ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 387, Fax.: +62-271-646655.
E-mail: biology@mipa.uns.ac.id. Online: www.biology.uns.ac.id.
ISSN:
1412-033X
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno
SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan, Purin Candra Purnama, Elisa Herawati
PENYUNTING PELAKSANA:
Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi),
Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan)
PENYUNTING AHLI:
Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor)
Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta)
Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia)
Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung)
Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta)
Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor)
Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor)
Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah
pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap
naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara
khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya
dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor
ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka
demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit dua kali
setahun, setiap bulan Januari dan Juli.
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta juga menerbitkan BioSMART, Journal of Biological Science untuk
mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup biologi murni dan
ilmu-ilmu serumpun. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan April dan Oktober.
PEDOMAN UNTUK PENULIS
Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data
para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.
Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang
bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis,
belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka.
naskah dan satu disket ukuran 3 ½”, kecuali naskah yang dikirim Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya
melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih,
pencetakan. maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk.,
Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Suranto et al., 1998; Baker
mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf and Manwell, 1991; Smith 1982a, b). Pada sitasi bertingkat digunakan
Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau
sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).
digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word.
Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti
disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut:
genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali Jurnal:
menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat
penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass
UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.
dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Buku:
Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure
Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.
IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk Bab dalam buku:
nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular
misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman,
selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier
penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI Science Publishers B.V.
pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, Abstrak:
dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F.
untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple
“per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified
dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of
Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali 97th Annual International Conference of the American Society for
apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.
dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya Prosiding:
dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae-
“persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele- rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju
tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional
efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan
halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.
menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau Skripsi, Tesis, Disertasi:
sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae
Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe
kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah Indonesia.
dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat Informasi dari Internet:
berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http://
pelari (running title) sekitar 5 kata. Nama penulis atau para penulis www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html
pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat.
Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam
jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor faksimili, alamat e-mail daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat
dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi-
korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi.
Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa
Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-),
bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O”
(Keywords) sekitar 5 kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain
ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf.
Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.
belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode
(Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau
cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman.
ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai
sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya
jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan
terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada
bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang
disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah
pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal
Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, nomor penerbitan berikutnya.
meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan.
Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju
secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum 3 halaman, dapat memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan
dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan
bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan
dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau
dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini
tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis
menyertakan file digital. Penulis dianjurkan menyertakan foto atau disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam
gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah jurnal ini.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 43-47
ABSTRACT
The physiological character, especially the effect of pH and organic substrate on the growth and activity of some ammonia-
oxidizing bacteria was carried out. The results show that eight out of twenty isolates have ability to reduce ammonium, two
of them i.e. isolate AOB1 and AOB2 could reduce more than 90% of ammonium. The growth and activity to reduce
ammonium to nitrite was attained optimum at pH 7-8. From the result also indicated that the growth and activity of both
isolate AOB1 and AOB2 were higher on the organic carbon (acetate)-containing media. This finding indicated that both of
isolate AOB1 and AOB2 were heterotrophic ammonia-oxidizing bacteria.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
BAHAN DAN METODE ml media basal. Kultur tersebut diinkubasi pada suhu
ruang diatas penggoyang (shaker). Pertumbuhan
Media
bakteri pengoksidasi amonia ditentukan dengan meng-
Media isolasi bakteri pengoksidasi amonia
ukur perubahan amonia dan pembentukan nitrit secara
(Krummel dan Harms, 1982 dalam Watson et al.,
kualitatif, menggunakan indikator penentu amonium
1989). Komposisi: NH4Cl(535 mg), NaCl (584 mg),
dan indikator penentu nitrit (Gerhardt et al., 1994).
MgSO4. 7H2O (49,3 mg), CaCl2. 2 H2O (147,0 mg),
KH2PO4 (54,4 mg), KCl (74,4 mg), FeSO4. 7H2O Pengujian pertumbuhan isolat bakteri (pada media
(973,1 μg), (NH4)6Mo7O24.4H2O (37,1 μg), MnSO4. tanpa senyawa organik dan media organik)
4H2O (44,6 μg), CuSO4.5H2O (25μg), ZnSO4. 7H2O Isolat terseleksi ditumbuhkan ke dalam erlenmeyer
(43,1 μg), H3BO3 (49,1μg), Cresol red (0,05%,1ml), yang berisi 50 ml media basal tanpa bahan organik
Akuades (1 l). Bahan-bahan tersebut dilarutkan ke (pH 7,7). Kultur tersebut diinkubasi pada temperatur
dalam akuades sampai volume 1000 ml, pH media 28°C diatas penggoyang (shaker) dengan kecepatan
7,5-8 dengan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut 115 rpm. Pertumbuhan ditentukan dengan cara
kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu mengukur kekeruhan (Optical density/OD) kultur
121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit bakteri tersebut dengan menggunakan
Media pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia spektrofotometer pada panjang gelombang 430 nm
(media basal). Komposisi: KH2PO4 (725 mg), dan mengukur penurunan konsentrasi amonia yang
Na2HPO4 (1136 mg), MgSO4. 7H2O (50 mg), CaCl2. terjadi. Pengujian dengan cara yang sama juga
2H2O (20 mg), Fe. EDTA (1 mg), Trace element (1 dilakukan dengan menggunakan media organik.
ml), Akuades (1 l). Trace element: Na2MoO4. 2H2O
(10 mg), MnCl2. 4H2O (20 mg), ZnSO4. 7H2O (10 mg), Pembuatan starter
CoCl2. 6H2O (0,2 mg), CuSO4. 5H2O (2 mg), Akuades Isolat bakteri yang akan diuji diinokulasikan ke
(100 ml). Bahan-bahan di atas dilarutkan ke dalam dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal.
akuades sampai volume 1000 ml, pH media 7,7 de- Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang
ngan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut kemu- diatas penggoyang (shaker). Starter yang digunakan
dian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC untuk pengujian selanjutnya ialah yang telah
dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebagai sum- mencapai pertumbuhan eksponensial dengan
ber nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2SO4 steril. kepadatan sel 107-108 sel/ml.
Media organik. Pembuatan media organik sama
dengan media basal ditambah dengan sodium asetat Pengaruh pH terhadap pertumbuhan dan aktivitas
(20 mM) sebagai sumber karbon. Sebagai sumber bakteri pengoksidasi amonia (pada media tanpa
nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2 SO4 steril. senyawa organik dan media oganik)
Starter sebanyak 10 % v/v ditumbuhkan ke dalam
Cara kerja erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal dalam
Kultivasi bakteri pengoksidasi amonia bufer fosfat pH 5, 6, 7, 8 dan 9. Kultur tersebut kemu-
Sumber isolat bakteri adalah lumpur (sludge) dari dian diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang
kolam aerasi pengolahan limbah industri minyak (shaker) selama 72 jam. Selama inkubasi dilakukan
kelapa sawit, PT. Tania Selatan, Palembang. Lumpur pengamatan setiap 24 jam terhadap pertumbuhan
sebanyak 1ml ditumbuhkan pada erlenmeyer (100 ml) dan kemampuannya dalam mengoksidasi amonia.
yang berisi 50 ml media basal (pH 7,7) yang Pertumbuhan ditentukan dengan menghitung jumlah
mengandung 200 mg/l (NH4)2SO4. Kultur tersebut sel bakteri menggunakan haemocytometer. Pengujian
kemudian diinkubasi pada suhu ruang diatas dengan cara yang sama juga dilakukan dengan
penggoyang (shaker). Selama inkubasi dilakukan menggunakan media organik.
pengamatan pertumbuhan mikroba nitrifikasi, yaitu
dengan cara mengukur perubahan amonia dan Parameter penelitian
pembentukan nitrit secara kualitatif, menggunakan Parameter yang diukur adalah amonium (NH4-N),
indikator penentuan amonia dan indikator penentuan nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Konsentrasi
nitrit (Gerhardt et al., 1994). Pengamatan dilakukan amonium dan nitrit ditentukan dengan menggunakan
secara berkala. Derajat keasaman (pH) di dalam metode yang tercantum dalam Standard Method
kultur dipertahankan pada kisaran 7-8. (APHA, 1992) yang telah dimodifikasi. Konsentrasi
nitrat (NO3-N) ditentukan dengan metode yang
Isolasi dan seleksi bakteri pengoksidasi amonia tercantum dalam SNI, (Anonim, 1990) yang telah
Kultur yang menunjukkan indikasi adanya dimodifikasi (Agustiyani dan Imamuddin, 2000).
pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia diambil
dan diisolasi secara tabur. Kultur tersebut kemudian Analisis data
diinkubasi pada suhu ruang selama 3-5 hari. Isolat Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
yang tumbuh kemudian dimurnikan dan dipindahkan analisis varian (ANOVA) berdasarkan uji F dengan
pada media agar miring. Isolat yang diperoleh tingkat kepercayaan 99% dan 95%. Jika ada beda
diseleksi kemampuan tumbuhnya dengan cara nyata analisis dilanjutkan dengan uji BNT dengan
menumbuhkannya dalam erlenmeyer yang berisi 50 taraf kesalahan 1% dan 5% (Steel dan Torrie, 1981).
AGUSTIYANI dkk. – Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia 45
Tabel 1. Hasil isolasi bakteri pengoksidasi amonia dan pengujian pertumbuhan secara kualitatif.
Pengujian pertumbuhan
No Isolat Karakteristik Morfologi
secara kualitatif
1. AM I1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++
2. AM I2 (AOB1) Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++
3. AMDA3 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata +
4. AMDA4.1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++
5. AMDA4.2 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++
6. AmB I1 Koloni berbentuk bulat kecil, tebal, putih, tepi rata -
7. AmB I2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata -
8. AmB II1 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata +
9. AmB II2.1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata ++
10. AmB II2.2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata -
11. AmB III Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata -
12. NC I Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++
13. NC II1 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata ++
14. NC II2 Koloni berbentuk bulat sedang, tipis, transparan, tepi rata ++
15. NC II3 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata ++
16. NL2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata ++
17. EF4 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi tidak rata ++
18. AmOB1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++
19. AmOB2 (AOB2) Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi rata +++
20. NE Koloni berbentuk bulat kecil, transparan, tepi rata +++
Keterangan: +++ = nitrit yang terbentuk banyak; ++ = nitrit yang terbentuk agak banyak; + = nitrit yang terbentuk sedikit; - =
tidak terbentuk nitrit.
HASIL DAN PEMBAHASAN rata jumlah sel bakteri isolat AOB1 dan AOB2
ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Pada Tabel 4
Isolasi dan seleksi dan 5 ditunjukkan bahwa jumlah sel bakteri
Hasil isolasi bakteri dari sludge kolam aerasi meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. Jumlah
pengolahan limbah industri minyak kelapa sawit, sel isolat bakteri AOB1 mencapai nilai optimal pada
diperoleh 20 isolat. Isolat-isolat tersebut kemudian pH 7-8, sedangkan isolat bakteri AOB2 mencapai
diseleksi kemampuan tumbuhnya dalam media basal optimal pada kisaran pH 7-9.
yang mengandung amonium. Dari hasil pengujian
diperoleh 16 isolat yang mampu tumbuh pada media Tabel 2. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi
amonium dan menunjukkan kemampuannya amonia dalam media tanpa senyawa organik.
mengoksidasi amonium menjadi nitrit yang Konsentrasi
Kekeruhan (OD) +
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah muda Isolat NH4
setelah penambahan indikator nitrit (Tabel 1.). 0 hari 3 hari 7 hari 0 hari 7 hari
Dari 16 isolat, 8 isolat menunjukkan kemampuan NE 0,046 0,080 0,050 47,35 40,72
memproduksi nitrit lebih banyak daripada isolat NC1 0,014 0,100 0,102 47,35 36,64
lainnya (Tabel 1.). Delapan isolat tersebut kemudian AMDA 4-1 0,025 0,159 0,120 47,35 9,17
diuji kemampuan tumbuhnya pada dua macam media AMDA 4-2 0,037 0,154 0,100 47,35 8,27
AMI 1 0,034 0,133 0,090 47,35 4,77
basal amonium yaitu media basal tanpa senyawa
AOB1 0,030 0,222 0,196 47,35 2,65
organik dan media basal dengan senyawa organik Am OB1 0,051 0,196 0,167 47,35 4,03
(asetat). Pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia AOB2 0,038 0,290 0,270 47,35 2,08
pada kedua media tersebut ditentukan berdasarkan
tingkat kekeruhan (Optical Density; OD) dan Tabel 3. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi
kemampuannya menurunkan konsentrasi substrat. amonia dalam media yang mengandung senyawa organik.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat AOB1 dan
Konsentrasi
AOB2 mempunyai pertumbuhan paling baik, Kekeruhan (OD)
Isolat NH4+
ditunjukkan dengan kekeruhan yang tinggi dan 0 hari 3 hari 4 hari 0 hari 4 hari
kemampuannya mereduksi amonia juga cukup tinggi NE 0, 057 0,044 0,052 44,38 39,65
(Tabel 2. dan 3.). Berdasarkan hasil pengujian NC1 0,083 0,089 0,092 44,38 41,77
tersebut, maka isolat bakteri AOB1 dan AOB2 AMDA 4-1 0,023 0,838 0,830 44,38 4,11
dipergunakan untuk pengujian selanjutnya. AMDA 4-2 0,062 0,835 0,770 44,38 3,30
AMI 1 0,033 0,873 0,675 44,38 3,79
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri AOB1 0,032 1,068 1,050 44,38 2,81
Hasil penghitungan jumlah sel bakteri pada Am OB1 0,058 0,670 0,575 44,38 3,30
perlakuan berbagai variasi pH dan uji BNT dari rata- AOB2 0,060 1,430 1,195 44,38 2,79
46 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 43-47
Jumlah sel rata-rata tertinggi dari kedua isolat adanya perbedaan aktivitas oksidasi amonium pada
bakteri dicapai pada perlakuan pH 8 dengan media kedua media yang digunakan, pada media organik
yang mengandung senyawa organik asetat (P9) yaitu aktivitas kedua isolat bakteri lebih tinggi. Namun
35,20 x 106 sel per ml untuk isolat AOB1 dan 59,20 x demikian nampak bahwa efisiensi penurunan
106 sel per ml untuk isolat AOB2. Jumlah sel bakteri amonium tidak linear dengan efisiensi pembentukan
cenderung menurun sejalan dengan menurunnya pH. nitrit. Efisiensi penurunan amonium jauh lebih tinggi
Dari data diatas, diketahui bahwa pH sangat dibandingkan dengan efisiensi pembentukan nitrit.
berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri Isolat AOB1 mempunyai efisiensi penurunan
AOB1 maupun AOB2. Pertumbuhan kedua isolat amonium berkisar antara 9,71-99,25% dan efisiensi
bakteri ini lebih baik pada media yang mengandung pembentukan nitrit berkisar antara 0,06-15,71%.
senyawa organik asetat. Sedangkan isolat AOB2 mempunyai efisiensi
penurunan konsentrasi amonia berkisar antara 14,88-
Tabel 4. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB1 pada 98,98% dan efisiensi pembentukan nitrit berkisar
berbagai variasi pH. antara 0,15-28,22%. Efisiensi penurunan amonia
tertinggi untuk isolat AOB1 sebesar 99,25% dan
Rataan jumlah AOB2 sebesar 98,98%, akan tetapi efisiensi
Kombinasi perlakuan
sel AOB1 (x 106)
pembentukan nitritnya rendah yaitu 15,71% untuk
P1 (pH 5, media tanpa organik) 4,16 b
isolat AOB1 dan 28,22% untuk isolat AOB2. Hal ini
P2 (pH 6, media tanpa organik ) 4,53 c
P3 (pH 7, media tanpa organik ) 21,97 f menunjukkan rendahnya aktivitas oksidasi amonium
P4 (pH 8, media tanpa organik ) 22,85 fg menjadi nitrit.
P5 (pH 9, media tanpa organik ) 16,03 e
P6 (pH 5, media dengan organik) 3,15 a Tabel 6. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan
P7 (pH 6,media tanpa organik) 13,52 d pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB1
P8 (pH 7,media tanpa organik) 34,67 i (inkubasi 72 jam).
P9 (pH 8,media tanpa organik) 35,20 ij
Isolat Efisiensi Efisiensi
P10 (pH 9, media tanpa organik ) 27,73 h
dan Perlakuan penurunan pembentukan
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama media amonia (%) nitrit (%)
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
P1 (pH 5) 11,68 i 0,06 a
BNT 0,05 = 0,0369. AOB1 h
P2 (pH 6) 48,56 0,25 abc
Media d
P3 (pH 7) 87,61 1,12 ef
tanpa c
P4 (pH 8) 89,82 1,30 efg
Tabel 5. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB2 pada organik ef
P5 (pH 9) 81,61 0,93 e
berbagai variasi pH.
P6 (pH 5) 9,71 Ij 0,15 ab
g
AOB1 P7 (pH 6) 59,84 1,41 abcd
Rataan jumlah b
8,49 hi
Kombinasi perlakuan Media P8 (pH 7) 95,88
sel AOB2 (x 106) organik P9 (pH 8) 99,25 a
15,71 ij
P1 (pH 5, media tanpa organik) 4,35 ab P10 (pH 9) 83,10
e
7,06 h
P2 (pH 6, media tanpa organik ) 6,48 c Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
P3 (pH 7, media tanpa organik ) 39,20 ef berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
P4 (pH 8, media tanpa organik ) 41,60 efg BNT 0,05 = 0,0369 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT
P5 (pH 9, media tanpa organik ) 37,87 e 0,05 = 0,1050 (untuk konsentrasi nitrit).
P6 (pH 5, media dengan organik) 4,32 a
P7 (pH 6,media tanpa organik) 24,29 d
P8 (pH 7,media tanpa organik) 58,40 hi Tabel 7. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan
P9 (pH 8,media tanpa organik) 59,20 hij pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB2
h
P10 (pH 9, media tanpa organik ) 54,93 (inkubasi 72 jam).
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Efisiensi Efisiensi
BNT 0,05 = 0,0345. Isolat Perlakuan penurunan pembentukan
amonia (%) nitrit (%)
P1 (pH 5) 19,28 i 0,06 a
AOB2 h
Pengaruh pH terhadap aktivitas bakteri P2 (pH 6) 52,24 0,30 c
Media
Aktivitas bakteri pengoksidasi amonium ditentukan P3 (pH 7) 89,12 cd 2,62 f
tanpa c
P4 (pH 8) 90,14 3,05 g
dengan cara mengukur penurunan amonium dan organik e
P5 (pH 9) 82,07 2,11 de
pembentukan nitrit. Hasil penghitungan efisiensi P6 (pH 5) 14,88 ij
0,15 ab
penurunan amonium dan efisiensi pembentukan nitrit AOB2 P7 (pH 6) 62,18 g
7,00 d
oleh aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 Media P8 (pH 7) 95,67 b 22,09 h
ditampilkan pada Tabel 6 dan 7. Dari Tabel 6 dan 7 organik P9 (pH 8) 98,98 a 28,22 j
diketahui bahwa aktivitas isolat bakteri AOB1 dan P10 (pH 9) 80,67 ef 22,55 hi
AOB2 dalam mengoksidasi amonia menjadi nitrit Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
sangat dipengaruhi oleh pH. Efisiensi penurunan berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
konsentrasi amonia dan pembentukan nitrit mencapai BNT 0,05 = 0,2984 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT
0,05 = 0,1155 (untuk konsentrasi nitrit).
optimal pada pH 7-8. Dari Tabel 6 dan 7 juga terlihat
AGUSTIYANI dkk. – Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia 47
menjadi hydroxylamine (Otte et al., 1999). Reaksi edition. Washington DC.: APHA.
biokimia peruraian amonium oleh bakteri nitrifikasi Doxtader, K.G., and M. Alexander. 1966. Nitrification by growing
and replacement cultures of Aspergillus. Canadian Journal of
yang bersifat heterotrofik antara lain adalah sebagai
Microbiology 12: 807-815.
berikut: NH4+ Æ NH2OH Æ NOH Æ NO2- Æ NO3- Esoy, A., H. Odegaard and G. Bentzen. 1998. The Effect of
(Killham, 1986; Haynes, 1986). Dari reaksi diatas Sulphide and Organic Matter on The Nitrification Activity In
diketahui bahwa hasil akhir dari reaksi oksidasi Biofilm Procces. Water Science Technology 37 (1): 115-122.
Gerhardt, P., R.G.E. Murray, W. A. Wood and N. R. Krieg. 1994.
amonium secara sempurna adalah nitrat (NO3-).
Methods for General Molecular Bacteriology. Washington DC.:
Dalam penelitian ini nitrat tidak terdeteksi, hanya American Society for Microbiology.
terdeteksi nitrit. Selain itu dalam penelitian ini Haynes, R.J. 1986. Mineral Nitrogen In the Plan-Soil System.
hydroxylamine juga tidak diukur, sehingga belum bisa London: Academic Press, Inc.
Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.G. Gunawan, dan Y. Setiadi. 1989.
disimpulkan pola reaksi yang lengkap dari proses
Mikrobiologi Tanah II. Bogor: PAU IPB.
oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 dan Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Cair
AOB2. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
perlu dilakukan. Killham, K. 1986. Heterotrophic nitrification. In Prosser, J.I. (ed).
Nitrification. Oxford: IRL Press.
Pada pH 8, pertumbuhan sel isolat bakteri AOB1
Obaton, M., N. Amarger, and M. Alexander. 1968. Heterotrofik
dan AOB2 sangat baik. Seperti pada umumnya nitrification by Pseudomonas aeruginosa. Archipes of
bakteri nitrifikasi, bakteri pengoksidasi amonia lebih Microbiology 63: 122-132.
menyukai lingkungan yang basa dengan tingkat pH Otte S, J. Schalk, J.G. Kuenen, and M.S. Jetten. 1999.
Hydroxylamine oxidation and subsequent nitrous oxide
optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 7,5
production by the heterotrophic ammonia oxidizer Alcaligenes
sampai 8,5 (Imas et al., 1989 dan Ambarsari, 1999). faecalis. Applied Microbiologi and Biotechnology 51: 255-261.
Sedangkan pada pH 5, pertumbuhan maupun Ratledge, C. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation.
aktivitas oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 Amsterdam: Kluwer Academic Publisher.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1981. Prinsip dan Prosedur Statis-
dan AOB2 menurun, hal ini menunjukkan terjadinya
tika. Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT. Gramedia.
penghambatan. Pada pH yang rendah, membran sel Sylvia, D. M., J. J. Furbrmann, P. G. Hartel and D. A. Zuberer.
menjadi jenuh oleh ion hidrogen sehingga membatasi 1990. Principles and Application of Soil Microbiology. New
transport membran. Keracunan yang terjadi pada pH Jersey: Prentice Hall, Inc.
Verstraete, W. and M. Alexander. 1972. Heterotrophic nitrification
rendah adalah karena sebagian substansi asam yang
by Arthrobacter sp. Journal of Bacteriology 110: 955-961.
tidak terurai meresap ke dalam sel, sehingga terjadi Watson, S.W. , E. Bock, H. Harms, H.P. Koops, and A.B. Kooper.
ionisasi dan pH sel berubah. Perubahan ini 1989. Nitrifiying bacteria. In: Staley, J.T., M.P. Bryant, N.
menyebabkan proses pengiriman asam-asam amino Hennig, and J.G. Holt (eds). Bergey Manual of Systematic
Bacteriology Vol. 3. Baltimore: Williams and Wilkins.
dari RNA terhambat sehingga menghambat
Zhao, H.W., D.S. Mavinic, W.K. Oldham, and F.A. Koch. 1999.
pertumbuhan dan bahkan dapat membunuh mikroba. Controlling factors for simultaneous nitrification and
denitrification in a two-stage intermittent aeration process
treating domestic sewage. Water Resources 33 (4): 961-970.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 48-51
ABSTRACT
Agricultural wastes, such as coconut meal and kernel palm meal can be used to fulfill the need of feed for ruminants or
monogastrics. Fermentation technology using Aspergillus niger has been reported allow to increase their nutritive value.
Isolation of the asporogenous strain which could spored at room temperature but could not spored at 37oC is expected to
sole the fermentation of spores in the fermentation product. The spore formation of mutants at the fourth day incubation
time (10%) was less than the wild type (100%). The variance analysis of protein content in vitro Dry Matter Digestibility
(IVDMD) and in vitro Protein Digestibility (IVPD) showed that the kind of mutants were interacted with the incubation time
(P<0,01). The highest protein content of coconut meal was obtained from E27 mutant (33.0%), kernel palm meal was
obtained from E14 mutant (31.4%) at the fourth day of incubation time. The highest IVDMD of coconut meal (62.1%), kernel
palms meal (61.8%) at the fourth day incubation time and from all E27 mutant. The highest IVPD of coconut meal was
obtained from E27 mutant (20.49%) at the fourth day incubation time, kernel palm meal was obtained from E27 mutant
(18.66%) at the fourth days incubation time.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: mutant Aspergillus niger, coconut meal, kernel palm meal, fermentation.
konversikan pati menjadi protein dengan penam- mutan yang dapat berspora pada suhu kamar namun
bahan nitrogen anorganik ini melalui fermentasi. tidak berspora pada suhu 37oC. Mutan tersebut
Kapang yang sering digunakan dalam teknologi ditumbuhkan pada cawan petri untuk dijadikan biakan
fermentasi antara lain Aspergillus niger. A. niger inokulum.
merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak
menghasilkan mikotoksin sehingga tidak Proses fermentasi substrat padat
membahayakan (Gray, 1970). Proses fermentasi Substrat berupa bungkil kelapa dan bungkil inti
menggunakan kapang, selain pembentukan miselium sawit masing-masing sebanyak 1 kg diberi larutan
selalu diikuti oleh pembentukan spora yang berguna mineral (Modifikasi Ramos et al., 1993) dan dilarutkan
untuk pembuatan inokulum pada proses fermentasi. dalam 800 ml air, campuran diaduk sampai homogen
Inokulum yang berupa spora merupakan starter yang dan dikukus selama 30 menit. Setelah dingin,
baik dalam fermentasi (Purwadaria et al., 1994). substrat diberi galur inokulum yang berbeda (E14,
Keberadaan spora dapat membuat turunnya daya E27 dan tipe liar sebagai kontrol) dan diaduk sampai
cerna produk fermentasi dibandingkan dengan sel homogen. Setelah itu diletakkan dalam baki plastik
miselium dan merupakan bahan pencemar bagi dengan ketebalan 3cm secara aerob, lalu
kesehatan manusia, sehingga untuk alasan ini mutan dinkubasikan pada suhu 37oC selama 4 hari.
yang hilang kemampuan berspora pada suhu tertentu
akan mempunyai keuntungan. Uji analisis kimia
Mutan asporogenous A. niger telah dikembangkan Analisis kimia yang diuji menurut AOAC (1984)
dengan teknik mutasi ultra violet (Glenn dan Roger, adalah kadar protein produk fermentasi dalam bentuk
1988). Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi kadar protein sejati. Kadar protein sejati merupakan
pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan kadar protein kasar dengan kadar nitogen terlarut (X
ekspresinya. Proses pembentukan mutan disebut 6,25). Selanjutnya diuji daya cerna bahan kering dan
mutagenesis. Radiasi dengan penyinaran ultra violet daya cerna protein sejati secara in vitro dan protein
sering digunakan dalam studi mutagenesis (Yusuf, tercerna. Nilai protein tercerna merupakan perkalian
1988; Iskandar dkk, 1995). daya cerna protein dengan kadar protein.
Penelitian ini bertujuan untuk membentuk mutan
asporogenous A. niger dengan menggunakan sinar Rancangan penelitian
ultra violet dan mengkaji nilai gizi produk fermentasi Rancangan penelitian yang digunakan adalah
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial
(Suntoyo, 1993) dengan 3 ulangan menggunakan 2
faktor yaitu faktor inokulum (3 isolat) dan faktor waktu
BAHAN DAN METODE inkubasi (0, 2, 3, dan 4 hari). Perlakuan yang
diberikan meliputi masing-masing substrat percobaan
Substrat dan mikroba yang difermentasikan dengan A. niger Balitnak tipe
Substrat yang digunakan adalah bungkil kelapa liar, E14 dan E27 (hasil penelitian ini), serta dipanen
dan bungkil inti sawit yang diperoleh dari toko setelah 0, 2, 3 dan 4 hari.
makanan ternak di daerah Bogor. Sedangkan
mikroba yang digunakan adalah A. niger koleksi Analisis data
Balitnak Ciawi dan mikroba mutan E14 dan E27 (hasil Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam
penelitian ini). dan BNJ (Suntoyo, 1993).
Teknik mutasi
Spora galur A. niger tipe liar pada media PDA HASIL DAN PEMBAHASAN
(Potato Dextose Agar) dilarutkan dengan larutan
fisiologis dengan pengenceran 10-6. Setiap Hasil mutasi
pengenceran dimasukkan ke dalam botol McCartney Hasil mutasi dengan sinar UV menunjukkan
steril dan ditutup dengan rapat. Tempat untuk mutasi adanya pembentukkan mutan asporogenous A. niger.
dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian disiapkan Koloni kapang yang berspora pada suhu 37oC
lampu Ultra Violet (Clemco 9015, 227 nm, 15 watt) merupakan koloni tipe liar, sedangkan koloni yang
dengan jarak 10 cm di atas cawan petri steril. Sampel tidak berspora merupakan koloni mutan (Tabel 1.).
dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut dan Koloni kapang yang tidak berspora tersebut
disinari selama 2’ (Glenn dan Roger, 1988) lalu dipisahkan dan dibiakkan pada suhu kamar dan suhu
dimasukkan ke dalam botol McCaartney. Sebanyak 37oC. Kemudian kedua mutan tersebut diuji lebih
0,2 ml sampel ditumbuhkan pada cawan petri berisi lanjut dengan menanamnya pada suhu kamar dan
media PDA lalu diinkubasikan selama 4 hari pada 37oC selama empat generasi. Setelah empat kali
suhu 37oC. Setelah mutan yang tumbuh pada suhu dipindahkan ternyata mutan tersebut tetap stabil dan
37oC diperoleh, maka dilakukan isolasi, dan mempunyai karakteristik serta sifat yang sama seperti
ditumbuhkan pada media PDA dan diinkubasikan pada generasi pertama (dilihat dari pengamatan
pada suhu kamar dan suhu 37oC. Selanjutnya dipilih pembentukan spora secara visual Tabel 2.).
50 B i o S M A R T Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 48-51
Tabel 1. Pembentukan spora isolat mutan dan tipe liar A. Tabel 3. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya
niger pada suhu inkubasi 28oC dan 37oC. cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar,
mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil kelapa.
Proses Mutasi
Waktu Analisis Waktu inkubasi (hari)
Jenis Pengenceran Suhu Suhu Galur
penyinaran (%) 0 2 3 4
galur spora kamar 37oC
(menit) Kadar Tipe liar 22,3a 29,5bc 28,4b 30,3bc
TL - - +++ ++++ protein E14 21,9a 31,3c 32,2c 32,7c
E14 2 10-6 +++ -,+ E27 20,7a 31,6c 32,2c 33,0c
-6
E27 2 10 +++ -,+ Daya Tipe liar 38,7a 44,1b 46,9c 40,0ab
Keterangan: (-) = tidak berspora; (+) = berspora sedikit; cerna E14 41,0ab 46,1bc 52,6cd 56,3d
(++) = Berspora sedang; (+++) = Berspora banyak; (++++) bahan E27 48,1bc 51,8c 58,2d 62,1e
= Berspora sangat banyak/sangat rapat. kering
Daya Tipe liar 70,2b 75,5c 71,7bc 60,5a
cerna E14 63,0a 83,3d 81,3d 78,2c
Tabel 2. Pertumbuhan A. niger TL, E14, dan E27 pada protein E27 84,6e 81,1d 75,1c 78,1c
substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. sejati
Protein Tipe liar 8.63 13.01 13.32 12.12
Hari ke tercerna E14 8.98 14.43 16.94 18.41
Substrat E27 9.96 16.37 18.74 20.49
1 2 3 4
Bungkil kelapa Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
TL - -,+ ++ ### nyata (P<0,05).
