industrially Utilized Carrageenophytes (Gigartinales, Rhodophyta). Irlandia: Journal of Applied Phycology, Purwanti, Ani. Optimasi Kondisi Proses Pengambilan Asam Alginat dari Alga Coklat. Yogyakarta: Jurnal Teknologi Technoscientia, 2013.

85 70 Sanusi, H., & Putranto, S. Kimia Laut dan Pencemaran. Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Edisi Pertama. Bogor: Penerbit Departemen 38 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Schaduw, J., Ngangi, & Mudeng, J. Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. Manado: Aquatic Science & Management, Jurnal Ilmu dan Manajemen Perairan, Seob, C., Kang, E., Ju-Hyoung K., & Kwang, K. Effect of Salinity on Growth and Nutrient Uptake of Ulfa Pertusa (Chlorophyta) From and Eelgrass Bed. Korea: Departement of Oceanography, Chonnam National University, Gwangju, Setiono, D. Keberadaan Taman Nasional Baluran Terancam Acacia nilotica (Akasia Duri). Jawa Timur: Jurnal Nasional Taman Baluran, Setyawan, I.B., Prihanta, W., & Purwanti, E. Identifikasi Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Makroalga di Daerah Pasang Surut Pantai Pidakan Kabupaten Pacitan Sebagai Sumber Belajar Biologi. Malang: Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia, Shihab, M.Q. Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati, Sinyo, Y., & Nurita, S. Studi Keanekaragaman Jenis Makroalga di Perairan Pantai Pulau Dofamuel Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Smedt, D., Clerck, D., Leliaert, F., Copejans, E., & Liao, M. Morphology and Systematics of the Genus Halymenia C. Agardh (Halymeniales, Rhodophyta) in the Philipipines. Eropa: Nova Hedwigia, Suhendang, E. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Sumich, J.L. Introduction to the Biology of Marine Life. WM. C. New York: Brown Company Publisher, Supit, S. Karakteristik Pertumbuhan dan kandungan Caragenan Rumput Laut (Eucheuma cattonii) yang berwarna Abu-abu Cokelat dan Hijau yang ditanam di Goba lambungan Pasir Pulau Pari. Karya Ilmiah. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Tampubolon, A. Biodiversitas Alga Makro di Lagun Pulau Pasige, Kecamatan Tagulandang, Kapubaten Sitaro. Manado: Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, Taufik, A. Struktur Komunitas Makroalga di Perairan Pulau Lae-Lae Makassar. Skripsi. Makassar: Universitas Islam Negri Alauddin Makassar, 2016.

86 71 Tjitrosoepomo, G. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Tseng, K. Common Seaweed of China. Beijing: Science Press, Umar, R. Penuntun Praktikum Ekologi Umum, Makassar: Universitas Hasanuddin, Vandenheede, C., & Coppejans, E. The genus Codium (Chlorophyta, Codiales) from Kenya, Tanzania (Zanzibar) and the Seychelles. Eropa: Nova Hedwigia, Vashishta, B. Botany for Degree Student (algae). New Delhi: S. Chand & Company Ltd., Wardoyo, S. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Yanuhar, U. Mikroalga Laut Nannochloropsis Oculata. Malang: Universitas Brawijaya Press, Yusron, Eddy. Struktur Komunitas Teripang (Holothuroidea) di Rataan Terumbu Karang Perairan Pantai Morella Ambon. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, 2001.

87 72 RIWAYAT HIDUP Nama lengkap ST. Mardhatillah, lahir di Jeneponto, 30 Desember Memiliki nama panggilan Mardha. Beralamat lengkap di Borongtala, Kec. Arungkeke Pallantikang, Kab. Jeneponto. Beragama Islam. Merupakan anak terakhir dari empat bersaudara dari pasangan H. Mustafa A.Ma dan Hj. Sadriah Manronta. Mengawali pendidikan di jenjang SD (Sekolah Dasar) pada tahun yakni di SD Negeri 26 Arungkeke, dan Alhamdulillah lulus dalam waktu 6 tahun. Kemudian melanjutkan ke jenjang ke lebih tinggi yaitu SMP (Sekolah Menengah Pertama) pada tahun yakni di SMP Negeri 1 Arungkeke. Kemudian ke jenjang yang lebih tinggi lagi di tahun yakni di SMA Negeri 1 Batang. Kemudian secara resmi pada tahun 2014 lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikannya ke tingkat Perguruan Tinggi yakni di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Fakultas Sains dan Teknologi (SAINTEK), Jurusan Biologi dan Alhamdulillah hingga saat ini.