E14 - -,+ ++ ++#
E27 - + ++ ++# Tabel 3 menunjukkan protein tertinggi pada
bungkil kelapa diperoleh pada mutan E27 (33%)
Bungkil inti sawit dengan waktu inkubasi 4 hari. Sedangkan protein
TL - -,+ ++ ### tertinggi pada bungkil inti sawit diperoleh pada mutan
E14 - -,+ ++ ++# E14 (31,4%) dengan waktu inkubasi 4 hari (Tabel 4).
E27 - + ++ ++#
Pada tipe liar terjadi penurunan kadar protein pada
hari ke empat, karena pertumbuhannya berbeda pada
Keterangan: (-) = Tidak tampak pertumbuhan; (-,+) = hifa
jenis mutan maka yang terjadi disini adalah aktivitas
tumbuh menutupi substrat ± 50%; (+) = hifa tumbuh
menutupi substrat ± 70%; (++) = hifa tumbuh menutupi
kapang yang satu lebih rendah dari yang lainnya.
substrat 100%; (++#) = hifa tumbuh ± 90%, dipinggir baki Aktivitas kapang memecah protein substrat sehingga
tumbuh spora ± 10%; (###) = tumbuh spora warna hitam. laju pertumbuhannya menurun.
Metode yang digunakan untuk uji daya cerna
Fermentasi substrat padat bahan kering secara in vitro merupakan pendekatan
Dilakukan analisis pada 0 (kontrol), 2, 3 dan 4 hari, untuk mengetahui gambaran kecernaan bahan kering
namun tidak dilakukan pada waktu fermentasi satu produk (Saunders et al., 1973). Analisis sidik ragam
hari, karena masa tersebut merupakan waktu daya cerna bahan kering dan protein sejati in vitro
adaptasi mikroba sehingga aktivitasnya belum menunjukkan interaksi antara jenis inokulum dan
optimal. Menurut Fardiaz (1988), fase adaptasi waktu inkubasi (Tabel 3. dan Tabel 4.). Nilai daya
diperlukan mikroorganisme untuk menyesuaikan diri cerna bahan kering in vitro bungkil kelapa tertinggi
dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. diperoleh pada mutan E27 (62,1%) waktu inkubasi 4
Tabel 3. dan Tabel 4. menunukkan adanya hari (Tabel 3.). Sedangkan nilai daya cerna bahan
interaksi antara jenis mutan dan waktu inkubasi kering in vitro bungkil inti sawit tertinggi diperoleh
(P<0,01). Analisis ragam pengaruh jenis mutan pada mutan E27 (61,8%) waktu inkubasi 4 hari (Tabel
terhadap kadar protein sejati berbeda nyata (P<0,01). 4.). Kecuali pada tipe liar waktu inkubasi 4 hari
Dibandingkan dengan tipe liar, mutan E14 dan E27 menunjukkan nilai daya cerna bahan kering terendah
tumbuh lebih baik karena pertumbuhan spora mutan karena selama proses fermentasi kapang
tersebut lebih sedikit dari tipe liar. memproduksi enzim pengurai serat kasar. Pada tipe
Pada substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit liar terjadi penurunan daya cerna bahan kering
lamanya waktu fermentasi memperlihatkan adanya karena terbentuk spora lebih banyak daripada isolat
perbedaan nyata (P<0,01) terhadap kandungan mutan. Dinding sel spora lebih banyak mengandung
protein. Kenaikan kadar protein pada substrat serat daripada miselium sehingga lebih sukar dicerna
fermentasi padat diakubatkan oleh penambahan dan menurunnya daya cerna bahan kering.
protein yang diperoleh dari perubahan nitogen Pada tipe liar terjadi pada hari ke empat
inorganik menjadi protein sel selama pertumbuhan penurunan daya cerna bahan kering, karena seratnya
mikroba. Meningkatnya kadar protein ini ada terurai sehingga daya cerna proteinnya meningkat.
hubungannya dengan pertumbuhan kapang A. niger. Pada tipe liar terjadi penurunan daya cerna terjadi
Makin subur pertumbuhan kapang makin tinggi pula karena terdapat spora yang tumbuh lebat pada hari
kadar proteinnya, karena sebagian besar sel kapang ke empat, hal ini tersebut diduga karena spora
merupakan protein. meningkatkan kadar serat kasar bahan. Kadar serat
ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus 51
kasar yang tinggi mengakibatkan enzim pencernaan Protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa
sukar menembus dinding sel dan menyebabkan zat terdapat pada mutan E27 (20,49%) dengan waktu
gizi yang terdapat pada bahan tidak dapat dimanfaat- inkubasi 4 hari. Protein tercerna tertinggi pada bungkil
kan sebaik mungkin. Pada mutan E14 dan E27 mi- inti sawit terdapat pada mutan E27 (18,66%) dengan
seliumnya tumbuh subur namun hanya sedikit spora waktu inkubasi 4 hari.
yang tumbuh pada hari ke empat, sehingga bahan
tersebut lebih mudah dicerna dan dimanfaatkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tabel 4. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya
cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar, Karya ilmiah ini merupakan bagian dari thesis
mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil inti sawit. sarjana penulis. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Balitnak, Ciawi untuk fasilitas yang diberikan
Analisis Waktu inkubasi (hari) dalam penelitian ini, juga kepada Tuti Haryati, M.Sc.
Galur
(%) 0 2 3 4 atas segala bantuan dalam pekerjaan.
Kadar Tipe liar 19,9a 26,3bc 28,3c 27,1bc
protein E14 18,2a 29,7cd 25,6b 31,4d
E27 19,1a 26,7bc 27,5bc 30,2cd DAFTAR PUSTAKA
Daya Tipe liar 33,0a 35,2ab 42,5c 32,4a
cerna E14 37,2b 42,6c 45,5cd 48,7d AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of
bahan E27 40,8bc 47,7d 54,5c 61,8f Official Analytical Chemists. Washingtong D.C.: AOAC.
Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pasca Sarjana PAU-
kering IPB & LSI IPB,.
Daya Tipe liar 72,5b 77,1c 76,0bc 79,2cd Glenn, D.R. and R.E. Roger., 1988. A solid substrate fermentation
cerna E14 65,7a 74,6bc 81,5d 77,3cd process for animal feed product, studies on funngal strain
protein E27 69,2ab 81,6d 72,9bc 76,4bc improvement. Australian Journal of Biotechnology 2 (1): 50-54.
sejati Gray, W.D., 1970. The Use of Fungi as Food and in Food
Protein Tipe liar 6,57 9,26 12,03 8,78 Processing. Ohio: CRC Press.
tercerna E14 6,77 12,65 11,65 15,29 Iskandar, Y.M., I.Z. Udin dan A.T. Karossi. 1995. Strain
E27 7,79 12,74 14,99 18,66 Aspergillus oryzae untuk meningkatkan produksi alfa amilase.
JKTI 5 (1): 29-33.
Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda Ketaren, P.P., A.P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadaria, dan I.P.
nyata (P<0,05). Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya
sebagai pakan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan
Nilai daya cerna protein sejati tertinggi pada Veteriner 4 (2): 107-112.
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit diperoleh pada Kompiang, I.P., A.P. Sinurat, S. Kompiang, T. Purwadaria, and J.
Darma. 1994. Nutrition value of protein enriched cassava:
mutan E27, walaupun demikian untuk nilai gizi produk Cassapro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7 (2): 22-25.
fermentasi nilai daya cerna berhubungan dengan Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan.
kadar protein produk atau nilai protein tercerna. Nilai Purwadaria, T., T. Haryati, A.P. Sinurat, J. Darma, and T. Pasaribu.
protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa 1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with
Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation
diperoleh pada mutan E27 (20,49%) waktu inkubasi 4 nd
temperatures. 2 Conference on Agricultural Biotechnology
hari (Tabel 3). Sedangkan nilai protein tercerna Jakarta, 13-15 June 1995.
tertinggi pada bungkil inti sawit pada E27 (18,66%) Ramos. A.V., M. de la Torre, and C. Casas-Campillo. 1993. Solid
waktu inkubasi 4 hari atau kapang ini terbaik untuk Strate Fermentation of Cassava with Rhizopus oligosporus
NRRL 2710. In Ferranti, M.P., and A. Fiechter (eds.).
nilai gizi protein (Tabel 4). Isolat mutan menunjukkan Production and Feeding of Single Cell Protein. London: Applied
nilai gizi protein lebih baik daripada nilai tipe lainnya Science Publisher.
karena beberapa mutan hasil ultra violet menunjuk- Saunders, R.M, M.A. Corner, A.N. Booth, E.M. Bickoff, and G.O.
kan adanya peningkatan aktivitas enzim hidrolisis. Kohler. 1973. Measurement of digestibility of alfaefa protein
concentrates by in vivo and in vitro methods. Journal of
Nutrition 103: 530-535.
Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, A.R. Setioko, dan J.
KESIMPULAN DAN SARAN Darma. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan
pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 1 (3): 161-168.
Mutan pada fermentasi bungkil kelapa dan bungkil Sinurat, A.P., T. Purwadaria, A. Habibie, T. Pasaribu, H. Hamid, J.
inti sawit menunjukkan hifa tumbuh 90%, di tepi baki Rosida, T. Haryati, dan I. Sutikno. 1998. Nilai gizi bungkil
tumbuh spora 10%, sedangkan tipe liar menunjukkan kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar
hifa dan spora tumbuh subur pada substrat (100%). fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (1):
15-21.
Waktu inkubasi mempengaruhi kadar protein. Kadar Sinurat, A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid,
protein yang paling baik diperoleh pada substrat dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan
bungkil kelapa pada mutan E27 (33%) dengan waktu kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur
inkubasi 4 hari. sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229.
Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998.
Kenaikan daya cerna bahan kering terjadi pada Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan
mutan E14 dan E27 sejalan dengan bertambahnya menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan
hari fermentasi. Daya cerna bahan kering yang paling Veteriner 3 (3): 165-170.
baik diperoleh pada substrat bungkil kelapa pada Suntoyo, Y. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan
Interpretasinya. Jakarta: PT. Gramedia.
mutan E27 (62,1%) dengan waktu inkubasi 4 hari. Yusuf, M. 1994. Mutasi. Bogor: Jurusan Biologi FMIPA IPB.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman 52-60
MUZAYYINAH1,♥, EDI GUHARDJA2, MIEN A. RIFAI3, JOHANIS P. MOGEA3, PETER VAN WALZEN4
1
Program Study of Biological Education, Department of PMIPA FKIP Sebelas Maret University Surakarta 57126, Indonesia.
2
Department of Biology, Faculty of Mathematic and Sciences, Bogor Agriculture University, Bogor Indonesia
3
"Herbarium Bogoriense", Department of Botany, Research Center of Biology -LIPI, Bogor 16013, Indonesia
4
Rijksherbarium Leiden, The Netherlands.
th th
Received: 8 December 2003. Accepted: 17 May 2004.
ABSTRACT
The Malesian genus Koilodepas Hassk. has been revised based on the morphological and anatomical character using
available herbarium collection in Herbarium Bogoriense and loan specimens from Kew Herbarium and Leiden
Rijksherbarium. The present study is based on the observation of 176 specimens. Eight species has been recognized,
namely K. bantamense, K. cordifolium, K. frutescns, K. homalifolium, K. laevigatum, K. longifolium, K. pectinatum, and two
varieties within K. brevipes. The highest number of species is found in Borneo (5 species), three of them are found
endemically in Borneo, K. cordisepalum endemically in Aceh, and K. homalifolium endemically in Papua New Guinea. A
phylogenetic analysis of the genus, with Cephalomappa as outgroup, show that the species within the genus Koilodepas is
in one group, starting with K. brevipes as a primitive one and K. bantamense occupies in an advance position.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
INTRODUCTION Methods
The methods of research were morphological and
The genus Koilodepas belongs to the tribe Epipri- leaf-anatomical description. The research had been
neae of the subfamily Acalyphoideae. The charac- used a large of herbarium specimens (i.e. 176 speci-
teristics of this tribe are flowers without a disk, pollen mens) from Herbarium Bogoriense, Kew Herbarium,
grains coarsely reticulate or perfora-tectate, indumen- and Leiden Rijksherbarium. The material specimens
tum stellate, inflexed in bud (except dorsifixed in were analyzed with Henning 86 programme.
Koilodepas), monoecious, pistillate calyx often
accrescent, and seeds ecarunculate. The Epiprineae
have been divided into two sub tribes Epiprinae and RESULT AND DISCUSSION
the monotypic Cephalomappinae (containing
Cephalomappa). The characteristics of the sub tribe Morphology
Epiprineae are: staminate calyx splitting into distinct Characters like stipule shape, leaf margin, number
segments, the pollen sexine rather coarsely reticulate, of glands, hairs on the lower leaf surface, and flower
and the pistillate sepals often persistent and morphology are used for the description of the
accrescent (Webster, 1994). species and for a study of the relationships within the
genus.
in K. bantamense, K.
homalifolium, and K. frutescens.
The texture of the lamina is
chartaceous in K. laevigatum and
K. homalifolium, subcoriaceous in
K. bantamense, K. frutescens, K.
brevipes, K. pectinatum, and K.
cordisepalum, and coriaceous in
K. longifolium. The tertiary
venation is scalariform, except in
K. cordisepalum, where it is
reticulate (Figure 2.).
Figure 1. Stipule’s and margin of Koilodepas. A. elliptical and pectinate, B. entire,
C. serrate, D. entire, E. serrate.
Inflorescences
The inflorescences are axillary
racemous or branched spikes.
The staminate flowers are
arranged in glomerate heads. The
bracts are cuneate with an entire
margin and acute apex. The
lobes of the calyx are acute and
densely set with stellate long
hairs. The number of stamens
varies from 3 to 10. The filaments
are basally united into an
androphore. The filaments are
subulate in K. laevigatum and
obspathulate n the other species
(Figure 3). The anthers are
subapically dorsifixed.
The pistillate flowers are
solitary. The shape of the sepal is
somewhat different in each
species. The sepals of K.
pectinatum are free, foliolate,
cordate, chartaceous, with 6-8
lobes, persistent, the margin
serrate, but K. cordisepalum has
smaller. The sepals of K. brevipes
Figure 2. Leaf of Koilodepas Hassk. showing the margin. A. K. codisepalum are free, subulate or elliptical,
(glabrous, serrate, caudate); B. K. pectinatum (hairy, serrate, caudate); B1. The apex acute, 6-9 lobes, persistent.
density of stellate hairs on the lower surface; C. K. laevigatum (glabrous, entire, In K. longifolium are free,
caudate); D. K. brevipes var. stenosepalum (hairy, serrate, caudate); D1. The elliptical, and the apex obtuse. In
density of stellate hairs on the lower surface; E. K. brevipes var. brevipes; E1.
The density of stellate hairs on the leaf surface; F. K. homalifolium (glabrous,
K. bantamense, they are connate,
crenate, caudate). 5-lobed, apex obtuse. The calyx
of K. frutescens has 6 or 7 lobes.
The styles are connate in K.
bantamense, K. brevipes, K.
longifolium, K. frutescens, K. homalifolium, and K.
Leaves pectinatum, and free in K. cordisepalum and K.
The Leaves are simple, alternate, and elliptical. K. laevigatum (Figure 4.).
pectinatum and K. brevipes are hairy on the lower leaf The number of stigmas is generally 3, but K.
surface, but K. laevigatum, K. homalifolium, K. bantamense and K. frutescens has 6. The shape of
bantamense, K. cordisepalum, and K. frutescens are the stigma is somewhat difference species, K.
glabrous. The leaf margin of K. homalifolium is pectinatum, K. laevigatum, K. Pectinatum, K.
crenate, when young crenulate. The leaf margin of K. cordisepalum, and K. brevipes have antennate
laevigatum is entire, whereas in the other species it is stigmas; K. homalifolium and K. longifolium have
serrate or dentate. A pair of glands is usually found at multifid stigmas; K. frutescens and K. bantamense
the lower surface, near the base of the leaves, but have coralliform. The stigma surface is stellately hairy
there are 3-7 pairs of glands in K. brevipes. The apex (Figure 4.).
of the leaves is caudate, but acuminate to cuspidate
54 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60
Phylogenetic analysis of
Koilodepas
The phylogenetic analysis of
Koilodepas was performed using
21 characters and the genus
Figure 3. Variation of staminate flowers. A. Staminate inflorescences; B. K.
bantamense; C. K. pectinatum; D. K. homalifolium; E. K. longifolium; F. K.
Cephalomappa as an outgroup
brevipes var. brevipes; G. K. brevipes var. stenosepalum; H. K. frutescens; I. K. (Table 3.). The letter was selected
laevigatum; J. K. cordisepalum. because it is classified in the
Cephalomappinae as the sister
sub tribe of the Epiprineae. Tribe
Cephalomappa seems to be the
SE Asian genus which shares
most primitive characters with
Koilodepas, e.g. staminate flowers
in racemes, styles free, pistillate
calyx not accrescent or
involucrate, and the filaments
inflexed in bud (Webster, 1994).
The analysis is performed
using the Hennig 86 program with
optional and all the characters
unordered. Two cladogram
(Figure 6.) were found 29 steps,
consistency index = 0.93 and
retention index = 0.89. This tree
has short branch. K. brevipes as a
Figure 4. Variation of pistillate flowers of Koilodepas Hassk. A. K. cordisepalum; primitive one and ending with the
B. K. longifolium; C. K. bantamense; D. K. brevipes var. stenosepalum; E. K. K. bantamense.
brevipes var. brevipes; F. K. homalifolium; G. K. pectinatum; H. K. frutescens; I. The outgroup is separated
K. laevigatum. Types of sepals: free (A,D,E,G); connate (CFH); subconnate (B,I);
from Koilodepas by a plesiomorph
types of styles: free (A,I), connate (B,C,D,E,F,G,H); types of stigma: antennate
(A,E,G,I); multifid (B,F) and coralliform (C, H). character of the outgroup namely
staminate flowers is sessile (6),
surface of staminate is not stellate
but lepidote (7), stipulate absent
(9), surface of fruit is echinate
(17), surface of stigma is papillate
(20), sepal of pistillate flowers
aestivation is valvate (15), and the
inflorescences is racemose (19).
K. brevipes is separated from the
other Koilodepas by the stigma
shape (8), the type of marginal
stipules (11) and the
inflorescences (19). The varieties
Figure 5. Distribution map of Koilodepas Hassk. ○ = K. bantamense;♦ = K. is allied by number of abaxial
brevipes; ◊ = K. pectinatum; } = K. cordisepalum; ▲ = K. laevigatum; z = K. glands (3), hairs on leaves (4),
longifolium; = K. homalifolium; = K. frutescens.
Distribution
MUZAYYINAH et al – Koilodepas in Malesia 55
Figure 6. Dendrogram of Koilodepas Hassk. bre: K. brevipes var. brevipes; brs: K. brevipes var. stenosepalum; pec: K.
pectinatum; cor: K. cordisepalum; lae: K. laevigatum; lon: K. longifolium; hom: K. homalifolium; fru: K. frutescens; ban: K.
bantamense.
stigma shape (8), petiolate length (12), and sepal 128; Airy Shaw. Kew Bull. 36 (1981) 609. Type:
shape of pistillate flowers (14). K. cordisepalum is Koilodepas bantamense Hassk.
separated from the other five Koilodepas by sepal
shape of pistillate flowers (14), sepals of pistillate Description
flowers (15), leaf shape (1), and venation (13). K. Tree, monoecious. Indumentum of short and long
laevigatum is separated from the other species by stellate hairs. Stipules: elliptical, subulate or cuneate,
stigma shape (4). K. longifolium is separated from the margin entire or pectinate. Leaves: alternate, simple;
other two species by stigma shape (8), number of petioles terete or ungulate, basally and apically
stigma (10), and styles (18). The last branch, K. pulvinate; lamina elliptical, subcoriaceous to
frutescens is separated from K. bantamense by coriaceous, rarely chartaceous, at the base flat
caducous stigma (16). (elevated in K. brevipes), base round, with one pairs
of glands on lower surface (K. brevipes with 3-7 pairs
Taxonomy of glands); margin entire, crenate, dentate, or serrate,
Koilodepas Hassk., Bot. Zeit. (1856) 802; Hassk., with glands on the lower surface; apex cuspidate or
Flora 40 (1857) 531 (Coelodpas); Retzia 1 (1858) 44; caudate; upper surface smooth, glabrous; venation
Miq., Fl. Ned. Ind I. (1859) 398; Hassk. Bull. Soc. Bot. pinnate, flat to raised above, raised below,
Fr. 6 (1859) 713; Mull Arg. In DC. Prodr. 15. 2. (1866) submarginally looped, secondary and tertiary veins
759; Baill., Hist. Pl. 5 (1874) 220; Hook. F, Fl. Brit. scalariform, quartenery veins reticulate.
Ind. 5 (1890) 419; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie. 3 (1) Inflorescences: axillary, spikes to simple panicles;
(1900) 196; Bourd. For. Trees Travancore (1908) pistillate flowers 1-3 at the base and staminate
345; J.J. Sm, Meded. Depart. Landb. 12 (1910) 379; flowers at the apex of the rachis. Bracts subulate to
Koord., Exkursionsfl. Java (1912) 489; Pax & K cuneate. Staminate flowers in glomerules, 7-10; calyx
Hoofm. In Engl., Pflanzenr. Ed 4. 147. 7 (1914) 268; 3- or 4-merous, lobes rounded to acute,
A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942) 50; Pax & K Hoffm. In membranaceous, densely covered with stellate hairs;
Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2, 19C. (1931) petals absent; stamens (3) 4-7 (10), filaments basally
124; Airy Shaw, Kew Bull. 14 (1960) 283; Backer & united, or spathulate (K. laevigatum, subulate); anther
Bakhuin. Fl. Java 1 (1963) 486; Whitemore, Tree Fl. sub-apically dorsifixed, latrorse, 2 locular, opening
Malay 2 (1973) 103. Airy Shaw, Kew Bull. Add. Ser. 4 length-wise, smooth; pistillode 1, small. Pistillate
(1975) 138; Airy Shaw. Kew Bull. Add. Ser. 8 (1980) flowers: the sepal free, 5-9 lobes cordate or elliptical;
56 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60
margin entire to serrate, apex acute to obtuse, The description of three species can be seen
densely covered with stellate-tomentose; petals below, i.e. Koilodepas bantamense Hassk.,
absent; ovary superior, densely tomentose, 3-locular; Koilodepas brevipes Merr. var. brevipes, Koilodepas
ovules 1 per locule; style short to long, terete, with brevipes Merr. var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy
stellate hairs; stigmas 3 or 6, antennate , multifid or Shaw, and Koilodepas frutescens (Blume.) Airy Shaw.
coralliform, persistent (coduceous in K. frutescens),
apex bifid or bifurcate. Fruit: a rhegma, globular, 3- Koilodepas bantamense Hassk
lobed, tomentose, wall thick, glabrous inside, woody. Koilodepas bantamense Hassk., Bot. Zeit. 14
Seeds: sub globular, surface smooth, glabrous, shining. (1856) 802; Retzia 1 (1858) 45; Mull.Aarg. in DC.,
Distribution. 8 species in the Malay Peninsula, Prodr. 15 (2) (1866) 759; Engl. & Prantl, Nat.
Sumatra, Java, Borneo, and Papua New Guinea. Pflanzenfam. (1896) 51; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie.
Note: Leaf anatomy: abaxial surface of leaf hairy 3 (1900) 286; J.J.Sm., Meded. Depart. Landb. 12
or glabrous; epidermis consisting of cells with sinuous (1910) 380; Koord., Exkursionfl. Java 2 (1912) 489;
to deeply sinuous anticline and slightly wavy walls; Pax & K.Hoffm. in Engl., Pflanzenr. 4 (1914) 269;
stomata elliptical. Planten. Bot. Gard. (1926) 291; Pax & K.Hoffm. in
Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2. 19c (1931)
Key to the species 125; A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942); Airy Shaw, Kew
1.a. Stipules elliptic, margin deeply and finely pectinate Bull. 14. (1960) 384; Backer & Bakh. Brink., Fl. Java.
…………… …………..………………....... 1. K. pectinate 1 (1968) 486. Type: Hasskarl s.n. (L-holo). West
b. Stipules deltoid or triangular, margin entire to serrate Java, Banten (Figure 7-8).
…..…………………………….. 2
2.a. Stipules deltoid ….………..…. 3
b. Stipules triangular .……..…... 5
3.a. Calyx of pistillate flowers connate
………….……… 2. K. frutescens
b. Calyx of pistillate flowers sub-
connate ……………………….. 4
4.a. Filaments subulate, curveted;
sepal of pistillate flowers with an
aristate apex, stigma filamentose
……………….. 3. K. laevigatum
b. Filaments spathulate, erected;
sepal of pistillate flowers with an
acute apex, stigma multifid ……
………………… 4. K. longifolium
5.a. Sepal of pistillate flowers free,
persistent …………………… 6
b. Sepal of pistillate flowers
connate, caduceus ………..… 8
6.a. Sepal of pistillate flowers cordate,
apex of stigma antennate;
indumentum of fruits with stellate
hairs ………… 5. K. cordisepalum
b. Sepal of pistillate flowers
elliptical, apex of stigma bifid or
antennate; indumentum of fruits
tomentose …………………….. 7
7.a. Sepal of pistillate flowers with
glands; stigma antennate;
indumenta of leaf with stiff hairs
in a rosette …………………… 6.
K. brevipes var. stenosepalum
b. Sepal of pistillate flowers no
glands, stigma bifid; indumentum
of leaf with stiff single stellate
hairs …………………………… 7.
K. brevipes var. brevipes
8.a. Sepal of pistillate flowers with 9
lobes, apex acute, stigma
coralliform ….. 8. K. bantamense
b. Sepal of pistillate flowers with 6
lobes, apex obtuse, stigma
Figure 7. K. bantamense Hassk. A. twig with inflorescences; B. calyx of
multifid …………………………. 9.
staminate flower; C. staminate flower; D. pistillate flower; E. frit; F. opened fruit;
K. homalifolium G. seed with brown dots (after Forbes 1532, BO).
MUZAYYINAH et al – Koilodepas in Malesia 57
ACKNOWLEDGEMENTS
ABSTRACT
The selection of appropriate rattan for a certain use must be based on adequate information about its potency, anatomical
structure, and chemical properties. Standards methods of inventory development by Curtis method was used to obtain data
on its density and frequency. To know the anatomical structure of preparation were made according to Schultze method
and microtome preparation according to Staining Paraffin Section with Safranin. While to know the chemical component of
rattan stem the analyzed by Standard Industry Indonesia procedures. Calamus occidentalis is one among other Java rattan
species which its distribution is limited in the area of Ujung Kulon National Park, West Java. C. occidentalis may be utilized
for various purposes based on the following characteristics: species density of 21 cane/ha; and anatomical structure: fiber
length of 2204 μm, fiber-wall thickness of 4.26 μm, vascular bundle diameter of 812.5 μm, metaxylem diameter of 293.75
μm, proxylem diameter of 43.5 μm, and phloem diameter of 37.5 μm. Its chemical components are cellulose (49.95%),
lignin (22.39%), and air-dry moisture (12.27%). Based on the above information, C. occidentalis rattan species possibly
can be used as an alternative substitute of Calamus manan, an endangered rattan species, because several properties of
C. occidentalis has similar with that of C. manan.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
the biotic in this ecosystem. The main problem in this RESULT AND DISCUSSION
matter is the method how to maintain this solitary
rattan not disappears. To obtain the information on the possible utilization
of C. occidentalis stem, has to be supported by
adequate either data or information. Following are
MATERIAL AND METHOD data on:
Determining the
microscopic properties
To know the anatomical
structure of C. occidentalis
species two kinds of
preparation were made to
determine its microscopic
properties. Maserasi
preparation was made
according to Schultze
method and microtome
preparation according to
“Staining Paraffin Section
with Safranin” (Mandang
and Rulliyati, 1986). While
to know the chemical
component of rattan stem
the analyzed by Standard
Industry Indonesia (SII)
procedures (Anon., 1981). Figure 2. Calamus occidentalis. a. leaf sheath, b. petiole, c. portion of rachis with leaflets,
d. cirrus, e. first branched of inflorescence, f,g. young fruit (Dransfield 1437 & Kalima 37).
KALIMA and JASNI – Study of Calamus occidentalis 63
are also almost the same as that of C. manan. of the species, to maintain the species and stabilizing
Cellulose, a long chain, linear molecule of sugar is in controlling the rattan species. To maintain the
belonging to holocellulose. Cellulose and lignin continuity of raw material without decreasing its
content can correlate significantly with rattan strength. function and role as advantageous raw material, the
In this regard, cellulose can contribute to the tensile enhancement of sustainability are required either in-
strength of rattan due to presence of strong covalent situ or ex-situ and also the cultivation of C.
bonds in the pyranose rings and between glucose occidentalis rattan species. Those efforts are
units of the cellulose polymer chain. Consequently, involving the community even institution to decide the
the higher the cellulose content the stronger the management system becomes a positive action which
modulus of rupture of rattan. Almost similar to has to be enhanced. Not less important, research has
cellulose content, lignin can also provide significant to be enhanced continuously from species inventory
strength of the rattan. Likewise, the greater the lignin up to technology engineering on the processing
content, the stronger the bonds between fibers in method in order to make easier in enhancing its
rattan (Rachman, 1996). quality.
Based on those mentioned above, cellulose and
lignin content of C. occidentalis rattan species are a
bit higher (49.95% and 22.39%) than that of C. CONCLUSION AND RECOMMENDATION
manan rattan species, so this C. occidentalis rattan
species can be utilized. From the anatomical and C. occidentalis rattan species as one of species
chemical content point of view, C. occidentalis rattan which has a good potency to be developed as
species, can also utilized as an alternative to substitute of manau rattan species. From data of
substitute C. manan rattan. anatomical structure, and chemical contents, the stem
of C. occidentalis can be used for various possible
Problem solving alternative utilization. Fiber cell proportion, fiber length which is
From the results mentioned before, it can be relatively long, high cellulose lignin content, it make
showed that C. occidentalis rattan species can be possible and fulfill condition as an alternative material.
utilized for various requirements if supported by basic In line with the development of the C. occidentalis
properties of existing rattan species. If observed, the rattan species, the physical properties, mechanical
problems and challenges are revolving on raw properties, etc. of known rattan species has
material, and development plan of rattan species. reinvestigated as a substitute species.
From the results mentioned before can be showed
that C. occidentalis rattan species make possible to
be utilized as an alternative to substitute C. manan. REFFERENCES
In providing raw material, the required efforts to be
done are how to select the substitute rattan species, Anonymous. 1981. Standard Industri Indonesia. Cara Uji Kadar
Lignin Kayu dan Pulp. Jakarta: Departemen Perindustrian
so the quality tend to increase and relatively
Republik Indonesia. SII-0578-1981.
guaranteed. In these matters, two methods have to Bhat, K.M.N. and P.K. Thulasidas, 1993. Anatomy and
do. First, through the potency of existing substitute identification of South Indian rattan (Calamus sp.). IAWA
rattan species. Second, through its several basic Journal 14 (1): 63-76.
Jasni and N. Supriatna. 1999. The resistance of eight rattan
properties, it is that C. occidentalis rattan species is
species against the powder post beetle Dinoderus minutus
made possible to be utilized as an alternative for Farb. Proceeding of the Fourth International Conference of
substituting C. manan rattan. Third, through direction Wood Science, Wood Technology and Forestry, Missenden
th th
of the development. Abbey. 14 -16 July. Wycame-England: Forest Products
Research Centre, Buckinghamshire Chilters University College
According to first method, based on the research
Hight Wycame.
results on C. occidentalis rattan species from the Kalima, T., 1999. Kunci identifikasi 17 jenis rotan untuk kawasan
discussion before has a good prospect as the Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian
substitute. Therefore, in the effort to increase the Hutan 618: 31-64.
Kalima, T., 2001 Taksonomi dan Potensi jenis rotan Endemik
potency of this rattan species, the development of
(Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransfield) di Taman
cultivation on the plant species becomes a Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan
determinant matter. 625: 43-48.
In case of basic properties, the mentioned C. Mandang,Y.I dan S.Rulliyati. 1986. Anatomi Dolok. Diktat Kursus
Pengujian Rotan. Angkatan I. Bogor: Pusat Penelitian dan
occidentalis rattan species has supported the main
Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan.
function of as further mechanical technology Mueller-Dombois,D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
development. In relation with the development Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.
direction of C. occidentalis rattan species, become a Rachman, O. 1996. Peranan Sifat Dasar terhadap Perilaku
Elastoplastisitas Rotan. [Dissertasi]. Bogor: Program
good opportunity for researchers, related
Pascasarjana IPB.
entrepreneur or NGO (non government organization). Witono, J.R. and J. Dransfield. 1998. A new species of Calamus
This has to be done in the effort to prevent extinction (Palmae) fom Java. Kew Bulletin 53 (3): 747-751.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 66-70
SUDARMADJI
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember, Jember 68121
ABSTRACT
Research about species description of Rhizophoraceae family in mangrove forest at Baluran National Park was conducted
from June to October 2003. The method were plot and survey. There were nine species of Rhizophoraceae. The species at
mangrove were Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora apiculata, R.
lamarckii, R. mucronata, and R. stylosa. In addition, the number species of Rhizophoraceae family in the mangrove forest at
Baluran National Park were more completely than another places, because it was found more than 75 percent species of
Rhizophoraceae.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Gatel Bilik
Merak
Sirondo
Simacan
Balanan
Bekol
Gunung Baluran
INGE LARASHATI♥
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16002
ABSTRACT
Mount Kelud is an upper shed Brantas area which has high potential plant diversity. But the land in that upper shed had
experienced much erosion. Beside erosion process, human disturbances in the resort added the burdens to the existence
of the vegetation. That is why the existence and condition of the plants must be monitored and studied. Assessment of the
plants was conducted through literature studies, field surveys and using quadrate plot methods Oosting (Kent & Paddy,
1992) 0.75 ha each at different altitudes (600 m, 800 m and 1000 m) above sea level. The results showed that a total
number of 125 species belonging to 94 genera, and 49 families were recorded. All three plots were dominated by
Dendrocalamus asper and Villebrunea rubescens.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
100 mm/bulan. Pada umumnya musim kemarau di NP = Nilai Penting ; KR = Kerapatan Relatif ; FR =
tipe agroklimat C mempunyai curah hujan berkisar Frekuensi Relatif dan DR = Dominansi Relatif
75-80 mm/bulan.
Keanekaragaman jenis
Teknik pengumpulan data Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung
Sebelum berangkat ke lokasi, dilakukan dengan menggunakan rumus Shannon-Wienner
pengumpulan data terlebih dahulu berupa studi (Kent dan Paddy, 1992), sebagai berikut:
literatur. Kemudian dilakukan penjelajahan/ survei i=n
untuk mengetahui gambaran umum dan menentukan
lokasi yang akan diamati. Penelitian ini tidak H’ =-∑ pi log pi
i=1
mencakup seluruh kawasan cagar alam yang terletak
di puncak, dipilih lokasi yang dianggap mewakili, yaitu H’ = indeks keanekaragaman jenis
pada ketinggian 600 m , 800 m dan 1000 m dpl. pi = proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah individu semua jenis
metode kuadrat mengikuti cara Oosting (dalam Kent
dan Paddy, 1992). Pada masing-masing ketinggian Indeks kesamaan jenis
dibuat petak penelitian berukuran 50 m x 50 m. Dari Untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis dari
setiap petak dibuat anak petak berukuran 10 m x 10 dua contoh yang dibedakan dihitung dengan rumus
m untuk pencacahan pohon. Pada anak petak Jaccard (Kent dan Paddy, 1992) sebagai berikut:
tersebut dibuat sub-sub petak berukuran 5 m x 5 m a
untuk pencacahan anak pohon. Pencacahan SJ =
tumbuhan bawah dilakukan dalam sub anak petak a+b+c
ukuran 1 m x 1 m.
Tabel 1. Nilai relatif jenis jenis pohon pada ketinggian 600-700 m sangat penting keberadaannya bagi
dpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%) kelangsungan hidup hewan pemencar biji-
bijian.
No. Jenis LBD Fr Kr Dr NP Indeks keanekaragaman jenis (H’) pohon
1 Dendrocalamus asper 5541,91 17,90 23,75 9,13 50,78 tercatat 2,92 hasil perhitungan tersebut
2 Croton argyratus 8477,58 9,00 8,75 13,97 31,72 menggambarkan bahwa pohon-pohon pada
3 Ficus infectoria 11726,06 6,00 5,00 19,32 30,32 ketinggian ini memiliki tingkat
4 Ficus sp 10156,76 3,00 2,50 16,74 22,24 keanekaragaman tinggi dibandingkan dengan
5 Lithocarpus sundaicus 1813,12 6,00 7,50 2,98 16,48
6 Ficus variegata 708,21 1,50 1,25 11,68 14,43
keanekaragaman pohon-pohon di dua
7 Sterculia oblongata 91,98 6,00 6,25 1,50 13,75 ketinggian yang berbeda. Indeks
8 Elaeocarpus petiolatus 903,40 4,50 5,00 1,48 10,98 keanekaragaman yang tinggi tidak dapat
9 Lain-lain jenis 1486,05 46,10 60,00 3,30 109,4 dijadikan sebagai indikator untuk menentukan
10 Jumlah 60669,07 100,00 100,00 100 300 jumlah jenis yang melimpah. Karena jumlah
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm²); Fr = frekuensi (%); Kr jenis yang melimpah ditentukan oleh nilai
= kerapatan pohon(/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting, penting suatu jenis.
Pengamatan pada ketinggian 700-800 m
dpl. Kawasan ini memiliki topografi medan
mendatar sampai landai dengan sebagian
Tabel 2. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 700-800 m kanopi terbuka. Di kawasan ini banyak jenis-
dpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%) jenis dari suku Urticaceae dan Euphorbiaceae
. Laportea stimulans adalah jenis yang sangat
No. Jenis LBD Fr Kr Dr NP
1 Laportea stimulans 20586,81 15,09 30,14 31,19 76,42
melimpah baik pohon maupun anak pohon
2 Villebrunea rubescens 14886,41 9,43 16,17 22,58 48,18 seluruhnya mencapai 76 individu, dengan nilai
3 Lithocarpus sundaicus 5023,26 5,66 6,61 7,62 19,89 penting 76,42 (Tabel 2.).
4 Bischoffia javanica 5457,93 5,66 3,67 5,70 17,61 Villebrunea rubescens merupakan jenis
5 Amoora aphanamixis 3428,46 3,77 5,82 5,27 14,85 yang melimpah setelah Laportea stimulans.
6 Croton argyratus 1724,34 5,66 5,14 2,62 13,42 Melimpahnya kedua jenis ini diduga karena
7 Evodia latifolia 2080,52 3,77 4,41 3,16 11,34 kerusakan hutan oleh aktivitas manusia.
8 Glochidion arborescens 3217,00 3,77 1,47 4,88 10,12 Karena apabila kerusakan diakibatkan letusan
9 Lain-lain jenis 9547,05 47,19 26,5 14,39 88,14
gunung berapi atau kebakaran, maka yang
10 Jumlah 65951,78 100 100 100 300
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm²); Fr = frekuensi (%); Kr
akan berkembang dengan baik adalah jenis-
= kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi dan NP = nilai penting, jenis Casuarina sp atau Albizia sp (van
Steenis, 1972). Laportea stimulans dan
Villebrunea rubescens dikelompokkan
sebagai jenis-jenis sekunder (van Steenis,
Tabel 3. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 800-1000 m 1972 dan Riswan, 1982). Selain itu jenis-jenis
dpl di kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%), yang banyak ditemukan adalah Lithocarpus
sundaicus, Bischoffia javanica, Amoora
No. Jenis LBD Fr Kr Dr NP aphanamixis, Croton argyratus, Evodia
1 Villebrune rubescens 27467,56 18 24,293 31,13 73,42 latifolia dan Glochidion arborescens. Indeks
2 Ostodes paniculata 27113,71 12 22,598 30,72 65,32 keanekaragaman jenis (H’) pohon tercatat
3 Mallotus paniculata 8123,18 10 19,209 9,20 38,41 2,61 sedikit lebih rendah dibandingkan
4 Laportea stimulans 5084,86 6 12,429 5,77 24,19
5 Lain-lain jenis 78046,61 54 21,53 23,18 98,66
dengan pada ketinggian 600-700 m dpl,
Jumlah 88237,94 100 100 100 300 namun untuk anak pohon tercatat paling tinggi
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm²); Fr = frekuensi (%); Kr dibandingkan dengan pada dua ketinggian
= kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting. yang berbeda yaitu 2,36. Diduga hal ini terjadi
karena pada ketinggian ini memiliki topografi
medan yang agak mendatar hingga landai
dan kanopi terbuka.
Jumlah pohon yang berhasil dikoleksi
dikawasan ini tercatat 31 jenis. Luas bidang
Jenis pohon utama lain diantaranya adalah Ficus dasar (LBD) pohon tergolong paling rendah hanya
infectoria, Lithocarpus sundaicus, Sterculia oblongata mencapai 6,6 per ha. Hal tersebut mencerminkan
dan Elaeocarpus petiolatus. Ficus infectoria dan bahwa pohon kecil (berdiameter < 30 cm) cukup
Artocarpus elasticus merupakan jenis pohon yang tinggi keadaan tersebut diduga karena banyaknya
memiliki diameter mencapai 111-120 cm dengan intensitas cahaya yang masuk mengakibatkan
tinggi tajuk 40-49 m. Perbedaan dua jenis pohon ini permudaan lebih banyak. Kartawinata (1989)
sangat mencolok ditinjau dari tinggi pohon dan menyatakan bahwa topografi medan, sifat-sifat fisik
ukuran batangnya dibandingkan dengan pohon dan kimia tanah sangat berpengaruh terhadap kondisi
lainnya di kawasan ini. Jenis-jenis Ficus di hutan ini tersebut.
74 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76
Tabel 4. Daftar jenis dan suku tumbuhan di kawasan hutan 66 Glochidion rubrum Bl. Euphorbiaceae
gunung Kelud. 67 Grewia acuminata Juss. Tiliaceae
68 Guioa diplopetala (Hassk.) Radlk. Sapindaceea
No. Nama jenis Nama suku 69 Harpulia arborea (Blanco.) Radlk. Sapindaceae
70 Isoglossa sp Acanthaceae
1 Abelmoschus moschatus Medik. Malvaceae
71 Jaegeria sp Sapindaceae
2 Acronychia trifoliata Zoll. Rutaceae
72 Lansium domesticum Corr. Anacardiaceae
3 Actinodaphne glomerata Nees. Lauraceae
73 Laportea stimulans (L.f.) Gaud. ex Miq. Urticaceae
4 Actinodaphne procera Nees. Lauraceae
74 Leea indica (Burm.f) Merr. Vitaceae
5 Alternanthera sessilis (L.) D C. Amaranthaceae
75 Leucosyke alba Z & M Urticaceae
6 Amoora aphanamixis Roem. & Schult. Meliaceae
76 Lithocarpus pseudomoluccus (Bl.) Rehd. Fagaceea
7 Anthropyum sp Vitariaceae
77 Lithocarpus sundaicus (Bl.) Rehd. Fagaceea
8 Antidesma montanum Bl. Euphorbiaceae
78 Litsea robusta Bl. Lauraceae
9 Antidesma tetandrum Bl. Euphorbiaceae
79 Litsea tomentosa Bl. Lauraceae
10 Arcypteris sp Tectaria group
80 Macaranga rhizinoides (Bl.) M.A Euphorbiaceae
11 Ardisia crispa (Thunb.) D C. Myrsinaceae
81 Macaranga tanarius (L.) M.A Euphorbiaceae
12 Ardisia lanceolata Roxb. Myrsinaceae
82 Maesopsis emanii Engl. Rhamnaceae
13 Artocarpus elasticus Reinw. ex Bl. Moraceae
83 Malaisia scandens (Lour.) Planch. Moraceae
14 Artocarpus heterophyllus Lmk. Moraceae
84 Mallotus moluccanus Auct.non.(L) M.A Euphorbiaceae
15 Baccaurea racemosa (Reinw.) ex Bl. M.A. Euphorbiaceae
85 Mallotus paniculata (Lmk) M.A Euphorbiaceae
16 Bischoffia javanica Bl. Euphorbiaceae
86 Michelia montana Bl. Magnoliaceae
17 Blumea balsamifera (L.) D C. Compositae
87 Mycetia cauliflora Reinw. Rubiaceae
18 Borreria latifolia (Aubl.) K.Sch. Rubiaceae
88 Mycetia javanica (Bl) Reinw.ex Korth. Rubiaceae
19 Bridelia glauca Bl. Euphorbiaceae
89 Nauclea orientalis Auct.non. (L.) L. Apocynaceea
20 Butea monosperma (Lmk.) Taub. Papilionaceae
90 Neonauclea excelsa (Bl.) Merr. Rubiaceae
21 Caesalpinia crista Auct.non.L. Caesalpiniaceae
91 Ochrosia acuminata Valet. Apocynaceae
22 Calamus ciliaris Bl. Arecaceae
92 Oplismenus compositus (L.) Beauv. Poaceea
23 Callicarpa longifolia Auct. non. Lamk. Verbenaceae
93 Ostodes paniculatus Bl. Euphorbiaceae
24 Cassia occidentalis Linn. Leguminosae
94 Paspalum conjugatum Berg. Poaceae
25 Cassia siamea Lamk. Leguminosae
95 Pavetta indica L. Rubiaceae
26 Cayratia genisculata (Bl.) Gagn. Vitaceae
96 Piper betle L. Piperaceea
27 Cayratia trifolia (L.) Domin. Vitaceae
97 Planchonella nitida Dubard. Sapotaceae
28 Celtis cinamomea Lind.ex Planch. Ulmaceae
98 Poikilospermum suaveolens (Bl.) Merr. Moraceea
29 Chloranthus officinalis Bl. Chloranthaceae
99 Pollia secundiflora (Bl.) Bakh.f. Commelinaceae
30 Corypha elata Roxb. Palmae
100 Pometia pinnata J.R & G. Forst. Sapindaceae
31 Costus specious (Koen.) Zingiberaceae
101 Pouzolzia sanguinea (Bl) Merr. Moraceea
32 Croton argyratus Bl. Euphorbiaceae
102 Pseuduvaria reticulata Miq. Anonaceae
33 Cryptocarya nitens K. & V. Lauraceae
103 Psychotria fimbricalyx Miq. Rubiaceea
34 Curculigo latifolia Dryand.ex W.T. Ait. Hypoxidaceae
104 Psychotria viridiflora Reinw.ex Bl. Rubiaceae
35 Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer. ex Heyne. Poaceae
105 Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae
36 Desmodium gangeticum (L.) D C. Papilionaceea
106 Radermachera glandulosa (Bl.) Miq. Bignoniaceae
37 Desmodium trifoliastrum Miq. Papilionaceae
107 Sapindus rarak D C. Sapindaceea
38 Dillenia excelsa Gilg. Dilleniaceae
108 Saurauia bracteosa D C. Saurauiaceae
39 Dinochloa scandens (Blume.ex Nees.) O.K. Poaceae
109 Stachytarpheta indica (L.) Vahl. Verbenaceae
40 Diplazium esculentum Swartz. Poaceae
110 Sterculia foetida Linn. Sterculiaceae
41 Dracontomelum mangiferum Bl. Anacardiaceae
111 Sterculia javanica R. Br. Sterculiaceae
42 Dysoxylum amooroides Miq. Meliaceae
112 Sterculia oblongata Bl. Sterculiaceae
43 Elaeagnus latifolia L. Elaeagnaceea
113 Symplocos costata (Bl) Choisy. Symplocaceae
44 Elaeocarpus floribunda Bl. Elaeocarpaceae
114 Synedrella nodiflora Gaertn. Compositae
45 Elaeocarpus petiolatus (Jack) Wall. Elaeocarpaceae
115 Syzygium lineatum (D.C) Merr & Perry. Myrtaceae
46 Elatostema sesquifolium (Reinw.ex Bl.) Hassk. Urticaceae
117 Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Myrtaceae
47 Eugenia aquea Burm.f Myrtaceae
118 Syzygium pycnanthum Merr. & Perry. Myrtaceae
48 Eugenia polyantha Wight. Myrtaceae
119 Syzygium sexangulatum (Miq.) Amsh. Myrtaceae
49 Eupatorium inulifolium H.B.K Compositae
120 Tabernaemontana macrocarpa Jack. Apocynaceea
50 Eupatorium riparium Reg. Compositae
121 Turpinia sphaerocarpa Hassk. Staphyleaceae
51 Eupatorium triplinerve Vahl. Compositae
122 Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Urticaceae
52 Evodia glabra Bl. Rutaceae
123 Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae
53 Evodia latifolia D C. Rutaceea
124 Voacanga grandiflora (Miq.)Rolfe. Apocynaceea
54 Ficus callosa Willd. Moraceae
125 Xanthophyllum excelsum Miq. Polygalaceae
55 Ficus hispida L . F Moraceae
56 Ficus infectoria Roxb. Moraceae
57 Ficus recurva Bl. Moraceae
58 Ficus sp 1 Moraceae
59 Ficus sp2 Moraceae
60 Ficus variegata Bl. Moraceae
Pengamatan pada ketinggian 800-1000 m dpl,
61 Firmiana malayana Kosterm. Sterculiaceae
62 Forrestia mollissima (Bl.) Kds. Commelinaceae terletak pada punggung gunung dengan topografi
63 Geophila repens (L) I.M. Johnston. Rubiaceae medan bergelombang sampai terjal dengan kanopi
64 Globba marantina L. Zingiberaceae hampir seluruhnya tertutup. Kondisi hutan ini masih
65 Glochidion arborescens Bl. Euphorbiaceae cukup baik diduga karena jauh dari aktivitas
penduduk. Pohon yang dapat dikoleksi dari
ketinggian ini tercatat hanya 28 jenis. Jenis-jenis yang
LARASHATI – Vegetasi Gunung Kelud 75
melimpah di hutan ini adalah Villebrunea rubescens stimulans, Leea indica, Lithocarpus sundaicus,
dengan nilai penting 73,42 dan Ostodes paniculata Syzygium polyanthum, Syzygium pycnanthum dan
dengan nilai penting 65,32, baik pada tingkatan Villebrune arubescens. Indeks kesamaan terendah
pohon maupun anak pohon(Tabel 3.). Dari tiga adalah antara lokasi pada ketinggian 600-700 m dpl
ketinggian yang berbeda, kerapatan pohon tertinggi dan lokasi pada ketinggian 700-800 m dpl yaitu
terdapat pada kawasan ini tercatat 708 per ha yang di sebesar 15,38%. Jenis-jenis pohon yang sama
dominasi oleh jenis Villebrunea rubescens. terdapat kedua lokasi tersebut adalah Bischoffia
Villebrunea rubescens merupakan satu komunitas javanica, Croton argyratus, Evodia glabra, Laportea
dari enam komunitas yang pernah ditemukan di stimulans, Lithocarpus sundaicus dan Villebrunea
gugusan gunung Kawi, gunung Anjasmoro dan rubescens. Tumbuhan bawah yang sama pada dua
gunung Kelud (Smiet, 1992). Jenis ini biasa tumbuh lokasi tersebut adalah Laportea simulans, Leea indica
sangat melimpah di lembah atau di jurang yang dan Michellia montana. Dari ketiga ketinggian
dalam di sekitar gunung Kelud (Clason, 1935). Selain berbeda yang dibandingkan, nilai indeks kesamaan
itu jenis yang banyak dijumpai adalah Mallotus tidak mencapai 50% (Tabel 5.), sehingga secara
paniculata dan Laportea stimulans . kese-luruhan nilai indeks kesamaan jenis yang
Indeks keanekaragaman jenis (H’) pohon pada dibanding-kan relatif rendah. Fenomena tersebut
ketinggian 800-1000 m dpl ini tergolong paling rendah menggam-barkan semakin rendahnya nilai Indeks
dibandingkan dengan dua ketinggian yang berbeda, Kesamaan, maka semakin rendah tingkat
yaitu hanya mencapai 2,23. Demikian pula Indeks kemiripannya. Hal ini diduga karena adanya variasi
keanekaragaman (H’) anak pohon hanya mencapai tanggap yang berbeda dari setiap jenis terhadap
2,22. Kent dan Paddy (1992) menyatakan bahwa kondisi lingkungannya.
Nilai Indeks keanekaragaman (H’) berkisar antara 0-
7. Berdasarkan kisaran nilai tersebut, maka nilai Tabel 5. Indeks kesamaan (Sj) pohon, anak pohon dan
indeks keanekaragaman pada ketinggian 800-1000 m tumbuhan bawah pada tiga ketinggian yang berbeda di
dpl tergolong rendah. Rendahnya indeks kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur.
keanekaragaman pohon dan anak pohon, diduga
Anak Tumbuhan
karena kawasan ini jauh dari aktivitas penduduk. Ketinggian Pohon
pohon bawah
Faktor lain yang menentukan keanekaragaman jenis
tumbuhan tidak hanya pengaruh dari fisik dan kimia 600-700 m 15,38% 27,41% 32,43%
saja, namun juga keberadaan hewan dan manusia 700-800 m 22,22% 28,07% 28,33%
(Kartawinata, 1989). Luas bidang dasar (LBD) pohon
tercatat paling tinggi terdapat di ketinggian ini yaitu 900-1000 m 21,73% 21,56% 27,92%
35,30 per ha yang di dominasi oleh suku
Euphorbiaceae. Euphorbiaceae tercatat sebagai suku
yang berperan pada awal proses pemulihan hutan
setelah mendapat gangguan (Soemarno, KESIMPULAN
2001).Tumbuhan bawah yang berhasil dikoleksi dari
hutan ini tercatat 38 jenis (Tabel 4.). Jenis yang Kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur me-
melimpah adalah Cayratia trifolia, Chloranthus miliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup
officinalis, Costus specious, Pollia secundiflora, tinggi, khususnya pada ketinggian antara 600-1000 m
Psychotria fimbricalyx, dan Stachytarpetha indica. dpl ditemukan 125 jenis yang tergolong ke dalam 94
Pada tingkat tumbuhan bawah sebagian besar marga dan 49 suku, dari jumlah jenis tersebut tidak
berupa gulma dan hanya satu dua jenis saja sebagai ditemukan jenis-jenis yang menjadi karakteristik
tumbuhan asli hutan. tumbuhan sekunder. Dari tiga ketinggian yang diteliti,
pada ketinggian 600-700 m dpl merupakan daerah
Kesamaan jenis yang paling berat tingkat kerusakkannya. Hal tersebut
Dari hasil analisis kesamaan jenis pada tiga terbukti dengan melimpahnya jenis Dendrocalamus
ketinggian yang berbeda, ternyata nilai indeks asper. Komunitas Villebrunea rubescens yang banyak
kesamaan jenis pohon sangat rendah. Ketiga lokasi ditemukan dan melimpah di ketinggian antara 700-
kajian terdapat perbedaan komposisi yang nyata. 1000 m dpl, merupakan satu komunitas yang tersisa
Indeks kesamaan paling tinggi hanya mencapai dari enam komunitas yang pernah ditemukan oleh
22,22% yaitu antara lokasi pada ketinggian 600-700 Smiet (1992) di sekitar gunung Kawi, gunung
m dpl dan lokasi pada ketinggian 800-1000 m dpl. Anjasmoro, dan gunung Kelud. Euphorbiaceae
Kedua ketinggian tersebut memiliki kesamaan kondisi adalah suku yang mendominasi di daerah
medan, yaitu sangat terjal dengan kemiringan lereng pengamatan yang anggotanya banyak tumbuh di
yang besar. Jenis-jenis pohon yang sama terdapat pinggir-pinggir hutan. Kesamaan jenis pada tiga
pada kedua ketinggian tersebut adalah Laportea ketinggian yang berbeda tergolong rendah tercatat
stimulans, Evodia glabra, Lithocarpus sundaicus dan tidak mencapai 50% sehingga tumbuhan di kawasan
Villlebrunea rubescens; sedangkan untuk anak pohon hutan ini memiliki variasi yang cukup besar.
yang sama adalah Callicarpa longifolia, Laportea Keanekaragaman vegetasi di kawasan hutan gunung
Kelud cukup tinggi dan sangat berpotensi oleh karena
76 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76
itu faktor ekologi dan konservasi perlu diperhatikan Kartawinata, K. 1989. Keanekaragaman flora dalam hutan pamah.
Dalam Seminar Regional Aspek Konservasi dalam
dengan serius serta dilakukan secara berkelanjutan.
Pembangunan Sumberdaya Hutan Tropika Humida di
Masyarakat sekitar hutan perlu mendapat penyuluhan Kalimantan. Samarinda, 18-19 Oktober 1989.
akan pentingnya hutan oleh stakeholder terkait. Kent, M. and C. Paddy. 1992. Vegetation Description and Analysis:
a Practical Approach. London: BelhavenPress.
Machfud. 1984. Watershed management strategy trough the
control of erosion variable at Sumber Brantas sub watershed.
DAFTAR PUSTAKA Duta Rimba 71-72: 19-28.
Oldeman, L.R. 1980. An Agro-climatic Map of Java. Contribution
Abdulhadi, R. 1981. Laporan Perjalanan ke Konto Pujon, Malang from the Central Research Institute for Agriculture no. 17.
Jawa Timur. Bogor: LIPI. Bogor: CRIA. Riswan, S. 1982. Ecological Studies in Primary,
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1963. Flora of Secondary and Experimentally Cleared Mixed Forests
Java. Vol. 1. Groningen: P.Noorhoof. Dipterocarp Forest and Kerangas Forest in East Kalimantan,
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1965. Flora of Indonesia. [Thesis]. Aberdeen: University of Aberdeen.
Java. Vol. 2. Groningen: P.Noorhoof. Smiet, A.C. 1990. Forest ecology on Java: conversion and usage in
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of a historical perspective. Journal of Tropical Forest Science 2
Java. Vol. 3. Groningen: P.Noorhoof. (4): 286-302.
Clason,1935. Botanical analysis recolonization. Bulletin Jardin Smiet, A.C. 1992. Forest ecology on Java: human impact and
Botanique de Buitenzorg 3 (13): 509-518. vegetation of montane forest. Journal of Tropical Ecology 8 (2):
Cox, G.W. 1992 Laboratory Manual of General Ecology. Second 129-152.
Ed. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher. Soemarno, S. 2001. Struktur dan Komposisi Vegetasi pada Tapak
Hadipoernomo. 1980. Effects of man’s behaviour on the Konto river Tebang dan Pola Pemulihan Tapak Prasarana Pasca
basin: the problems and efforts to settle them. Duta Rimba 6 Pembalakan Mekanis di Sikundur Taman Nasional Gunung
(38): 21-32. Leuser. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Heddy, S. 1996. Analisis keragaman vegetasi di daerah sebelum van Steenis, C.G.G.J. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden:
dan sesudah bendungan Karangkates suatu pandangan E.J. Brill & Co.
ekologi. Dalam: Suwarsono, H. dan M. Kurniati (eds.) Prinsip- Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest the Far East. Oxford:
Prinsip Dasar Ekologi Bahasan tentang Kaidah Ekologi dan Oxford University Press.
Penerapannya. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 77-80
ABSTRACT
Study on the orchids diversity was conducted in Situ Gunung, sub district of Kadudampit, district of Sukabumi, West Java.
There were 41 collection numbers, consist of 18 terrestrial orchids, 22 epiphyte orchids, and one saprophyte orchid, belong
to 26 genera and 41 species. There were eight species of flowering orchids and the rest were not at flowering stage.
Agrostophyllum bicuspidatum J.J.Sm, Plocoglottis acuminata Bl dan Appendicula sp. were commonly found at Situ Gunung.
Species orchid of Calanthe triplicata (Willemet) Ames and Plocoglottis acuminata Bl found in a clumped group. Tainia
elongata J.J. Sm was the only endemic orchid in Java from this situ.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
pang Cianjur juga ditemukan anggrek yang meliputi Situ Gunung yang berada di ketinggian 950-1036 m
49 marga dan 114 jenis (Puspitaningtyas dkk., 2002). dpl dan suhu 16-28oC (Anonim, 2003), ternyata
Semakin banyak informasi tentang anggrek yang merupakan tempat yang cocok bagi tumbuhnya
didapatkan dari berbagai daerah tentunya akan anggrek-anggrek liar. Berbagai jenis anggrek
semakin baik karena data yang diperoleh menjadi ditemukan mulai dari bawah bukit hingga ke atas
semakin lengkap. Oleh karena itu penulis mencoba punggung bukit. Sebagian besar anggrek tersebut
untuk meneliti keberadaan jenis anggrek di Situ tumbuh di cabang pohon bersama dengan tumbuhan
Gunung. Daerah ini merupakan taman wisata alam lain, seperti paku sarang burung atau dengan
yang termasuk dalam wilayah Desa Kadudampit, tumbuhan lumut. Sebagian lagi tumbuh pada ranting
Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa yang telah jatuh, ada juga yang tumbuh di tanah atau
Barat. Secara geografi, kawasan ini terbentang di pada tumpukan seresah dan dedaunan yang telah
antara 106'54'37''-106'55'30'' BT dan 06'39'40''- menjadi humus.
06'41'12'' LS. Situ Gunung memiliki tipe iklim B, Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 41 nomor
dengan curah hujan berkisar 1611-4311 mm per koleksi anggrek yang terdiri atas 18 anggrek
tahun. Dengan iklim seperti ini, diduga Situ Gunung terestrial, 22 anggrek epifit dan 1 anggrek saprofit.
merupakan tempat yang baik bagi tumbuhnya Jumlah marga yang berhasil ditemukan sebanyak 26
anggrek liar (Anonim, 2003). Penelitian ini bertujuan sedangkan jumlah jenisnya sebanyak 41. Anggrek
untuk mengetahui keanekaragaman anggrek di Situ terestrial umumnya mempunyai daun yang lebar,
Gunung, Sukabumi. helaiannya relatif tipis, tidak sukulen dan mempunyai
banyak rambut akar. Anggrek epifit umumnya
mempunyai daun tebal seperti kulit, mulut daun
BAHAN DAN METODE tersembunyi, akarnya tidak berambut kecuali pada
bagian yang menempel pada tumbuhan lain. Anggrek
Tempat dan waktu saprofit tidak mempunyai daun karena telah tereduksi
Pengambilan koleksi dilakukan di Situ Gunung menjadi sisik-sisik (Suryowinoto,1987).
Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Jenis-jenis anggrek yang dijumpai di Situ Gunung
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 7-9 disajikan pada Tabel 1. Sebagian besar anggrek
Juli 2003. Pengamatan spesimen dilakukan di tersebut dapat tumbuh di lingkungan baru, yakni di
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA IPB Bogor,
FMIPA Institut Pertanian Bogor. namun beberapa jenis di antaranya tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga mati.
Cara kerja Salah satunya adalah Apostasia wallichii R.Br.,
Koleksi dilakukan dengan metode survei secara dimana pada lingkungan baru daunnya segera
acak dengan cara menjelajahi jalan setapak mulai menjadi coklat, mengering dan akhirnya mati.
dari bawah sampai ke atas bukit. Anggrek yang Anggrek tersebut diduga mempunyai adaptasi yang
ditemukan di tanah dan di pohon diambil sampelnya, rendah terhadap lingkungan baru. Hal ini sesuai
lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik. dengan pernyataan Comber (1990) yang
Selanjutnya diberi kertas koran lembab. Bunga menyebutkan bahwa jenis ini memang sangat rentan
anggrek yang rontok disimpan dalam botol berisi terhadap pemindahan, sehingga kalau ditanam di
alkohol 70 %, sedangkan yang masih segar tetap tempat baru, biasanya akan mati. Anggrek lainnya
dibiarkan pada tanamannya. Anggrek yang telah masih tetap bertahan hidup walaupun kondisinya
dikumpulkan, ditanam sebagai koleksi hidup dengan tidak sebaik seperti di habitat semula.
menggunakan media pakis untuk anggrek epifit dan Dari 6 anak suku anggrek yang ada di dunia
media tanah untuk anggrek terrestrial. Koleksi (Comber, 1990), hanya 5 yang ditemukan di Situ
disimpan di rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA IPB Gunung. Anggrek dari anak suku Cypripedioideae
Bogor. Anggrek saprofit tidak dapat dipertahankan tidak ditemukan di kawasan ini. Apostasioideae
keberadaannya karena cepat mati. Semua anggrek merupakan anak suku yang paling kecil jumlah
yang terkoleksi diidentifikasi dengan cara anggotanya dibandingkan anggrek jenis lain, karena
mencocokkan sampel koleksi dengan buku-buku flora hanya terdiri atas dua marga yaitu Apostasia dan
anggrek, khususnya Orchids of Java (Comber, 1990) Neuwiedia (Hunt, 1978). Apostasioideae yang
dan Orchids of Sumatra (Comber, 2001). Selain itu, ditemukan di Situ Gunung hanya marga Apostasia.
dilakukan juga pencocokkan dengan koleksi hidup Anggrek yang termasuk ke dalam Apostasioideae
yang ada di Rumah Anggrek Kebun Raya Bogor. mempunyai dua benangsari, sehingga ada juga yang
mengklasifikasikanya ke dalam anak suku
Diandroideae (Shukla dan Misra, 1979) Salah satu
HASIL DAN PEMBAHASAN anggota Apostasioideae adalah A. wallichii. Berbeda
halnya dengan anggrek lain, jenis ini tidak
Keberadaan suatu jenis anggrek pada umumnya mempunyai bibir (labellum), karena mahkota ketiga
berhubungan dengan lingkungan. Banyak anggrek tidak terdiferensiasi menjadi labellum (Comber,
yang sensitif terhadap suhu dan ketinggian. Kawasan 1990). Pada anggrek lainnya, mahkota dengan jelas
DJUITA dkk. – Anggrek di Situ Gunung 79
mirip tumbuhan paku, A. wallichii daunnya mirip atas 26 marga dan 41 jenis. Anggrek yang paling
rumput, dan L. longifolia daunnya mirip pandan. sering ditemukan adalah A. bicuspidatum,
Adanya kemiripan bentuk daun anggrek dengan Appendicula sp. dan P. acuminata. Jenis-jenis yang
tumbuhan lain kadang-kadang menyulitkan tumbuh mengelompok adalah C. triplicata dan P.
identifikasi bagi peneliti pemula, terutama apabila acuminata. Anggrek yang ditemukan di kawasan ini
anggrek tersebut tidak berbunga. Namun hal ini dapat merupakan anggrek yang umum dijumpai kecuali
diatasi dengan mencocokkan sampel pada koleksi satu jenis anggrek, yaitu T. elongata merupakan
anggrek hidup, misalnya di Kebun Raya Bogor. anggrek endemik di Jawa.
Beberapa anggrek mempunyai daun yang indah
bahkan lebih menarik daripada bunganya. Contohnya
adalah M. petola yang mempunyai corak daun DAFTAR PUSTAKA
berurat kuning atau keperakan G. reticulata
mempunyai urat daun menjala berwarna putih Anonim. 2003. Kabupaten Sukabumi dalam Angka Tahun 2003.
Sukabumi: BPS
keperakan, N. pulchrum dan N. tenuiflorum juga
Cady, L and E.R. Rotherham.1981. Australian Native Orchids in
mempunyai daun yang menarik. Keempatnya disebut Colour. Sydney: AH & AW Reed Pty Ltd.
juga sebagai anggrek daun. G. reticulata bahkan Comber, J.B. 1990.Orchids of Java. London: The Bentham-Moxon
disebut juga sebagai anggrek permata karena Trust Royal Botanic Gardens.
Comber, J.B. 2001. Orchids of Sumatra. Kinabalu: Natural History
keindahan daunnya (Schuttleworth et al., 1970).
Publications (Borneo).
Semua anggrek yang diidentifikasi merupakan Hunt, P.F. 1978. Orchidaceae. The Orchid Family. In: Dod, B (ed.).
anggrek yang umum dijumpai, kecuali T. elongata Flowering Plants of the World. Oxford: Oxford University Press.
yang bersifat endemik di pulau Jawa. Beberapa jenis Mahyar, U.W., dan A.Sadili. 2003. Jenis-Jenis Anggrek Taman
Nasional Gunung Halimun. Bogor: Biodiversity Conservation
yang paling sering ditemukan yaitu P. acuminata, A.
Project LIPI-JICA- PHKA.
bicuspidatum dan Appendicula sp. Anggrek yang Mujahidin, S.P., M. Marjuki, D. Supriadi, Rahmat, Atjim, dan T.
disebut pertama umumnya tumbuh mengelompok Jodi. 2002. Eksplorasi Anggrek Jawa. Kawasan Taman
pada tanah di lereng bukit, sedangkan anggrek yang Nasional Gunung Halimun Banten. Bogor: Pusat Konservasi
Tanaman Kebun Raya Bogor -- LIPI.
kedua tumbuh dalam rumpun kecil pada batang
Puspitaningtyas, D.M. dan S. Mursidawati. 1999. Koleksi Anggrek
pohon. Anggrek yang ketiga ada yang tumbuh Kebun Raya Bogor. Vol. 1, No. 2. Bogor: UPT Balai
sendiri-sendiri, namun ada pula yang tumbuh Pengembangan Kebun Raya-LIPI.
berumpun. Puspitaningtyas, D.M. Solehudin, M. Haris, Rukman, Oman, dan
Acim. 2002. Eksplorasi Anggrek di Cagar Alam Gunung
Simpang Cianjur, Jawa Barat. Bogor: Pusat Konservasi
Tanaman Kebun Raya Bogor – LIPI.
KESIMPULAN Schuttleworth, F.S., H.S. Zim, and G.W. Dillon. 1970. A Golden
Guide Orchids. New York: Western Publishing Company, Inc.
Shukla, P and S.P. Misra. 1979. An Introduction to Taxonomy of
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 41 nomor
Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House Pvt Ltd.
koleksi terdiri dari 18 anggrek terrestrial, 22 anggrek Suryowinoto, M. 1987. Mengenal Anggrek Alam Indonesia. Jakarta:
epifit dan satu anggrek saprofit. Semuanya terdiri PT. Penebar Swadaya.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 81-84
I WAYAN SUMANTERA♥
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Tabanan, Bali 82191.
ABSTRACT
Bukit Tapak (1903 m) the natural reserve of Batukau I (816.4 ha) is one of three natural reserve area of Batukau (1762.8
ha, 1974). Located at the tourism object of Bedugul, the eastern part boundaries to the Botanic Garden Eka Karya-LIPI
(154.5 ha, 1959) and settlement of Candikuning area (1152 family, 4475 persons) and near the three lakes of the water
resources of Bali; Beratan, Buyan and Tamblingan lake. The special plants; cemara geseng (Casuarina junghuhniana Miq.),
cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), nyabah (Pinanga arinasaensis J.R. Witono), paku kidang
(Dicksonia blumei Planch.), and purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benth.). The pioneer plant of the hill is cemara
geseng and the endemic is cemara pandak. The plant of needle leaves that basically the existence of Bali Botanical Garden
as the conservation ex situ flora of noodle leaves especially at the eastern Indonesian area. Nyabah, which is supposed to
be the new kind of palm named Arinasa, driven from the staff name who is the pioneer of the conservation. Paku kidang is
rare. There are ethnobotany plants of ritual ceremony such as: kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia sp.),
penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.) Blume), etc. Balinese
people believe that forest is holly and sacred. But because of the existence of Pura Teratai Bang (16 century) at the slope,
moslem cemetery (found in 1938) at the peak, and other needs (climbing, food, medicine, etc.), it can not be avoided the
entrances of people that caused the forest is damaged. The forest reservation needs the approach to the local people, so
the solution are morally and integration. The use of the forest which is potential as the environment education facilities
conservation and other alternatives such as: horticulture, the improvement of the people economy discussed here to be the
input for the forest conservation wisely and continuously.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
diziarahi umat, terutama pada hari lebaran (ketupat). hutan, terutama untuk mencari tumbuhan yang
Di kaki bukit terdapat Pura Teratai Bang dari abad 16 secara tradisional digunakan secara turun-temurun
yang berdampingan dengan sumber belerang. Pura seperti untuk upacara adat, obat, pakan, dan
keramat ini dikelola warga dusun Bukit Catu, Candi- keperluan lain (kayu bakar, tali, dan peralatan).
kuning dengan piodalan pada Tumpek Landep (Bali, Upaya konservasi untuk mengantisipasi permasa-
odalan: senjata atau alat dari besi) (Anonim, 1988). lahan ini telah dilakukan dengan berbagai cara,
Keanekaragaman tumbuhan Bukit Tapak berman- seperti adanya proyek kehutanan memanfaatkan
faat banyak bagi lingkungan sekitarnya. Berfungsi tanaman berguna, pakan rumput gajah, maupun
menjaga siklus hidrologi, sumber air minum, dan bambu sebagai tumbuhan penyangga agar dapat me-
sumber air untuk ketiga danau di sekitarnya, yakni ngurangi masuknya penduduk ke hutan. Kemajuan
danau Beratan, danau Buyan, dan danau Tamblingan pariwisata secara langsung mampu meningkatkan
yang merupakan sumber air Bali. Di samping itu, taraf hidup masyarakat Candikuning, dengan menjadi
berperan pula menahan erosi atau banjir pada tanah petani sayur, peternak sapi dan pedagang di pasar
vulkanis yang mudah longsor. Adanya cemara wisata Candikuning yang secara tidak langsung akan
pandak dan cemara geseng yang berdaun jarum mengurangi orang mengambil tumbuhan hutan.
menjadi inspirasi pembangunan Kebun Raya Eka Dalam menjaga kelestarian hutan Bukit Tapak
Karya Bali (154,5 ha, pada awalnya 50 ha), sebagai yang luas, tentunya tidak dapat mengandalkan pe-
tempat konservasi ex situ tanaman berdaun jarum tugas, yang hanya tiga orang di KSDA Candikuning.
khususnya dari kawasan timur Indonesia. Secara Sangat membutuhkan partisipasi semua pihak ter-
tradisional penduduk lokal memanfaatkan keduanya utama masyarakat sekitar, di samping mencari solusi
dalam upacara adat Hindu, bahan obat, pakan, alternatif yang dimulai dari pendidikan lingkungan.
peralatan, dan tanaman hias (Anonim, 1988). Berbagai model paket pendidikan dapat dimanfaat-
Dalam upaya pendidikan dan konservasi lingkung- kan, di antara model kebun raya meliputi: Repling =
an, pemanfaatan potensi etnobotani hutan Bukit Rute Pendidikan Lingkungan; rute tanaman hias, rute
Tapak terutama dalam upacara adat merupakan tanaman upacara adat, rute hutan tropis, dan rute
media komunikasi budaya yang patut diberdayakan, tanaman purba (Hendarti dan Nugraha, 1997); Apik =
selain potensi lain seperti kajian botani dan sosio- Aktifitas Pendidikan Interaktif, seperti mencari jejak,
ekonomi. Kajian potensi hutan dalam tulisan ini ber- tanaman dan lingkungan, mengenal tumbuhan dan
tujuan agar masyarakat atau pelajar yang ingin klasifikasi tumbuhan, jalur hutan hujan tropis, dan
memasuki kawasan Bukit Tapak dapat meman- jalur tanaman berguna Bali (Meredith 1999); dan Elup
faatkan kearifan lokal untuk berpartisipasi aktif dalam = Enam Jalur Perjalanan (Adjie, 1999), etnobotani,
melestarikan tumbuhan secara bijak dan lestari. tanaman upacara adat, budaya, dan lain-lain.
Semuanya ditujukan agar orang yang masuk hutan
sadar etika pelestarian seperti dengan menghayati
BAHAN DAN METODE makna slogan pencinta lingkungan, sehingga bila ke
hutan “jangan mengambil sesuatu kecuali gambar/
Dengan metode eksploratif dikumpulkan potensi foto, jangan membunuh sesuatu kecuali waktu,
tumbuhan Bukit Tapak berupa tumbuhan khas yang jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak”.
digunakan dalam upacara adat. Pelaksanaannya Sebagai upaya menggali potensi hutan Bukit
dengan penelusuran pustaka, dan inventarisasi Tapak untuk diberdayakan dalam program pelesta-
tumbuhan hutan yang digunakanpada upacara adat rian tumbuhan, maka diadakan penelitian lapang dan
Hindu di Pura Teratai Bang dan masyarakat penelusuran pustaka. Berdasarkan penelitian tum-
sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli buhan hutan Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak pada
2003 untuk mendapatkan keragaman tum-uhan upacara adat di Pura Teratai Bang pada Tumpek
etnobotani, yang berguna sebagai media komunikasi Landep 19 April 2003 setiap 210 hari (6 bulan Bali)
budaya, pendidikan, dan konservasi lingkungan. dan masyarakat sekitarnya pada bulan April-Juli
2003, maka dapat diketahui 10 jenis tumbuhan khas
dan 15 jenis digunakan dalam upacara adat Hindu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tumbuhan khas adalah cemara pandak, cemara
geseng, nyabah, paku kidang, lempunah, lemputu
Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak yang ber-
(Cyathea latebrosa (Wall) Copel.), purnajiwa, anggrek
batasan dengan Kebun Raya Eka Karya, pemukiman
macan (Vanda tricolor Lindl.), pradah (Garcinia
penduduk Candikuning, serta adanya Pura Teratai
cerlebica Linn), dan dadem (Ficus fistilosa Reinw. ex
Bang dan Kuburan Islam di dalamnya, menjadikan
Blume). Tumbuhan yang digunakan upacara adat
masuknya warga ke kawasan yang dilindungi
adalah cemara geseng, cemara pandak, biu lalung
tersebut. Perbedaan kepentingan antara konservasi
(Musa sp.), nyabah, peji, ambengan (Imperata cylin-
hutan dan keperluan masyarakat menjadikan adanya
drica Beauv.), dadap (Erythrina sp.), tiing (Bambusa
benturan kepentingan tak terelakan yang patut
sp.), kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia
dicarikan solusinya secara bijak dan berkesinam-
sp.), penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis
bungan. Dalam era reformasi sekarang tentunya
sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.)
masyarakat tidak boleh dilarang begitu saja masuk
SUMANTERA – Potensi adat, pendidkan, dan konservasi hutan Bukit Tapak 83
Blume), kepelan (Mangletia glauca Blume), dan Tumbuhan di Bukit Tapak yang digunakan dalam
anggur bogor (Passiflora ligularis A. Juss.). upacara adat oleh masyarakat sekitarnya mencakup:
Tumbuhan khas di Bukit Tapak meliputi: 1. Cemara geseng (C. junghuhniana), daunnya ber-
1. Cemara geseng (C. junghuhniana) merupakan guna sebagai simbul rambut pada upacara
tanaman pioner karena akarnya mampu menam- pengabenan.
bat nitrogen, tumbuh subur menghijau di puncak. 2. Cemara pandak (D. imbricatus), daunnya bergu-
Getahnya untuk obat sakit perut, daunnya untuk na sebagai simbul rambut pada upacara penga-
upacara adat ngaben, dan kayunya untuk tangkai benan dan komponen “daun” sesajen canang.
peralatan (madik, kandik, dan dapak). 3. Biu lalung (Musa sp.), adalah pisang alami yang
2. Cemara pandak (D. imbricatus), merupakan tum- umumnya tumbuh kurang subur, sehingga hanya
buhan endemik. Kayu yang berserat halus berbuah satu sisir pada tandannya. Bersama
diminati sebagai bahan bangunan dan mebel. beringin (Ficus benyamina L.), ancak (Ficus
3. Palem nyabah (P. arinasaensis) diidentifikasi rumphii Bl.), uduh (Caryota mitis Lour), dan peji
sebagai jenis baru dan diberikan nama honor staf dikenal sebagai lima tumbuhan surga (panca-
Kebun Raya Bali Ida Bagus Ketut Arinasa yang vriksha), sehingga digunakan untuk personifikasi
berperan besar dalam upaya pelestariannya. surga dengan memasangnya pada tempat pemu-
Palem ini mulai jarang, karena anakannya sulit jaan utama, maupun bangunan darurat sanggah
menjadi tumbuhan dewasa. Tawang dan sanggah Tutuan (Supartha, 2000).
4. Paku kidang (D. blumei), tumbuh terbatas di 4. Nyabah (P. arinasaensis), da-unnya sebagai
sekitar Pura Teratai Bang, yang kini habitatnya pengganti daun kelapa dalam upacara adat
telah terkubur oleh perluasan sarana pelayanan seperti untuk sengkui. Upihnya se-bagai klukuh
pura. Paku tiang langka ini berbulu kecoklatan wadah tuak pada upacara perkawinan.
pada pohon dan tulang daun, sehingga indah 5. Peji (P. coronata), bersama uduh dan biu lalung
sebagai tanaman hias. digunakan sebagai sarana sanggah Surya/
5. Paku lempunah (C. contaminans) adalah paku Tawang Sthana Sang Hyang Widiwasa/Tuhan
tiang yang berbulu putih pada pangkal daunnya. Yang Maha Esa (Siregar dkk., 2002). Anyaman
Sebagai tanaman hias, bentuknya bagaikan daunnya untuk sengkui, menggantikan daun
payung di taman. Batang yang diserut menam- kelapa yang tidak terdapat di pegunungan.
pakkan rupa yang artitistik untuk karya seni. 6. Ambengan (I. cylindrica) adalah rumput suci
6. Paku lemputu (C. latebrosa), paku tiang yang berkat mendapatkan percikan tirtha amertha (air
batang dan tangkai daun berduri hitam-keras. kehidupan), sehingga daunnya dibutuhkan untuk
Keberadaannya terancam, terutama akar dan upacara penyucian seperti untuk memercikan
batang, karena dijadikan media anggrek. Batang- tirtha, serta sebagai karowista ikat kepala saat
nya untuk tiang rumah tidak permanen seperti upacara penyumpahan, potong gigi, tiga bulanan
kandang sapi, huma, dapur, dan pelinggih pura. anak, dan medwijati (Siregar dkk., 2002).
7. Purnajiwa (E. horsfieldii), tumbuh baik pada 7. Dadap (Erythrina sp.), dijuluki kayu sakti berkat
humus di bawah pepohonan, namun sulit keampuhan seperti daunnya untuk upacara
dibudidayakan. Pemburu berupaya mendapatkan penawar (tepung tawar). Pucuknya sebagai
buahnya. Buah hitam ini sulit didapatkan, hingga sarana tetandingan banten agar sakti secara
timbul kepercayaaan bahwa buahnya disenangi niskala. Batangnya sebagai tiang hidup sanggah
macam. Buahnya yang pahit berguna untuk obat Turus Lumbung. Kayunya untuk bahan bakar api
kecing manis, sakit perut, afrodisiak, dan lain-lain. suci Pala Asep (Sumantera, 1993).
8. Peji (P. coronata), palem alami yang di daerah 8. Tiing (Bambusa sp.), selalu dibutuhkan dalam
pegunungan berguna sebagai pengganti kelapa setiap upacara adat, paling tidak sebagai semat
dalam upacara adat, daunnya untuk anyaman untuk penjahit banten/sesajen. Manfaat lainnya
sengkui. Bermanfaat sebagai tanaman hias atau adalah untuk penjor, sanggah cucuk, kelakat,
penggarah pinggir jalan. wadah, sate, bumbung tirtha, tali, dan lain-lain.
9. Anggrek macan (V. tricolor), berbunga besar dan 9. Kayu tulak (Schefflera elliptica Harms), tumbuhan
loreng menyerupai bulu macan, sehingga sangat liana yang dipercaya sebagai tanaman penolak
menarik sebagai tanaman hias. Keberadaannya bala, sehingga digunakanuntuk banten dan dita-
sudah jarang, serung diambil orang sebelum nam di samping pintu masuk pekarangan (Sura-
sempat berbunga untuk meneruskan turunannya. yin, 1992). Mudah diperbanyak dengan stek ba-
10. Pradah (G. celebica), manggis hutan yang dapat tang, dan dibudidayakan sebagai tanaman hias.
ditanam sebagai tanaman hias. Kayunya berguna 10. Kayu tulung (Brassaia sp.), daunnya diperlukan
sebagai tongkat bertuah, sebagai penolak bala. untuk upacara pengabenan dan tanamannya di-
11. Dadem (F. fistilosa), mudah ditanam dengan stek percaya bertuah menolong mencapai kedamaian
batang, petani memanfaatkan sebagai tanaman keluarga, sehingga baik ditanam di pekarangan
pagar dan daunnya sebagai pakan sapi, terutama atau untuk pot di dalam ruangan.
pada musim kemarau, saat persediaan rumput 11. Penjalin (Calamus sp.), batangnya untuk tali
tidak mencukupi. dandan penuntun rombongan upacara adat agar
84 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 81-84
seiring sejalan mencapai kedamaian hidup pedagang, sehingga dapat mendorong peningkatan
sebagai tujuan upacara, seperti dapat disaksikan pendapatan mayarakat. Pada saat ini, banyak
pada upacara ngaben untuk “menarik” wadah anggota masyarakat yang telah mampu membeli
saat menuju kuburan (setra). bahan bakar masak non kayu seperti gas elpiji dan
12. Paku pidpid (Nephrolepis sp.), merupakan paku hias minyak tanah, sehingga tidak perlu mencari lagi kayu
yang daunnya dibutuhkan untuk hiasan ceniga bakar ke hutan. Tanaman koleksi dan program
pada sanggah cucuk dan sebagai daun pelawa pendidikan lingkungan di kebun raya merupakan
dari tumbuhan pegunungan (Supartha, 2000). upaya nyata agar masyarakat dapat lebih mengenal
13. Trijata (M. speciosa), dipercaya sebagai pohon manfaat tumbuhan dan menyadari perlunya upaya
surga, sehingga digunakan pada banten Dewa pelestarian, sehingga sejalan dengan fungsi hutan
Yadnya dan sanggah Surya sebagai personifikasi Bukit Tapak sebagai kawasan konservasi in situ.
surga agar lebih mudah dihayati.
14. Anggur bogor (P. ligularis) merupakan tanaman
introduksi yang didatangkan Kebun Raya Bali dari KESIMPULAN
Bogor, sehingga dinamai demikian. Kini buah ini
telah menyebar ke hutan setelah dimakan kera, Penelitian mendapatkan 10 jenis tumbuhan khas
burung, dan lain-lain. Buahnya merupakan bahan dan 15 jenis tumbuhan yang berguna dalam upacara
persembahan pada pajegan upacara adat, adat. Erosi genetis menyebabkan cemara pandak (D.
sebagai rasa syukur ke hadapan-Nya yang telah imbricatus), anggrek macan (V. tricolor), trijata (M.
melimpahkan buah. speciosa), dan kepelan (M. glauca) sudah sulit
15. Kepelan (M. glauca) termasuk kayu harum ditemukan. Nyabah (P. arinasaenis), paku kidang (D.
(merik) yang disucikan, sehingga dibutuhkan blumei), dan purnajiwa (E. horsfildii) termasuk
pura, terutama untuk panel ukiran. tumbuhan langka, sehingga perlu upaya melestarikan
Keberadaan tumbuhan Bukit Tapak tidak lepas seperti telah dilakukan oleh Kebun Raya Bali dengan
dari gangguan manusia yang memburunya, sehingga mengkoleksinya sebagai tanaman koleksi.
terjadi erosi genetis pada beberapa jenis tumbuhan. Adanya kuburan Islam di puncak dan Pura Teratai
Tumbuhan cemara pandak, anggrek macan, trijata, Bang di kaki timur Bukit Tapak yang menjadi tujuan
dan kepelan mulai sulit ditemukan. Nyabah, paku berziarah, menyebabkan sulitnya membatasi orang
kidang, dan purnajiwa termasuk tumbuhan langka, yang memasuki Cagar Alam Batukau I. Oleh karena
sehingga perlu upaya pelestarian seperti yang itu, untuk meminimalkan gangguan kelestarian perlu
dilakukan Kebun Raya Bali dengan mengkoleksinya. upaya pendidikan lingkungan, seperti pemanfaatan
Pemanfaatan potensi tumbuhan Bukit Tapak perlu tanaman koleksi kebun raya untuk perbanyakan bibit
dibatasi karena merupakan kawasan konservasi dan penelitian, serta peningkatan taraf hidup masya-
Cagar Alam. Kalaupun ada pendakian sambil rakat, sehingga merubah pola hidup dari menggu-
sembahyang ke kuburan di puncaknya, supaya nakan bahan bakar kayu ke bahan bakar lain yang
kegiatan tersebut dilakukan seminimal mungkin dan akhirnya menggurangi kebiasaan merambah hutan.
tidak merusak tumbuhan alaminya. Untuk mengetahui
keanekaragaman jenis tumbuhan Bukit Tapak dapat
dilakukan tanpa harus langsung melakukan koleksi di DAFTAR PUSTAKA
kawasan tersebut, yakni dengan memperlajari aneka
tumbuhannya yang telah dikoleksi Kebun Raya Bali. Anonim. 1988. Buku Informasi Konservasi Sumber Daya Hutan
Propinsi Bali. Bali: Kanwil Kehutanan Propinsi Bali.
Pendidikan tersebut dapat mendorong kepedulian
Adjie, B. 1999. Enam Jalur Perjalanan di Kebun Raya Bali. Bali:
pada lingkungan dan upaya konservasi. Untuk Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI.
menjaga keberadaan tumbuhan alami, perlu upaya Hendarti, l. dan E. Nugraha. 1997. Rute Pendidikan Lingkungan
perbanyakan baik oleh lembaga konservasi maupun (Repling) di Kebun Raya Bali. Bali: RMI-Hanns Seidel
Foundation-Kebun Raya Bali.
masyarakat. Pembibitan diperlukan untuk memenuhi
Meredith, S., I.B.K. Arinasa, B. Adjie, dan I.W. Sumantera. 1999.
permintaan konsumen, sehingga tidak lagi terjadi Aktifitas Pendidikan Lingkungan (APIK) Kebun Raya Bali. Bali:
pengambilan langsung ke hutan. Upaya budidaya Kebun Raya Adelaide-Eka Karya Bali.
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar Siregar, M., I.N. Lugrayasa, D. Mudiana, dan Hartutiningsih. 2002.
Koleksi Tanaman Upacara Adat Kebun Raya Bali. Bali: UPT
selain dari bidang pariwisata, sehingga mengurangi
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka karya Bali-LIPI.
kebiasaan buruk menganggu tumbuhan di hutan. Siregar, M. 2002. Laporan Tahunan 2002. Bali: UPT Balai
Kebun Raya Raya Bali yang berbatasan di Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka karya Bali-LIPI.
sebelah barat dengan Bukit Tapak, sangat besar Sumantera, I.W. 1993. Pemanfaatan dadap sebagai upaya
mendukung pelestariannya di Bali. Makalah Seminar Nasional
maknanya sebagai zone penyangga untuk
Biologi XI. Perhimpunan Biologi Indonesia-Universitas
mengurangi intensitas masuknya orang ke hutan, Hasanuddin, Ujung Pandang, 20-21 Juli 1993
sehingga kondisi hutan ini jauh lebih baik sejalan Supartha, N.O. 2000. Fungsi Tumbuhan dalam Upacara Agama
dengan membaiknya penanganan Kebun Raya Bali Hindu. Proseding Seminar Nasional Etnobotani III, UNUD
Denpasar Bali 5-6 Mei 1988. Laboratorium Etnobotani,
dalam 30 tahun terakhir. Pengunjung kebun raya
Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI.
yang berlimpah setiap tahun, sekitar 265.773 orang Surayin, I.A.P. 1992. Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-
(Siregar, 2002), telah meningkatkan jumlah Upacara Yadnya. Denpasar: PT Upada Sastra.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 85-88
SRI PURWANINGSIH♥
Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi-LIPI, Bogor 16122
ABSTRACT
An experiment on the effect of microbe as fertilizer on the growth of Acacia mangium on the sand sterile in greenhouse. The
aim of the experiment the effect and potency of the microbe as fertilizer to increase the growth of A. mangium. The
experiment was carried out in green house condition in Microbiology division, Research Center for Biology-LIPI with sterile
sand medium. The Rhizobium strains used of: 1.Bio 199R, 2. Bio 203R, 3. Bio 205R, 4 Bio 238R, 5. Bio 251R, 6.Bio 7R,
and 7. mixed strains (Bio 199R+Bio 203R+Bio 205R+Bio 238R+Bio 251R+Bio 7R) The controls were uninoculated with
Rhizobium strain and without urea fertilizer (K1), uninoculated and with urea fertilizer equal 100 kg/ha (K2). The research
design was Completely Randomized Design with three replications for each treatment. The plants were harvested after 70
days; the parameters of investigation were the dry weight of canopy, roots, nodules root, total plants, number of nodules
and “symbiotic capacity”. The results showed that all of experiment plant able to from nodule. Strain number of mixed
strains has given the best results on the growth of A. mangium plant.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
tanaman. Pengaruh inokulasi akan terlihat nyata Sebagai kontrol tanaman tanpa diinokulasi dan
apabila digunakan pada lahan yang mengandung tanpa ditambah pupuk N (K1), dan tanaman tanpa
unsur hara atau ketersediaan air rendah, sehingga diinokulasi dan ditambah pupuk N setara dengan 100
inokulasi dapat mempercepat pemulihan lahan kg/ha (K2). Rancangan yang digunakan adalah
(Carpenter dan Allen, 1988), mampu bersaing dan Rancangan Acak Lengkap dengan masing-masing
beradaptasi terhadap lingkungannya, serta cocok perlakuan 3 kali ulangan. Untuk mempertahankan
dengan tanaman inangnya (Yutono, 1985). kelembaban (24%) dilakukan penyiraman setiap hari
Kerjasama antara mikroba yang diinokulasikan dengan menggunakan larutan hara tanpa N terikat
dan tanaman serta unsur-unsur hara dalam tanah seperti yang dilakukan oleh Saono dkk. (1976).
sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman A. Komposisi larutan hara (10 liter larutan A + 10 ml
mangium untuk mencapai hasil yang maximum, larutan B + 100 ml larutan C + 10 ml larutan D)
karena tidak semua biakan Rhizobium mampu hidup disajikan pada Tabel 1a.
bersimbiosis dan efektif melaksanakan proses Tanaman dipanen pada umur 70 hari, parameter
penambatan nitrogen dari udara bebas. Dengan yang diamati adalah bobot kering tajuk, akar, bintil
adanya biakan terpilih maka pemberian inokulum akar, tanaman total, dan jumlah bintil, komponen
sebagai pupuk hayati dapat tercapai secara optimal. tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC
Berdasar hal tersebut, dilakukan penelitian ini untuk selama 24 jam. Untuk mengetahui kemampuan
mendapatkan inokulum yang cocok dan efektif serta bersimbiosis (Sc) biakan-biakan Rhizobium yang
efisien dalam upaya meningkatkan pertumbuhan diinokulasikan dilakukan penetapan dengan menggu-
tanaman. Biakan yang efektif diharapkan dapat nakan cara Brockwell et al (1965) sebagai berikut:
dimanfaatkan sebagai pupuk hayati, terutama untuk
tanaman A. mangium. I-U
Sc = -----------------
N-U
BAHAN DAN METODE
Sc = kemampuan bersimbiosis.