88 73 LAMPIRAN Lampiran I. Jenis makroalga di perairan pantai Punaga a. Alga merah (Rhodophyceae) Gambar 1. Tricleocarpa fragilis (Linnaeus) Huisman & Townsend Gambar 2. Acanthophora spicifera (Vahl) Børgesen Gambar 3. Botryocladia leptopoda (J. Agardh) Kylin

89 74 Gambar 4. Halymenia durvillei C. A. Agardh Gambar 5. Halymenia floresia (Clemente) C. Agardh Gambar 6. Chondracanthus acicularis (Roth) Fredericq

90 75 Gambar 7. Eucheuma spinosum (C. Agardh) Dawson Gambar 8. Dermonema virens (J. Agardh) Pedroche & Ávila Ortíz b. Alga coklat (Phaeophyceae) Gambar 1. Padina boergesenii Allender & Kraft

91 76 Gambar 2. Sargassum swartzii C. Agardh Gambar 3. Sargassum cinereum J. G. Agardh Gambar 4. Sargasum polycystum C. Agardh

92 77 c. Alga hijau (Chlorophyceae) Gambar 1. Codium geppiorum O.C. Schmidt Gambar 2. Codium dwarkense Børgesen Gambar 3. Halimeda macroloba Decaisne

93 78 Lampiran II. Pola sebaran makroalga di pantai Punaga Kabupaten Takalar Tabel 1 Pola sebaran makroalga di pantai Punaga Kabupaten Takalar Kelas Jenis n N Ʃx 2 Id Keterangan Tricleocarpa fragilis Mengelompok Acanthophora spicifera Mengelompok Botryocladia leptopoda Mengelompok Rhodophyceae Halymenia durvillei Mengelompok Halymenia floresia Mengelompok Chondracanthus acicularis Mengelompok Eucheuma spinosum Mengelompok Dermonema virens Mengelompok Padina boergesenii Mengelompok Phaeophyceae Sargassum swartzii Mengelompok Sargassum cinereum Mengelompok Sargassum polycystum Mengelompok Codium geppiorum Mengelompok Chlorophyceae Codium dwarkense Mengelompok Halimeda macroloba Mengelompok

94 79 Analisis data pola sebaran makroalga di pantai Punaga Kabupaten Takalar dengan menggunakan rumus Indeks Morisita: a. Tricleocarpa fragilis b. Acanthophora spicifera Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ c. Botryocladia leptopoda d. Halymenia durvillei Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ

95 80 e. Halymenia floresia f. Chondracanthus acicularis Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ

96 81 f. Eucheuma spinosum g. Dermonema virens Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ h. Padina boergesenii i. Sargassum swartzii Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ

97 82 j. Sargassum cinereum k. Sargassum polycystum Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ l. Codium geppiorum m. Sargassum dwarkense Iδ n Σx N N N Iδ Iδ Iδ Iδ Iδ

98 n. Halimeda macroloba 83

99 84 Lampiran III. Cek lokasi peneltian Gambar 1. Lokasi penelitian sekitar pemukiman warga Gambar 2. Lokasi penelitian sekitar wisata pantai

100 85 Lampiran IV: Lokasi penelitian Gambar 1. Stasiun I (Substrat berbatu sekitar pemukiman warga) Gambar 2. Stasiun II (Substrat berpasir sekitar pemukiman warga) Gambar 3. Stasiun III (Substrat berbatu sekitar wisata pantai) Gambar 4. Stasiun IV (Substrat berpasir sekitar wisata pantai)

101 86 Lampiran V. Proses pemasangan transek, plot, dan pengambilan sampel Gambar 1. Proses pemasangan transek Gambar 2. Proses pemasangan plot Gambar 3. Proses pengambilan sampel

102 87 Lampiran VI. Proses pengukuran parameter lingkungan Gambar 1. Pengukuran kecepatan arus Gambar 2. Pengukuran ph dan kekeruhan air

103 88 Lampiran VII. Alat dan bahan Gambar 1. Tali rapia Gambar 2. Meteran Gambar 3. Pisau Gambar 4. Plot Gambar 5. Secchi disc Gambar 6. Layang-layang arus

104 89 Gambar 7. Penggaris Gambar 8. Toples Gambar 9. Termometer Gambar 10. Salinometer Gambar 11. Turbidimeter Gambar 12. ph meter

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah lautan lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, termasuk keanekaragaman hayati lautnya. Salah satu organisme laut yang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. panjang pantai sekitar km dan luas laut mencapai 5,8 juta km 2. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. panjang pantai sekitar km dan luas laut mencapai 5,8 juta km 2. Wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km dan luas laut mencapai 5,8 juta km 2. Wilayah pantai ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga termasuk golongan tumbuhan berklorofil tubuh disebut talus yaitu tidak punya akar, batang dan daun. Alga dianggap sebagai bentuk tumbuhan rendah karena