Penelitian dilakukan di rumah kaca Bidang I = rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang
Mikrobio-logi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, dengan diinokulasi.
menggunakan pasir steril, dalam pot-pot plastik U = rata-rata bobot kering tanaman tanpa
berukuran 0,5 galon. Sebanyak 1,8 kg pasir steril diinokulasi dan tanpa N (K1).
digunakan sebagai media tumbuh, kemudian setelah N = rata-rata bobot kering tanaman tanpa
biji ditanam di atasnya ditambah pasir yang telah diinokulasi dan ditambah N (K2).
dicampur dengan parafin dan benzol (steril) setinggi 2
cm sebagai penutup biji yang ditanam. Nilai Sc dibagi dalam 4 katagori yaitu: E (sangat
Biakan yang digunakan adalah (i) Bio 199R (isolat efektif) jika Sc>0,67, e (efektif) jika 0,33<Sc<0,67, e-
dari Acacia villosa), (ii) Bio 203 R (isolat dari Albizia (kurang efektif) jika Sc<0,33, dan I (tidak efektif) jika
sinensis), (iii) Bio 205R (isolat dari Albizia saponaria), Sc<0. Selain dengan Sc, pengujian tingkat keefektifan
(iv) Bio 238R (isolat dari Erythrina fusca), (v) Bio dilakukan juga dengan membandingkan bobot kering
251R (isolat dari Pterocarpus indicus), (vi) Bio 7R tanaman total yang diuji dengan bobot kering
(isolat dari Vigna silindrica), dan (vii) biakan tanaman kontrol yang ditambah dengan pupuk N (K2)
campuran (Bio 199R+Bio 203R+Bio 205R+Bio yang dinyatakan dengan persen seperti yang
238R+Bio 251R+Bio7R). dikemukakan oleh Date (dalam Vincent, 1982)
Parameter yang diamati menunjukkan bahwa Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa untuk
untuk tinggi tanaman, nilai tertinggi diperoleh pada semua parameter pertumbuhan yang diamati terdapat
tanaman yang diinokulasi dengan biakan campuran perbedaan yang nyata antar biakan, hal ini
pada pengukuran umur 4, 6, dan 8 minggu, masing- menunjukkan bahwa biakan tersebut mempunyai
masing mengalami peningkatan sebesar 85, 83%, kemampuan simbiosis yang efektif yang mana
69,93%, dan 76,9%, serta biakan Bio 7R dan biakan mampu menambat nitrogen dari udara secara
campuran pada umur 10 minggu, keduanya maksimal, sehingga pertumbuhan tanaman lebih
mengalami peningkatan sebesar 59,01% baik. Pasaribu (1983) mengemukakan bahwa
dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan simbiosis yang efektif dan efisien akan menghasilkan
tanpa dipupuk N (K1). Untuk jumlah daun, nilai N tertambat yang tinggi, dimana N dapat digunakan
tertinggi diperoleh pada tanaman yang diinokulasi oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang,
dengan biakan campuran pada pengamatan umur 4, sehingga pertumbuhannya akan menjadi lebih baik.
6 dan 8 minggu, masing-masing mengalami Dari keseluruhan parameter yang diamati
peningkatan sebesar 128,75%, 46,18%, 53,2% diketahui bahwa dari tujuh biakan yang diinokulasikan
dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan diperoleh hasil pertumbuhan yang sangat bervariasi,
tanpa dipupuk N (K1). Pada umur 10 minggu jumlah tetapi apabila dibandingkan dengan tanaman yang
daun tertinggi diperoleh pada tanaman yang tidak diinokulasi dan tidak dipupuk N (K1) terjadi
diinokulasi dengan biakan Bio 7R dan biakan kenaikan pertumbuhan, hal ini berarti bahwa ada
campuran, keduanya mengalami peningkatan kecocokan/keserasian antara biakan yang
sebesar 50,09%. Untuk bobot kering tajuk, akar, bintil diinokulasikan dengan tanaman inang. Keberhasilan
akar dan tanaman total nilai tertinggi pada tanaman inokulasi tergantung pada keefektifan dan efisiensi
yang diinokulasi dengan biakan campuran, masing- dari biakan yang berperan, dan mempunyai
masing mengalami peningkatan sebesar 70,37%, keserasian dengan tanaman inangnya (Sumarno dan
60%, 0%, 68,22% dibandingkan dengan tanaman Harnoto, 1983). Freire (1977) menambahkan bahwa
tanpa diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1) (Tabel 1., teknik dan waktu inokulasi juga sangat berpengaruh
2., dan 3.). terhadap pertumbuhan dan hasil.
Ke-7 biakan Rhizobium yang diinokulasikan
Tabel 1. Nilai rata-rata tinggi tanaman pertumbuhan tana- terhadap tanaman A. mangium menunjukkan
man A. mangium yang diinokulasi dengan mikroba (cm) kemampuan bersimbiosis. Biakan Bio 238R, Bio
251R, Bio 7R dan campuran menunjukkan nilai Sc
Umur (minggu) yang sangat efektif dan biakan Bio 199R dan Bio
Perlakuan
4 6 8 10 205R menunjukkan efektif, hal ini berarti bahwa
Bio 199R 2,66 ab 3,66 a 4,66 ab 6,00 ab
simbiosis ke-6 biakan tersebut dengan tanaman A.
Bio 203R 3,00 ab 3,66 a 5,00 ab 6,00 ab
Bio 205R 2,66 ab
3,66 a
5,00 ab
3,33 ab mangium cukup efektif, sedangkan biakan Bio 203R
Bio 238R 3,66 ab
5,33 bc
6,00 bc
7,66 ab menunjukkan hasil yang kurang efektif (Tabel 4). Hal
Bio 251R 3,00 ab
4,00 ab
5,66 abc
7,66 ab ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
abc abc cd
Bio 7R 3,33 4,66 7,00 9,00 b faktor ketidakcocokan antara biakan dengan tanaman
Campuran 4,33 c 5,66 c 7,66 d 9,00 b inang, misalnya tanaman yang diinokulasi dengan
a a a
K1 (tanpa N) 2,33 3,33 4,33 5,66 a biakan Bio 203R hasilnya tidak efektif karena biakan
K2 (+N) 3,33 abc 3,66 abc 5,66 abc 7,00 ab tersebut dari tanaman Acacia sinensis.
BNT 5% 1,26 1,60 1,54 3,06
Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.
Tabel 3. Nilai rata-rata bobot kering tajuk (BKT), akar
(BKA), bintil akar (BKB), dan tanaman total (BKTT)
Tabel 2. Nilai rata-rata jumlah daun pertumbuhan tanaman terhadap pertumbuhan tanaman A. mangium yang
A. mangium yang diinokulasi dengan mikroba. diinokulasi dengan mikroba (gram).
Umur (minggu)
Perlakuan Perlakuan BKT BKA BKB BKTT
4 6 8 10
Bio 199R 2,66 a 4,00 a 4,66 a 6,00 ab Bio 199R 0,74 c
0,64 ab
0,0157a
1,3957 bc
Bio 203R 2,66 a 4,33 ab 5,66 b 7,66 bc Bio 203R 0,59 ab
0,76 cd
0,0192 ab
1,3789 b
a ab b
Bio 205R 2,33 4,33 5,33 6,33 ab Bio 205R 0,70 bc
0,77 cd
0,0213 abc
1,4913 bcd
a ab b
Bio 238R 3,00 4,33 5,33 6,00 ab Bio 238R 0,81 cd
0,84 de
0,0297 bcd
1,6797 def
a a b
Bio 251R 2,66 4,00 5,33 7,66 bc Bio 251R 0,86 d
0,83 de
0,0255 cde
1,7155 ef
Bio 7R 5,33 b 6,00 ab 7,00 c 8,00 c Bio 7R 0,88 d 0,76 cd 0,0285 de 1,6685 cde
b b c
Campuran 5,00 6,33 7,66 8,00 c Campuran 0,92 d 0,88 e 0,0337 e 1,8337 f
K1 (tanpa N) 2,33 a 4,33 ab 5,00 a 5,33 a K1 (tanpa N) 0,54 a
0,55 a
0 1,0900 a
K2 (+N) 2,66 a 4,33 ab 5,66 b 6,66 abc K2 (+N) 0,87 d
0,72 bc
0 1,5900 cde
BNT 5% 1,15 2,1 0,91 1,71 BNT 5% 0,11 0,09 0,0073 0,0248
Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT. berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.
88 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 85-88
R E V I E W:
PURWANINGSIH♥
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor 16122
ABSTRACT
Dipterocarpaceae is one of the biggest family with >500 species in the world, and most of dipterocarps population are
grown in Indonesia which have high economical value of wood. One of the most important value from dipterocarps species
is high on endemicities; there are up to 128 species (53.78%) from 238 dipterocarps species in Indonesia. Distribution of
dipterocarps species would be affected by some factors especially edaphic, climate, and altitude. In Indonesia the
dipterocarps species distribution could be shown from islands groups, number of species and forest types. Based on the
observation of herbarium collection in Herbarium Bogoriense the distribution of the most dipterocarps species was in the
altitude of 0-500 m and 500-1000 m on the dipterocarps forest type. Kalimantan and Sumatra were the two bigger islands
with have the dipterocarps species distributed relatively high on population and species.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
dan untuk memulihkannya menjadi hutan primer akan terdapat tiga lapisan pohon: lapisan atas (top layer)
memakan waktu yang sangat lama. Kayu adalah pohon-pohon mencuat yang tingginya > 40 m,
Dipterocarpaceae mempunyai nilai ekonomi yang umumnya adalah pohon dari jenis primer antara lain
tinggi, sehingga menguasai perdagangan kayu Dipterocarpaceae; lapisan dibawahnya dengan tinggi
internasional, khususnya di Asia Tenggara (Apannah, pohon 24-36 m biasanya lapisan ini jumlah jenisnya
1998). Selain kayunya juga terdapat beberapa produk lebih besar dan terdiri dari banyak suku; serta lapisan
minor non kayu dari dipterocarp seperti minyak, bawah dengan tinggi 10-15 m yang biasanya
damar, resin, dan kamper, akan tetapi hasil non kayu merupakan pohon kecil dan tahan terhadap naungan.
ini sering diabaikan karena nilai ekonominya tidak
sebesar kayu. Dipterocarp merupakan sumber
penting untuk menghasilkan resin. Resin dipterocarp DIPTEROCARPACEAE DI INDONESIA
terdapat dua macam yaitu (i) resin cair yang
mengandung bahan-bahan resinous dan minyak Dipterocarpaceae di Indonesia tersebar tidak
esensial yang sering disebut sebagai oleoresin dan merata di setiap pulau, menurut Ashton (1982) bahwa
(ii) resin keras yang sering disebut sebagai damar. penyebaran dipterocarp ke arah timur keaneka-
Kamper (kapur barus) dihasilkan oleh Dryobalanops ragamannya semakin kecil. Keanekareagaman jenis
aromatica terutama di daerah Sumatera Utara dan dipterocarp secara lokal pada masing-masing marga
Johor. Kamper ini didapatkan dari rongga atau alur- tidak merata, bahkan terdapat beberapa marga yang
alur kulit batang dalam bentuk padat atau cairan tidak dijumpai di belahan Indonesia timur. Diptero-
terang disebut sebagai minyak kamper. Minyak carpaceae di kawasan Indonesia mencapai 62% (238
(mentega) tengkawang (illipe nuts) dihasilkan dari biji jenis) dari jumlah jenis yang terdapat di kawasan
dipterocarp yang buahnya besar. Biasanya mentega Malesia (386 jenis). Hal ini menunjukkan bahwa
tengkawang ini digunakan untuk campuran coklat dan Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk
kosmetika. Oleh karena itu buah tengkawang banyak pertumbuhan dipterocarp, terutama di Indonesia
diekspor ke luar negeri yaitu Eropa dan Jepang. bagian barat (Tabel 2.). Terdapat 4 marga yang
Dipterocarp yang menghasilkan biji tengkawang penyebarannya meluas di kawasan Malesia yaitu
adalah Shorea sect. Pachycarpae, misalnya Shorea Anisoptera (11 jenis, 10 jenis terdapat di Malesia),
pinanga, Sh. stenoptera, Sh. macroptera, dan Sh. Vatica (65 jenis, 55 jenis di Malesia), Hopea (102
mecistopterix (Tantra, 1979). Di Kalimantan jenis, 84 jenis di Malesia), dan Shorea (194 jenis, 163
masyarakat di sekitar hutan membuat minyak goreng jenis di Malesia) (Ashton, 1982). Kalimantan dan
dari buah tengkawang (Anderson, 1975). Sumatera merupakan dua pulau besar yang memiliki
Pada hutan hujan lahan pamah yang selalu hijau persebaran kelompok jenis dipterocarp cukup
(evergreen lowland forest) terlihat pohon-pohon menonjol, baik dari populasi maupun jumlah jenisnya.
menjulang tinggi mencapai 45 m atau lebih dan Bahkan sebagian besar hutan primer yang masih
sejumlah besar pohon menjalin hidup bersama. Tidak tersisa di Kalimantan vegetasinya masih didominasi
terdapat jenis yang benar-benar dominan dan oleh dipterocarp sehingga sering disebutnya sebagai
biasanya 2/3 atau lebih dari pohon mencuat (emergent hutan Dipterocarpaceae. Apannah (1998)
trees) bersifat individual dan kontribusinya tidak lebih mengatakan bahwa Kalimantan dan Sumatera
dari 1% dari total jumlah jenis. Dalam formasi ini merupakan pusat pertumbuhan Dipterocarpaceae di
Tipe hutan Iklim Tanah-air Lokasi Jenis tanah Elevasi Formasi hutan
Hutan hujan Selalu Tidak berair Pedalaman 0-1000m Hutan hujan lahan pamah tropis
tropis basah (dry-land) 1000-1500m Hutan hujan perbukitan tropis
(everwet) 1500-3000m Hutan hujan pegunungan tropis
>3000m Hutan sub-alpin tropis
Pasir podsolik Lahan pamah Hutan kerangas
Limestone Lahan pamah Hutan bukit kapur
Pantai - - Vegetasi pantai
Berair Air-asin - - Hutan mangrove (bakau)
(kadang Air payau - - Hutan air-payau
secara Air tawar Tanah gambut - Hutan gambut
periodik) Tanah Selalu tergenang - Hutan rawa air-tawar
eutropik Tergenang secara - Hutan rawa musiman
periodik
Kemarau Kering - - - Hutan hujan semi-evergreen
musiman moderat tropis
tahunan
Hutan luruh Kering - - - Hutan luruh basah tropis
(monsoon) tergantung - - - Formasi lain dengan
musim meningkatnya musim kemarau
PURWANINGSIH – Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia 91
daerah lembab (humid). Di kawasan hutan dataran Tabel 5. Sebaran jenis dipterocarp di beberapa tipe hutan.
rendah yang belum banyak terganggu, khususnya di
pedalaman Kalimantan populasi jenis dipterocarp
Dipterocarpus
Dryobalanops
Cotylelobium
terlihat dominan, dari data spesimen yang ada di
Parashorea
Anisoptera
Herbarium Bogoriense ternyata Kalimantan
Tipe Hutan
menyimpan paling banyak jenis dipterocarp yaitu ±
Shorea
Hopea
Vatica
200 jenis (tidak termasuk Kalimantan Utara).
Penyebaran jenis dipterocarp di Asia meluas di
seluruh daratan yang terbagi dalam beberapa Gambut 11 1 1 1 1 1 0 0
mintakat secara geografis ataupun secara klimatis. Pantai 16 4 6 5 2 2 0 1
Jenis dipterocarp di Indonesia terbagi menjadi dua Kerangas 11 2 2 1 1 1 0 1
kelompok berdasarkan jumlah jenisnya, kelompok Bukit kapur 3 3 3 2 1 0 0 1
besar terdiri dari 4 marga yaitu Shorea, Vatica, Rawa air tawar 2 2 3 3 0 1 0 0
Dipterocarpus, dan Hopea, dalam kelompok ini Tepi sungai 6 7 9 4 0 2 2 0
Lahan pamah 77 36 26 36 7 3 8 2
jumlah jenisnya lebih dari 10 dan kelompok yang
Bukit 24 3 2 3 2 0 2 1
kedua adalah marga kecil diantaranya Anisoptera, Peg. rendah 2 1 0 0 0 0 0 0
Dryobalanops, Parashorea, dan Cotylelobium. Jumlah 152 59 52 55 14 10 12 6
Tabel 7. Jenis dipterocarp yang tumbuh di daerah kerangas. Sebagian besar jenis dipterocarp tumbuh di daerah
lereng dan punggung bukit, tumbuh sebagai pohon
Jenis kerangas menjulang (emergent) dengan tinggi mencapai 50 m
1. Cotylelobium lanceolatum Craib. (strata A). Pohon-pohon tersebut biasanya
2. Dipterocarpus borneensis Sloot. mempunyai nilai komersial yang tinggi (Ashton,
3. Hopea kerangasensis Ashton 1982). Di Indonesia berdasarkan hasil pengamatan
4. Hopea micrantha Hook.f. koleksi herbarium di Herbarium Bogoriense, terlihat
5. Hopea pterygota Ashton bahwa penyebaran dipterocarp yang paling banyak
6. Shorea coriacea Burck pada ketinggian 0-500 m dan 500-1000 m (Tabel 4.).
7. Shorea induplicata Sloot. Dari hasil pemilahan data berdasarkan tipe hutan
8. Shorea materialis Ridl. (Tabel 5.) terlihat bahwa tipe hutan yang paling
9. Shorea multiflora (Burck) Sym.
banyak diduduki jenis dipterocarp adalah hutan lahan
10. Shorea retusa Meijer
11. Shorea revoluta Ashton pamah, perbukitan, tepi sungai, dan hutan pantai,
12. Shorea richetia Sym. sedangkan pada tipe hutan yang kondisinya ekstrim
13. Vatica brunigii Ashton dimana tanahnya miskin hara dan drainasenya jelek
14. Vatica compressa Ashton akan mempengaruhi jumlah jenis yang mampu
15. Vatica parvifolia Ashton tumbuh pada kondisi tersebut. Pada beberapa tipe
16. Vatica rotata Ashton hutan ekstrim seperti hutan gambut, bukit kapur, dan
hutan kerangas terlihat sedikit jenis yang mampu
Berdasarkan Flora Malesiana, pulau Indonesia beradaptasi pada kondisi tersebut (Tabel 6. dan 7.).
terbagi menjadi 7 bagian pulau besar (Ashton, 1982) Hal ini mungkin karena pemencaran bijinya kurang
(Tabel 3.). Sebaran dipterocarp sebagian besar ber- baik, biji mudah rusak dan mudah terisolasi secara
ada di Kalimantan (200 jenis; 57.5%) dan Sumatera alami seperti pada sungai kecil di lembah-lembah,
(111 jenis; 31.9%), sedangkan ke arah timur tidak serta cepatnya perubahan faktor tanah (Ashton,
lebih dari 4% pada setiap pulau dan yang paling 1972). Menurut Maury-Lechon dkk. (1998),
miskin jenis dipterocarp adalah Nusa Tenggara. Dari endemisitas di Kalimantan lebih rendah (58-55%,
10 marga yang terdapat di Indonesia ternyata marga 158-155/267 jenis) dibandingkan Sri Lanka (98%, 43/44
Shorea yang paling beragam jenisnya dan sebagian jenis), India (85%, 11/13 jenis) dan New Guinea (73%,
11
besar tumbuh di Kalimantan, beberapa marga seperti /15 jenis). Terdapat tiga marga besar dipterocarp en-
Dryobalanops, Dipterocarpus, dan Parashorea pe- demik di Malesia, yaitu marga Upuna di Kalimantan,
nyebarannya tidak mencapai Indonesia bagian timur. Neobalanocarpus di Malaya, dan Dryobalanops di
dataran Sunda (Sumatera, Kalimantan, dan Malaya).
Dipterocarpaceae mempunyai nilai endemisitas yang
SEBARAN EKOLOGI DIPTEROCARPACEAE tinggi yaitu 128 jenis (53,78%) dari 238 jenis
dipterocarp yang terdapat di Indonesia. Kalimantan
Persebaran jenis dipterocarp sangat tergantung mempunyai jenis endemik yang tinggi yaitu 103 jenis
pada faktor alam yang mempengaruhi pertumbuhan- (80,47%), hal ini menunjukkan adanya hubungan
nya, terdapat dua faktor pembatas yaitu iklim dan dengan pemencaran biji dan sifat biji yang recalcitrant
ketinggian tempat. Pada umumnya dipterocarp yaitu tidak tahan lama (Tabel 8.).
terdapat pada daerah tropis basah dengan curah
hujan >1000 mm per tahun dan/atau musim kemarau Tabel 8. Jenis dipterocarp yang populasinya sedikit di alam.
(kering) kurang dari 6 bulan, sehingga dipterocarp
tumbuh subur di hutan lahan pamah hujan tropis Dipterocarpaceae “langka”
(lowland rain forest) (Whitmore, 1988) dengan
ketinggian tempat tidak lebih dari 1500 m dpl. Faktor 1. Dipterocarpus conformis Sloot.ssp. conformis
2. Dipterocarpus fusiformis Ashton
iklim sangat mempengaruhi penyebaran dipterocarp,
3. Dipterocarpus gracilis Bl.
berdasarkan data curah hujan (Schmidt dan 4. Hopea bancana (Boerl.) Sloot.
Ferguson, 1951, dalam Whitmore, 1975) perbanding- 5. Hopea bullatifolia Ashton
an bulan hujan dan bulan kering mempunyai nilai Q 6. Hopea depressinerva Ashton
yang rendah, artinya kawasan Indonesia sebagian 7. Hopea latifolia Sym
besar termasuk beriklim basah dan sebagian kecil 8. Hopea pedicellata (Brandis) Sym
saja yang beriklim kering seperti Nusa Tenggara. 9. Parashorea globosa Sym.
Di Indonesia, jenis dipterocarp tidak mampu 10. Shorea andulensis Ashton
tumbuh pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. 11. Shorea blumutensis Foxw.
12. Shorea cordata Ashton
Semakin tinggi altitudenya semakin sedikit
13. Shorea macrobalanos Ashton
diketemukan jenis dipterocarp, bahkan pada 14. Shorea obovoidea Sloot.
ketinggian >1500 m dpl di Indonesia tidak 15. Vatica bantamensis (Hassk.) B.H. ex Miq.
diketemukan jenis Dipterocarp, sedangkan di wilayah 16. Vatica congesta Ashton
lain seperti di Brunei, jenis Shorea ovata, Sh. 17. Vatica havilandii Brandis
Longisperma, Hopea cernua, dan Hopea beccariana 18. Vatica parvifolia Ashton
Burk mampu tumbuh pada ketinggian 1750 m. 19. Vatica ridleyana Brandis
PURWANINGSIH – Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia 93
Upuna merupakan jenis tunggal di Kalimantan dan berada pada lapisan di bawahnya pembungaan akan
juga merupakan jenis endemik di Indonesia. terjadi secara sporadis, yakni hanya pada cabang-
Pemencaran biji berkaitan dengan pola pembungaan, cabang yang terkena matahari langsung. Umur pohon
untuk jenis dipterocarp pola pembungaan di dalam untuk bisa berbunga juga bervariasi, pada pohon
hutan tidak terjadi setiap tahun, tetapi mempunyai menjulang dapat bertahun-tahun untuk mencapai usia
interval waktu yang tidak teratur dengan intensitas berbunga, tergantung pada kondisi lingkungan hutan.
yang bervariasi, dimana kadang-kadang pembungaan Pohon dipterocarp yang ditanam memiliki usia
melimpah (Krishnapillay dan Tompsett, 1998). pembungaan setelah 15-30 tahun. Jenis dipterocarp
Contoh, pada tahun 1955 di Sabah 2/3 dari 200 jenis mempunyai kecepatan tumbuh yang sangat
dipterocarp berbunga. Pembungaan pada beberapa bervariasi, beberapa jenis yang tidak toleran terhadap
jenis dipterocarp ada yang terjadi setiap 2 tahun dan intensitas cahaya rendah mempunyai kecepatan
ada pula setiap 5 tahun. Pembungaan dipterocarp tumbuh yang tinggi. Usia dewasa dicapai setelah
membutuhkan sinar matahari yang cukup, hal ini berumur sekitar 60 tahun, dan usia hidupnya diduga
terlihat pada pohon menjulang, dimana kebutuhan dapat mencapai ± 250 tahun. Sedangkan jenis lain
sinar matahari sangat banyak sehingga pada waktu yang toleran terhadap naungan akan mempunyai
musim pembungaan hampir seluruh tajuknya kecepatan pertumbuhan yang lambat, tetapi usianya
berbunga, sedangkan pohon-pohon dipterocarp yang bisa mencapai 1000 tahun (Ashton, 1982).
Jenis endemik K S J NT SL M I
1. Anisoptera grossivenia Sloot. + - - - - - -
2. Anisoptera marginata Korth. + - - - - - -
3. Cotylelobium burkii (Heim) Heim + - - - - - -
4. Dipterocarpus applanatus Sloot. + - - - - - -
5. Dipterocarpus caudiferus Merr. + - - - - - -
6. Dipterocarpus cinereus Sloot. - + - - - - -
7. Dipterocarpus confertus Sloot. + - - - - - -
8. Dipterocarpus geniculatus Vesque ssp. geniculatus + - - - - - -
9. Dipterocarpus littoralis Bl. - - + - - - -
10. Dipterocarpus mundus Sloot. + - - - - - -
11. Dipterocarpus stellatus Vesque ssp. parvus Ashton + - - - - - -
12. Dipterocarpus tempehes Sloot. + - - - - - -
13. Dryobalanops beccarii Dyer + - - - - - -
14. Dryobalanops fusca Sloot. + - - - - - -
15. Dryobalanops keithii Sym. + - - - - - -
16. Dryobalanops lanceolata Burk + - - - - - -
17. Dryobalanops rappa Becc. + - - - - - -
18. Hopea altocollina Ashton + - - - - - -
19. Hopea andersonii Ashton + - - - - - -
20. Hopea aptera Ashton - - - - - - +
21. Hopea bancana (Boerl.) Sloot. - + - - - - -
22. Hopea bullatifolia Ashton + - - - - - -
23. Hopea celebica Burck - - - - + - -
24. Hopea celtidifolia Kosterm. - - - - - - +
25. Hopea centipeda Ashton + - - - - - -
26. Hopea dasyrrachis Sloot. + - - - - - -
27. Hopea enicosanthoides Ashton + - - - - - -
28. Hopea fluvialis Ashton + - - - - - -
29. Hopea inex pectata Ashton - - - - - - +
30. Hopea iriana Sloot. - - - - - - +
31. Hopea megacarpa Ashton + - - - - - -
32. Hopea micrantha Hook.f. + - - - - - -
33. Hopea nigra Burck - + - - - - -
34. Hopea nodosa Sloot. - - - - - - +
35. Hopea novoguineensis Sloot. - - - - - - +
36. Hopea ovoidea Ashton + - - - - - -
37. Hopea papuana Diels - - - - - - +
38. Hopea paucinervis Parijs - + - - - - -
39. Hopea pterygota Ashton + - - - - - -
40. Hopea rudiformis Ashton + - - - - - -
94 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95
Jenis endemik K S J NT SL M I
41. Hopea scabra Ashton - - - - - - +
42. Hopea similis Sloot. - - - - - - +
43. Hopea sphaerocarpa (Heim) Ashton + - - - - - -
44. Hopea tenuinervula Ashton + - - - - - -
45. Parashorea aptera Sloot. - + - - - - -
46. Parashorea macrophylla Wyatt-Smith ex Ashton + - - - - - -
47. Parashorea parvifolia Wyatt-Smith ex Ashton + - - - - - -
48. Parashorea smythiesii Wyatt-Smith ex Ashton + - - - - - -
49. Parashorea tomentella (Sym.) Meijer + - - - - - -
50. Shorea agamii Ashton + - - - - - -
51. Shorea albida Sym (ex Thomas) + - - - - - -
52. Shorea amplex icaulis Ashton + - - - - - -
53. Shorea andulensis Ashton + - - - - - -
54. Shorea angustifolia Ashton + - - - - - -
55. Shorea argentifolia Sym. + - - - - - -
56. Shorea asahii Ashton + - - - - - -
57. Shorea beccariana Burck + - - - - - -
58. Shorea brunescens Ashton + - - - - - -
59. Shorea carapae Ashton + - - - - - -
60. Shorea colaris Sloot. + - - - - - -
61. Shorea confusa Ashton + - - - - - -
62. Shorea conica Sloot. - + - - - - -
63. Shorea cordata Ashton + - - - - - -
64. Shorea coriacea Burck + - - - - - -
65. Shorea crassa Ashton + - - - - - -
66. Shorea domatiosa Ashton + - - - - - -
67. Shorea elliptica Burck + - - - - - -
68. Shorea faguetioides Ashton + - - - - - -
69. Shorea fallax Meijer + - - - - - -
70. Shorea ferruginea Dyer ex Brandis + - - - - - -
71. Shorea flaviflora Wood ex Ashton + - - - - - -
72. Shorea foraminifera Ashton + - - - - - -
73. Shorea furfuracea Miq. - + - - - - -
74. Shorea hypoleuca Meijer + - - - - - -
75. Shorea induplicata Sloot. + - - - - - -
76. Shorea leptoderma Meijer + - - - - - -
77. Shorea longiflora (Brandis) Sym. + - - - - - -
78. Shorea macrobalanos Ashton + - - - - - -
79. Shorea macrophylla (De Vriese) Ashton + - - - - - -
80. Shorea mecistopteryx Ridl. + - - - - - -
81. Shorea montigena Sloot. - - - - + - -
82. Shorea myrionerva Sym.ex Ashton + - - - - - -
83. Shorea obovoidea Sloot. + - - - - - -
84. Shorea obscura Meijer + - - - - - -
85. Shorea ochracea Sym. + - - - - - -
86. Shorea ochrophloia (Sym.apud Desh) Strugnell - + - - - - -
87. Shorea pachyphylla Ridl. + - - - - - -
88. Shorea parvistipulata Heim + - - - - - -
89. Shorea patoensis Ashton + - - - - - -
90. Shorea pilosa Ashton + - - - - - -
91. Shorea pinanga Scheff. + - - - - - -
92. Shorea polyandra Ashton + - - - - - -
93. Shorea quadrinervis Sloot. + - - - - - -
94. Shorea retusa Meijer + - - - - - -
95. Shorea richetia Sym. + - - - - - -
96. Shorea rubella Ashton + - - - - - -
97. Shorea rubra Ashton + - - - - - -
98. Shorea rugosa Heim + - - - - - -
99. Shorea sagittata Ashton + - - - - - -
100. Shorea scaberrima Burck + - - - - - -
PURWANINGSIH – Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia 95
Jenis endemik K S J NT SL M I
101. Shorea selanica Bl. - - - - - + -
102. Shorea slootenii Wood ex Ashton + - - - - - -
103. Shorea smithiana Sym. + - - - - - -
104. Shorea splendida (De Vriese) Ashton + - - - - - -
105. Shorea stenoptera Burck + - - - - - -
106. Shorea superba Sym. + - - - - - -
107. Shorea xanthophylla Sym. + - - - - - -
108. Upuna borneensisSym. + - - - - - -
109. Vatica albiramis Sloot. + - - - - - -
110. Vatica badiifolia Ashton + - - - - - -
111. Vatica bantamensis (Hassk.) B.H. ex Miq. - - + - - - -
112. Vatica cauliflora Ashton + - - - - - -
113. Vatica chartacea Ashton + - - - - - -
114. Vatica congesta Ashton + - - - - - -
115. Vatica dulitensis Sym. + - - - - - -
116. Vatica endertii Sloot. + - - - - - -
117. Vatica flavovirens Sloot. - - - - + - -
118. Vatica globosa Ashton + - - - - - -
119. Vatica granulata Sloot. + - - - - - -
120. Vatica micrantha Sloot. + - - - - - -
121. Vatica oblongifolia Hook.f. + - - - - - -
122. Vatica obovata Sloot. - + - - - - -
123. Vatica pentandra Ashton + - - - - - -
124. Vatica rotata Ashton + - - - - - -
125. Vatica rynchocarpa Ashton + - - - - - -
126. Vatica sarawakensis Heim + - - - - - -
127. Vatica soepadmoi Ashton - + - - - - -
128. Vatica teysmaniana Burck - + - - - - -
129. Vatica vinosa Ashton + - - - - - -
Keterangan: K: Kalimantan, S: Sumatera, J: Jawa, NT: Nusa Tenggara, Sl: Sulawesi, M: Maluku, I: Irian (Papua).
R E V I E W:
D J U F R I 1,2, ♥
1
Jurusan PMIPA FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 23111
2
Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 16144
ABSTRACT
Acacia nilotica (L.) Del. is a thorny wattle native in India, Pakistan and much of Africa. This acacia is widely distributed in
tropical and subtropical Africa from Agypt and Mauritania to South Africa. In Africa and the Indian Subcontinent, Acacia
nilotica is extensively used as browse, timber and fire-wood species. The bark and seeds are used as source of tannins.
The species is olso used for medicinal purposes. Bark of Acacia nilotica has been used for treathing haemorrhages, colds,
diarrhoea, tuberculosis and leprosy; while the roots have been used as an aphrodisiac and the flowers for treathing syphillis
lessions. The invasion of Acacia nilotica has resulted in the reduction of savanna in Baluran National Park reaching about
50%. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran.
© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Acacia nilotica, biology, ecology, grassland, Baluran National Park.
berkualitas tinggi. Namun setelah tumbuhan ini yang panjangnya 1,5-4,5 cm. Diameter mahkota
ditanam di Kebun Raya Bogor, ternyata produksi setiap anak bunga 6-15 mm. Bunga biseksual atau
getahnya sangat rendah sehingga pohon-pohon jantan saja. Buah tunggal atau sepasang pada ujung
tersebut ditebang 40 tahun kemudian. Introduksi tangkai yang kuat, coklat gelap hingga abu-abu, lurus
tumbuhan ini ke Taman Nasional Baluran di hingga berlekuk-lekuk. Kulit buah seperti beludru,
Banyuwangi Jawa Timur tidak diketahui secara pasti, panjang 5-20 cm x 1,2-2,2 cm. Jumlah polong yang
diperkirakan terjadi pada tahun awal 1960-an atau dihasilkan adalah 2-3 polong per 1000 anak bunga
sebelumnya. Tujuan introduksi ini adalah sebagai sehingga setiap pohon mampu menghasilkan 14-
sekat bakar untuk menghindari menjalarnya api dari 3150 polong atau rata-rata 832 polong per pohon
savana ke kawasan hutan jati (Anonim, 1999). (Anonim, 1999).
Namun invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran
telah menyebabkan terdesaknya berbagai jenis
rumput sebagai komponen utama penyusun padang
rumput Baluran. HABITAT
Rumput merupakan sumber pakan utama satwa di
daerah tersebut. Dengan adanya A. nilotica, Sejumlah fakta menunjukkan bahwa A. nilotica
pertumbuhan rumput terdesak, sehingga satwa merupakan gulma di habitat asalnya yaitu Afrika
mencari pakan lain, salah satunya adalah daun dan Selatan (Holm et al., 1979), namun di kawasan
biji A. nilotica. Namun sebagai sumber pakan utama, lainnya ditanam untuk keperluan kehutanan atau
rumput tetap tidak dapat tergantikan (Sabarno, 2002). untuk mereklamasi lahan yang mengalami degradasi
Fenomena ini tentunya dapat mengakibatkan (Purl dan Khybri, 1975; Shetty, 1977). Di Asia dan
terganggunya keseimbangan ekosistem Taman Afrika, polong dan biji tumbuhan ini dimakan oleh
Nasional Baluran, misalnya berkurang dan hewan peliharaan seperti sapi, biri-biri, kambing dan
menyusutnya pakan utama bagi herbivora. Kondisi ini unta (Gupta, 1970). Spesies hewan yang lainnya juga
pada gilirannya dapat mengancam keberadaan satwa memakan polong dan bijinya, misalnya rusa
herbivora di kawasan ini. Kondisi padang rumput Thompson, rusa Dorces, dikdik, gajah, jerapah, kuda,
Baluran saat ini sedang mengalami proses dan kambing pegunungan (Lamprey et al., 1974).
perubahan dari ekosistem terbuka yang didominasi Pemencaran biji sebagian besar dilakukan oleh
suku Poaceae (rumput-rumputan) menjadi areal yang hewan-hewan yang memakan biji tersebut. Di
ditumbuhi A. nilotica. Pada tempat-tempat tertentu Australia biji disebarkan oleh hewan peliharaan. Di
pertumbuhan Acacia ini sangat rapat sehingga Afrika dan India, juga banyak insekta yang
membentuk kanopi tertutup, akibatnya beberapa jenis menyerang biji dewasa.
rumput tidak mampu hidup di bawahnya. Kejadian ini Menurut Duke (1981) A. nilotica tumbuh dengan
kemungkinan disebabkan kompetisi kebutuhan subur di daerah yang kering, pada ketinggian 10-
cahaya atau adanya faktor alelopati. Untuk 1340 m dpl. Jenis ini hidup pada kisaran kondisi yang
memperoleh jawaban atas fenomena tersebut perlu luas, juga tumbuh dengan baik pada kisaran variasi
dilakukan kajian mengenai A. nilotica ini. tanah yang luas, kelihatannya sangat berkembang
pada tanah aluvial, tanah lapisan atas tipis berwarna
hitam (black cooton soils), tanah liat, juga dapat
tumbuh pada kondisi tanah yang miskin unsur hara
DESKRIPSI (N.A.S, 1980). Kisaran hidupnya dari gurun subtropis
ke subtropis kering sampai gurun tropis ke zona
A. nilotica tergolong pohon kecil (treeless) dengan kehidupan kering hutan tropis. A. nilotica dilaporkan
tinggi 2,5-20 m, namun ada yang mencapai 25 m. juga toleran terhadap presipitasi tahunan berkisar
Memiliki satu batang utama (monopodial), 3,8-22,8 dm (rata-rata dari 12 kasus = 12,0 dm), rata-
percabangan dapat terjadi dekat permukaan tanah rata temperatur tahunan 18,7-27,80C (rata-rata dari
dan membentuk bagian puncak pohon yang bulat 12 kasus = 24,10C), dan pH berkisar 5-8 (rata-rata
atau mendatar. Kulit kayu dari batang dan cabang dari 10 kasus = 6,9).
utama berwarna kelabu hingga hitam atau kecoklatan
dengan permukaan yang kasar oleh adanya celah-
celah atau retakan-retakan longitudinal. Percabangan
ke arah atas. Duri berpasangan berukuran 1-13 cm, SIKLUS HIDUP
lurus hingga membentuk sudut 1100-1200, ujung duri
runcing, berwarna putih hingga keperakan. Daun Model identifikasi enam tahapan A. nilotica adalah
berwarna hijau terang, kadang sedikit kusam. Ibu kumpulan biji (seedbank), anakan (seedling), remaja
tangkai daun memiliki 1-2 kelenjar. Anak daun (juvenile), dewasa (adult), bunga (flowers), dan biji di
berpasangan berjumlah 7-36 pasang, panjang anak dalam polong (seeds-in-pods). Bunga dan biji di
daun 1-7 x 0,5-1,5 mm. Bunga majemuk berwarna dalam polong merupakan fase endogen yaitu: fase
kuning dengan bau menyengat, memiliki rambut- hidup dari anakan sampai dewasa. Pendekatan siklus
rambut halus. Bunga ditopang oleh ibu tangkai bunga hidup tersebut termasuk di dalamnya pemilihan
98 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104
bunga yang mengalami aborsi dan polong yang hasil riset dari Stasiun Riset Toorak (Toorak Risearch
mengalami kerusakan akibat kekeringan, misalnya Station) mengestimasi produksi biji pada tahun
perbedaan laju perkembangbiakan polong yang 1986/1988 dan 1987/1988 adalah 18,6 dan 24 juta
bergantung pada kemampuan spesifik kohor pada biji. Ada korelasi yang kuat antara basal area dengan
kondisi lingkungan di tempat hidupnya. jumlah biji yang dihasilkan (Bolton et al., 1987).
Model inkoperasi yang digunakan bergantung Umur biji yang diproduksi oleh pohon pada saluran
pada ukuran kompetisi intraspesifik (Thomas dan air adalah antara 10 dan 12 bulan, tetapi dapat juga
Weiner, 1989). Konsep mekanisme inkoperasi lebih panjang. Biji yang dihasilkan tergolong keras
dipengaruhi oleh zona (Mitchell, 1969) dan teori bila tidak ada suplai air yang permanen. Bila polong
lapangan ekologi (Walker dan Dowling, 1990). Pohon yang mengandung biji jatuh, akan segera dimakan
dewasa yang menempati wilayah yang luas akan hewan dan akan disebarkan. Biji yang mati cepat
menghasilkan kanopi, anakan, dan remaja dengan dikonsumsi, dan direduksi oleh predasi seperti
densitas yang tinggi. Di asumsikan bahwa tumbuhan insekta. Misalnya insekta jenis Caryedon serratus
berkompetisi secara eksklusif untuk memperebutkan (Coleoptera; Bruchidae) sebagai kumbang yang
ruang di luar kanopinya selama terjadi musim kering, sering dijumpai di dalam biji dan Bruchidius sahbergi
tetapi mereka juga toleran terhadap kepadatan yang Schilsky (Coleoptera: Bruchidae). Insekta masuk ke
tinggi selama periode basah dan pada tempat-tempat dalam biji dengan cara melubangi. Ada pemikiran
yang lembab (misalnya di sepanjang sungai atau menggunakan insekta dalam upaya pengendalian
pantai). secara biologi. Namun, pengendalian secara biologi
Dalam siklus tersebut juga termasuk mekanisme yang demikian sangat tidak efektif, karena hewan
untuk perkecambahan, kerusakan biji, mekanisme akan segera makan buah saat sudah matang
pengawetan tumbuhan, pertumbuhan, maturasi, (Lamprey et al., 1974).
pengaruh kepadatan terhadap pertumbuhan dan Pemencaran biji A. nilotica terjadi dengan
mortalitas, reproduksi (termasuk yang mengalami beberapa cara. Pemencaran dengan jarak yang
aborsi), herbivora, kompetisi interspesifik dengan sangat jauh dilakukan oleh hewan dengan memakan
spesies rumput dan perbedaan pemencaran biji biji, kemudian membawanya ke tempat yang berjarak
dalam kaitannya dengan pola penyimpanan (stoking) sangat jauh, yang dapat mencapai 1000 km atau
(Radford et al., 1999). lebih. Beberapa cara penyebaran biji lainnya dapat
terjadi misalnya oleh angin dan air. Sapi sangat
efektif sebagai agen dalam pemencaran biji mencapai
FENOLOGI 81% biji yang ditelan dibawa oleh hewan masih
dalam keadaan utuh. Hasil tes menunjukkan bahwa
Di Queensland, A. nilotica berbunga dari Maret paling sedikit 41% dari biji tersebut dapat
sampai Juni dengan warna biji hijau, muncul pada berkecambah secara cepat (Harvey, 1981).
tahun-tahun kering Juli sampai Desember. Produksi Pemencaran biji oleh biri-biri melalui tiga mekanisme
daun dan serasah ditentukan oleh kondisi berikut: (i). Biji dikeluarkan bersama air liurnya dan
kelembaban tanah (Carter dan Cowan, 1988) dan buah polong mengalami kerusakan (35%), biasanya
gugur mencapai di atas 75% pada musim kering. dijumpai di bawah pohon; (ii). Biji dikeluarkan
Kenyataan bahwa di Sudan masa pembungaan tidak bersama air liur bersama material muntahan (14%).
beraturan, tetapi yang umum dalam periode (iii). Biji yang tersisa di dalam pencernaan hewan
September dan munculnya anakan Januari-Mei. (2%). Perjalanan biji di dalam saluran pencernaan
Rontoknya daun secara intensif terjadi pada April-Mei kurang lebih 6 hari. Pemencaran biji oleh kambing
dengan pembentukan daun kembali (refoliasi) Maret- dilakukan dengan cara yang sama dengan biri-biri
April. Produksi daun dan serasah dipengaruhi oleh yaitu dengan cara mengeluarkan biji bersama air
faktor yang sama yaitu curah hujan, sedangkan liurnya sekitar 24%, dibuang bersama kotoran sekitar
temperatur berpengaruh terhadap pembungaan dan 2,3%. Biji yang dimuntahkan (passed) oleh biri-biri
pembentukan buah. Di Australia buah yang matang dan kambing lebih dari 80% dapat berkecambah
jatuh dari bulan Nopember-Pebruari (Khan, 1970). (viable). Pemencaran biji jarak pendek dalam bentuk
tumpukan lumpur yang menempel pada kuku hewan
selama periode hujan (basah) atau melalui angin
PRODUKSI BIJI yang dapat menerbangkan polong dari pohon yang
tinggi dengan jarak mencapai 25 m. Banjir dapat
Produksi biji A. nilotica sangat tergantung pada membawa biji untuk jarak yang sangat signifikan. Di
ketersedian air. Pohon-pohon yang ditanam di sepanjang sejumlah selokan di Barat Daya
sepanjang saluran air (drainase), dam atau selokan, Queensland banyak tumbuh A. nilotica. Hal ini terjadi
produksi biji setiap tahun tinggi. Di tempat dengan karena polong terakumulasi di dalam selokan
sumber air yang tidak permanen, maka produksi biji tersebut. Sistem drainase ke teluk Carpentaria dan
rendah (hanya sedikit buah per pohon) kecuali pada danau Eyre menyebabkan invasi A. nilotica di tempat
musim dengan jumlah curah hujan yang signifikan. tersebut sangat signifikan mengingat terjadi
Sepanjang 3 km dari saluran air (bore drain) menurut penyebaran secara inter dan intra (Harvey, 1981).
DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 99
bakar (Gupta, 1970; Mahgoub, 1979; New, 1984). dan dapat menurunkan berat badan. Dikatakan juga
Batang dan biji digunakan sebagai sumber tanin dapat menyembuhkan kanker, pilek, kongesti, batuk,
(New, 1984; Shetty, 1977). Spesies ini juga diare, disentri, demam, sakit empedu, pendarahan,
digunakan untuk bahan obat. Batangnya dapat ambien, leucorrhea, opthalmia, sklerosis, cacar dan
digunakan untuk mengobati penyakit ambien tuberkulosis. Kulit kayu, getah, daun, dan polong
(haemorrhages), pilek, tuberkulosis, dan penyakit yang masih muda sangat baik untuk menurunkan
kusta. Akarnya dapat digunakan sebagai perangsang kadar gula darah dan dapat digunakan sebagai
birahi (aphrodisiac) dan bunganya untuk mengobati makanan kunyah. Di Senegal daun dan polongnya
penyakit sipilis (New, 1984). Getah Acacia sinegal digunakan sebagai antiscorbutic, di Ethiopia
kadang-kadang digunakan sebagai bahan tambahan digunakan sebagai lactogogue. Kulit kayunya dibuat
dalam pembuatan getah arabik (arabic gum) sebagai minuman jamu untuk mengobati penyakit
walaupun mutunya tergolong rendah (Gupta, 1970). usus dan diare. Sedian yang lainnya digunakan untuk
Di Sudan A. nilotica digunakan untuk bahan baku mengobati batuk, obat kumur, obat sakit gigi,
pembuatan kertas dan pembuatan pulp yang memiliki opthalmia, dan borok sipilis. Di Tonga, akarnya
kualitas setara dengan kayu di daerah tropis digunakan untuk mengobati tuberkulosis. Di Lebanon
(Nasroun, 1979). resin dan bunga A. nilotica dicampur digunakan
Menurut Duke (1983) bagian kulit kayu A. nilotica sebagai bahan infus untuk memulihkan orang baru
mengandung tanin, digunakan untuk penyamakan sakit tipus. Di Afrika, kayunya digunakan untuk
dan celupan kulit berwarna hitam. Kulit kayu yang mengobati cacar. Masyarakat Nubians Mesir
muda digunakan sebagai serat, rantingnya digunakan meyakini penderita diabetes dapat mengkonsumsi
untuk bahan tusuk gigi (chwstickes). Pohonnya karbohidrat tidak terbatas sepanjang mereka secara
menghasilkan getah arabik (arabic gum). Getah rutin mengkonsumsi bubuk polong A. nilotica. Ekstrak
arabik digunakan untuk membuat lilin, tinta, korek api, dari spesies ini juga dapat menyembuhkan beberapa
dan cat (N.A.S, 1980). Di Sudan polongnya yang macam penyakit yang disebabkan oleh jamur
lunak, dan tunasnya digunakan untuk pakan ternak (Umalkar et al., 1976).
seperti unta, biri-biri, dan kambing, diyakini dapat Di India digunakan secara ekstensif sebagai kayu
meningkatkan produksi susu. Bijinya merupakan bakar dan arang kayu, spesies ini juga digunakan
makanan penting bagi sapi. Kulit biji yang dibakar dalam industri lokomotif dan kapal api. Di Sudan, A.
kadang-kadang digunakan sebagai penyedap dan nilotica sengaja ditanam sebagai bahan baku industri.
kemudian dihaluskan sebagai bahan celupan untuk Nilai kalor getah dari kayunya mencapai 4.800
pakaian berwarna hitam oleh wanita Nankani. Di kcal/kg, bagian dalam kayu (heartwood) mencapai
Sudan pohon digunakan untuk penghutanan kembali 4,950 kcal/kg. Spesies ini juga mempunyai nodul
(reforestation) terutama di daerah yang sering sehingga dapat memfiksasi nitrogen bebas (Duke,
mengalami banjir. Getahnya berwarna putih-kuning, 1983).
bagian tengah kayu digunakan untuk bahan
bangunan, pipa air, papan, alat membajak, lemari, stir
mobil, gagang martil, dan untuk keperluan lainnya. PENGARUH A. NILOTICA TERHADAP PRODUKSI
Hasil kayunya sangat berkualitas, tahan terhadap api RUMPUT
dan sangat baik dijadikan kayu arang. Cairan ekstrak
buahnya banyak mengandung tanin (18-23%) Di padang rumput Mitcheell (barat daya
menunjukkan aktivitas melawan sejumlah Queensland) kehadiran A. nilotica menekan produksi
mikroorganisme antara lain: Chrococcus, Clostridium, padang rumput sangat mengejutkan mencapai 50%
Coelastrum, Cosmarium, Cycclotella, Euglena, pada penutupan kanopi pohon 25-30% atau 2 m2
Microcystis, Oscillatoria, Pediastrum, Rivularia, basal area per hektar (Gambar 1). Penutupan kanopi
Spirogyra, dan Spirulina (Ayoub, 1983). maksimum dan basal area untuk A. nilotica di Barat
Masyarakat Zulu menggunakan kulit kayu A. Daya Queensland sekitar 35% dan 3,5 m2/hektar.
nilotica untuk obat batuk, masyarakat Chipi Nilai tersebut terkait dengan rata-rata tahunan adalah
menggunakan akarnya untuk obat tuberkulosis sama dengan yang ditemukan pada komunitas
(TBC). Masyarakat Masai kulit kayunya digunakan Euclayptus dan Mulga. Teknik perhitungannya
untuk minuman yang memabukkan dan akarnya menggunakan persamaan berikut:
digunakan sebagai jamu-jamuan, diyakini berfungsi
untuk memberi rangsangan keberanian, sebagai y = A + B* e-kx
aphrodisia, dan digunakan juga sebagai obat
impotensi. Di Afrika Kulit kayu digunakan sebagai dimana: y = hasil spesies herba
obat diare, disentri, dan penyakit kusta. Daunnya x = basal area pohon
digunakan sebagai tapal untuk obat borok. Pada k = garis slope
masyarakat Hatwell getah dan kulit kayunya
digunakan untuk mengobati kanker dan tumor Berkaitan dengan hal tersebut di atas generalisasi-
(telinga, mata, dan biji kemaluan) dan untuk nya dikembangkan oleh Scanland dan Burrows
menyembuhkan penyakit hati dan limfa, condylomas, (1990) menunjukkan bahwa slope dari kurva (nilai k)
DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 101
dapat berubah karena faktor kelembaban dan nutrien campuran kedua hewan tersebut. Terakhir dicoba
(potensi lingkungan) setempat. Di bawah kondisi ideal menggunakan kambing untuk mengendalikan A.
maka bentuk kurva cenderung datar (flat), dengan nilotica menunjukkan bahwa, pada saat musim kering
terjadinya penekanan rumput secara linier dengan kambing mengurangi jumlah perkecambahan dan
basal area pohon, oleh karenanya kondisi akan penutupan kanopi pohon (Carter et al., 1990).
memburuk selama musim kering, sehingga pohon
dapat meningkatkan produksi rumput secara BEBERAPA KELEBIHAN A. NILOTICA SEBAGAI
mengejutkan. Produksi tahunan spesies tumbuhan SPESIES INVASIF
berlangsung sebentar saja ternyata tidak
menunjukkan pengaruh terhadap kepadatan pohon. Introduksi tumbuhan yang ditanam dengan
sengaja maupun tidak dari pohon legum dapat
menyebabkan bencana lingkungan misalnya A.
nilotica. Sejumlah karakter A. nilotica yang
menyebabkan spesies ini dapat tersebar dengan
cepat karena: (i) Anakan dari pohon muda terlindung
dari pengembalaan (grazing) karena berduri, (ii)
Perkembangbiakan aktif oleh pengguna lahan di
awal-awal tahun, (iii) Jarak pemencarannya yang jauh
melalui mekanisme (hewan peliharaan, satwa liar dan
banjir), sehingga penyebarannya tidak dapat
dikontrol, (iv) Produksi biji sangat besar (di atas
175.000/pohon), (v) Biji dapat hidup untuk jangka
waktu yang lama, (vi) Tumbuhan muda dapat tumbuh
dengan cepat, (vii) Toleran terhadap pengembalaan,
kekeringan, api, dan salinitas, (viii) Merupakan pohon
kecil pada habitat yang sering terbakar akan
menyerbu secara cepat, (ix) Pohon dapat hidup
dalam jangka waktu yang panjang (30-60 tahun), (x)
Kemungkinan dapat tumbuh pada kisaran iklim yang
ekstrim (Carter et al., 1990).
Pelajaran yang berharga yang dapat diambil dari
invasi ini dan sejumlah saran yang perlu diperhatikan
bahwa semua tumbuhan introduksi harus disaring
dan diteliti secara cermat. Penyaringan tersebut
termasuk observasi di lingkungan habitat asalnya dan
di kawasan tempat diintroduksi meliputi: (i) Mengukur
produksi biji dan lamanya hidup; (ii) Menentukan
metode pemantauan pemencaran biji; (iii) Pengujian
kerentanan perkecambahan dan pohon berukuran
kecil sebagai pakan ada atau tanpa duri; (iv) Analisis
Gambar 1. Pengaruh invasi A. nilotica terhadap produksi bioiklim dan tanah untuk memprediksi potensinya di
padang rumput (kg/ha) di Mitcheell Queensland (Carter et tempat yang baru; (v) Meneliti pengaruh insekta
al., 1990). predator tumbuhan patogen dan pengendalian
tumbuhan dengan api di lingkungan asalnya; (vi)
Implikasi ekologi menggunakan A. nilotica sebagai Meneliti metode praktis untuk mengendalikan baik
sumber pakan (browse) adalah kurang tepat karena secara kimia, mekanis dan biologi sebagai gulma
mempercepat kerusakan lahan. Pohon A. nilotica yang bersifat sangat invasif (Carter et al., 1990).
berkompetisi dengan rumput terhadap keterbatasan Beberapa kesulitan untuk melakukan pengen-
kelembaban tanah, mengurangi suplai makanan, dan dalian terhadap spesies ini adalah: (i) Tidak dapat
meningkatkan tekanan terhadap padang rumput yang diramal pola pertumbuhannya setelah dipindahkan ke
tersisa terutama rumput perenial yang digemari oleh tempat lain, sehingga tidak ada patogen aslinya,
herbivora. Sejumlah fakta dari monitoring lapangan insekta dan hewan pemakan browse; (ii) Tidak dapat
menyarankan bahwa strategi pengembalaan dengan diramal keadaan di bawah kondisi iklim yang baru,
menggunakan biri-biri dapat mengendalikan sebagian baik untuk dikelola maupun kaitannya dengan api,
kecil perkecambahan A. nilotica. Sapi kurang selain itu potensi genful spesies tidak penting di
berpengaruh terhadap perkecambahan A. nilotica. kawasan endemik; (iii) Penyimpangan genetik atau
Survei yang dilakukan oleh Bolton dan James (1985) hibridasi dapat merubah karakter tumbuhan yang
menunjukkan bahwa hanya biri-biri yang diintroduksi (Carter et al., 1990).
memperlihatkan pengurangan secara cepat dan Sekali spesies di introduksi maka diperlukan
signifikan terhadap A. nilotica dibandingkan sapi atau upaya yang dapat menjawab: (i) Monitoring jangka
102 B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104
panjang (tidak hanya ditunjukkan untuk 50-100 kondisi air yang terbatas (curah hujan yang rendah)
tahun), (ii) Aksinya sangat cepat jika dikaitkan dengan tumbuhan ini mampu melakukan regenerasi vegetatif.
masalah gulma. Tidak dapat dipungkiri bahwa satu Hal ini dapat dilihat karena tumbuhnya kembali tunas-
tumbuhan gulma biasanya tidak mungkin untuk tunas dorman yang terdapat di sisa-sisa tonggak
dieliminasi dan tindakan biasanya menyangkut yang belum tercabut dan dibakar atau pada batang-
pengendalaian penyebaran (sangat mahal dan sering batang pohon yang tertinggal. Pada musim hujan
menjadi proses yang sia-sia). Dengan demikian pertumbuhan tunas-tunas dorman tersebut
diperlukan perubahan strategi pengelolaan baru berlangsung cepat dan subur sehingga dengan
untuk mengatasinya dan menguasai pengaruh dari segera membentuk kumpulan A. nilotica berupa
gulma. Pengendalian secara biologi dapat secara semak berduri yang rapat dan sulit untuk ditembus,
sempurna, namun tidak dapat diandalkan sebagai dengan mencapai tinggi 4,5 m dan lebar tajuk 1,5 m.
upaya terakhir. Para ilmuwan berkeyakinan bahwa Pertumbuhan A. nilotica tahun 1998/1999 terjadi
semua tumbuhan introduksi dianggap gulma sebelum sangat pesat sehingga tidak sesuai lagi dengan
diperoleh bukti sebaliknya (Carter et al., 1990). rencana kerja pengendalian yang telah disusun pada
tahun sebelumnya (Anonim, 1999).
Savana Baluran sebagai salah satu ciri khas dan
INVASI A. NILOTICA DI TAMAN NASIONAL identitas Taman Nasional Baluran mempunyai arti
BALURAN sangat penting yang apabila kelestariannya
terganggu, akan berpengaruh terhadap ekosistem-
Saat ini A. nilotica telah tersebar di hampir seluruh ekosistem lainnya. Oleh karena itu setiap tekanan
savana yang ada di Kawasan Taman Nasional atau gangguan terhadap kelestarian ekosistem ini
Baluran Banyuwangi Jawa Timur antara lain Savana harus ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu
Bekol, Kramat, Kajang, Balanan, Lempuyang, Dadap, gangguan yang cukup mengkhawatirkan dan
Asam Sabuk, Curah Udang, Widuri, dan Merak. Pada merupakan ancaman terbesar bagi kelestararian
savana Kramat, Kajang, dan Balanan, tumbuhan ini ekosistem ini adalah semakin luasnya invasi A.
telah membentuk kanopi yang tertutup. Savana yang nilotica. Kecepatan tumbuh dan penyebaran tanaman
belum terinvasi seluruhnya hanya savana Talpat. eksotik ini telah mengakibatkan penurunan kualitas
Selain di daerah savana, tumbuhan ini juga dan kuantitas savana Baluran, serta merubah pola
ditemukan di daerah hutan pantai misalnya Kelor dan prilaku satwa liar herbivora yang salah satu
Popongan (Anonim, 1999). komponen habitatnya adalah padang rumput atau
Kondisi iklim dan alam di Taman Nasional Baluran savana (Sabarno, 2002).
merupakan faktor yang sangat mendukung cepatnya Kualitas suatu padang rumput dapat diketahui dari
penyebaran serta suburnya pertumbuhan A. nilotica. beberapa parameter, antara lain produktivitas dan
Intensitas cahaya matahari yang tinggi dan daya dukungnya. Pengamatan di lapangan
kekeringan merupakan pendorong utama menunjukkan produktivitas dan daya dukung padang
dimakannya biji-biji tumbuhan ini oleh herbivora rumput Taman Nasional Baluran terhadap kebutuhan
seperti banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus pakan satwa menurun. Menurut Alikodra dalam
timorensis), kijang (Mutiacus muntjak), kerbau liar Sabarno (2002) produktivitas suatu kawasan
(Bubalus bubalis) dan babi hutan (Sus sp.). Akibatnya merupakan modal yang secara ekonomis
biji-biji yang keluar bersama kotoran satwa tersebut menguntungkan untuk mengembangkan populasi
tersebar di seluruh kawasan yang dilintasi oleh satwa suatu satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa
tersebut. Intensitas cahaya yang tinggi ditambah faktor yang mempengaruhi kualitas produktivitas
curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun 1998 padang rumput yaitu suksesi, persaingan, jenis
dan 1999 telah merangsang pertumbuhan biji-biji rumput, pengaruh musim dan overgrazing.
yang dorman. Akibatnya pada savana Bekol yang Sedangkan daya dukung yang optimal menunjukkan
kondisinya terbuka setelah pembongkaran A. nilotica suatu keseimbangan antara produksi rumput pada
dilakukan, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan periode tertentu dengan jumlah satwa yang
segera ditumbuhi kembali oleh anakan A. nilotica. merumput. Oleh karena itu suatu kawasan
Kecepatan pertumbuhan anakan di savana Bekol mempunyai daya dukung rendah apabila jumlah
tergolong sangat pesat, dalam waktu yang singkat satwa yang merumput lebih tinggi dari pada nilai daya
sudah dapat mencapai tinggi 100 cm. Hal ini terlihat dukung optimal. Menurut Utomo dalam Sabarno
dari kondisi savana Bekol setelah kegiatan (2002) padang rumput Bekol yang luasnya seluas 75
pencabutan anakan A. nilotica yang dilakukan pada ha, memiliki produktivitas sebesar 13.700 gr/ha/hari.
tahun 1998/1999 seluas 175 ha, telah ditumbuhi Menurut Syarif dalam Riyawati (1999) kebutuhan rusa
kembali, dan kerapatannya sekarang sudah per hari adalah 10% berat tubuh, yaitu rata-rata 5,5
mencapai tingkat mengkhawatirkan. kg/hari/ekor, maka savana Bekol seluas 75 ha hanya
A. nilotica tergolong ke dalam tumbuhan yang mampu mendukung kurang lebih 114 ekor rusa
toleran terhadap kondisi kering (xerofit) yaitu dewasa. Dengan demikian padang pengembalaan
tumbuhan yang dapat hidup dengan baik pada Bekol sudah tidak dapat mendukung kehidupan
kelembaban udara yang rendah, sehingga dalam satwa secara optimal, mengingat dalam sensus
DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 103
Pande, M.B., P.M. Talpada, Z.N. Patel, L.P. Purohit, and P.C. Scanland, J.C. and W.H. Burrows. 1990. Woogy overstory impact
Shukla, 1982. Note on processed babul feeding to mature on herbaceus understorey in Eucalyptus spp. Communities in
Kankrej bullocks. Indian Journal of Animal Science 52: 798- central Queensland. Australian Journal of Ecology 15: 191-197.
799. Shetty, K.A.B. 1977. Social forestry in Tamil Nadu. Indian Farming
Purl, D.N. and M.L. Khybri. 1975. Economics of chambal ravine 26: 82.
afforesttion. Indian Forester 101: 448-451. Tanner, J.C., J.D. Reed, and E. Owen. 1990. The nutritive value of
Reed, J.D. 1986. Relationship among soluble phenolic, insoluble fruits (pods with seeds) from four Acacia spp. Copared with
proanthocyanidins and fibre in East African Browse Species. extrated noug (Guizotia abyssinica) meal as supplements to
Journal of Range Management 39: 5-7. maize stover for Ethiopian higtland sheep. Animal Production
Radford, I.D., D.J. Kriticos, M. Nicholas, and J.R. Brown, 1999. 51: 127-133.
Towords an integrated approach to management of Acacia Thomas, S.C. and J. Weiner. 1989. Including competitive
nilotica in northern Austrlaia. Proceedings of the VI asymmetry in measure of local interference in plant
International Rangland Congress, Jul. 17-23 1999. Townsville. populations. Oecologia 80: 349-355.
Reynolds, J.A. and J.O. Carter. 1990. Woody weeds in central Umalkar, C.V., S. Begum, K.M.A. Nehimiah. 1976. Inhibitory effect
western Queensland In: Proceedings 6 th Biennial Conference, of Acacia nilotica extracs on pectolytic enzyme production by
Australian Rangelands Society, Carnarvon, Western Australia. some pathogenic fungi. Indian Phytopathology (publ. 1977) 29
pp. 304-306. (4): 469-470.
Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor (Cervus Walker, B.H. 1980. A review of browse and its role in livestock
timorensis) di Savana Bekol Balai Taman Nasional Baluran production in southern Africa. P. 7-24. In: LeHouerou, H.N.
Banyuwangi Jawa Timur. [Skripsi]. Malang: Institut Pertanian (ed.). Browse in Africa. Addis Ababa, Ethiopia: International
Malang. Livestock Centre for Africa.
Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Walker, J. and T.I. Dowling. 1990. A non-stochastic,
Biodiversitas 3: 207-212 physiologically-based model of plant invasion using ecological
field theory. Plant Protection Quarterly 6 (1): 10-13.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 5, Nomor 2 Juli 2004
Halaman: 105-118
R E V I E W:
ABSTRACT
The restoration of mangroves has received a lot of attentions world wide for several reasons. Mangrove ecosystem is very
important in term of socio-economic and ecology functions. Because of its functions, wide range of people paid attention
whenever mangrove restoration taken place. Mangrove restoration potentially increases mangrove resource value, protect
the coastal area from destruction, conserve biodiversity, fish production and both of directly and indirectly support the life of
surrounding people. This paper outlines the activities of mangrove restoration on Java island. The extensive research has
been carried out on the ecology, structure and functioning of the mangrove ecosystem. However, the findings have not
been interpreted in a management framework, thus mangrove forests around the world continue to be over-exploited,
converted to aquaculture ponds, and polluted. We strongly argue that links between research and sustainable management
of mangrove ecosystem should be established.
© 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: mangrove, restoration, management, Java.
konversi ke tambak ikan dan udang, serta 19 di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam
pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu (Teas, 1980; Teas et al., 1975). Kegiatan manajemen
kiranya mengaitkan penelitian mangrove dengan meliputi penanaman, penjarangan, penyiangan
manajemen lestari ekosistem tersebut. spesies yang tidak dikehendaki, dan persemaian
propagul, khususnya Rhizophora. Informasi silvikultur
mangrove untuk restorasi relatif masih sedikit. Pada
SEJARAH RESTORASI MANGROVE saat ini telah diketahui spesies-spesies pohon yang
dapat digunakan untuk restorasi, namun kegiatan
Penanaman dan pengelolaan mangrove memiliki penciptaan ekosistem yang bernilai bagi perikanan
sejarah panjang di Asia Tenggara (Watson, 1928), dan konservasi masih jarang (Kaly dan Jones, 1996).
meskipun catatan tertua mengenai manajemen Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan
mangrove sebagai penghasil kayu terdapat di konservasi mangrove dilakukan oleh Perhutani dan
Sundarbans, suatu hutan mangrove seluas 6.000 km2 masyarakat di pantai utara Jawa dengan sistem
di perbatasan India dan Banglades, yang dikelola “empang parit” (“tambak tumpangsari”). Sistem ini
sejak 1769, dimana rencana kerja lengkap pengelola- merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia,
annya telah disempurnakan pada tahun 1893-1894 dimana pada hutan mangrove dibuat lajur-lajur
(Chowdhury dan Ahmed, 1994). Hutan mangrove tambak untuk memelihara ikan, atau sebaliknya di
seluas 40.000 ha di Matang, Malaysia yang dikelola atas tambak dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove,
sejak 1902 untuk menghasilkan kayu bakar (Watson, misalnya di Brebes, Pemalang, Cirebon, Indramayu,
1928), merupakan contoh tertua dan terbaik mana- Purwakarta, Karawang, dan Tanggerang (Anonim,
jemen hutan mangrove (Khoon dan Eong, 1995). 1991, 1997; Fitzgerald dan Savitri, 2002; Fitzgerald,
Pada saat ini mangrove dikelola secara terinte- 1997, 2002; Tessar dan Insan, 1993; Hartina, 1996;
grasi untuk budidaya ikan dan udang (Primavera, Widiarti dan Effendi, 1989).
1995), ekoturisme (Bacon, 1987), mencegah erosi Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove
(Teas, 1977), eksperimen biologi (Rabinowitz, 1978), tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan
melindungi dari badai (Hamilton dan Snedaker, lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini
1984), dan merestorasi kerusakan ekosistem akibat terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif
tumpahan minyak (Duke, 1996). Restorasi ekosistem terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove
mangrove yang rusak antara lain dibahas oleh yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil
Watson (1928), Noakes (1951), Chapman (1976), adalah penanaman Rhizophora spp. di sepanjang
Lewis (1982), Hamilton dan Snedaker (1984), Lewis pantai utara Rembang, khususnya di kecamatan kota.
(1990a, 1990b), Crewz dan Lewis (1991), Cintron- Pada tahun 1980-an, pemerintah setempat bersama
Molero (1992), Saenger dan Siddiqi (1993), Siddiqi et para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove
al. (1993), dan Field (1996). pada area dengan panjang sekitar 3000 m, dan lebar
Penanaman kembali hutan-hutan daratan yang antara 100-300 m. Pada saat ini tegakan yang
rusak (reboisasi) telah dilakukan selama ratusan terbentuk sudah dapat menjalankan fungsi utamanya
tahun, namun reboisasi ekosistem mangrove baru sebagai penahan gelombang laut, angin dan
akhir-akhir ini mendapatkan perhatian serius, seperti mencegah pantai dari abrasi. Untuk menjaga
di Indonesia, Malaysia, Banglades, dan Cina. kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat
Banglades mempelopori penghutanan mangrove diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang
dengan sukses sejak 1966 di atas tanah seluas memiliki hak untuk memanen ekosistem yang ada,
113.000 ha (Choudhury, 2000). Malaysia sejak 1980 dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah
menanam berbagai tumbuhan mangrove untuk satu kegiatan terkait konservasi yang cukup berhasil
membatu regenerasi alami dan memantapkan adalah pembibitan Rhizophora spp. untuk memenuhi
penutupan hutan (Hassan, 1981). Penghutanan kebutuhan bibit proyek-proyek rehabilitasi hutan
mangrove di Cina dimulai pada akhir 1950-an dan bakau di Jawa. Kawasan ini merupakan salah satu
diaktifkan lagi pada tahun 1980 (Baowen et al., 1997). pusat pembibitan Rhizophora spp. terbesar di Jawa.
Di Indonesia, reboisasi mangrove diawali di Sinjai, Pantai utara Rembang merupakan tidal flat bagi
Sulawesi pada tahun 1985 diprakarsai sekelompok sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok,
nelayan. Kesuksesan upaya ini mendorong reboisasi Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga
mangrove di seluruh Indonesia (Choudhury, 1996). Di memungkikan terus berlanjutnya perluasan ekosistem
atas kertas, rehabilitasi mangrove mendapatkan mangrove ke arah laut. Suatu tindakan yang hingga
perhatian cukup besar dalam Strategi Nasional saat ini masih terus dilakukan oleh pemerintah
Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Anonim, 2003), setempat. Pada akhirnya lokasi ini bernilai konservasi
namun implementasi di lapangan tampaknya masih karena menarik berbagai hidupan liar yang megah,
jauh dari harapan. Kegagalan beberapa kegiatan khususnya spesies-spesies burung air. Di samping itu
restorasi ditengarai karena pendekatan “proyek” yang terdapat pula nilai edukasi dan turisme, dimana
menyebabkan lemahnya manajemen pelaksanaan. sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan
Silvikultur mangrove (penanaman, pemeliharaan, menjadi lokasi praktikum dan penelitian mahasiswa
dan pemanenan) telah dilaksanakan sejak abad ke- dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 107
bagian kecil dari suatu tipe ekosistem yang umum, tahun 1970 terjadi akselerasi pertambakan, khusus-
namun apabila tipe ekosistem tersebut sangat langka nya dengan ditemukannya metode budidaya intensif
maka restorasi ke kondisi asli barangkali diperlukan udang di tambak (Fitzgerald dan Savitri, 2002),
(Cairns, 1988). Dalam tulisan ini, hanya disinggung sehingga sejumlah besar area mangrove di pantai
praktek restorasi mangrove dengan tujuan melindungi utara Jawa diubah menjadi tambak. Namun tambak
pantai, mengembalikan tambak yang rusak, serta udang intensif berkonsekuensi pada perubahan
mengatasi kerusakan akibat tumpahan minyak. kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit,
dan pencemaran lingkungan, sehingga ratusan hektar
tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak
Pelindung pantai tidak terurus (Setyawan dkk., 2002). Dalam kondisi
Di kawasan yang penuh aktivitas dan padat demikian, Stevenson et al. (1999) menyarankan agar
penduduk, restorasi dapat ditujukan untuk melindungi dilakukan restorasi mangrove pada tambak udang
pantai (Stevenson et al., 1999). Di pantai utara Jawa, yang rusak, diikuti pembukaan area mangrove baru
abrasi merupakan fenomena yang sering terjadi, untuk tambak udang.
seperti di Tangerang (Media Indonesia, 19/08/2002, Pengamatan di beberapa kawasan pantai utara
03/10/2003), Jakarta (Media Indonesia, 17/06/2002), Jawa menunjukkan, tingginya sedimentasi
Indramayu (Pikiran Rakyat, 27/12/2002; Republika menyebabkan garis pantai cenderung terus menuju
Online, 17/04/2002; Suara Pembaruan, 07/07/2002, ke arah laut, dengan segaris mangrove tepi sebagai
11/12/2002; Pikiran Rakyat, 14/03/2003), Cirebon batas antara laut dengan lahan budidaya masyarakat,
(Media Indonesia, 08/04/2003), Brebes (Media umumnya berupa tambak bandeng, tambak udang
Indonesia, 28/07/2003), Tegal (Kompas, 06/08/2002), atau tambak garam. Mangrove tepi ini sekaligus
Pemalang, Pekalongan (Media Indonesia, berfungsi sebagai pelindung dari ombak, badai, dan
31/05/2002; Republika Online, 15/07/2003), Kendal, abrasi. Dalam periode tertentu, luasan dataran
Semarang, Demak, Jepara, dan Pati (Kompas, lumpur yang ditumbuhi mangrove cukup untuk diubah
15/08/2002; Suara Merdeka, 26/01/2003). menjadi tambak dengan menyisakan segaris
Pembabatan mangrove di beberapa kawasan mangrove tepi, biasanya berupa tegakan Avicennia
terkait erat dengan kerusakan ekosistem ini, atau Rhizophora. Pembukaan kawasan mangrove ini
meskipun dapat pula terjadi karena perubahan arus umumnya dimulai dengan proses pelelangan oleh
laut akibat pengerukan pasir (Pikiran Rakyat, aparat desa setempat, sehingga area ini berubah dari
04/04/2002; Media Indonesia, 15/09/2003), reklamasi tanah publik menjadi tanah pribadi. Dalam hal ini,
pantai (Kompas, 06/10/2003), gangguan/pemindahan tambak lama letaknya akan semakin jauh dari pantai,
muara sungai (Kompas, 10/11/2002), dan kerusakan akumulasi perubahan kondisi hidrologi, edafit,
terumbu karang (Whitten et al., 2000). Restorasi penyakit, dan pencemaran lingkungan menyebabkan
ekosistem mangrove diharapkan dapat memulihkan tambak ini tidak lagi ekonomis untuk diusahakan.
kondisi lingkungan seperti semula, meskipun harapan Upaya untuk mengembalikan area ini kembali ke
ini tidak selalu berhasil mengingat pada kasus ekosistem mangrove merupakan tindakan mahal,
tertentu kerusakan yang timbul bersifat permanen mengingat tanah tersebut merupakan milik pribadi,
sehingga penanaman mangrove tidak dapat serta adanya perubahan pola hidrologi. Akibatnya
mengatasi, tanpa perubahan kondisi-kondisi lain yang banyak bekas-bekas tambak yang dibiarkan tidak
menyebabkan perubahan arus laut. Di samping itu terawat (Jawa: bera). Dalam jumlah cukup signifikan,
kesembuhan ekosistem mangrove bersifat jangka kondisi demikian dapat dijumpai pada “cekungan”
panjang, dimana pada kasus tertentu, kecepatan antara gunung Muria dan gunung Lasem, salah satu
abrasi jauh melebihi kemampuan tumbuhnya produsen bandeng budidaya terbesar di Jawa, yang
mangrove. Meskipun pada akhirnya abrasi akan meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. Pada kondisi
terhenti dengan sendirinya apabila pola arus laut ketersediaan air tawar mencukupi, secara gradual
kembali seimbang. Dalam hal ini pembangunan bekas tambak dapat diubah menjadi sawah, seperti di
tanggul dan pemecah gelombang tampaknya lebih sepanjang pesisir Demak, meskipun untuk itu perlu
sesuai (Pikiran Rakyat, 27/12/2002). dibangun tanggul dan bendungan untuk mencegah
masuknya air laut di kala pasang (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi).
Restorasi mangrove pada bekas tambak udang Di Indonesia, upaya restorasi mangrove pada
Restorasi secara khusus dapat pula ditujukan untuk bekas tambak udang dalam luasan yang signifikan
mengembalikan bekas tambak udang ke ekosistem dan cukup berhasil antara lain dilakukan di teluk
mangrove. Hingga kini sangat sedikit laporan Benoa, Bali. Budidaya udang di kawasan ini dimulai
berkenaan dengan restorasi tambak (Stevenson dkk., pada tahun 1991, dan program restorasi dimulai sejak
1999). Pembangunan tambak udang merupakan tahun 1995, dimana sekitar 350 ha tambak udang
salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem rusak ditanami mangrove kembali. Penanaman
mangrove di Jawa. Tambak ikan memiliki sejarah dimulai dari bekas tambak paling dekat daratan
panjang di Jawa, dimana bandeng (Chanos chanos) menuju arah laut (Stevenson dkk., 1999).
telah dibudidayakan sejak abad ke-15, namun pada
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 109
(i) Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, menyertakan masukan lokal akan lebih berhasil dan
meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan mendapatkan dukungan politis lebih besar. Dua
pemantapan seedling. pendekatan telah digunakan di restorasi area
(ii) Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi mangrove yang terdegradasi, yaitu regenerasi buatan
distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies dan alami (Kairo et al., 2001).
mangrove yang diinginkan. Keberhasilan harus dapat diukur sebagai derajat
(iii) Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat dimana fungsi ekosistem alami yang digantikan dapat
mencegah suksesi sekunder secara alami. ditingkatkan. Hal ini tidak hanya ditentukan
(iv) Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan berdasarkan spesies yang hadir dan fungsi yang
penggunaan propagul alami. terkait denganya, tetapi juga sifat fisik, kimia dan
(v) Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen biologi habitat. Ekosistem yang direstorasi juga harus
alami tidak mencukupi untuk penyembuhan. dapat merespon cekaman dan perubahan lingkungan
sepanjang waktu sebagaimana ekosistem alami.
Beberapa faktor penting yang terkait dengan
KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN RESTORASI keberhasilan restorasi wetland adalah kemampuan
untuk mengakses dan membuat kembali hidrologi,
Pada bagian pertama tulisan ini telah serta mengelola dan melindungi wetland baru dalam
dikemukakan kondisi terkini ekosistem mangrove di jangka panjang (Kusler dan Kentula, 1990).
Jawa, termasuk keterancaman dan kerusakan Secara ringkas, faktor-faktor yang perlu
(Setyawan dkk., 2003). Keberhasilan restorasi diperhatikan dalam restorasi mangrove mencakup
mangrove antar lokasi sulit digeneralisasikan, karena stabilitas tanah dan pola penggenangan (Pulver,
tergantung kondisi lingkungan setempat dan spesies 1975), pasang surut dan ombak (Lewis, 1992, Field,
yang ditanam, sehingga perlu diketahui pola yang 1996), elevasi (Hoffman et al., 1985), salinitas dan
mendasari terbentuknya tegakan mangrove (Field, aliran air tawar permukaan (Jiminez, 1990),
1998a). Umumnya pola hidrologi dianggap sebagai ketersediaan propagul (Loyche, 1989, Kairo et al.,
faktor utama yang mempengaruhi daya tahan dan 2001), predasi propagul (Dahdouh-Guebas et al.,
pertumbuhan seedling mangrove (Field, 1996, 1997, 1998), jarak dan kerapatan (FAO, 1985, Kairo
1998b). Oleh karena itu, mangrove ditanam pada et al., 2001), eradikasi gulma (Saenger dan Siddique,
lokasi dengan ombak kecil, dimana tingkat erosi 1993), teknik pembibitan (Siddique et al., 1993),
pantai minimal. Pengetahuan zonasi spesies pemantauan (Lewis, 1990b), keikutsertaan
mangrove diperlukan untuk menentukan area yang masyarakat (Kairo dkk., 2001) dan biaya yang
sesuai untuk spesies yang berbeda (Kairo et al., dibutuhkan (Field, 1998a). Di Jawa, kegagalan
2001). Zonasi ini merupakan hasil toleransi restorasi mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan
lingkungan dan pilihan fisiologis setiap spesies pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe
(Rabinowitz, 1978). Setiap spesies mangrove tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan
mempunyai suatu cakupan toleransi yang spesifik ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan
terhadap parameter-parameter lingkungan, seperti ketiadaan partisipasi masyarakat (ADS, 2002-2003,
kadar garam, genangan pasang surut, keteduhan, pengamatan pribadi).
elevasi daratan dan lain-lain. Hal ini membatasi zona Kelemahan manajemen dan tidak adanya peran
yang sesuai bagi keberadaannya. Sonneratia alba aktif masyarakat merupakan penyebab utama
dan Rhizophora akan tumbuh pada perbatasan kegagalan restorasi di beberapa lokasi di Jawa,
ekosistem mangrove dengan laut, sebab tidak selain akibat melanggar langkah-langkah penting lain.
mampu menoleransi fluktuasi konsentrasi garam Kegagalan restorasi mangrove di muara Bogowonto
yang besar, sedang Ceriops tagal dan Avicennia antara lain juga disebabkan kesalahan pemilihan
marina dapat menoleransi kadar garam yang tinggi sumber propagul dan pemahaman pola genangan.
sehingga ditemukan pada batas ekosistem mangrove Penanaman Sonneratia spp. dengan bibit dari Segara
dengan daratan. Oleh karena itu, Sonneratia dapat Anakan Cilacap ke Sungai Bogowonto pada tahun
ditanam pada dataran lumpur yang berbatasan 1997 menunjukkan kegagalan pertumbuhan akibat
langsung dengan laut, sedangkan Ceriops dan adanya genangan. Secara alami, setiap tahun di
Avicennia dapat ditanam pada lokasi kering yang musim kemarau muara Sungai Bogowonto
berbatasan dengan daratan (Kairo et al., 2001). mengalami penggenangan sekitar 4-6 minggu. Hal ini
Faktor penting lainnya yang menentukan terjadi karena terbentuknya gumuk pasir (sanddunes)
keberhasilan proyek restorasi adalah tingkat yang membendung muara sungai. Bendungan ini
kerjasama dari masyarakat dan para pemimpin lokal. akan jebol dengan sendirinya ketika volume air yang
Tekanan populasi lokal akan mempengaruhi struktur terbendung melimpah. Bibit Sonneratia spp. dapat
dan fungsi ekosistem mangrove di sekitarnya. bertahan hingga tahun 1999, karena pada tahun 1998
Pendidikan lingkungan dapat mendorong keterlibatan tidak terjadi genangan yang cukup berarti akibat
aktif dan keikutsertaan publik yang lebih besar. curah hujan dan debit air sungai cukup tinggi
Keduanya merupakan isu penting dalam manajemen sepanjang tahun sehingga mampu menembus gumuk
dan konservasi mangrove. Keputusan manajemen pasir di muara sungai. Namun pada musim kemarau
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 111
tahun 1999, kembali terjadi genangan selama 6 bubalis), sehingga seedling alami hanya dapat berta-
minggu, sehingga hampir semua populasi Sonneratia han di kawasan yang sulit dijangkau ternak, sedang-
spp. dari Segara Anakan Cilacap mati terendam, kan penanaman sengaja hanya dapat dilakukan pada
namun populasi lokal tetap bertahan (Tjut S. Djohan, area yang dipagari, yang biasanya telah rusak se-
2001, komunikasi pribadi). Pengamatan isozim oleh belum seedling cukup tinggi, sehingga akan dimakan
penulis menunjukkan adanya perbedaan pola pita kerbau (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
isozim populasi Sonneratia spp dari kedua lokasi Di pantai utara Jawa, kegagalan restorasi juga
tersebut. Menurut McPhaden (1999), badai El Nino dapat disebabkan perubahan arus laut. Hal ini terjadi
South Oscillation (ENSO) pada tahun 1997-1998 pada pantai-pantai terabrasi, dimana penanaman
merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, hingga mangrove akan sia-sia, selama penyebab utama
mencurahkan cukup banyak air ke kawasan barat abrasi belum diatasi, karena seedling yang ditanam
Pasifik, setelah sebelumnya menyebabkan ikut tergerus arus laut. Salah satu contoh
kekeringan hebat. Di samping itu kegagalan juga keberhasilan penanaman mangrove untuk mencegah
disebabkan perumputan oleh kerbau, sebagaimana abrasi ditemukan di kawasan Bulak-Semat, Jepara.
terjadi pada populasi Rhizophora spp (ADS, 2002- Pada tahun 1980-an pantai di kawasan ini terabrasi
2003, pengamatan pribadi). akibat kerusakan terumbu karang dan pembabatan
Di pantai selatan Jawa, kegagalan restorasi juga hutan mangrove. Pembuatan tanggul pemecah
terjadi di muara sungai Cakrayasan, Purworejo dan gelombang dan penanaman mangrove terbukti dapat
muara sungai Luk Ulo, Kebumen. Pada tahun 2000, mengurangi efek abrasi. Pada saat ini Rhizophora
dilakukan restorasi ekosistem mangrove di kedua yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut,
lokasi ini dengan spesies Rhizophora spp. Di muara dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih,
sungai Cakrayasan, kegagalan restorasi menunjukkan garis pantai berhenti di bawah tegakan
kemungkinan besar disebabkan akumulasi sampah komunitas ini (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
dari hulu sungai pada awal musim hujan. Sampah,
seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain-
lain menutupi area penanaman sehingga anakan TEKNIK RESTORASI
mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan
sebagian besar seedling yang perakarannya masih Kebanyakan restorasi hanya bertumpu pada
lemah ikut terhanyut ke laut. Di pantai utara Jawa, di penanaman pohon mangrove, kurang memperhatikan
sepanjang muara-muara sungai di Demak, Jepara, struktur komunitas dalam jangka panjang atau
Pati, dan Rembang, kematian seedling akibat kaitannya dengan ekosistem di sekitarnya (Kusler
“terjerat” sampah domestik merupakan kejadian dan Kentula, 1990; Simberloff, 1990). Kebanyakan
umum. Secara unik “penjeratan” ini juga dilakukan proyek restorasi mangrove hanya bersangkutan
oleh sejenis algae lembaran, Ulva spp. Spesies ini dengan introduksi pohon mangrove, dengan harapan
hidup mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, hidupan lain seperti kepiting, meiofauna, algae, ikan,
yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi dan fauna mangrove lain akan mengikuti dengan
propagul alami, dan dipilih dalam program sendirinya ketika habitat yang dibuat telah mapan
penghijauan mangrove. Pada saat air pasang, Ulva (Kaly dan Jones, 1996). Biasanya restorasi hanya
akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci,
tersangkut, melekat, dan mati pada seedling restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara
mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan keseluruhan tergantung pada proses alami berikutnya
mematikan seedling tersebut. Kondisi ini (IPIECA, 1993).
menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau
program penghijauan bakau di tepi pantai Pasar propagul, anakan pohon, atau pohon yang lebih
Banggi, Rembang. Di Segara Anakan, kegagalan besar. Penanaman biji atau propagul dapat dilakukan
restorasi akibat sampah, kurang teramati mengingat secara langsung di area yang direstorasi, atau
luasnya area mangrove tersebut (ADS, 2002-2003, disemaikan dahulu hingga setinggi 0,3-1,2 m
pengamatan pribadi). Ancaman terbesar ekosistem (Thorhaug, 1990). Penyemaian biji atau propagul
mangrove di kawasan ini adalah sedimentasi menjadi anakan pohon dapat meningkatkan
(Winarno dan Setyawan, 2002). keberhasilan penanaman dibandingkan menanamnya
Di muara sungai Luk Ulo, Kebumen selain secara langsung (Hannan, 1975; Thorhaug, 1990),
sampah, pola genangan, dan jenis tanah berpasir meskipun demikian suatu eksperimen di kawasan
yang cenderung kurang cocok bagi Rhizophora; tropis Australia menunjukkan bahwa keberhasilan
tampaknya penggembalaan merupakan penyebab hidup dan pertumbuhan bibit mangrove tidak ada
utama kegagalan restorasi. Lokasi mangrove yang perbedaan signifikan antara benih hasil semaian,
direstorasi merupakan area penggembalaan ternak cangkokan, dan benih yang ditanam langsung (Kaly
sapi (Bos sondaicus), sehingga seedling yang dita- dan Jones, 1996).
nam tidak tersisa akibat perumputan. Hal sama terjadi Strategi menghilangkan makrofauna pada awal
di muara sungai Bogowonto, dimana area mangrove restorasi dapat membantu pertumbuhan mangrove,
merupakan kawasan penggembalaan kerbau (Bos karena menjadi pemangsa atau parasit propagul dan
112 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi
tumbuhan muda. Smith (1987a,b,c) menemukan mengeruk tanah di permukaan tambak yang
bahwa kepiting merupakan predator bibit mangrove dikeringkan setebal 15 cm dan ditambahkan kapur
yang signifikan, dan dapat mempengaruhi distribusi untuk mencegah pelepasan asam. Cara lain adalah
spesies di hutan mangrove. Kepiting dapat menggenangi tanah dengan air pasang dan
memusnahkan sama sekali Avicennia marina dengan membiarkan waktu untuk mengoksidasi asam
mengkonsumsi 100% propagul. Menurut Tampa dan sebelum ditanami kembali. Tanah dikembalikan ke
Tampa (1988), Kumbang parasit Coccotrypes fallax kondisi anoksik sebagaimana area lumpur pasang
(Scolytidae) dapat mengerumuni sampai 95% surut alami. Di ekosistem mangrove tropis, bakteri
propagul dan seedling. Menurut Kitamura et al. tanah memainkan peranan penting dalam jejaring
(1997), jenis hama dan penyakit utama seedling makanan benthos, seperti memineralisasikan detritus
mangrove pada kebun bibit di Bali adalah kepiting, organik dan mendaur ulang nutrien penting (Kaly dan
kumbang dan tikus. Jones, 1996). Oleh karena itu, proses biogeokimia
alami perlu didorong untuk menumbuhkan bakteri
(Alongi, 1994).
RESTORASI FISIK HABITAT Polutan. Mangrove merupakan ekoton antara
kawasan daratan dan laut, sehingga pencemaran
Sebelum dilaksanakan penanaman tumbuhan yang terjadi di darat maupun di laut dapat menumpuk
mangrove, perlu dilakukan restorasi fisik habitat di kawasan ini. Salaha satu jenis bahan pencemar
sehingga memungkinkan tumbuhan mangrove yang yang menarik adalah tumpahan minyak bumi. Dalam
ditanam dapat tumbuh sehat. Secara umum habitat suatu studi, Sonneratia caseolaris, digunakan
fisik yang perlu diperhatikan mencakup pola hidrologi, sebagai tumbuhan pionir dan ditanam pada tanah
kondisi tanah dan adanya bahan pencemar. yang terpolusi minyak di delta Mahakam, sebagian
Hidrologi. Ekosistem mangrove sudah lama dari lokasi ini juga terpolusi pupuk nitrat dan sisa-sisa
dikenal sebagai pelindung dan pemantap garis pantai dispersan minyak. Dalam hal ini restorasi diarahkan
(Othman, 1994), sehingga selamat dari angin topan hanya untuk mengembalikan satu spesies mangrove
dan gelombang laut, namun mangrove hanya dapat yang paling kuat sebagai starter. Minyak mempenga-
mempengaruhi tingkat pengendapan sedimen atau ruhi kematian dan pertumbuhan seedling yang di-
erosi, tetapi tidak mengendalikannya (Gill, 1971; tanam, tetapi dispersan berpengaruh lebih buruk lagi.
Hannan, 1975). Oleh karena itu pada pantai yang Untuk itu area mangrove yang tertumpahi minyak se-
terabrasi akibat perubahan arus laut, tetap baiknya tidak disemprot dispersan dan penanaman
memerlukan tanggul pemecah ombak seperti batu, ditunda hingga beberapa bulan (Dutrieux et al., 1990).
kuadrapot, tiang pancang, karung goni atau bekas
ban (Teas et al., 1975; Hannan, 1975). Struktur
tersebut dapat mempercepat kesembuhan ekosistem REGENERASI ALAMI
mangrove (Lin dan Beal, 1995) dan mendorong
terbentuknya mangrove baru pada kawasan Regenerasi mangrove secara alami menggunakan
sekitarnya. Hidrologi yang mempengaruhi biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber
keberhasilan restorasi mangrove, meliputi: pola bibit, sehingga komposisi spesies yang tumbuh
pasang surut (frekuensi dan periode), ketinggian tergantung pada populasi mangrove tetangganya.
sedimen dan drainase, serta masukan air tawar (Kaly Kemampuan mangrove menyebar dan tumbuh
dan Jones, 1996). Kegagalan restorasi seringkali dengan sendirinya tergantung pada kondisi hutan,
akibat sulitnya memperbaiki pola hidrologi (Kusler arus pasang surut, dan stabilitas tanah (Kairo et al.,
dan Kentula, 1990). Pada area dimana terjadi 2001). Pada famili Rhizophoraceae, propagul
sedimentasi pasir, kemungkinan diperlukan dilengkapi dengan hipokotil runcing yang akan jatuh
pengerukan untuk mencapai tanah mangrove yang dan menanam diri sendiri pada lumpur tidak jauh dari
kaya bahan organik. Restorasi hidrologi termasuk induknya (La Rue dan Muzik, 1954), namun apabila
menghubungkan kembali area dengan laut terbuka propagul tersebut jatuh pada saat air pasang atau
sehingga terjadi arus pasang surut yang normal ombak tinggi, kadang-kadang tidak dapat menancap
(Brockmeyer et al., 1997, Turner dan Lewis, 1997), di lumpur, bahkan tersapu dan terbawa arus laut,
serta pembatasan pengaruh gelombang akibat lalu hingga tumbuh jauh dari induknya (Rabinowitz, 1978;
lintas perahu (Knutson et al., 1981). van Speybroeck, 1992).
Kondisi tanah. Tanah sulfat asam (acid soil), yang Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
umum ditemukan pada area mangrove di seluruh dapat menurunkan stabilitas tanah, sehingga
dunia tropis serta diakibatkan oleh oksidasi dan propagul dan anak pohon mudah dihanyutkan ombak
asidifikasi sedimen yang mengandung pirit ketika dan regenerasi alami sulit terbentuk (Kairo et al.,
penggalian dan pengeringan, merupakan tantangan 2001). Di Malaysia, direkomendasikan agar disisakan
potensial dalam restorasi ekosistem mangrove sebanyak 12 pohon induk per ha, sebagai penyuplai
(Brinkman dan Singh, 1982). Tanah ini dapat memiliki biji regenerasi alami (Tang, 1978, FAO, 1994), namun
pH 2 (Kaly dan Jones, 1996). Brinkman dan Singh pada lokasi-lokasi dengan tingkat regenerasi rendah
(1982) mengurangi kondisi sulfat asam dengan jumlah tersebut dapat dinaikkan. Di Thailand,
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 113
penggunaan pohon induk diganti lajur-lajur mangrove Pada spesies mangrove tertentu ketersediaan
yang tidak ditebangi untuk menjaga regenerasi (FAO, propagul tergantung musim. Propagul mangrove yang
1985). Kelebihan dan kekurangan regenerasi alami telah masak dikoleksi dari pohon induk, dari bawah
dan regenerasi buatan tersaji pada Tabel 1. pohon atau dari pantai. Pada Rhizophora dan Ceriops
warna hipokotil dapat digunakan untuk membedakan
Tabel 1. Kelebih dan kekurangan regenerasi secara alami propagul muda dari yang masak. Pada Avicennia,
(Kairo et al., 2001). propagul masak dapat dipetik dengan mudah dari
induknya dengan meninggalkan kelopak. Propagul
Kelebihan hasil koleksi dapat disimpan dalam kantung plastik
lembab selama tiga hari hingga beberapa minggu, di
• Lebih murah. tempat teduh, untuk meningkatkan daya tahan
• Tidak memerlukan tenaga kerja dan peralatan. terhadap serangan kepiting (Watson, 1928, Dahdouh-
• Lebih sedikit disturbansi pada tanah. Guebas et al., 1997). Propagul juga dapat dilindungi
• Pertumbuhan anakan pohon lebih subur. dengan mengecat hipokotil atau meletakkannya
dalam buluh bambu (FAO, 1994). Sepanjang
Kekurangan kelembaban dijaga, propagul mangrove dapat
disimpan selama enam bulan (Kairo et al, 2001).
• Spesies pengganti kemungkinan berbeda dengan
Pada saat penanaman anak pohon baik dari
spesies semula.
kebun pembibitan atau hutan alam perlu dilakukan
• Ketiadaan pohon induk menyebabkan bibit sedikit atau
tidak ada. upaya melindungi akar, baik ketika dicabut atau
• Pengkayaan genetika sulit terjadi. ditanam. Hal ini biasanya dilakukan dengan
• Ombak laut dapat menyebabkan sulit mapan. menyekop anak pohon dengan diameter tanah
• Terjadi predasi bibit oleh makrofauna (seperti kepiting separuh tinggi anak pohon. Daya tahan propagul atau
dan siput). anak pohon lebih baik (80-100% dari 70.000 setelah
• Jarak tanam, asal dan komposisi spesies bibit sulit 24 bulan) dibanding pohon kecil (< 5% setelah 12
dikontrol. bulan). Anak pohon dari kebun pembibitan memiliki
daya tahan lebih tinggi (80-100% setelah 24 bulan)
dibandingkan seedling alami (Kairo et al., 2001).
REGENERASI BUATAN Bibit mangrove dapat pula diperoleh dengan
mencangkok, misalnya pada Rhizophora mangle,
Regenerasi mangrove secara alami dapat berlang- Avicennia germinans, dan Laguncularia racemosa
sung lambat, karena perubahan kondisi tanah, pola (Calton dan Moffler, 1978). Keberhasilan teknik ini
hidrologi, dan terhambatnya suplai bibit. Regenerasi tergantung spesies, terdapat perbedaan signifikan
buatan pertama-tama harus memperbaiki pola hidro- (p<0,001) keberhasilan pertumbuhan akar antara
logi dan penanaman hanya dilakukan jika rekrutmen Sonneratia alba (58,8%), Lumnitzera racemosa
alami tidak mencukupi atau kondisi tanah mengha- (36,5%), dan Xylocarpus granatum (4,4%).
langi pemantapan alami. Penanaman mangrove telah Regenerasi buatan memiliki beberapa keuntungan
berhasil dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, India, antara lain: distribusi dan komposisi spesies dapat
Filipina, Thailand, dan Vietnam. Kebanyakan spesies diatur, tumbuhan dapat diperkaya secara genetik, dan
yang ditanam termasuk dalam famili Rhizophoraceae, serangan hama dapat dikendalikan (Field, 1998a).
Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae (Kairo et al.,
2001). Teknik regenerasi buatan umumnya
menggunakan propagul, kadang-kadang anak pohon SPESIES YANG DITANAM
(tinggi < 1,2 m), tetapi jarang menggunakan pohon
kecil (tinggi > 6 m). Metode ini sudah digunakan sejak Informasi teknik pembibitan mangrove memusat
Watson (1928) hingga kini (Kogo et al., 1987, pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar
Qureshi, 1990, Siddique et al., 1993). 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan
Propagul Rhizophora sering dipilih karena memiliki minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi,
hipokotil panjang sehingga dapat ditancapkan hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk
langsung di lapangan, namun teknik ini tidak dapat restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia,
digunakan pada anggota genus mangrove lain. Pada Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoe-
umumnya, propagul ditanam dengan jarak 1 meter caria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus.
(10.000 per ha). Pada mangrove, angka kematian Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada
bibit awal relatif rendah, tetapi tingkat daya hidup tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan,
yang diharapkan biasanya hanya sekitar 50%, serta iklim mikro lainnya (Choudhury, 1996; 2000).
sehingga diperoleh kepadatan hutan mangrove Di kebanyakan negara, pada mulanya penanaman
dewasa yang ideal, sekitar 1.000 pohon per hektar (1 mangrove dilakukan dengan propagul atau seedling
pohon per 10 m2). Penanaman anak pohon sebaiknya yang dikumpulkan dari lantai hutan. Sekarang
dilakukan pada awal musim hujan, meskipun dapat material yang digunakan adalah seedling alami, biji
pula ditanam sepanjang tahun (Kairo et al., 2001). atau propagul, dan seedling pembibitan. Hutan
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 1
Tabel 2. Teknik penanaman beberapa spesies mangrove yang utama di Bali (Kitamura dkk., 1997).
Rhizophora Rhizophora apiculata Bruguiera Sonneratia alba Avicennia marina Ceriops tagal Xylocarpus
mucronata gymnorrhiza granatum
Musim buah September-Desember Desember-Pebruari Mei-Desember April-Juni dan Desember-Pebruari Agustus-Desember September-Desember
September-Oktober
Kriteria buah Kotiledon hijau muda Kotiledon merah, Kotiledon hijau tua Buah jatuh dari pohon, Berat buah tanpa Kotiledon kuning, Buah kuning hingga
atau kuning, panjang > panjang > 20 cm, hingga merah, biji mengapung di air kelopak 1,5 g, panjang panjang > 20 cm, cokelat, permukaan
50 cm, dipilih propagul diameter > 1,4 cm, panjang > 20 cm. tawar. > 1,8 cm. Sebelum dipilih propagul yang biji cokelat kekuningan
yang bebas penyakit. dipilih propagul yang ditanam direndam air bebas penyakit. dengan bintik-bintik
bebas penyakit semalam untuk kelabu, tali ari tampak.
membuang kulitnya.
Media tanam Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. Tanah yang dicampur Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak.
30% pupuk kandang.
Pembibitan Propagul ditancapkan Propagul ditancapkan Propagul ditancapkan Biji dipendam sedalam Biji dipendam sedalam Biji dipendam Biji diletakkan di atas
sedalam 10 cm. sedalam 5 cm. sedalam 5 cm. separuh panjangnya, 1/3 panjangnya, sedalam 5 cm. tanah dengan posisi
dua biji per pot. diletakkan bebas dari radikula di bawah.
pasang surut hingga
berakar.
Naungan 50% 50%. 30%. 30%. 30%. 50%. 30%.
Pengairan Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus Disiram dua kali Mengikuti arus pasang Mengikuti arus pasang
pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut dan sehari pada saat tidak surut, dan disiram surut, dan disiram
pengairan buatan ada pasang, dan pada saat air surut. pada saat air surut.
setiap hari. sekali ketika ada
pasang, saat air surut.
Hama dan penyakit Kepiting, ulat, dan Tidak ada yang cukup Tidak ada yang cukup Tikus, kepiting, dan Tikus, kepiting, dan Tidak ada yang cukup Tidak ada yang cukup
kumbang. berarti. berarti. ulat. ulat. berarti. berarti.
Cara mengatasi Kepiting memakan Tikus memakan biji, Tikus memakan biji, ,
propagul baru, diatasi daun muda dan tunas diatasi dengan
dengan meletakkan muda, diatasi dengan memasang jaring
pangkal bibit setinggi memasang jaring keliling kebun.
20 cm di atas dasar. keliling kebun. Kepiting memakan
Ulat dan kumbang Kepiting memakan tunas muda dan daun,
memakan ujung tunas muda dan daun, diatasi dengan
propagul, diatasi diatasi dengan memasang lembaran
secara manual. memasang lembaran plastik keliling kebun.
plastik keliling kebun. Ulat diatasi dengan
Ulat diatasi dengan memasang jaring
memasang jaring halus keliling kebun.
halus keliling kebun.
Lama pembibitan 4-5 bulan, tinggi 4-5 bulan, tinggi 3-4 bulan, tinggi 5-6 bulan, tinggi 3-4 bulan, tinggi 6-7 bulan, tinggi 3-4 bulan, tinggi
seedling > 55 cm, seedling > 30 cm, seedling > 35 cm, seedling > 15 cm, seedling > 30 cm, seedling > 20 cm, seedling > 20 cm,
jumlah daun 2 pasang. jumlah daun 2 pasang. jumlah daun > 3 jumlah daun > 3 jumlah daun > 3 jumlah daun > 2 jumlah daun > 2
pasang. pasang. pasang. pasang. pasang.
Penanaman Polibag dibuang dan Polibag dibuang dan Polibag dibuang dan Polibag dibuang. Polibag dibuang. Polibag dibuang dan Polibag dibuang.
1/3 bagian propagul 1/3 bagian propagul 1/3 bagian propagul 1/3 bagian propagul
dibenamkan. dibenamkan. dibenamkan, pada dibenamkan.
penaman langsung
kelopak tidak dibuang.
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 115
mangrove alami biasanya memiliki sejumlah besar Malaysia biasanya dipilih propagul dalam praktek
seedling alami. Mereka sering kali sama tingginya penanaman, sehingga spesies yang ditanam
umurnya bervariasi mulai dari 1-6 tahun. Seedling umumnya Rhizophora (Choudhury, 2000).
alami yang bangsor, halus, dan sehat memiliki Penanaman mangrove memerlukan masa
kemampuan tumbuh lebih baik (Choudhury, 1996). perawatan intensif sekitar 75 hari setelah tanam,
Penggunaan biji dan propagul di penghutanan dimana diperlukan penggantian bibit yang tersapu
mangrove biasa dilakukan, khususnya propagul ombak, tererosi, dimakan kepiting, bibit yang tidak
vivipar. Beberapa spesies tumbuhan mangrove sehat dan mati serta menjaga drainase, membuang
memerlukan kebun pembibitan. Di Bali, pembibitan sampah, dan menjaga dari erosi. Semak-semak
dilakukan terhadap Rhizophora mucronata, mangrove yang tebal dapat terbentuk setelah 5
Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, tahun. Adapun pohon mangrove dewasa dengan
Sonneratia alba, Avicennia marina, Ceriops tagal, dan tinggi lebih dari 5 m, akar penyangga kuat, rangkaian
Xylocarpus granatum (Kitamura dkk., 1997). Di Jawa, akar nafas luas, dan kanopi rapat dapat terbentuk
pembibitan umumnya dilakukan terhadap Rhizophora dalam waktu 15 tahun (Choudhury, 1996). Perbedaan
spp. seperti dilakukan kelompok tani di pesisir signifikan komposisi dan keanekaragaman fauna
Rembang, Probolinggo, dan Perhutani di Indramayu. mulai teramati 5 tahun setelah penanaman.
Para petani membibitkan Rhizophora untuk Kepadatan makrofauna tanah pada ekosistem yang
memenuhi kebutuhan proyek-proyek restorasi direstorasi lebih tinggi daripada ekosistem yang
mangrove. Proyek-proyek ini sering kali identik dibiarkan terbuka, serta sama dengan ekosistem
dengan penanaman bakau yang memiliki bentuk alami (Kairo et al., 2001).
perakaran khas. Masyarakat di pantai utara Jawa
juga biasa menggunakan seedling alami Rhizophora,
Avicennia dan Sonneratia untuk menguatkan tanggul- PEMANTAUAN AREA RESTORASI
tanggul tambak, terutama yang berbatasan langsung
dengan sungai atau laut (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi). Area restorasi mangrove perlu dipantau (Tabel 3).
Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah Baowen, L. 1997. The present situation and prospects of mangrove
afforestation in China. World Forestry Congress 1997.
ditanam sangat diperlukan untuk menjamin
Brinkman, R., and V.P. Singh, 1982. Rapid reclamation of
keberhasilan program restorasi. Parameter yang fishponds on acid sulphate soils. In Dost, H. & N. van Breemen
perlu diperhatikan dalam proyek restorasi disajikan (ed.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid
pada Tabel 3. Aktivitas ini serupa dengan aktivitas Sulphate Soils. ILRI. Wageningen, Nederlands, Publication 31:
318-330.
yang dilakukan pada proyek kehutanan pada
Brockmeyer, R.E. Jr., J.R. Rey, R.W. Virnstein, R.G. Gilmore, and
umumnya (Field, 1998b). L. Ernest. 1997. Rehabilitation of impounded estuarine
wetlands by hydrologic reconnection to the Indian River
Lagoon, Florida (USA). Wetlands Ecology and Management 4
(2): 93-109.
PENUTUP
Cairns, J. 1988 Restoration ecology: the new frontier. In
Restoration of Damaged Ecosystems, Volume 1. Boca Raton,
Mangrove merupakan ekosistem yang Flo.: CRC Press.
menghubungkan hidupan laut dan daratan, serta Calton, J.M. and M.D. Moffler. 1978. Propagation of mangroves by
air-layering. Environmental Conservation 5: 147-150
menjadi daerah penyangga dan ekoton antar kedua
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein:
hidupan tersebut. Semua aktivitas yang dilakukan di J.Cramer Verlag.
darat dan di laut dapat mempengaruhi eksistensi Choudhury, J.K. 1994. Mangrove re-afforestation in Bangladesh.
ekosistem ini. Nilai penting ekosistem mangrove telah Proceedings on the Workshop on ITTO Project Development
and Dissemination of Re-afforestation Techniques on
diketahui secara luas, namun hingga kini penurunan
Mangrove Forests: 18-20 April 1994. Bangkok Thailand.
luasan mangrove di seluruh dunia yang terus Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove
berlanjut. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta:
antara teori yang menyatakan perlunya pemanfaatan Asia Development Bank.
Choudhury, J.K. 2000. Sustainable management of coastal
ekosistem mangrove secara lestari dan praktek yang
mangrove forest development and social needs. Mangroves
menunjukkan dilaksanakannya pemanfaatan secara and Other Coastal Forests. www.fao.org/montes/
tidak lestari. Mangrove merupakan ekosistem yang foda/wforcong/ PUBLI/PDF/V6E_T386.PDF.
sangat viabel. Ekosistem mangrove yang rusak dapat Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest
management. In Hussain Z. and G. Acharya (ed.). Mangroves
memulihkan diri sepanjang faktor-faktor lingkungan
of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland:
seperti pola hidrologi, kondisi tanah, dan ketersediaan IUCN Wetlands Program.
propagul mendukung, namun pada kondisi daya Cintron-Molero, G. 1992. Restoring mangrove systems. In Thayer,
lenting terpatahkan perlu dilakukan campur tangan G.W. (ed.). Restoring the Nation’s Marine Environment.
Maryland: Maryland Seagrant Program, College Park.
dengan melakukan regenerasi secara buatan. Teknik
Crewz, D.W. and R.R. Lewis. 1991. An evaluation of historical
manajemen mangrove yang ada saat ini sering kali attempts to establish emergent vegetation in marine wetlands
gagal untuk mempertahankan kelestarian sumber in Florida. Florida Sea Grant Technical Publication No. 60,
daya ini. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan yang Gainesville, Flo:.Florida Sea Grant College.
Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, and N. Koedam.
lebih luas dengan mengintegrasikan manajemen
1997. Food preferences of Neosarmatium meinerti de Man
kawasan pesisir, dengan memasukkan unsur-unsur (Decapoda: Sesarminae) and its possible effect on the
penting seperti ekologi, sosial ekonomi, dan sosial regeneration of mangroves. Hydrobiologia 347: 83-89
budaya sehingga dapat memenuhi hajat hidup orang Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, D. Van Speybroeck,
and N. Koedam. 1998. Propagule predators in Kenyan
banyak, sekaligus memelihara biodiversitas secara
mangroves and their possible effect on regeneration. Marine
luas. and Freshwater Research 49: 345-350
Detweiler, T.E., F.M. Dunstan, R.R. Lewis, and W.K. Fehring. 1976.
Patterns of secondary succession in a mangrove community.
Proceedings of the Second Annual Conference on Restoration
DAFTAR PUSTAKA of Coastal Plant Communities in Florida. Tampa, FL:
Hillsborough Community College.
Aksornkoae, S. 1996. Reforestation in mangrove forests in Duke, N. 1996. Mangrove reforestation in Panama: an evaluation of
Thailand, A case study in Pattani Province. In Field, C.D. (ed.) planting areas deforested by a large oil spill. In: Field C. (ed.)
Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International
Society for Mangrove Ecosystems. Tropical Timber Organization and International Society for
Alongi, D.M. 1994. The role of bacteria in nutrient recycling in Mangrove Ecosystems.
tropical mangrove and other coastal benthic ecosystems. Dutrieux, E., F.Martin, and A. Debry. 1990. Growth and mortality of
Hydrobiologia 285: 19-32. Sonneratia caseolaris planted on an experimentally oil-
Anonim. 1991. Application social forestry strategy by using polluted soil. Marine Pollution Bulletin 21: 62-68.
silvofishery system for supporting national food production. FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and
Bandung: Perum Perhutani Unit III West Java. Indonesia. Rome: FAO Environment Paper.
Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon, FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO
Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia Forestry Paper.
6: 31-34. Field, C. 1996. Restoration of mangrove Ecosystems. Okinawa:
Anonim. 2001. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South International Tropical Timber Organization and International
Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf. Society for Mangrove Ecosystems.
Anonim. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Field, C. 1998a. Rationales and practices of mangrove
Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. afforestation. Marine and Freshwater Research 49: 353-358
Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Field, C. 1998b. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an
Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104-117. overview. Marine Pollution Bulletin 37: 383-392
Ball, M. C. 1980. Patterns of secondary succession in a mangrove Fitzgerald, B. 2002. Case study 5: integrated mangrove forest and
forest in south Florida. Oecologia (Berl.) 44: 226-235. aquaculture systems (silvofisheries) in Indonesia. In Macintosh
D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 117
Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Kompas, 15/08/2002. Parah Abrasi di Pantura
Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared under the Kusler, J.A. and M.E. Kentula. 1990. Wetland Creation and
World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Restoration: The Status of the Science. Washington: Island
Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Press.
Public Discussion. Published by the Consortium. La Rue, C.D. and T.J. Muzik. 1954. Does mangrove really plant its
Fitzgerald, B. and L.A. Savitri. 2002. Case study 6: integration of seedling. Nature 114: 661-662
silvofisheries into coastal management and mangrove Lewis, R.R. 1982. Low marshes, peninsular Florida. In Lewis, R.R.
rehabilitation in Java, Indonesia. In Macintosh D.J., M.J. (ed.). Creation and restoration of coastal plant communities
Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the Thematic Boca Raton, FL.: CRC Press.
Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Lewis, R.R. 1990a Creation and restoration of coastal wetlands in
Case studies 1-6. Report prepared under the World Bank, Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E.
NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of
Farming and the Environment. Work in Progress for Public Science. Washington: Island Press.
Discussion. Published by the Consortium. Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/enhancement
Fitzgerald, W.J. 1997. Silvofisheries-an environmentally sensitive terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and
integrated mangrove forest and aquaculture system. M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The
Aquaculture Asia 2 (3): 9-17. Status of the Science. Island Press, Washington, D.C., USA.
Gill, A. M. 1971. Mangroves-is the tide of public opinion turning? Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery
Fairchild Tropical Garden Bulletin 26: 5-9. management tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of
Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Coastal Fish Habitat Loss; Proceedings of a Symposium on
Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, Conservation of Coastal Fish Habitat, Baltimore, MD, USA,
East-West Center. March 7-9 1991. National Coalition for Marine Conservation,
Hannan, J. 1975. Aspects of red mangrove reforestation in Florida. Inc., Savannah, Georgia, USA.
Proceedings of the Second Annual Conference on the Lewis, R.R. and M.J. Marshall. 1997. Principles of successful
Restoration of Coastal Vegetation in Florida. restoration of shrimp aquaculture ponds back to mangrove
Hardjosuwarno, S. 1989. The impact of oil refinery on the forests. Programa/resumes de Marcuba ‘97, September 15/20,
mangrove vegetation. BIOTROP Special Publications 37: 187- Palacio de Convenciones de La Habana, Cuba.
192. Lewis, R.R., and B. Streever. 2000. Restoration of mangrove
Hartina, 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH habitat. WRP Technical Notes Collection (ERDC TN-WRP-VN-
Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis]. RS-3.2). Vicksburg, MS.: U.S. Army Engineer Research and
Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Development Center. www.wes.army.mil/el/wrp.
Hassan, H.H.A. 1981. A Working Plan for the Second 30-year Lewis, R.R., J.A. Kusler, and K.L. Erwin. 1995. Lessons learned
Rotation of the Matang Mangrove Forest Reserve Perak 1980- from five decades of wetland restoration and creation in North
89. Perak, Malaysia: State Forestry Department Publication. America. pp. 107-122 In Montes, C., G. Oliver, F. Molina, and
Hoffman, W.E., M.J. Durako, and R.R. Lewis. 1985. Habitat J. Cobos (eds.) Bases Ecologicas para la Restauracion de
restoration in Tampa bay. In: Simon, S.A.F., R.R. Lewis, and Humedales en la Cuenca Mediterranea. Proceedings of a
R.R. Whiman. (eds.) Treat, Proc. Tampa Bay Area Scientific meeting held at the University of La Rabida, Spain. 7-l 1 June
Inf. Symp. Tampa: Florida Sea Grant College & Bellwether 1993. Junta de Andaluca, Spain.
Press. Lin, J. And J.L. Beal. 1995. Effects of mangrove marsh
IPIECA. 1993. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. management on fish and decapod communities. Bulletin of
IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Marine Sciences 57: 193-201.
Environmental Conservation Association. Loyche M. 1989. Mangrove of West Africa — the forest within the
Jimenez, JjA. 1990. The structure and function of dry weather sea. Mangroves and Fish. IDAF Newsletter 9: 18-31
mangroves on the Pacific coast of Central America, with McKee, K.L., and P.L. Faulkner. 2000. Restoration of
emphasis on Avicennia bicolor forests. Estuaries 13: 182-192 biogeochemical function in mangrove forests. Restoration
Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Ecology 8: 274-259
Restoration and management of mangrove systems — a McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the 1997-1998 El-Nino.
lesson for and from the East African region. South African Science 283: 950-954.
Journal of Botany 67: 383-389. Media Indonesia, 03/10/2003. Abrasi Pantura Tangerang Makin
Kaly, U.L. and G.P. Jones. 1996. Mangrove Restoration: a Mengkhawatirkan
Potential Tool for Ecosystem Management of Coastal Media Indonesia, 08/04/2003. 20 Km Pantura Cirebon dan
Fisheries. Queensland: Department of Marine Biology, James Indramayu Mengalami Abrasi
Cook University, Queensland, Australia. Media Indonesia, 15/09/2003. Nelayan Keluhkan Pengerukan Pasir
Khoon, G.W. and O.J. Eong. 1995. The use of demographic Laut
studies in mangrove silviculture. Hydrobiologia 295: 255-261. Media Indonesia, 17/06/2002. 124 Pantai di Indonesia Mengalami
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Kerusakan
Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Media Indonesia, 19/08/2002. Desa-desa di Pesisir Tangerang
Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Makin Terancam Abrasi
Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan Media Indonesia, 28/07/2003. Ribuan Hektare Tambak di Brebes,
International Cooperation Agency. Cirebon, dan Indramayu Lenyap Terkena Abrasi
Knutson, P.L., J.C. Ford, M.R. Inskeep, and J. Oyler. 1981. Media Indonesia, 31/05/2002. Pantai Slamaran di Pekalongan
National survey of planted salt marshes (vegetative Alami Abrasi
stabilization and wave stress), Journal of the Society of Mish, F.C. (ed.). 1989. Webster’s ninth new collegiate dictionary.
Wetland Scientists 1, 129-156. Springfield, MS.: Merriam-Webster Inc.
Kogo, M., D. Kamimura, and T. Miyagi. 1987. Research for Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous
rehabilitation/reforestation of mangroves in Truk Island. In: disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity
Mangroves of Asia and the Pacific: Status and Management. and Disturbance. New York: Springer-Verlag.
Technical Report of the UNDP/UNESCO Research and Noakes, D.S.P. 1951. Notes on the silviculture of the mangrove
Training Pilot Programme on Mangrove Ecosystems in Asia forest of Matang, Perak. Malaysian Forester 14: 183-196.
and the Pacific (RAS/79/002). Quezon City, Phillipines: Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection.
UNESCO. Hydrobiologia 285: 277-282.
Kompas, 06/08/2002. 29 Hektar Pantai Muara Reja Terkena Abrasi Phillips, R.C. and C.P. McRoy (eds.). 1980. Handbook of Seagrass
Kompas, 06/10/2003. Reklamasi Pantai Jakarta Memperparah Biology and Ecosystem Perspective. New York: Garland STPM
Abrasi Press.
Kompas, 10/11/2002. Pantai Dadap Direklamasi Untuk Tempat Pikiran Rakyat, 04/04/2002. Pantai Pakisjaya Dikeruk Warga
Wisata Khawatirkan Abrasi.
118 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi
Pikiran Rakyat, 14/03/2003. Ribuan Hektare Pantai Habis Digerus Soemodihardjo, S., P. Wiroatmodjo, F. Mulia, and M.K. Harahap.
Abrasi. 1996 Mangroves in Indonesia, a case study of Tembilahan,
Pikiran Rakyat, 27/12/2002. 20 Kilometer Pantai Rusak Karena Sumatra. In Fields, C. (ed.) Restoration of Mangrove
Abrasi. Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove
Pratt, J.R. 1994. Artificial habitats and ecosystem restoration: Ecosystems.
Managing for the future. Bulletin of Marine Sciences 55: 268- Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused
275. shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W.
Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture (ed.). An International Perspective on Wetland Rehabilitation.
in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Primavera, J.H. and R.F. Agbayani. 1996. Comparative strategies Streever, W. (ed.). 1999. An International Perspective on Wetland
in community based mangrove rehabilitation programs in the Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Philippines. Proceedings of the ECOTONE V Regional Suara Merdeka, 09/04/2003. Kampanye Tanam Bakau di
Seminar: Community Participation In Conservation, Telukawur.
Sustainable Use and Rehabilitation of Mangroves In Southeast Suara Merdeka, 26/01/2003. Abrasi Pantai di Kendal dan Demak.
Asia. Ho Chi Minh City, Vietnam, 8-12 January, 1996. Suara Pembaruan, 03/03/2002. Pengelolaan Pesisir Harus
Mangrove Ecosystem Research Centre (MERC), and Vietnam Libatkan Warga Lokal
National University. Suara Pembaruan, 07/07/2002. Abrasi Mengancam Desa
Pulver, T.R. 1975. Suggested mangrove transplanting techniques. Limbangan
Proceedings of the Second Annual Conference on the Suara Pembaruan, 11/12/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa
Restoration of Coastal Vegetation in Florida. Mengkhawatirkan
Qureshi MT. 1990. Experimental plantation for rehabilitation of Suara Pembaruan, 19/04/2003. 25.000 Batang Mangrove Ditanam
mangrove forests in Pakistan. Mangrove Ecosystem di Segara Anakan
Occasional Papers 4. UNESCO, COMAR, UNDP Suara Pembaruan, 30/06/2002. Dilema Lingkungan Akibat Tambak
Rabinowitz, D. 1978. Early growth of mangrove seedlings in Udang
Panama, and hypothesis concerning the relationship of Tampa, S. and P. Tampa. 1988. Establishment and growth of
dispersal and zonation. Journal of Biogeography 5: 113-133. mangrove seedlings in mangrove forests of southern Thailand.
Republika Online, 15/07/2002. Kawasan Pantai Sidoarjo Akan Ecological Research 3: 227-238.
Ditanami 20.000 Pohon Mangrove. Tang, H.T. 1978. Regeneration stocking adequacy standards.
Republika Online, 15/07/2003. Sejumlah Tambak Terkena Dampak Malaysian Forester 41: 176-182
Abrasi. Teas, H.J. 1977. Ecology and restoration of mangrove shorelines in
Republika Online, 17/04/2002. Abrasi Laut Ancam Permukiman Florida. Environmental Conservation 4: 51-58
Ratusan Warga Indramayu. Teas, H.J. 1980. Saline silviculture. 2nd International Workshop on
Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the Biosaline Research, La Paz, Baja, California sur, Mexico.
mangrove afforestation proqramme of Bangladesh. Ocean and Teas, H.J., W. Jurgens, and M.C. Kimball. 1975. Planting of red
Coastal Management 20: 23-29. mangroves (Rhizophora mangle L.). In: Lewis RR (ed.)
Sanyal, P. 1998. Rehabilitation of degraded mangrove forests of Proceedings of the 2nd Annual Conference on the Restoration
the Sunderbans of India. Program of the International of Coastal Vegetation, Florida; May 17, 1975, Hillsborough
Workshop on the Rehabilitation of Degraded Coastal Systems. Community College, Tampa, Florida.
Phuket Marine Biological Center, Phuket, Thailand. 19-24 Tessar, B. dan K.I. Insan. 1993. Melacak gubug akhir hutan bakau.
January 1998. Warta Konservasi Lahan Basah 2 (2): 8-9.
.
Setyawan, A.D., K. Winarno, P.C. Purnama 2003. REVIEW: Thorhaug, A. 1990. Restoration of mangroves and seagrasses-
Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas economic benefits for fisheries and mariculture. In Berger, J.J.
4 (2): 133-145. (ed.) Environmental Restoration: Science and strategies for
Siddique, N.A., M.R. Islam, M.A.S. Khan, and M. Shahidullah. restoring the earth ed. Washington, D.C.: Island Press.
1993. Mangrove nurseries in Bangladesh. International Society Turner, R.E. and R.R. Lewis. 1997. Hydrologic restoration of
for Mangrove Ecosys stems Occasional Papers No.1. Okinawa: coastal wetlands. Wetlands Ecology and Management 4 (2):
International Society for Mangrove Ecosystems. 65-72.
Simberloff, D. 1990. Reconstructing the ambiguous: Can island van Speybroeck, D. 1992. Regeneration strategy of mangroves
ecosystems be restored? In Towns, D.R., C.H. Daugherty, and along the Kenyan coast: A first approach. Hydrobiologia 247:
I.A.E. Atkinson. Ecological Restoration of New Zealand Islands; 243-251
Conservation Sciences Publication No. 2. Wellington: Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula.
Department of Conservation, New Zealand. Kulala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6
Smith, T.J. 1987a. Seed predation in relation to tree dominance Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology
and distribution in mangrove forests. Ecology 68: 266-273. of Java and Bali. Singapore: Periplus.
Smith, T.J. 1987b. Effects of seed predators and light level on the Widiarti, A. and R. Effendi. 1989. Socio-economic aspects of
distribution of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in tropical, tidal brackishwater pond forest in mangrove forest complex.
forests. Estuarine, Coastal and Shelf Science 25: 43-51. Symposium Mangrove Management in Indonesia. Biotrop
Smith, T.J. 1987c. The influence of seed predators on structure and Special Publication No. 37: 275-279.
succession in tropical tidal forests. Proceedings Ecological Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan
Society Australia 15: 203-211. Sungai Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem
mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
ISSN: 1412-033X
Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri 43-47
Pengoksidasi Amonia
DWI AGUSTIYANI, HARTATI IMAMUDDIN, ERNI NUR FARIDAH, OEDJIJONO
Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil 48-51
Kelapa dan Bungkil Inti Sawit
LAELA SARI, TRESNAWATI PURWADARIA
The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia 52-60
MUZAYYINAH, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, JOHANIS P. MOGEA,
PETER VAN WALZEN
Study of Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. Species Commercial Values 61-65
and Possible Utilization
TITI KALIMA, JASNI
Deskripsi Jenis-jenis Anggota Suku Rhizophoraceae di Hutan Mangrove Taman 66-70
Nasional Baluran Jawa Timur
SUDARMADJI
Keanekaragaman Tumbuhan dan Populasinya di Gunung Kelud, Jawa Timur 71-76
INGE LARASHATI
Keanekaragaman Anggrek di Situ Gunung, Sukabumi 77-80
NINA RATNA DJUITA, SRI SUDARMIYATI, HENDRIUS CANDRA, SARIFAH,
SITI NURLAILI, RULLY FATHONY
Potensi Hutan Bukit Tapak Sebagai Sarana Upacara Adat, Pendidikan, dan Konservasi 81-84
Lingkungan
I WAYAN SUMANTERA
Pengujian Mikroba sebagai Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Tanaman Acacia 85-88
mangium pada Pasir Steril di Rumah Kaca
SRI PURWANINGSIH
REVIEW: Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia 89-95
PURWANINGSIH
REVIEW: Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional 96-104
Baluran Jawa Timur
DJUFRI
REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi 105-118
AHMAD DWI SETYAWAN, KUSUMO WINARNO, PURIN CANDRA PURNAMA