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM. KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI Oleh : Saniatur Rahmah NIM. 071810401011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan metode eksplorasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap makroalga yang

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Makroalga, Chlorophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, Pulau Serangan

ABSTRAK. Kata Kunci: Makroalga, Chlorophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, Pulau Serangan ABSTRAK Pulau Serangan merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kelurahan Serangan Kecamatan Denpasar Selatan, dan berdekatan dengan kawasan wisata Sanur dan Nusa Dua. Perairan Pulau Serangan memiliki

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN MAKROALGA DI PERAIRAN LAUT PULAU PUCUNG DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN

KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN MAKROALGA DI PERAIRAN LAUT PULAU PUCUNG DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN MAKROALGA DI PERAIRAN LAUT PULAU PUCUNG DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN La Nurkiama Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, kiamah_15@yahoo.com Muzahar Jurusan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

EKOSISTEM KOLAM. Di susun oleh : Ayu Nur Indah Sari ( )

EKOSISTEM KOLAM. Di susun oleh : Ayu Nur Indah Sari ( ) EKOSISTEM KOLAM Di susun oleh : Ayu Nur Indah Sari ( 13196 ) PENGERTIAN EKOSISTEM Ekosistem merupakan tingkat organisme yang lebih tinggi daripada komunitas atau merupakan kesatuan dari komunitas dengan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SELAMA MASA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei B.) PADA TAMBAK DI KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SELAMA MASA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei B.) PADA TAMBAK DI KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SELAMA MASA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei B.) PADA TAMBAK DI KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI Oleh Dian Aliviyanti NIM 081810401017 JURUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berada dalam sebuah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah sudah seharusnya menjadikan suatu hal yang membanggakan dan patut untuk disyukuri,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA AIR DI RANU KLAKAH SKRIPSI. Oleh Condro Wisnu NIM

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA AIR DI RANU KLAKAH SKRIPSI. Oleh Condro Wisnu NIM STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA AIR DI RANU KLAKAH SKRIPSI Oleh Condro Wisnu NIM 081810401019 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA STUDI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA Oleh: BAYU ADHI PURWITO 26020115130110 DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dua pertiga dari luas negara Indonesia terdiri dari laut dan dilalui garis

I. PENDAHULUAN. Dua pertiga dari luas negara Indonesia terdiri dari laut dan dilalui garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dua pertiga dari luas negara Indonesia terdiri dari laut dan dilalui garis khatulistiwa serta kaya akan sumberdaya laut. Di samping fauna laut yang beraneka ragam dijumpai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik atau eukariotik yang dapat berfotosintesis dan dapat tumbuh dengan cepat serta dapat hidup dalam kondisi

Lebih terperinci

STUDI POPULASI ALGA LAUT MAKROBENTIK DI PANTAI PASIR PUTIH SITUBONDO

STUDI POPULASI ALGA LAUT MAKROBENTIK DI PANTAI PASIR PUTIH SITUBONDO STUDI POPULASI ALGA LAUT MAKROBENTIK DI PANTAI PASIR PUTIH SITUBONDO SKRIPSI OLEH : DONI ADI SISWANTO NIM : 00330015 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan suatu obyek sesuai

Lebih terperinci

Praktikum IV Biologi Laut

Praktikum IV Biologi Laut Praktikum IV Biologi Laut Rumput laut (seaweed), alga, ganggang dan lamun (seagrass) adalah tumbuhan yang memiliki perbedaan. Makroalga, rumput laut, dikenal sebagai tumbuhan thallus (Thallophyta), karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terkenal karena memiliki kekayaan yang melimpah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terkenal karena memiliki kekayaan yang melimpah dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terkenal karena memiliki kekayaan yang melimpah dengan pemandangan indah dihiasi oleh jenis-jenis flora dan fauna yang unik serta beranekaragam, sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROALGA DI PERAIRAN PANTAI PULAU DOFAMUEL SIDANGOLI KECAMATAN JAILOLO SELATAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROALGA DI PERAIRAN PANTAI PULAU DOFAMUEL SIDANGOLI KECAMATAN JAILOLO SELATAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROALGA DI PERAIRAN PANTAI PULAU DOFAMUEL SIDANGOLI KECAMATAN JAILOLO SELATAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 1) Yumima Sinyo 1) dan Nurita Somadayo 2) Dosen Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta.

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian akan dilakukan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Juli 2015 sampai September 2015 pada saat air surut. Tempat penelitian di zona intertidal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah Keanekaragaman Plankton pada Hutan Mangrove KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada bidang akuakultur, mikroalga umumnya telah dikenal sebagai pakan alami untuk pembenihan ikan karena dan memiliki peran sebagai produsen primer di perairan dan telah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci