Biodiversitas vol. 6, no. 3, July 2005 (abstract in English)

Page 1

ISSN: 1412-033X


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: L AB O R AT O R I U M P U S AT M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655. E-mail: unsjournals@yahoo.com; biology@mipa.uns.ac.id. Online: www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000

ISSN: 1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: Sutarno

SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA: Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Ilmu Lingkungan)

PENYUNTING AHLI: Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. Dr. Setijati Sastrapradja Dr. Dedi Darnaedi Dr. Elizabeth A. Wijaya Dr. Yayuk R. Suhardjono

(UGM Yogyakarta) (IPB Bogor) (UNS Surakarta) (Murdoch University Australia) (UGM Yogyakarta) (ITB Bandung) (Yayasan KEHATI Jakarta) (Kebun Raya Bogor) (Herbarium Bogoriense Bogor) (Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.


PEDOMAN UNTUK PENULIS Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan. Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.

Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan. Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999). Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal: Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020. Buku: Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. Bab dalam buku: Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. Abstrak: Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000. Prosiding: Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000. Skripsi, Tesis, Disertasi: Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Informasi dari Internet: Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya. PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 153-156

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Perubahan Kadar Dopamin, Homovanillic Acid (HVA) serta Interleukin-1β (IL-1β) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) pada Cerebral Palsy Alteration of dopamine, homovanillic acid (HVA) with interleukine-1β (IL-1β) and tumor necrosis factor-α (TNF-α) in cerebral palsy SATIMIN HADIWIDJAJA♥ Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 4 Nopember 2004. Disetujui: 22 Maret 2005.

ABSTRACT Now, diagnosis of cerebral palsy base only on clinical finding without involve the alteration of the neurochemistry cause by cerebral hypoxic, although cerebral palsy is a syndrome cause by cerebral hypoxic; so, the accuracy diagnosis of this disease is very low. The aim of this study is to know the alteration of neurochemistry in cerebral palsy, especially the dopamine, homovanillic acid (HVA), interleukine-1β (IL-1β) and tumor necrosis factor-α (TNF-α). So, in the future, diagnosis of this disease not only base on clinical finding as above, but must be combine with alteration of the neurochemistry. This study is conducted by observational method as cross-sectional study. Material of this study is venous blood; take by periphery venous blood vessels on median cubital vein at the upper arm. Dopamine analysis by RIA and homovanillic acid (HVA) by HPLC while Interleukine-1β (IL-1β) and tumor necrosis factor-α (TNF-α) analysis by ELISA. The result of this study show the alteration of dopamine, homovanillic acid (HVA), interleukine-1β (IL-1β) and tumor necrosis factor-α (TNF-α), in the spastic and dyskinetic type of cerebral palsy. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: IL-1β, TNF-α, dopamine, HVA, cerebral palsy.

PENDAHULUAN Cerebral palsy (CP) adalah suatu sindrom akibat gangguan otak yang bersifat non progresif dan non herediter pada anak-anak karena adanya hipoksia serebri yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Berdasarkan kejadiannya, cerebral palsy dapat mulai timbul pada masa prenatal, intranatal maupun perinatal dengan manifestasi klinis munculnya gangguan gerak dan/atau sikap tubuh (Wilsdon, 1996). Faktor prenatal yang mampu menyebabkan timbulnya hipoksia serebri adalah malnutrisi, faktor intranatal terutama akibat trauma saat lahir, sedang faktor perinatal akibat infeksi serebral. Di banyak negara, baik negara berkembang maupun negara industri angka kejadian cerebral palsy masih tinggi, yaitu: 2 per 1000 kelahiran hidup atau 2‰ (Paneth dan Kiely, 1984, dalam Wilsdon, 1996). SCOPE (1994, dalam Wilsdon, 1996) melaporkan di London terdapat 1 kejadian cerebral palsy di antara 400 kelahiran hidup atau 2,5‰, di Amerika Serikat terdapat angka cerebral palsy 4,2 per 1000 kelahiran hidup, sedang di Swedia terdapat sekitar 1,5 per 1000 kelahiran hidup. Terdapat dua kelompok besar cerebral palsy, yaitu: tipe spastik (66%) dan tipe diskinetik (21%). Cerebral palsy tipe spastik terjadi akibat kerusakan di korteks serebri dan traktus piramidalis dengan manifestasi klinik adanya ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-664178 e-mail: drgadiprayitno@yahoo.com

kelumpuhan disertai spastisitas; sub kelompok tipe ini dapat dalam bentuk hemiplegia (30%), diplegia (16%), dan kuadriplegia (20%). Cerebral palsy tipe diskinetik terjadi karena kerusakan ganglia basalis dan traktus ekstrapiramidalis dengan manifestasi klinik munculnya gerakan-gerakan abnormal sebagai gerak involunter; sub kelompok tipe ini dapat dalam bentuk athetoid, dystonia, dan hypotonia. Dua kelompok kecil cerebral palsy adalah tipe ataxic (3%) terjadi akibat kerusakan pada serebellum, sedang tipe campuran (10%) mempunyai gejala lebih dari satu tipe tersebut di atas. Cerebral palsy, apabila hanya disebut demikian, yang dimaksud adalah cerebral palsy tipe spastik, sehingga perubahan apapun yang ditemukan dalam cerebral palsy tipe spastik merupakan manifestasi dari keseluruhan cerebral palsy (Wilsdon, 1996). Burt (1993) menyebutkan bahwa dopamin dapat mengontrol gangguan gerak akibat kerusakan otak. Dopamin yang merupakan neurotransmitter kelompok katekolamin banyak terdapat di hampir seluruh jaringan otak, terutama di ganglia basalis dan substantia nigra, maka kerusakan jaringan otak akibat hipoksia serebri dapat mempengaruhi kandungan dopamin ekstraseluler. Penelitian tentang kerusakan jaringan otak umumnya menunjukkan bahwa hipoksia serebri dapat meningkatkan sitokin IL-1β dan TNF-α (Betz et al., 1996; Silverstein et al., 1997; Yoon et al., 1997a,b). Setiap traumatic brain injury menyebabkan terjadinya peningkatan IL-1β dan TNF-α. Semua sitokin ini dapat ditemukan di liquor serebrospinalis dan serum (Morganti-Kossman et al., 1997; Oygur et al., 1998). Sitokin IL-1β dan TNF-α secara biologis dapat


154

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 153-156

meningkatkan katabolisme jaringan, sehingga perubahan patologik di otak akibat pengaruh langsung hipoksia serebri akan menjadi lebih parah. Sitokin IL-1β dan TNF-α dikeluarkan oleh sel mikroglia yang merupakan stressed cell akibat adanya stressor hipoksia serebri. Hipoksia serebri akan mempengaruhi aktifitas neuron dopaminergik pada striatum tikus yang menyebabkan meningkatnya dopamin ekstraseluler. Peningkatan dopamin ekstraseluler ini bukan saja disebabkan meningkatnya dopamine release tetapi juga akibat adanya hambatan dopamine reuptake (Akiyama et al., 1991; Chang et al., 1993). Penurunan tekanan oksigen (hipoksia) di otak bayi mempunyai korelasi negatif dengan meningkatnya kandungan dopamin ekstraseluler; artinya semakin rendah penurunan tekanan oksigen di otak maka akan semakin tinggi kandungan dopamin ekstraseluler, sehingga menyebabkan semakin turunnya kinerja sistem neuron dopaminergik. Burt (1993) mengemukakan bahwa sebagian besar gangguan gerakan yang berhubungan dengan patobiologi ganglia basalis dapat muncul ke dalam satu dari dua kategori gangguan gerakan yang gejalanya saling berlawanan, yaitu: (i) akinesia (tidak ada gerakan) dan hipertonia (rigiditas dari otot), (ii) dyskinesia (gerakan abnormal) dan hipotonia (artinya otot menjadi lemas). Pada cerebral palsy akan terjadi peningkatan IL-1β dan TNF-α pada darah tepi yang dapat menyebabkan meningkatnya dopamin ekstraseluler. Ekspresi sitokin IL-1β dan TNF-α yang tinggi saat terjadi hipoksia serebri dalam liquor serebrospinalis dan plasma darah menyebabkan kerusakan jaringan otak melalui peningkatan katabolisme, sedang dalam konsentrasi yang rendah berfungsi untuk neuroproteksi terhadap kerusakan jaringan otak akibat hipoksia serebri (Ross dkk., 1994; Rothwell dan Strijbos, 1995; Hagberg et al., 1996). Pada masa posthipoksia serebri yang disertai dengan kerusakan jaringan otak masih dijumpai ekspresi sitokin IL-1β dan TNF-α dalam konsentrasi rendah untuk memberikan pengaruh neuroproteksi (Dammann dan Leviton, 1997). Kerusakan otak (squelae) merupakan perubahan yang tidak reversibel, walaupun paparan hipoksia serebri sudah tidak ada. Perubahan kandungan dopamin di striatum maupun kompartemen ekstraseluler setelah hipoksia serebri disebabkan perubahan dopamine release dan dopamine uptake (Kondoh, 1995). Hasil akhir metabolit dopamin adalah homovanillic acid (HVA) yang akan dikeluarkan melalui ginjal bersama-sama dengan urin. Besarnya kandungan HVA ini mempunyai korelasi dengan kandungan dopamin di otak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperlihatkan perubahan IL-1β, TNF-α, Dopamin, dan HVA pada anak normal, cerebral palsy tipe spastik maupun tipe diskinetik serta untuk melihat data deskriptif hubungan antara cerebral palsy dengan tingkat sosial-ekonomi yang kurang baik.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional, jenis cross-sectional study yang bertujuan untuk mengetahui perubahan IL-1β, TNF-α, dopamin dan HVA di darah tepi pada anak normal dan anak cerebral palsy. Kelompok kontrol diperankan oleh anak normal (non-cerebral palsy) diambil sebanyak 13 anak berdasarkan kriteria inklusi. Kelompok kasus cerebral palsy tipe spastik ditetapkan berdasarkan adanya spastisitas dan kelumpuhan anggota

tubuh, sedang cerebral palsy tipe diskinetik ditetapkan berdasarkan gerak involunter, masing-masing diambil 12 orang anak secara random. Material (bahan) dalam penelitian ini adalah darah vena yang diambil melalui vena mediana cubiti baik kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Pertama, darah diambil sebanyak 7 mL dengan tabung venoject untuk pemeriksaan TNF-α, IL-1β, dan Dopamin. Darah kemudian disentrifus pada 3000 rpm selama 5 menit; serum yang muncul dibagi menjadi tiga bagian masing-masing untuk pemeriksaan TNF-α, IL-1β, dan Dopamin dengan dimasukkan ke dalam o tabung aliquot sendiri-sendiri, disimpan pada suhu -20 C. TNF-α dan IL-1β diperiksa dengan teknik ELISA indirect (Sandwich) dengan reagen Quantikine HS kit, sedangkan Dopamin diperiksa dengan teknik RIA dengan reagen IBL dopamine RIA kit. Kedua, darah diambil 5 mL dengan tabung venoject yang mengandung heparin untuk pemeriksaan HVA, disentrifus pada 3000 rpm selama 5 menit. Plasma yang muncul dimasukkan ke dalam tabung aliquot untuk disimpan pada suhu -20oC. HVA ini diperiksa dengan teknik HPLC metode Lawrence A.

HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel IL-1β, TNF-α, Dopamin dan HVA dianalisis dengan bantuan perangkat lunak program SPSS versi 9. Hasilnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. IL-1β, TNF-α, dopamin dan HVA pada CTL, CPS, CPDys Subjek

Jumlah

Variabel

Rerata

SD

IL-1β (pg/mL) 0,515 0,182 TNF-α (pg/mL) 4,925 0,894 CTL 13 Dopamin (ng/mL) 0,419 0,229 HVA (μg/mL) 9,007 2,079 IL-1β (pg/mL) 1,594 0,810 CPS TNF-α (pg/mL) 7,610 2,834 12 Dopamin (ng/mL) 0,712 0,264 HVA (μg/mL) 5,871 1,529 IL-1β (pg/mL) 0,793 0,499 TNF-α (pg/mL) 6,534 2,600 CPDys 12 Dopamin (ng/mL) 0,504 0,181 HVA (μg/mL) 3,042 0,323 Keterangan: CTL = Kontrol, CPS = CP spastik, CPDys = CP diskinetik, SD = standar deviasi.

Seluruh cerebral palsy (gabungan bersama antara cerebral palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik) dibandingkan dengan kelompok kontrol melalui uji beda, analisis datanya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Uji beda dua mean variabel penelitian antara kelompok kontrol dengan cerebral palsy . Variabel 1. 2. 3. 4.

IL-1β TNF-α Dopamin HVA

Beda rerata

Nilai t

Signifikansi

-0,678 -2,147 -0,189 4,550

-3,092 -2,755 -2,281 6,943

0,004 0,009 0,029 0,001

Berdasarkan Tabel 2, terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0,01) antara variabel IL-1β, TNF dan HVA, sedang Dopamin bermakna pada (p<0,05) antara kelompok kontrol dan cerebral palsy. Dari analisis di atas, diketahui


HADIWIDJAJA – Kadar dopamin, HVA, IL-1β, dan TNF-α pada cerebral palsy

adanya perbedaan seluruh variabel antara anak normal dengan anak cerebral palsy. Cerebral palsy tipe spastik merupakan kelompok cerebral palsy terbesar dan merupakan representasi dari keseluruhan cerebral palsy; sehingga perbedaan antara anak normal dengan cerebral palsy tipe spastik sama dengan analisis perbedaan antara anak normal dengan keseluruhan cerebral palsy. Perbedaan variabel IL-1β, TNFα, Dopamin, dan HVA di darah tepi antara anak normal dengan cerebral palsy tipe spastik dapat diketahui melalui uji beda dua mean (Tabel 3). Tabel 3. Uji beda dua mean variabel penelitian antara kelompok kontrol dengan Cerebral palsy tipe spastik.

1. 2. 3. 4.

Variabel

Beda rerata

Nilai t

Signifikansi

IL-1β TNF-α Dopamin HVA

-1,079 -2,685 -0,293 3,136

-4,686 -3,250 -2,971 4,265

0,001 0,004 0,007 0,001

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa semua variabel IL-1β, TNF-α, Dopamin, dan HVA berbeda sangat nyata (p<0,01) antara anak normal dengan cerebral palsy tipe spastik. Perbandingan variabel dopamin dan HVA antara cerebral palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji beda dua mean variabel penelitian antara Cerebral palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik.

1. 2.

Variabel

Beda rerata

Nilai t

Signifikansi

Dopamin HVA

-0,209 -2,830

-2,260 -6,272

0,034 0,001

Tabel 4 menunjukkan adanya beda nyata pada variabel dopamin (p<0,05) antara cerebral palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik, sementara variabel HVA berbeda dengan sangat nyata (p<0,01) antara keduanya. Keempat variabel IL-1β, TNF-α, Dopamin, dan HVA menunjukkan variasi perbedaan antara kelompok kontrol, cerebral palsy tipe spastik dan tipe diskinetik, seperti terlihat melalui uji Anava, yang analisisnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Uji Anava kelompok kontrol, Cerebral palsy tipe spastik dan tipe diskinetik. Variabel 1. 2. 3. 4.

IL-1β TNF-α Dopamin HVA

Nilai F

Signifikansi

12,701 4,519 5,440 48,082

0,001 0,018 0,009 0,001

Tabel 5 menunjukkan variasi perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) berbagai variabel antara kelompok anak normal, anak cerebral palsy tipe spastik, dan tipe diskinetik. Mengingat adanya variasi perbedaan antar variabel maka perlu ditetapkan nilai IL-1β, TNF-α, Dopamin, dan HVA pada anak normal dan cerebral palsy tipe spastik dan tipe diskinetik. Dari uraian tersebut di atas, maka nilai pada: (i) Anak normal: IL-1β=0,515±0,182 pg/mL atau antara 0,333-0,697 pg/mL; TNF-α,=4,925±0,894 pg/mL atau antara 4,031-

155

5,819 pg/mL; Dopamin=0,419±0,229 ng/mL atau antara 0,190-0,648 ng/mL dan HVA=9,007±2,079 μg/mL atau antara 6,928-11,086 μg/mL. (ii) Anak cerebral palsy tipe spastik: IL-1β=1,594±0,810 pg/mL atau antara 0,784-2,404 pg/mL; TNF-α,=7,610±2,834 pg/mL atau antara 4,77610,444 pg/mL; Dopamin=0,712±0,264 ng/mL atau antara 0,448-0,976 ng/mL dan HVA=5,871±1,529 μg/mL atau antara 4,342-7,400 μg/mL. (iii) Anak cerebral palsy tipe diskinetik: IL-1β=0,793±0,499 pg/mL atau antara 0,2941,292 pg/mL; TNF-α=6,534±2,600 pg/mL atau terletak antara 3,934-9,134 pg/mL; Dopamin=0,504±0,181 ng/mL atau antara 0,323-0,685 ng/mL dan HVA=3,042±0,323 μg/mL atau antara 2,719-3,365 μg/mL. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa setiap traumatic brain injury akan meningkatkan IL-1β dan TNF-α di dalam liquor serebrospinalis dan serum (Betz, 1996; Silverstein, 1997; Morganti-Kossman, 1997). Pada cerebral palsy yang merupakan suatu kasus brain injury, sel-sel mikroglia mengekspresikan sitokin IL-1β dan TNF-α dalam jumlah yang lebih besar dari normal. Ekspresi sitokin IL-1β dan TNF-α di atas normal ini berfungsi untuk neuroproteksi (Dammann dan Leviton, 1997) dalam mencegah meluasnya kerusakan neuron akibat brain injury tersebut. Kerusakan jaringan otak akibat ekspresi sitokin IL-1β dan TNF-α akan mempengaruhi neuron dopaminergik, mulai dari mempengaruhi mekanisme dopamine release, dopamine reuptake, densitas dan afinitas reseptor D1 dopamin maupun reseptor D2 dopamin, serta kerusakan yang lebih parah lagi. Kerusakan neuron dopaminergik ini akan meningkatkan kandungan dopamin ekstraseluler (Kondoh, 1995; Araki et al., 1996; Araki et al., 1997). HVA (homovanillic acid) yang merupakan hasil akhir metabolit dopamin, kadarnya sangat bergantung pada metabolisme dopamin itu sendiri. Keadaan ini akan dapat dicapai pada kondisi in vitro, tetapi pada kondisi in vivo banyak faktor yang ikut menentukan besarnya kadar HVA. Dalam keadaan iskhemia serebri, neuron dan sel-sel glia mengalami depolarisasi dan sistem transport terganggu, sehingga walaupun HVA tetap diproduksi oleh neuron, kandungan HVA di dalam kompartemen intraseluler tetap tinggi, sementara kadar HVA ekstraseluler turun (Phebus dkk., 1995). Nakajima dkk. (1996) menyebutkan bahwa hipoksia serebri akan mempengaruhi metabolisme monoamine striatal yang menyebabkan terjadinya peningkatan dopamin ekstraseluer dan penurunan HVA ekstraseluler. Kandungan HVA tidak dapat menggambarkan secara langsung sebagai metabolit akhir dopamin. Tabaddor (1978a,b) menyebutkan bahwa diffuse cerebral disease yang menyebabkan munculnya gangguan gerak akan mengakibatkan penurunan aktifitas neuron dopaminergik termasuk disfungsinya jaras nigrostriatal, yang berakibat terjadi penurunan kandungan HVA ekstraseluler. Cerebral palsy merupakan satu gangguan serebral yang disertai dengan munculnya gangguan gerak, maka penurunan aktifitas neuron dopaminergik yang terjadi akan menyebabkan terjadinya penurunan kandungan HVA ekstraseluler. Otak merupakan organ di tubuh yang sangat sensitif, khususnya saat dalam pertumbuhan; apabila nutrisi ke otak kurang baik akibat makanan yang nilai gizinya rendah, maka akan mengganggu pertumbuhan otak. Pemberian makanan dengan nilai gizi yang tidak memenuhi kaidahkaidah 4 sehat 5 sempurna pada anak-anak, berakibat pertumbuhan otaknya kurang baik; anak menjadi kurang cerdas, kreatifitas anak berkurang, terjadi gangguan gerak tertentu baik bersifat kaku atau lemas atau gerak tak teratur (Constantinides, 1994; McCance dan Huether, 1994).


156

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 153-156

Riwayat kehamilan yang kurang baik, misalnya timbulnya keracunan kehamilan (pre-eklampsia) serta gangguan persalinan (partus lama), mengakibatkan konsumsi oksigen ke otak berkurang. Gangguan otak akibat kurang gizi serta riwayat kehamilan dan persalinan yang kurang baik ini sama dengan akibat yang disebabkan oleh hipoksia serebri pada anak-anak. Secara deskriptif terlihat bahwa dari 24 anak cerebral palsy (12 anak dengan cerebral palsy tipe spastik dan 12 anak dengan cerebral palsy tipe diskinetik), tercatat 19 anak berasal dari keluarga yang tingkat sosial-ekonominya kurang baik; sehingga dari data ini terlihat 79% anak cerebral palsy berasal dari keluarga miskin. Ke-19 anak cerebral palsy ini tercatat ada yang berasal dari ibu yang mengalami partus lama 7 orang dan keracunan kehamilan 9 orang, sedang sisanya berasal dari ibu yang riwayat kehamilan dan persalinannya normal.

KESIMPULAN DAN SARAN Kerusakan jaringan otak (brain damage) akibat adanya hipoksia serebri yang terdapat pada cerebral palsy baik pada tipe spastik maupun tipe diskinetik menyebabkan terjadinya perubahan kandungan IL-1β, TNF-α, Dopamin, dan HVA di darah tepi. Nilai variabel IL-1β, TNF-α, Dopamin dan HVA pada anak normal dan anak cerebral palsy, dapat dilihat di bawah ini: (i) Anak normal: interleukin-1β (IL-1β) = 0,515 ± 0,182 pg/mL atau antara 0,333-0,697 pg/mL; tumor necrosis factor-α (TNF-α) = 4,925 ± 0,894 pg/mL atau antara 4,031-5,819 pg/mL; Dopamin = 0,419 ± 0,229 ng/mL atau antara 0,190-0,648 ng/mL; homovanillic acid (HVA) = 9,007 ± 2,079 μg/mL atau antara 6,928-11,086 μg/mL. (ii) Anak cerebral palsy: interleukin-1β (IL-1β) > anak normal; tumor necrosis factorα (TNF-α) > anak normal; dopamin > anak normal; homovanillic acid (HVA) < anak normal. (iii) Anak cerebral palsy tipe spastik: interleukin-1β (IL-1β) = 1,594 ± 0,810 pg/mL atau antara 0,784-2,404 pg/mL; tumor necrosis factor-α (TNF-α) = 7,610 ± 2,834 pg/mL atau antara 4,77610,444 pg/mL; Dopamin = 0,712 ± 0,264 ng/mL atau antara 0,448-0,976 ng/mL; homovanillic acid (HVA) = 5,871 ± 1,529 μg/mL atau antara 4,342-7,400 μg/mL. (iv) Anak cerebral palsy tipe diskinetik: interleukin-1β (IL-1β) = 0,793 ± 0,499 pg/mL atau antara 0,294-1,292 pg/mL; tumor necrosis factor-α (TNF-α) = 6,534 ± 2,600 pg/mL atau antara 3,934-9,134 pg/mL; Dopamin = 0,504 ± 0,181 ng/mL atau antara 0,323-0,685 ng/mL; homovanillic acid (HVA) = 3,042 ± 0,323 μg/mL atau antara 2,719-3,365 μg/mL. Cerebral palsy banyak dijumpai di lingkungan keluarga dengan tingkat sosial-ekonomi yang kurang baik; terbukti dari 24 anak cerebral palsy tercatat 19 anak (79%) dari keluarga miskin dengan riwayat kehamilan dan persalinan ibunya kurang baik. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kasus cerebral palsy dengan rancangan penelitian kohort dengan sampel yang lebih banyak serta dilakukan pada umur sedini mungkin, terutama terhadap bayi dengan Apgar score yang rendah serta anak yang menderita infeksi serebral. Diagnosis cerebral palsy ditegakkan disamping dari gejalagejala klinis yang ada juga diikutsertakan adanya perubahan neurokimiawi yang terjadi akibat hipoksia serebri; dengan demikian gold standard untuk diagnosis cerebral palsy dapat ditegakkan.

DAFTAR PUSTAKA Akiyama, Y., K. Koshimura, T. Ohue, K. Lee, S. Miwa, S. Yamagata, and H. Kikuchi. 1991. Effects of hypoxia on the activity of the dopaminergic neuron system in the rat striatum as studied by in vivo brain microdialysis. Journal of Neurochemistry 57 (3): 997-1002. Araki, T., H. Kato, K. Shuto, T. Fujiwara, K. Kogure, and Y. Itoyama. 1996. Effects of cerebral ischemia on dopamine receptors in the gerbil striatum. European Journal of Pharmacology 306 (1-3): 73-79. Araki, T., H. Kato, K. Shuto, T. Fujiwara, and Y. Itoyama. 1997. Effect of cerebral ischemia on dopamine receptors and uptake sites in the gerbil hippocampus. European Neuropsychopharmacology 7 (4): 275-282. Betz, A.L., G.P. Scheilke, G.Y. and Yang. 1996. interleukin-1 in cerebral ischemia. Keio Journal of Medicine 45 (3): 230-237. Burt, A.M. 1993. Textbook of Neuroanatomy. 1st ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Chang, C.J., H. Ishii, H. Yamamoto, T. Yamamoto, and M. Spatz. 1993. Effects of cerebral ischemic on regional dopamine release and D1 and D2 receptors. Journal of Neurochemistry 60 (4): 1483-1490. Constantinides, P. 1994. General Pathobiology. Norwalk, Connecticut: Appleton & Lange. Dammann, O. dan A. Leviton. 1997. Maternal intrauterine infection, cytokines, and brain damage in preterm newborn. Pediatric Research 42 (1): 1-8. Hagberg, H., E. Gilland, E. Bona, L.A. Hanson, M. Hahin-Zoric, M. Blennow, M. Holst, A. McRae, and O. Soder. 1996. Enhanced expression of interleukin (IL)-1 and IL-6 messenger RNA and bioactive protein after hypoxia-ischemia in neonatal rats. Pediatric Research 40 (4): 603-609. Kondoh, T., S.H. Lee, and W.C. Low. 1995. Alteration in striatal dopamine release and uptake under conditions of mild, moderate and severe cerebral ischemia. Neurosurgery 37 (5): 948-954. McCance, K.L. and S.E. Huether. 1994. Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 2nd edition. St.Louis Baltimore: IE International Edition Mosby. Morganti-Kossnan, M.C., P.M. Lenzlinger, V. Hans, P. Stabel, E. Csuka, E. Ammann, R. Stocker, and T. Kossmann. 1997. Production of cytokines following brain injury: Beneficial and deleterious for the damaged tissue. Molecular Psychiatry 2 (2): 133-136. Nakajima, W., A. Ishida, and G. Takada, 1996. Effect of anoxia on striatal mono-amine metabolism in immature rat brain compared with that of hypoxia: an in vivo microdialysis study. Brain Research 740 (11-2): 316322. Oygur, N., O. Sonmez, O. Saka, and O. Yegin. 1998. Predictive value of plasma and cerebrospinal fluid tumour necrosis factor-alpha and interleukin-1 beta concentrations on outcome of full term infants with hypoxic-ischemic encephalopahy. Archives Disease Child Fetal Neonatal 79 (3): F190-193. Phebus, L.A., R.E. Mincy, and J.A. Clemens. 1995. Ischemia increases tissue and decreases extracellular levels of acid dopamine metabolites in the rat striatum: further evidence for active transport of metabolites. Life Science 56 (13): 1135-1141. Ross, S.A., Halliday, M.I., Campbell, G.C., Byrnes, D.P., Rowlands, B.J. 1994. The presence of tumor necrosis factor in CSF and plasma after severe head injury. British Journal of Neurosurgery 8 (4): 419-425. Rothwell, N.J. and P.J. Strijbos. 1995. Cytokines in the neurodegeneration and repair. International Journal of Developmental Neuroscience 13 (34): 179-185. Silverstein, F.S., J.D. Barks, P. Hagan, X.H. Liu, J. Ivacko, and J. Szaflarski. 1997. Cytokines and perinatal brain injury. Neurochemistry International 30 (4-5): 375-383. Tabaddor, K., L.I. Wolfson, and N.S. Sharpless. 1978a. Diminished ventricular fluid dopamine metabolites in adult-onset dystonia. Neurology 28 (12): 1254-1258. Tabaddor, K., L.I. Wolfson, and N.S. Sharpless. 1978b. Ventricular fluid homovanillic acid and 5-hydroxyindoleacetic acid concentrations in patients with movement disorders. Neurology 28 (12): 1249-1253. Wilsdon, J. 1996. Cerebral palsy In: Stewart, A.M. (ed.). Occupational Therapy and Physical Dysfunction. 4th ed.New York: Wiley Yoon, B.H., J.K. Jun, R. Romero, K.H. Park, R. Gomez, J.H. Choi, and I.O. Kim. 1997a. Amniotic fluid inflamatory cytokines (interleukin-6, interleukin-1 beta, and tumor necrosis factor-alpha), neonatal brain white matter lesions, and cerebral palsy. American Journal of Obstetry and Gynecology 177 (1): 19-26. Yoon, B.H., R. Romero, C.J. Kim, J.N. Koo, G. Choe, H.C. Syn, and J.G. Chi. 1997b. High expression of tumor necrosis factor-alpha and interleukin-6 in periventricular leukomalacia. American Journal of Obstetry and Gynecology 177 (2): 406-411.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 157-159

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-myc pada Kanker Serviks Uteri dengan Pengecatan Immunohistokimia The expression of p53, Rb, and c-myc protein in cervical cancer by immunohistochemistry stain ADI PRAYITNO1,♥, RUBEN DARMAWAN2, ISTAR YULIADI3, AMBAR MUDIGDO1 1

Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126 2 Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126 3 Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, RSUD dr Muwardi, Surakarta 57126 Diterima: 14 Pebruari 2005. Disetujui: 1 April 2005.

ABSTRACT The pathogenesis of cancer as whole (50%) is caused by gene mutation. Pathogenesis of cervical cancer has focusing on Human Papilloma Virus (HPV). Early-7 (E7) proteins of HPV shell bind the Rb tumor suppressor gene, so pRb (Rb protein) can’t express. Because of the E2F transcription factor gene can’t bound with pRb, so E2F gene are going active and help c-myc for DNA replication and to stimuli the cell cycle. E6 protein of HPV is bind to and facilitates the degradation of the p53 tumor suppressor gene product. The objective of this experiment is to known the expression of p53, Rb and c-myc proteins in cancer of uterine cervix. Nineteen blocks paraffin tissue of cervical cancer are cut in thoroughly cleaned cryotome and place in glass plate that covered with poly-elysine. The immunohistochemistry is done with monoclonal antibody anti p53, Rb and c-myc proteins. The Result of this experiment is shown that the expression of proteins of p53 protein is 40%, Rb protein is 30.8% and c-myc protein is 50.1%. The conclusion from this experiment is that the expression of p53, Rb and c-myc proteins in cervical cancer are in mild category (30-70%). The experiment about cervical cancer is suggested. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: cervical cancer; p53; Rb; c-myc; immunohistochemistry.

PENDAHULUAN Banyak faktor penyebab terjadinya kanker, baik internal maupun external. Faktor internal terutama keberadaan gengen yang berperan pada siklus sel telah menjadi pusat perhatian dalam hubungannya dengan proses terjadinya pertumbuhan tumor. Dalam hubungannya dengan pertumbuhan tumor, terdapat dua golongan gen: Pertama adalah kelompok pemicu terjadinya tumor yang lazim disebut tumor oncogenes, seperti: gen c-myc dan gen ras; Kedua adalah kelompok penekan terjadinya tumor yang lazim disebut tumor suppressor gene, seperti: gen p53 dan gen Rb. Hingga saat ini banyak peneliti sementara menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya kanker (50%) adalah adanya mutasi pada gen-gen tersebut (Putsztai dkk., 1996; Cotrans dkk., 1999). Kanker serviks uteri adalah kanker yang paling sering ditemukan terutama di negara-negara berkembang dan sekaligus merupakan penyebab kematian pada perempuan di dunia pada umumnya. Di Indonesia kanker serviks uteri ini menduduki peringkat pertama diantara jenis kanker lainnya (Badan Registrasi Kanker, 1998). Studi epidemiologi mencurigai bahwa kanker serviks uteri disebabkan oleh agen saat melakukan hubungan seksual. Saat ini patogenesis terjadinya kanker serviks uteri tersebut ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-632494. e-mail: drgadiprayitno@yahoo.com

difokuskan pada keberadaan HPV (Putsztai dkk., 1996; Schmits, 1997a,b). Protein E6 dari HPV-16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP), sehingga akan terjadi penurunan kadar protein p53 (wild type). Protein E7 (onco protein) akan mengikat gen pRb, sehingga akan berakibat sama seperti pada protein p53. Ikatan E6 dengan pRb tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb, sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel (Mendelshon dkk., 1995; Pusztai dkk., 1996; Dellas, 1997; Cotrans dkk., 1999). Dari uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran ekspresi protein-protein pemicu tumor dan penekan tumor pada kanker serviks uteri.

BAHAN DAN METODE Sampel didapat hari hasil biopsi (frozen section) serviks uteri pada bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit dr. Muwardi Surakarta dari bulan JuliDesember 2000. sebanyak 19 belas blok parafin jaringan kanker serviks uteri dipotong menggunakan microtom yang bersih dengan hati-hati dan ditempatkan pada glass plate yang telah dilapisi dengan poly-elisen. Pengecatan imunohistokimia dikerjakan dengan metode TSA indirect (NEN Life Science Products, RENAISSENCE) menggunakan antibodi monoklonal anti protein p53, pRb, dan c-myc


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 157-159

158

(1:500). Untuk Counter stain dilakukan dengan pengecatan HE. Hasil foto mikroskop dibuat dengan perbesaran aX100 lensa obyektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kanker serviks uteri adalah kanker penyebab kematian tersering pada perempuan di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. Di Indonesia data ini tidak jauh berbeda (Badan Registrasi Kanker, 1998). Faktor resiko yang diketahui adalah hubungan seksual pada usia yang sangat muda dan pasangan yang selalu bergantiganti. Faktor resiko lainnya adalah status sosial ekonomi yang rendah, pemakaian kontrasepsi oral, merokok, paritas yang tinggi dan adanya riwayat penyakit menular seksual. Penyebab penyakit menular seksual pertama kali diduga oleh Virus herpes simpleks tipe 2, tetapi kemudian dipastikan bahwa penyebabnya adalah virus human papiloma setelah mempelajari patogenesis kanker serviks uteri dan condyloma acuminata (Schmits, 1997a,b; Cotrans dkk., 1999). Sembilan puluh persen penderita Kanker serviks uteri menunjukkan HPV-DNA positif (Borysiewicz, 1996) dan hampir 100% kasus Squamous Cell Ca. juga menunjukkan HPV-DNA positif (Hollema, 1998). HPV dapat menyebabkan verucca, papilloma dan kanker pada kulit serta mukosa manusia (Mendelshon dkk., 1995). HPV tipe 16 dan 18 dianggap paling berpotensi sebagai penyebab kelainan tersebut (Hollema, 1998).

Gambar 1. Ekspresi protein p53 pada kanker serviks uteri. Warna hitam kecoklatan pada inti sel kanker (tanda panah) memperlihatkan ekspresi protein p53 tersebut.

Gambar 2. Ekspresi protein Rb pada kanker serviks uteri. Warna hitam kecoklatan pada inti sel kanker (tanda panah) memperlihatkan ekspresi protein pRb tersebut.

Tabel 1. Ekspresi protein p53, Rb dan c-myc (%) pada kanker serviks uteri. cmyc 1. 30* 40 40 2. 30* 40 50 3. 30* 30* 60 4. 40 30* 70 5. 50 50 40 6. 40 40 50 7. 50 40 70 8. 40 30* 60 9. 30* 20* 40 10. 50 50 30* 11. 40 20* 50 12. 40 30* 50 13. 40 20* 30* 14. 40 50 60 15. 50 40 70 16 40 10* 30* 17 40 60 70 18. 40 40 60 19. 30* 30* 50 Rata-rata 40 30,8 50,1 Keterangan: persentase didapat dari sel positif/100 sel/satu lapang pandang. 5-30% : katagori ekspresi ringan (*); 31-70%: kategori ekspresi sedang; 71-100%: kategori ekspresi kuat. p53

Rb

Gambar 3. Ekspresi protein c-myc pada kanker serviks uteri. Warna hitam kecoklatan pada inti sel kanker (tanda panah) memperlihatkan ekspresi protein c-myc tersebut.

Ekspresi protein (%)

No. sampel

80 60 40 20 0 1

2

3

4

Jumlah sampel

5

6

7

8

p53

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 pRb

c-myc

Gambar 4. Ekspresi p53 (biru), Rb (merah) dan c-myc (warna terang) dari 19 sampel kanker serviks uteri.


PRAYITNO dkk. – Protein p53, Rb, dan c-myc pada kanker serviks uteri

Human Papiloma Virus (HPV) adalah virus DNA-circular dengan genome 7800-8000 base pairs. Human Papilloma Virus ada lebih dari 70 jenis yang tidak dapat diidentifikasi secara serologis, tetapi dengan DNA-hybridization dan PCR-spesifik primer dapat teridentifikasi (Mendelshon dkk., 1995). Genome virus ini terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein yang berperan pada replikasi genome, mengkrontrol transkripsi dan replikasi serta transformasi sel. The late region (L) berisi L-genes yang mengkode protein capsid (Smits, 1997a,b). Definisi tipe HPV yang terbaru tidak lebih dari 90% terlihat adanya homologi pada sequence DNA E6, E7 dan L1. Protein E6 (onco-protein) high-risk HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor supressor gene-p53. E6-protein HPV 16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP). Jadi dengan penurunan kadar protein p53 dalam sel akan berakibat pada kegagalan pengendalian pertumbuhan sel, karena tidak terjadinya hambatan aktivasi sel (Ngan dkk., 1997; Mendelshon dkk., 1995; Pusztai dkk., 1996; Cotrans dkk., 1999). Protein E7 (onco-protein) highrisk HPV mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor supressor geneRb. Protein E7 (onco protein) akan mengikat gen Rb. Ikatan tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein Rb, sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc (faktor transkripsi) untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel (Mendelshon dkk., 1995; Pusztai dkk., 1996; Dellas, 1997; Cotrans dkk., 1999). Foto-foto hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 1-3. Protein c-myc (proto-oncogene) adalah protein yang disandi oleh gen c-myc, yang berfungsi sebagai protein inti sel untuk transkripsi dan replikasi sel dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam gen-gen pemicu terjadinya tumor. Gen ras adalah famili proto-oncogenes juga yang merupakan second major class dari GTP-binding proteins, dimana dalam banyak penelitian protein ini dipastikan berperan dalam mitogenic signal transduction pada siklus sel. Gen p53 adalah gen yang mengkode phosphoprotein inti sel seberat 53 kDa, dan bertindak sebagai negatif regulator dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang ditemukan bertanggung jawab pada tumor retina-mata (retinoblastoma) dan merupakan prototipe dari gen-gen penekan tumor (Putsztai dkk., 1996). Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap karsinogenesis tergantung affinitas protein-E6 dalam mengikat gen p53 dan protein-E7 dalam mengikat gen Rb. yang mempunyai arti yang penting dalam karsinogenesis kanker serviks uteri. Hal tersebut diatas bukan merupakan proses mutasi akibat pengaruh karsinogen (Mendelshon, 1995). Dari Tabel 1 dan Gambar 4. terlihat bahwa ekspresi cmyc terlihat lebih tinggi dibandingkan pRb dan p53 dengan rata-rata 50,1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa siklus sel sedang berlangsung, karena fungsi protein c-myc adalah sebagai protein pemicu terjadinya transkripsi sel. Ekspresi protein p53 (40%) masih dalam batas normal, artinya protein p53 yang berfungsi sebagai protein penekan tumor tidak menonjol aktivitasnya dalam rangka memperbaiki gen-gen yang rusak atau mutasi. Ekspresi protein Rb (30,8%) dapat dianggap rendah, artinya protein Rb yang berfungsi sebagai protein penekan tumor tidak menonjol aktivitasnya yaitu mengikat faktor transkripsi

159

(E2F) dan selanjutnya siklus sel yang diperankan protein cmyc akan berlangsung (Cotrans dkk., 1999; Putztai dkk., 1996). Penelitian lebih lanjut dapat diarahkan pada hubungan antara stadium kanker, dengan ekspresi berbagai macam protein /gen yang ada hubungannya dengan replikasi dan siklus sel yang mengarah pada keganasan sel/organ/ jaringan/sistem/tubuh. Klasifikasi Internasional untuk Stadium Keganasan Serviks Uteri yang dikemukakan oleh Morehead (1965) sebagai berikut: International classification of the cervical cancer: Stage 0 : Intra epithelial carcinoma Stage 1 : Carcinoma in situ Stage 2 : The carcinoma extends beyond the cervix but not reached the pelvic wall Stage 3 : The carcinoma has reached the pelvic wall Stage 4 : The carcinoma has invaded another organ.

KESIMPULAN Ekspresi rata-rata protein p53 adalah 40%, Rb adalah 30,8% dan c-myc adalah 50,1%, sehingga disimpulkan bahwa ekspresi protein p53, Rb dan c-myc pada kanker serviks uteri berkategori sedang (30-70%).

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami ucapkan kepada DCRG-URGE Dikti Depdiknas RI Jakarta, PAU Bioteknologi UGM Yogyakarta, dan penghargaan khusus diberikan kepada Prof. Dr. dr. Noerhayati Soeripto, DTM&H, Prof. dr. Sofia Mubarika, MMedSc., Ph.D, Prof. Marsetyawan HNES, MSc., Ph.D dan Wayan T. Artama, drh., S.U., Ph.D.

DAFTAR PUSTAKA Badan Registrasi Kanker, 1998. Badan Registrasi Kanker. Jakarta: Ikatan Ahli Patologi Indonesia – Departemen Kesehatan Republik Indonesia.. Borysiewicz. 1996. A recombinant vaccinia virus encoding HPV type 16 and 18, E6 and E7 proteins as immunotheraphy for cervical cancer. The Lancent 347:1523-1527. Cotrans, R.S., V. Kumar and SL. Robbins. 1997. Robbins Patologic basis of Disease. 6th ed. London: WB Saunders Co. Dellas, A. 1997. Investigation of the bell and c-myc expression in relationship to the Ki labelling index in cervical intra epithelial neoplasia. Interna Journal of Gynecology Pathology 16 (3): 212-218. Hollema. 1996. Viral Carcinogenesis. Surabaya: Dutch Foundation for The Post Graduated Course, UNAIR. Mendelshon, J., P. Howley, M. Israel, Liottal. 1995. The Molecular Basis of the Cancer. Philadelphia: WB Saunders Co. Morehead, R.P. 1965. Human Pathology. New York: The Blakistone Division – McGraw Hill Book Co. Ngan, H.Y.S., M. Stanley, S.S. Liu, and H.K. Ma. 1994. HPV and p53 in cervical cancer. Genitourin Medical 70: 1888-1901. Ngan, H.Y.S., S.W. Tsao, and M. Stanley. 1997. Abnormal expresion and mutation of p53 in cervical cancer: A study at protein, RNA and DNA levels, Genitourin Medical 73: 54-58. Pusztai, L., C.E. Lewis, and E. Yap. 1996. Cell Proliferation in CancerRegulation Mechanisms of Neoplastic Cell Growth. Oxford: Oxford University Press.. Schmits, H.L. 1997a. Overview: epidemiology and diagnosis of cervical cancer. Seminar Nasional Upaya Peningkatan Deteksi HPV Pada Kanker Serviks Secara Biologi Molekuler dan Pengelolaannya. Pusat Kedokteran Tropis UGM, Yogyakarta. Schmits, H.L. 1997b. Overview: Molecular biology and detection of HPV infection, Seminar Nasional Upaya Peningkatan Deteksi HPV Pada Kanker Serviks Secara Biologi Molekuler dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Pusat Kedokteran Tropis UGM.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 160-163

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Kajian Pembentukan Warna pada Monascus-Nata Kompleks dengan Menggunakan Kombinasi Ekstrak Beras, Ampas Tahu dan Dedak Padi sebagai Media Study on coloration of Monascus-nata complex using combination of rice flour, tofu solid waste, and rice bran extracts as the medium TIAS HESTI KUSUMAWATI, SURANTO, RATNA SETYANINGSIH♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. Diterima: 4 Agustus 2004. Disetujui: 21 Januari 2005.

ABSTRACT Monascus-nata complex was made up from fermented nata which was grown in the medium containing Monascus purpureus fungi, that could be used as coloration of nata. Rice flour usually used as medium to produce pigments by M. purpureus. Tofu solid waste and rice bran could be used to produce pigments although the colour intensity of M. purpureus pigment was lower than rice. The aims of these research were to study colour, pH medium and weight of miselium Monascus-nata complex from the combination of rice flour with tofu solid waste extracts and rice flour with rice bran extracts as the medium. In these research, 5% (b/v) rice flour extracts, combination of rice flour extract : tofu solid waste extract in the ratio of 1:1, 1:2, 1:3 and rice flour : rice bran extracts in the ratio of 1:1, 1:2, 1:3 were used as the 3 medium. Ten nata de coco (1x1x1 cm ) were put in to the extracts of medium (100mL) in bottle, then inoculated with 10% (v/v) starter of M. 7 purpureus containing 1.3x10 cfu/mL and incubated at room temperature on an orbital shaker at 100 rpm for 16 days. Parameters which were measured, i.e. colour intensity, preferable test, pH medium, weight of miselium Monascus-nata complex. Data were analyzed using analysis of variant and followed by DMRT in 5% significations except preferable test which were analyzed using hedonic test. Combination of rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 could be used to replace rice flour extracts on the making of Monascus-nata complex. Orange colour intensity from rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 was higher than from rice flour extracts. Orange colour intensity from rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 and rice flour were 0.156 and 0.123 respectively. Red colour intensity from medium rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 approach the red colour intensity of rice flour. Red colour intensity from medium rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 and rice flour extract were 0.088 and 0.145 respectively. All of pH value decreased from 7 to 6.82. Weight of miselium Monascus-nata complex from all medium was average 0.024 g. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Monascus-nata complex, rice flour, tofu solid waste, rice bran.

PENDAHULUAN Persaingan produk makanan di pasaran semakin meningkat. Agar produk makanan dapat bersaing dan dipilih oleh konsumen, produk makanan harus memiliki rasa yang enak, warna yang menarik, nilai gizi tinggi serta ekonomis. Pertimbangan-pertimbangan di atas menjadi dasar digunakannya zat-zat tambahan, khususnya zat warna baik sintetis maupun alami untuk meningkatkan kualitas produk terutama penampakannya. Industri makanan lebih banyak menggunakan zat warna sintetis daripada zat warna alami karena lebih murah dan mudah didapat. Penggunaan zat warna sintetis yang boleh digunakan semakin berkurang karena banyak yang menimbulkan alergi dan berbahaya bagi manusia. Kondisi ini mendorong usaha pengembangan produk bahan tambahan makanan terutama zat pewarna yang bersifat alami. Menurut Sukandar (2000) sebagian besar pewarna alami berasal dari ekstrak tumbuhan, hewan, atau dari mikroorganisme. ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: biology@mipa.uns.ac.id

Produksi bahan tambahan makanan menggunakan mikroorganisme semakin meningkat. Salah satu mikroorganisme yang dapat menghasilkan bahan pewarna alami adalah Monascus purpureus. Pigmen yang dihasilkan oleh M. purpureus sangat stabil dan aman digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Fabre et al., 1993; Sheu et al., 2000). Jamur M. purpureus sudah banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan pigmen melalui proses fermentasi baik pada substrat padat maupun cair. Beras adalah media yang paling banyak digunakan dalam proses fermentasi dan dikenal dengan nama angkak (red rice) (Bakošová et al., 2001). Limbah industri makanan seperti dedak padi, ampas tahu dan onggok dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pigmen merah oleh M. purpureus tetapi intensitas warna yang dihasilkan tidak sebaik beras. Kombinasi dedak padi, ampas tahu dan onggok, dapat digunakan untuk menggantikan sebagian beras yang digunakan sebagai substrat (Jenie dkk., 1994). Pewarnaan nata dapat memperbaiki penampakannya sebagai bahan makanan. Sheu et al. (2000) menggunakan M. purpureus untuk memberi warna pada nata. Nata, selulosa bakteri yang dihasilkan oleh A. xlynum, diwarnai dengan cara melakukan fermentasi menggunakan M. purpureus pada media cair. Nata yang diwarnai dengan


KUSUMAWATI dkk. – Pembentukan warna pada Monascus-nata kompleks

cara seperti ini disebut Monascus-nata kompleks. Warna yang tampak pada nata disebabkan pigmen yang berada di dalam miselium M. purpureus (intraseluler) dan miselium tersebut dapat tumbuh di dalam jaringan selulosa nata. Sheu et al. (2000) menyatakan bahwa pewarnaan menggunakan pigmen yang dihasilkan oleh M. purpureus sangat stabil dan tidak mengubah rasa nata. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji pembentukan warna, pH media, berat miselia Monascus-nata kompleks dalam media yang dibuat dari kombinasi ekstrak beras dengan ampas tahu dan ekstrak beras dengan dedak padi. Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbandingan media yang dapat digunakan dalam pembuatan Monascus-nata kompleks. BAHAN DAN METODE Bahan Pembuatan nata de coco membutuhkan: gula pasir, kecambah kacang hijau, air kelapa masak, asam asetat 25%, biakan murni A. xlynum yang diperoleh dari Lab. Biologi Tanah Fak. Pertanian UNS Surakarta. Fermentasi Monascus-nata kompleks membutuhkan: beras IR-28, ampas tahu, dedak padi, biakan murni M. purpureus FNCC 6008 yang diperoleh dari Lab. Pangan dan Gizi PAU UGM, NaOH 1M, akuades, PDA (Potato Dextrosa Agar), NH4NO3, KH2PO4, MgSO4H2O. Ekstraksi pigmen Monascus-nata kompleks membutuhkan: metanol. Cara kerja Pembuatan Nata de coco Pembuatan kultur kerja. Kultur kerja dibuat dengan cara menginokulasikan 1 ose kultur murni bakteri A. xlynum ke dalam media agar miring dan diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Komposisi media agar miring sama dengan media fermentasi nata, tetapi ditambah agar 2% (Rahayu dkk., 1993). Pembuatan starter nata. Komposisi media untuk starter sama dengan media untuk fermentasi. Media disterilkan dengan autoclave pada suhu 121°C selama 15 menit. Sebanyak 2 mL media steril dimasukkan ke dalam kultur kerja dan diinkubasi pada suhu kamar selama 72 jam, kemudian dipindahkan ke dalam media sebanyak 100 mL dan diinkubasi pada suhu kamar selama 72 jam. Starter siap dipakai setelah timbul lapisan nata di permukaan media (Rahayu dkk., 1993). Fermentasi nata. Media fermentasi diatur pH-nya menjadi 4 dengan cara menambahkan asam asetat 25% sebanyak kurang lebih 18-20 mL/L, kemudian disterilkan pada suhu 121°C selama 15 menit. Setelah dingin 10% (v/v) starter dimasukkan ke dalam media fermentasi. Wadah fermenter ditutup dengan kertas dan diikat dengan karet. Fermentasi nata berlangsung selama 12 hari (Rahayu dkk., 1993). Pemanenan nata. Lapisan nata yang terbentuk dengan ketebalan kurang lebih 1 cm diambil kemudian dipotong dengan ukuran 1x1x1cm3. Potongan nata direndam dalam air selama kurang lebih 3 hari dan setiap hari air diganti (Rahayu dkk., 1993). Pembuatan Monascus-nata kompleks Pembuatan kultur kerja Kultur murni jamur M. purpureus diperbanyak dengan cara menginokulasikan satu ose kultur ke media PDA miring dan diinkubasi pada suhu kamar selama 8 hari. Kultur siap digunakan sebagai kultur kerja (Jenie, 1995; Sheu et al., 2000).

161

Pembuatan starter M. purpureus. Media diatur pH nya menjadi netral dengan menambahkan NaOH 1M sebanyak kurang lebih 25 mL/L, kemudian disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Setelah dingin, media diinokulasi dengan 5 tabung kultur kerja dan diinkubasi selama 7 hari dengan shaker kecepatan 100 rpm pada suhu kamar. Starter yang telah berumur 7 hari berisi 1,3x107 cfu/mL (Sheu et al., 2000; Jenie, 1995) Penyiapan media fermentasi Monascus-nata kompleks. Media fermentasi yang digunakan adalah ekstrak beras, ampas tahu, dedak padi. Ekstrak beras, ampas tahu dan dedak padi dibuat dengan cara menyiapkan tepung beras, ampas tahu dan dedak padi terlebih dahulu, dengan komposisi 5% (b/v) tepung beras, tepung beras:ampas tahu (1:1, 1:2, 1:3), tepung beras:dedak padi(1:1, 1:2, 1:3) kemudian dididihkan pada suhu 100°C selama 30 menit dan disaring. Tepung ampas tahu dan dedak padi dibuat dengan mengeringkan ampas tahu dan dedak padi dalam oven pada suhu 60°C selama 2 hari, kemudian dihaluskan menggunakan blender. Pembuatan tepung beras dilakukan dengan cara mencuci beras kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60°C selama 1 hari dan dihaluskan (Jenie dkk., 1994). Fermentasi Monascus-nata kompleks. Media fermentasi dinetralkan dengan menambahkan 1M NaOH sebanyak kurang lebih 25 mL tiap 1 L. Sepuluh potongan nata de coco dimasukkan ke dalam media fermentasi (100 mL) dalam botol jam. Setelah disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121°C selama 20 menit, kemudian didinginkan. Setiap botol diinokulasi dengan starter sebanyak 10% (v/v). Fermentasi berlangsung selama 16 hari dan dilakukan dengan shaker kecepatan 100 rpm pada suhu kamar (Jenie dkk., 1994; Sheu et al., 2000). Ekstraksi pigmen Monascus-nata kompleks dikeringkan pada suhu 70°C selama 24 jam. Kompleks yang sudah kering sebanyak 0,07 g ditumbuk dengan mortar dan ditambah 10 mL metanol sambil diaduk dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian didiamkan selama 24 jam. Campuran kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Supernatan disaring dengan kertas saring dan merupakan pigmen intraseluler yang akan diukur intensitas warnanya menggunakan Spektrofotometer UV-VIS (Kanoni dan Astuti, 1988; Jenie, 1995). Pengukuran parameter Parameter yang diukur adalah warna Monascus-nata kompleks meliputi intensitas warna (Kanoni dan Astuti, 1988) dan uji kesukaan warna (Kartika dkk., 1988), pH media, berat miselia Monascus-nata kompleks. Semua parameter diukur pada akhir fermentasi yaitu setelah hari ke-16. Rancangan percobaan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor, 7 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan sebagai berikut: PO= ekstrak beras P1 = ekstrak beras: ampas tahu (1:1) P2 = ekstrak beras: ampas tahu (1:2) P3 = ekstrak beras: ampas tahu (1:3) P4 = ekstrak beras: dedak padi (1:1) P5 = ekstrak beras: dedak padi (1:2) P6 = ekstrak beras: dedak padi (1:3) terhadap variabel bebas yaitu kombinasi media sedangkan variabel terikat adalah warna, pH media, berat miselia Monascus-nata kompleks.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 160-163

162

Analisis data Data dianalisis dengan Analisis Variansi (ANAVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap semua variabel pengamatan, dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Sugandi dan Sugiarto, 1994) untuk mengetahui perlakuan media yang menunjukkan beda nyata, sedangkan untuk uji kesukaan digunakan Metode Hedonik (Kartika dkk., 1988).

HASIL DAN PEMBAHASAN Warna Monascus-nata kompleks Intensitas warna Hasil pengukuran intensitas warna (Tabel 1; Gambar 1) menunjukkan bahwa Monascus-nata kompleks yang menggunakan media fermentasi ekstrak beras : ekstrak ampas tahu perbandingan 1:1 memiliki intensitas warna merah yang paling mendekati intensitas warna merah pada media ekstrak beras yaitu sebesar 0,088. Pada media ekstrak beras intensitas warna merah paling tinggi yaitu sebesar 0,145, sedangkan pada media fermentasi ekstrak beras:dedak padi perbandingan 1:3 intensitas warna merah terendah yaitu sebesar 0,043. Intensitas warna jingga yang didapatkan pada media fermentasi ekstrak beras : ekstrak ampas tahu perbandingan 1:1 sebesar 0,156 sedikit lebih tinggi daripada yang didapatkan pada media ekstrak beras sebesar 0,123. Intensitas warna jingga terendah didapatkan pada media fermentasi ekstrak beras:dedak padi (1:3) yaitu sebesar 0,065. Menurut Lin (1973) media fermentasi yang paling baik untuk pembentukan pigmen merah oleh Monascus purpureus adalah bahan yang mengandung pati sebagai sumber karbon (C). Intensitas warna merah tertinggi didapatkan pada media ekstrak beras dikarenakan komponen utama beras adalah pati sebagai sumber C yaitu sebesar 80%. Pembentukan pigmen dipengaruhi oleh jenis karbohidrat dan perbandingan C dengan N. Bila konsentrasi C dalam media meningkat harus diimbangi dengan peningkatan konsentrasi N yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan maksimum dan pembentukan

A

B

pigmen (Broder dan Koehler, 1980). Kombinasi media ekstrak beras dengan ampas tahu dan ekstrak beras dengan dedak padi yang digunakan pada perbandingan 1:1; 1:2; 1:3, dengan bagian ekstrak ampas tahu dan dedak padi yang semakin meningkat menghasilkan intensitas warna merah maupun jingga yang semakin menurun. Penurunan intensitas warna pada media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu dan ekstrak beras:dedak padi dengan bagian ekstrak ampas tahu dan dedak padi yang semakin meningkat kemungkinan disebabkan perbandingan C dan N di dalam media tidak terdapat dalam jumlah yang seimbang untuk mendukung pembentukan pigmen. Jenis karbohidrat di dalam media yang digunakan sangat mempengaruhi pembentukan pigmen. Percobaan yang dilakukan Sheu et al. (2000) menggunakan maltosa didapatkan Monascus-nata kompleks yang berwarna merah tua sedangkan bila digunakan sukrosa Monascus-nata kompleks yang didapatkan berwarna merah muda. Perbedaan jenis karbohidrat yang terdapat di dalam media kemungkinan menyebabkan intensitas warna jingga dan merah juga berbeda. Perbandingan C dan N dan juga kemungkinan adanya jenis karbohidrat yang berbeda di dalam media diduga menyebabkan intensitas warna yang didapatkan juga berbeda. Tabel 1. Intensitas warna jingga (位 400 nm) dan merah (位 500 nm) Monascus-nata kompleks setelah fermentasi 16 hari pada berbagai macam media. Intensitas warna Nilai Rerata berat Jingga Merah (位 kesukaan Nilai pH warna miselia (g) (位 400 nm) 500 nm) b d bc PO 0,123 0,145 3,32 6,84 0,026 c c c P1 0,156 0,088 2,28 6,91 0,021 a b c 0,093 0,065 3,07 6,93 0,028 P2 a ab bc 0,085 0,053 3,78 6,85 0,017 P3 a ab ab 0,088 0,052 4,15 6,78 0,022 P4 a ab a 0,076 0,052 4,65 6,67 0,025 P5 a a ab 0,065 0,043 4,10 6,75 0,029 P6 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasar DMRT 5%. Nilai kesukaan: 1 = sangat suka, 2 = suka, 3 = biasa saja, 4 = kurang suka, 5 = tidak suka, 6 = sangat tidak suka. Perlakuan

C

D

E F G Gambar 1. Warna Monascus-nata kompleks setelah fermentasi 16 hari, yang diperoleh dari: media ekstrak beras (A); media ekstrak beras: ampas tahu perbandingan 1:1 (B) 1:2 (C) 1:3 (D); media ekstrak beras:dedak padi perbandingan 1:1 (E) 1:2 (F) 1:3 (G).


163

Kesukaan warna Tabel 1 menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap warna Monascus-nata kompleks berada pada skala 2-4 yaitu antara nilai kesukaan suka sampai kurang suka. Dari hasil ranking dan analisis uji kesukaan dapat diketahui bahwa kesukaan terhadap warna Monascus-nata kompleks yang didapatkan dari media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu perbandingan 1:1 dianggap para panelis paling disukai karena warna jingga yang terlihat paling tajam di antara sampel yang lain, sedangkan kompleks yang didapatkan dari media ekstrak beras:dedak padi perbandingan 1:2 dianggap paling tidak disukai karena warnanya kurang tajam dan merata. Nilai pH Hasil pengukuran pH media setelah fermentasi selama 16 hari dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai pH tertinggi didapatkan pada media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu perbandingan 1:2 dan pH terendah pada media ekstrak beras:dedak padi perbandingan 1:2. Nilai pH setelah fermentasi selama 16 hari mengalami penurunan dari pH awal 7 menjadi sekitar 6,82. Penurunan pH disebabkan karena adanya dekomposisi protein pada media (Jenie, 1995). Menurut Lehninger (1993) protein dibentuk oleh adanya asam-asam amino yang berikatan kovalen. Adanya asam-asam amino bergugus samping (R) bermuatan (-) dalam media campuran yang mempunyai kecenderungan + melepaskan ion H diduga menyebabkan penurunan pH. Dua asam amino yang mengandung gugus R bermuatan negatif adalah asam aspartat dan asam glutamat. Nilai pH media di bawah 5 lebih mendukung pembentukan pigmen merah (Jenie dkk., 1994). Pada nilai pH yang rendah terdapat lebih banyak gugus =NH yang berasal dari pemecahan protein. Menurut Carels dan Shepherd (1977) pigmen merah terbentuk dari penggantian atom oksigen pada cincin piranoid dari monascorubrin atau rubropunctatin (pigmen jingga) dengan gugus = NH. Lebih rendahnya intensitas warna merah dibandingkan intensitas warna jingga dapat dikaitkan dengan pH media yaitu sekitar 6. Pada kisaran pH tersebut gugus =NH yang terdapat dalam media tidak tersedia dalam jumlah yang cukup banyak untuk menggantikan atom O pada cincin piranoid dari pigmen jingga, sehingga pigmen merah yang dihasilkan lebih sedikit. Berat miselia Pada pengamatan Monascus-nata kompleks menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) diketahui bahwa miselia Monascus dapat tumbuh di dalam jaringan selulosa nata (Sheu et al., 2000). Penghitungan berat miselia Monascus-nata kompleks dilakukan dengan mencari selisih berat kering sesudah dengan sebelum fermentasi. Hasil penghitungan berat miselia dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis Variansi menunjukkan bahwa penggunaan media dengan perbandingan yang berbeda tidak mempengaruhi berat miselia yang didapatkan. di dalam Monascus-nata kompleks, sehingga tidak dilanjutkan dengan DMRT 5%. Berat miselia yang tidak berbeda nyata antar perlakuan menunjukkan bahwa pertumbuhan Monascus di dalam nata tidak dipengaruhi oleh perbandingan ampas tahu maupun dedak padi yang berbeda. Pembentukan pigmen Monascus dimulai pada fase pertumbuhan lambat dan mulai meningkat pada fase pertumbuhan stasioner (Jenie dkk., 1994). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan pigmen dimulai sesudah pertumbuhan terjadi. Nutrisi yang

terkandung pada media digunakan untuk memenuhi pertumbuhan terlebih dahulu. Apabila pertumbuhan mencapai maksimum, nutrisi yang tersisa pada media digunakan untuk pembentukan pigmen. Penggunaan media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu dan ekstrak beras:dedak padi pada perbandingan 1:1;1:2;1:3 tidak mempengaruhi pertumbuhan jamur di dalam nata tetapi mempengaruhi intensitas warna yang dihasilkan. Hal ini kemungkinan disebabkan pada media yang digunakan, jamur Monascus purpureus membutuhkan sejumlah nutrisi yang hampir sama untuk mencapai pertumbuhan maksimum. Apabila pertumbuhan maksimum tercapai, nutrisi yang tersisa digunakan untuk pembentukan pigmen. Kemungkinan ada-nya perbedaan jumlah nutrisi yang tersisa menyebabkan intensitas warna yang dihasilkan juga berbeda. KESIMPULAN Media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu pada perbandingan 1:1 dapat digunakan untuk mengganti media ekstrak beras dalam pembuatan Monascus-nata kompleks. Intensitas warna jingga Monascus-nata kompleks yang didapatkan dari media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu (1:1) sebesar 0,156 lebih tinggi dari intensitas warna jingga yang didapatkan dari media ekstrak beras sebesar 0,123. Intensitas warna merah yang didapatkan pada media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu pada perbandingan (1:1) sebesar 0,089 paling mendekati intensitas warna merah yang didapatkan dari media ekstrak beras sebesar 0,145. Nilai pH pada semua media turun dari 7 menjadi sekitar 6,82. Berat miselia Monascus-nata kompleks yang didapatkan dari semua media sekitar 0,024. DAFTAR PUSTAKA BakoĹĄovĂĄ, A., D. Mate, A. Laciakova, and M. Pipova, 2001. Utilization of Monascus purpureus in the production of foods of animal origin. Bulletin Veterinary Institute of Pulawy 45: 111-116. Broder, C.U., and P.E. Koehler, 1980. Pigments produced by Monascus purpureus with regard to quality and quantity. Journal of Food Science 45: 567-569. Carels, M. and D. Shepherd, 1977. The effect of different nitrogen sources on pigment production and sporulation of Monascus species in submerged, shaken culture. Canadian Journal of Microbiology 23: 13601372. Fabre, C.E., G. Goma, and P.J. Blanc. 1993. Production and food applications of the red pigments of Monascus ruber. Journal of Food Science 58 (5): 1099-1102. Jenie, B.S.L. 1995. Utilization of tofu and tapioca solid wastes and rice bran to produce red pigments by Monascus purpureus in tofu liquid waste medium. Indonesian Food and Nutrition Progress 2 (2): 24-29. Jenie, B.S.L., Helianti, dan S. Fardiaz, 1994. Pemanfaatan ampas tahu, onggok dan dedak untuk produksi pigmen merah oleh Monascus purpureus. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 5 (2): 22-29. Kanoni, S. dan M. Astuti, 1988. Kajian tentang Keamanan Zat Warna dari Monascus purpureus. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Kartika, B., P. Hastuti, dan W. Supartono, 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Lehninger, A.L. 1993. Dasar-dasar Biokimia. Jilid I. Jakarta: Penerbit Airlangga. Lin, C.F. 1973. Isolation and Cultural Conditions of Monascus sp for the Production of Pigment in a Submerged Culture. Journal of Fermentation Technology 51: 135-142. Rahayu, E.S., I. Retno, U.Tyas, H. Eny, dan M.N. Cahyanto, 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Sheu, E., C.L. Wang, and Y.T. Shyu, 2000. Fermentation of Monascus purpureus on bacterial cellulosa-nata and the color stability of Monascus-nata complex. Journal of Food Science 65 (2): 342-345. Sugandi dan Sugiarto, 1994. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset. Sukandar, U. 2000. Singkong sebagai substrat yang potensial untuk produksi zat warna Monascus. Proseding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V. Jakarta: Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik UI.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 164-167

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Transesterifikasi Ester Asam Lemak Melalui Pemanfaatan Teknologi Lipase Application of lipase technology for transesterification of fatty acid ester RINI HANDAYANI♥, JOKO SULISTYO Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. Diterima: 26 Januari 2005. Disetujui: 1 April 2005.

ABSTRACT We have reported the potency of microbial extracellular enzyme for synthesis of fatty acid ester. Further investigation was aimed to study capacity of the enzyme on bioprocess of crude palm oil by transesterification of saturated fatty acid to fatty acid ester. We have studied some lipases from culture filtrate of Candida rugosa FM-9301, Bacillus subtilis FM-9101 and Pseudomonas aerogenes FM-9201, which were preincubated in a medium containing olive oil as inducers, using a shaker under conditions that allowed for lipase production at pH 4.5-6.5 and room temperature for 5 days. Those strains shown different activities during the hydrolysis of substrates, which resulted in decreasing or increasing free fatty acids those, were liberated from media containing crude palm oil and organic solvents. The optimal transesterification condition was at temperature of 45-50°C and at pH 4.5 for C. rugosa and pH 6.0 to 7.0 for P. aerogenes and B. subtilis. Under the enzyme concentration of 50% (v/v), the transesterification was rapidly occurred, while at the concentration of 20% (v/v) the enzymatically biosynthesis required longer incubation period. The substrates incubated with C. rugosa lipase exhibited higher linoleic and linolenic acid (7.16 and 2.15%, respectively), than that of B. subtilis lipase (4.85% and 1.43%, respectively), while P. aerogenes lipase (3.73% and 1.11%, respectively). © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: transesterification, lipase, crude palm oil, fatty acid ester.

PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa dan kelapa sawit dunia dengan kontribusi tinggi sebagai komoditi ekspor. Saat ini, areal perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan cukup pesat. Seiring dengan meningkatnya luas areal, produksi minyak sawit mentah (CPO) juga terus meningkat (Latief, 1991). Minyak sawit telah banyak digunakan dalam industri pangan dan non pangan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetika, deterjen dan surfaktan (Ghosh dan Bhattacharyya, 1995; Tucker dan Woods, 1995). Asam lemak dan ester asam lemak berantai pendek juga bermanfaat sebagai senyawa aromatik penyedap rasa (Kosugi dan Azuma, 1994; Singh dkk., 1994). Metil dan etil ester asam lemak berantai panjang bermanfaat untuk produksi alkohol lemak serta bahan bakar pengganti untuk motor bermesin disel (Linko dkk., 1994). Asam lemak tidak jenuh berantai panjang, antara lain asam oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat (Ketaren, 1986), bahkan bermanfaat untuk pencegahan dan penyembuhan berbagai penyakit yang berkaitan dengan sistem peredaran darah antara lain trombosis dan ateroklerosis (Shirasaka dan Shimizu, 1995; Posorske, 1984). Produksi ester alkohol berantai panjang dari asam lemak dengan cara esterifikasi dan alkoholisis oleh katalisator kimia sudah tidak diragukan lagi. Proses secara

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122. Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854 e-mail: handayanirini@yahoo.co.uk

kimiawi tersebut memiliki keterbatasan, antara lain asamasam dari jenis yang lebih tidak jenuh akan mengalami polimerisasi atau perubahan-perubahan lain selama proses esterifikasi (Sil-Roy dan Bhattacharyya, 1993). Asam lemak dengan grup-grup fungsional seperti epoksi dan hidroksi sulit sekali untuk diesterifikasi tanpa merusaknya terlebih dahulu. Katalisis ester yang sulit dilakukan dengan metode kimiawi tersebut menjadi sederhana dengan pemanfaatan teknologi enzimatik lipase (Bailey, 1950; Sulistyo dkk., 2000). Pada penelitian ini enzim lipase digunakan sebagai biokatalisator pada reaksi hidrolisis dan transesterifikasi trigliserida dari minyak sawit mentah dan santan kelapa dengan alkohol atau pelarut organik lainnya untuk mensintesis produk transfer berupa ester asam lemak.

BAHAN DAN METODE Ekstraksi enzim lipase dari mikroba Biakan mikroba penghasil enzim lipase terdiri dari Bacillus subtilis FM-9101, Candida rugosa FM-9301, dan Pseudomonas aerogenes FM-9201 ditumbuhkan secara terpisah. Media basal untuk memproduksi enzim mengandung pepton 0,5%, K2HPO4 0,1%, NaCl 0,05%, MgSO4 0,05%, FeSO4 0,001%, ZnSO4 0,0001%, CuSO4 0,0001%, MnSO4 0,0001%, ekstrak khamir 0,5% (Cowan, 1981; Sulistyo dkk., 1999) dan masing-masing bahan penginduksi (minyak zaitun) sebanyak 2,0%, pada 10 mM bufer Na-fosfat pH 4,5-6,5. Media produksi digoyang pada suhu ruang selama 5 hari, kemudian disentrifus pada


HANDAYANI dan SULISTYO – Transesterifikasi ester asam lemak

kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada 4°C dan supernatan digunakan sebagai sumber enzim. Uji aktivitas enzimatik lipase Minyak zaitun sebanyak 1,0 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL, lalu ditambahkan berturut-turut 0,5 mL CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL bufer asetat 0,1 M (pH 5,5). Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 40°C selama 10 menit, kemudian ditambahkan enzim lipase sebanyak 10% (v/v) dari masing-masing biakan dan diinkubasi kembali pada suhu 40°C dengan digoyang pada kecepatan 160 rpm selama 30 menit. Selanjutnya, campuran reaksi ditambah 20 mL etanol dan 3 tetes indikator fenolptalin serta dititrasi dengan NaOH 0,05 M sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Satu unit aktivitas enzim lipase setara dengan 1 μmol asam lemak bebas yang dihasilkan dari hidrolisis substrat yang dikatalisis oleh enzim lipase selama 30 menit. Pengaruh pH dan suhu pada aktivitas enzimatik lipase Campuran reaksi (dalam erlenmeyer 100-mL) mengandung 1,0 mL minyak zaitun, 0,5 mL CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL 0,1 M bufer asetat pada pH 4,0-8,0, diinkubasikan pada suhu 30-60°C dengan cara digoyang pada kecepatan 160 rpm selama 30 menit. Selanjutnya, aktivitas residu enzim lipolitiknya diuji sebagaimana cara pengujian aktivitas enzimatik tersebut di atas. Analisis asam lemak bebas (ALB) Kadar asam lemak bebas ditentukan dengan mengukur sebanyak 5,0 g sampel minyak dalam campuran alkoholbenzena (25: 25, v/v). Campuran larutan ditrasi dengan KOH-alkohol (0,1N) menggunakan indikator fenolptalin. Titrasi dilakukan sampai larutan berubah menjadi merah muda. Persentase ALB pada setiap sampel diperoleh dari hasil penghitungan volume larutan titrant terhadap bobot molekul minyak. Kromatografi gas (GC) Campuran reaksi dianalisis secara kuantitatif menggunakan kromatografi gas (GC) dengan menimbang sebanyak 0,02-0,05 g sampel dan dilarutkan dengan 2,0 mL NaOH dalam metanol 0,5 M, kemudian dipanaskan pada suhu 80°C selama 20 menit. Setelah penambahan larutan BF3 dalam metanol sebanyak 2,0 mL, sampel dipanaskan kembali pada suhu 80°C selama 20 menit dan selanjutnya ditambahkan NaCl jenuh dan heksan, masingmasing sebanyak 2,0 mL. Sampel (2,0 μl) dimasukkan dalam kolom silikagel GC. GC dijalankan dengan pelarut H2 (g) dan N2 (g) pada suhu awal 150°C dan suhu injektor 200°C. Deteksi sampel diukur dengan FID pada suhu 250°C. Reaksi hidrolisis enzimatik Substrat (50 g minyak asam) ditempatkan dalam gelas erlenmeyer 100 mL diinkubasikan dengan 25% (v/v) larutan enzim lipase dalam buffer pada suhu 50°C dan digoyang pada 100 rpm diatas shaker selama 24 jam. Reaksi hidrolisis yang terjadi diestimasi dengan pengukuran kandungan asam lemak bebas (ALB) pada setiap sampel yang dianalisis. Emulsi lemak dihancurkan dengan cara pemanasan pada suhu 80°C dan lapisan lemak yang mengandung enzim dan gliserol dipisahkan dengan cara sentrifugasi. ALB sebagai produk hidrolisis yang terkandung dalam lapisan lemak selanjutnya dianalisis.

165

Reaksi transesterifikasi ester asam lemak Substrat CPO dan pelarut alkohol (etanol, metanol, propanol, butanol konsentrasi 10-25%) atau buffer sebagai kontrol dalam gelas erlenmeyer 100-mL diinkubasi dengan 25% larutan enzim lipase dari beberapa biakan mikroba (B. subtilis, C. rugosa dan P. aerogenes) dengan cara dikocok menggunakan pengocok magnetis pada suhu 50°C selama 24 jam. Campuran produk (masing-masing sebanyak 2,0 mL) disaring untuk memisahkannya dari kotoran yang tidak terlarut. Hasil reaksi dianalisis secara kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis (TLC; thin layer chromatography) dan secara kuantitatif menggunakan GC. TLC. Sampel diencerkan dengan etanol dengan perbandingan 1:10. Sebanyak 0,01 mL sampel encer digunakan untuk analisis TLC. Untuk mengetahui spot produk yang terkromatografi, plat TLC dikembangkan dalam larutan heksan:dietil eter:asam asetat (80:20:1) selama satu jam. Setelah dikeringkan, plat TLC disemprot dengan 0,1% 2’,7’diklorofluoresin dalam 99,5% etanol dan selanjutnya diamati pada panjang gelombang 254 dan 360 nm. GC. Sampel (2,0 μL) dimasukkan dalam kolom silikagel GC. GC dijalankan dengan pelarut H2 (g) dan N2 (g) pada suhu awal 150°C dan suhu injektor 200°C. Deteksi cuplikan diukur dilakukan dengan FID pada suhu 250°C.

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat yang dipilih untuk pengujian aktivitas lipolitik adalah bakteri yang diisolasi dari sampel limbah mengandung minyak. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dari beberapa isolat yang telah diidentifikasi, tiga biakan penghasil enzim lipase yaitu C. rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menunjukkan aktivitas lipolitik secara signifikan, masing-masing sebesar 32.10 U/mL, 37,05 U/mL dan 36,08 U/mL, setelah ketiga biakan tersebut diprakulturkan pada substrat mengandung minyak zaitun 2% dan pada suhu ruang (Sulistyo dkk., 2001). Hasil uji pengaruh pH dan suhu pada perumbuhan enzim lipase dari berbagai sumber biakan menunjukkan bahwa pH dan suhu optimal untuk aktivitas enzim lipase dari C. Rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes masingmasing adalah pada pH 4,5 (5,14 μmol/menit) dan suhu 45°C (5,33 μmol/menit), pada pH 7,0 (masing-masing 5,81 μmol/menit dan 5,85 μmol/menit), dan pada suhu 40°C dan 45°C (masing-masing 5,98 μmol/menit dan 5,92 μmol/menit) (Gambar 1 dan 2). Tabel 1 menunjukkan hasil uji kualitatif perubahan pada substrat CPO setelah terjadi reaksi enzimatik menggunakan beberapa biakan penghasil enzim lipase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber enzim lipase berpengaruh pada proses transesterifikasi, meskipun pada konsentrasi 10-25% pengaruh enzim tidak signifikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa enzim lipase dari biakan tertentu dapat bekerja secara efektif dan efisien sebagai biokatalisator pada proses transesterifikasi (Herawan dan Eka, 1996), karena kondisi media bagi aktivitas enzimatik menjadi optimal, sehingga terjadi proses penguraian trigliserida yang diikuti pembentukan asam lemak yang diperlukan untuk sintesis ester asam lemak. Terjadinya reaksi transesterifikasi dapat dianalisis berdasarkan perbandingan jumlah gugus hidroksil pada substrat sebelum dan sesudah reaksi enzimatik. Tabel 1 menunjukkan hasil bahwa enzim lipase berpengaruh terhadap penurunan kadar asam lemak bebas (ALB) pada substrat CPO. Pada reaksi hidrolisis, penambahan enzim


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 164-167

166

Aktivitas (umol/menit)

lipase dari C. rugosa dapat menurunkan kadar ALB sebanyak 25%., sedangkan penambahan enzim lipase dari B. subtilis dan P. aerogenes hanya menurunkan kadar ALB sekitar 6-7%. Akan tetapi dengan penambahan santan kelapa atau butanol sebagai pelarut organik, penurunan kadar ALB substrat mencapai 29-30%, bahkan hingga 34% pada substrat dengan penambahan butanol yang direaksikan dengan enzim lipase dari C. rugosa.

transglikosilasi dapat ditandai dengan adanya pembentukan spot-spot sebagai produk transfer (PT) yang terdeteksi pada kromatogram hasil analisis TLC. Ester asam lemak yang memiliki polaritas lebih tinggi, memiliki spot kromatogram dengan nilai-Rf yang lebih tinggi (0,82) dibanding nilai-Rf produk asam lemak bebas hasil hidrolisis trigliserida pada CPO antara lain stearat (Rf 0,59), palmitat (Rf 0,46), linoleat (Rf 0,25), linolenat (Rf 0,09) dan oleat (Rf 0,04).

7

Produk transfer

6 5 4

Stearat

3

Palmitat C. rugosa B. subtilis P. aerogenes

2 1 0 30

35

40

45

50

55

60

o

Suhu Inkubasi ( C) Gambar 1. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim lipase dari beberapa biakan mikroba.

Stearat

Linoleat

Linoleat

Linolenat Oleat

Linolenat Oleat

Standar

Aktivitas (umol/menit)

7 6

Gambar 3. Kromatogram TLC hasil reaksi enzimatik lipase pada substrat CPO dan butanol. Keterangan: 1. Kontrol, 2. C. rugosa, 3. B. subtilis, 4. P. aerogenes.

5 4 3 2

C. rugosa B. subtilis P. aerogenes

1 0 4.0

4.5

5.0

5.5

6.0

6.5

7.0

7.5

8.0

pH

Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim lipase dari beberapa biakan mikroba.

Tabel 1. Pengaruh sumber enzim lipase pada perubahan kadar ALB minyak sawit. Substrat

Sumber enzim

Kontrol CPO + Bufer CPO + Bufer CPO + Santan CPO + Santan CPO + Butanol CPO + Butanol CPO + Bufer CPO + Bufer CPO + Santan CPO + Santan CPO + Butanol CPO + Butanol CPO + Bufer CPO + Bufer CPO + Santan CPO + Santan CPO + Butanol CPO + Butanol

C. rugosa C. rugosa C. rugosa C. rugosa C. rugosa C. rugosa B. subtilis B. subtilis B. subtilis B. subtilis B. subtilis B. subtilis P. aerogenes P. aerogenes P. aerogenes P .aerogenes P. aerogenes P. aerogenes

Kadar enzim 0% 10% 25% 10% 25% 10% 25% 10% 25% 10% 25% 10% 25% 10% 25% 10% 25% 10% 25%

Gambar 4 menunjukkan kondisi campuran reaksi mengandung substrat CPO setelah penambahan pelarut alkohol (metanol, etanol, butanol dan propanol) 10-25%, dinkubasi dengan enzim lipase dari C. rugosa selama 48 jam. Secara kualitatif terjadinya reaksi transesterifikasi ditunjukkan dengan adanya pembentukan ester asam lemak yang memiliki polaritas dan solubilitas lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (buffer) yang tidak diberi penambahan pelarut alkohol (Saifuddin dan Chua, 2004). Campuran reaksi menunjukkan terjadinya perubahan sifat kelarutan yang lebih baik, ditandai dengan tingginya kadar asam lemak tidak jenuh dari golongan oleat, linoleat dan linolenat (Tabel 2) sebagai produk asam lemak bebas hasil hidrolisis trigliserida secara enzimatik pada CPO.

Kadar ALB (%) 8,09 6,33 6,06 5,21 5,57 5,30 5,72 7,67 7,50 5,75 5,59 5,59 5,65 7,61 7,57 6,40 6,75 5,75 6,74

Gambar 3 menunjukkan kromatogram TLC hasil reaksi substrat CPO setelah penambahan butanol 10% dan dinkubasi menggunakan enzim lipase dari C. rugosa selama 48 jam. Secara kualitatif terjadinya reaksi

Gambar 4. Campuran reaksi mengandung substrat CPO dan beberapa pelarut alkohol sebagai akseptor reaksi transesterifikasi dengan enzim lipase dari biakan C. rugosa.


HANDAYANI dan SULISTYO – Transesterifikasi ester asam lemak

167

Tabel 2. Analisis kandungan asam lemak minyak nabati. Substrat CPO + Bufer CPO + Bufer CPO + Santan CPO + Butanol CPO + Butanol CPO + Butanol CPO + Butanol

Sumber enzim Kontrol C. rugosa C. rugosa C. rugosa C. rugosa B. subtilis P. aerogenes

Asam lemak jenuh (%) Laurat Palmitat Stearat 0,3984 0,3848 4,8587 0,0380 0,1700 5,0421 0,5522 0,2620 2,4151 0,0507 0,2112 7,4600 0,0119 0,1130 4,5486 0,0150 0,1470 5,9049 0,0113 0,1207 4,5793

Hasil analisis kromatografi gas pada substrat CPO yang telah direaksikan dengan butanol dan enzim lipase dari C. rugosa, menunjukkan bahwa komposisi kandungan asam lemak tidak jenuh yang merupakan asam lemak esensial, terbentuk lebih tinggi dibanding kandungan asam lemak jenuh. Hasil tersebut memberi indikasi bahwa komposisi asam lemak bebas pada substrat CPO sebelum dan sesudah mengalami reaksi transesterifikasi, mengalami perubahan yang nyata. Reaksi transesterifikasi menggunakan butanol dengan enzim lipase dari C. rugosa dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh yaitu asam oleat, linoleat dan linolenat, masing-masing sebesar 19%, 29% dan 42%, serta menurunkan asam lemak jenuh, yaitu laurat dan palmitat masing-masing sebesar 87% dan 45%, akan tetapi sebaliknya kandungan asam lemak jenuh stearat juga meningkat sebesar 53%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh komponen asam lemak tidak jenuh dapat ditingkatkan mengikuti penurunan kandungan sebagian asam lemak jenuh. Sebaliknya Reaksi enzimatik menggunakan butanol dengan enzim lipase dari B. subtilis dan P. aerogenes tidak dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh yang terdiri dari asam oleat, linoleat dan linolenat, meskipun dapat menurunkan asam lemak jenuh, khususnya asam laurat dan palmitat, masing-masing sebesar 96% dan 62% (B. subtilis) serta 97% dan 69% (P. aerogenes). Peningkatan kandungan asam stearat juga terjadi meskipun tidak terlalu besar. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sumber enzim berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan kandungan asam lemak bebas secara cukup signifikan pada ketersediaan akseptor butanol. Perubahan komposisi dan kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada substrat CPO belum optimal, sehingga masih dapat ditingkatkan lagi mengingat tingginya kandungan asam palmitat pada CPO (40-46%) belum sepenuhnya dapat termanfaatkan dengan baik. Untuk meningkatkan reaksi transesterifikasi secara lebih efektif dan efisien, diperlukan optimasi perihal sumber enzim dari berbagai sumber biakan mikroba, khususnya dari golongan termofilik dan alkalotoleran, serta kondisi optimum inkubasi maupun jenis pelarut organiknya, agar seluruh kandungan asam lemak jenuh yang terdapat dalam substrat dapat ditransferkan menjadi ester asam lemak secara optimal (Winarno, 1987). Indikasi tersebut didasarkan pada asumsi apabila efektivitas enzim pada reaksi transesterifikasi menjadi sangat tinggi, maka kandungan asam lemak tidak jenuh akan meningkat, sehingga minyak akan tetap mencair pada suhu ruang dan fungsinya sebagai bahan berminyak dapat dimanfaatkan secara optimal, antara lain sebagai senyawa aromatik penyedap rasa, untuk produksi alkohol lemak atau untuk pemanfaatan sebagai produk farmaka yang berfungsi untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan sistem peredaran darah, antara lain trombosis dan arteriosklerosis.

Asam lemak tak jenuh (%) Oleat Linoleat Linolenat 0,9452 5,5588 1,5128 0,6876 0,4305 1,3525 0,3698 2,1069 0,6351 1,1282 7,1596 2,1467 0,8613 4,3726 1,3961 0,8303 4,8465 1,4279 0,6374 3,7342 1,1143

KESIMPULAN Penelitian ini membuktikan bahwa asam lemak pada minyak sawit mentah (CPO) dan minyak kelapa, dapat direaksikan secara transesterifikasi menggunakan enzim lipase yang diekstraksi dari biakan mikroba, antara lain C. rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menjadi ester asam lemak, pada ketersediaan butanol sebagai pelarut organik. Selain itu, reaksi transesterifikasi dengan enzim lipase dari C. rugosa juga menyebabkan terjadinya perubahan pada kandungan asam lemak bebas. Perubahan cukup signifikan yang ditunjukkan oleh adanya penurunan beberapa komponen asam lemak jenuh, diikuti dengan peningkatan beberapa komponen asam lemak tidak jenuh sebagai asam lemak esensial, memberikan indikasi yang prospektif perihal pemanfaatan enzim lipase dari biakan mikroba. DAFTAR PUSTAKA Bailey, A.E. 1950. Industrial Oil and Fat Product. New York: Pinterscholastic Publishing Inc. Cowan, S.T. 1981. Manual for Identification of Medical Bacteria. 6th ed. Cambridge: Cambridge University Press. Ghosh, S. and D.K. Bhattacharyya. 1995. Utilization of acid oils in making valuable fatty products by microbial lipase technology. Journal of American Oil Chemistry Society 72 (12): 1541-1544. Herawan, T. dan N. Eka. 1996. Hidrolisis minyak sawit menggunakan lipozyme dari Mucor miehei. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 4(2): 91-98. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kosugi, Y. and N. Azuma. 1994. Synthesis of triacylglycerol from polyunsaturated fatty acid by immobilazed lipase. Journal of American Oil Chemistry Society 71 (12): 1397-1403. Latief, S. 1991. Analisis komposisi asam lemak minyak sawit yang dipercepat. Berita Penelitian Perkebunan 1 (1): 21-26. Linko, Y.Y., M. Lämsä, A. Huhtala, and P. Linko. 1994. Lipase catalyzed transesterification of rapeseed oil and 2-ethyl-1-hexanol. Journal of American Oil Chemistry Society 71 (12): 1411-1414. Posorske, L.H. 1984. Industrial scale application of enzyme to the fats and oil industry. Journal American Oil Chemistry Society 61 (11): 1758-1760. Saifuddin, N. and K.H. Chua. 2004. Production of ethil ester (biodisel) from used frying oil: optimization of transesterification process using microwave irradiation. Malaysian Journal of Chemistry 6 (1): 077-082. Shirasaka, N. and S. Shimizu. 1995. Production of eicosapentaenoic acid by Saprolegnia sp. 28YTF-1. Journal of American Oil Chemistry Society 72 (12): 1545-1549. Sil-Roy, S. and D.K. Battacharyya. 1993. Distinction between enzymically and chemically catalyzed interesterification. Journal of American Oil Chemistry Society 70 (12): 1293-1294. Singh, C.P., P. Skagerlind, K. Holmberg, and D.O. Shah. 1994. A comparison between lipase-catalyzed esterification of oleic acid with glycerol in monolayer and microemulsion systems. Journal of American Oil Chemistry Society. 71 (12): 1405-1409. Sulistyo, J., Y.S. Soeka, E. Triana, and R.N.R. Napitupulu. 1999. Bioprocessing of fermented coconut oil by application of enzymatic technology. Berita Biologi 4 (5): 273-279 Sulistyo, J., Y.S. Soeka, and R. Handayani. 2000. Bioprocessing of fatty acid esters by application of enzymatic technology. Prosiding Seminar TTG. UNPAD-BP-TTG-LIPI. November 2000. Sulistyo, J., Y.S. Soeka, dan R. Handayani. 2001. Transesterifikasi enzimatik asam lemak dari substrat minyak sawit dan santan kelapa. Berkala Penelitian Hayati 7 (1): 19-23. Tucker G.A. and L.F.J. Woods. 1995. Enzyme in Food Processing. 2nd edition. London: Blacckie Academic & Professional. Winarno, F.G. 1987. Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 168-171

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Seleksi Biak Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L.) pada Media Pasir Steril di Rumah Kaca Selection of Rhizobium strain from Wonogiri, Central Java on the growth of soybean (Glycine max L.) on the sand sterile medium in greenhouse SRI PURWANINGSIH♥ Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002 Diterima: 3 Maret 2005. Disetujui: 1 Mei 2005.

ABSTRACT An experiment on the selection of Rhizobium strain from Wonogiri, Central Java on the growth of soybean (Glycine max L.) on the sand sterile medium in green house. The aim of the experiment the selection and potency of the Rhizobium strain to increase the growth of soybean. The experiment was carried out in green house condition in Microbiology Division, Research Center for Biology-LIPI with sterile sand medium. The research design was Completely Randomized Design with three replications for each treatment. The Rhizobium strains used were 1 W (isolated from bean, Vigna radiata), 2 W (isolated from soybean), 3 W (isolated from bean), 4 W (isolated from soybean), 5 W (isolated from soybean), 6 W (isolated from peanut, Arachis hypogaea), 7 W (isolated from peanut), 8 W (isolated from peanut), the controls were uninoculated with Rhizobium strain and without urea fertilizer (K1), uninoculated and with urea fertilizer equal 100 kg/ha (K2). The plants were harvested after 50 days, the variable of investigation were the dry weight of canopy, roots, nodules root, total plants, number of nodules and ‘symbiotic capacity”. The results showed that all of experiment plant which be inoculated with Rhizobium able to form nodule. Strain of 2 W (isolated from soybean) has given the best effects on the growth of soybean. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Rhizobium strain, Glycine max L, sand sterile.

PENDAHULUAN Daerah Wonogiri merupakan kawasan lahan kering yang mempunyai tingkat curah hujan yang kurang/sedikit, keberhasilan budidaya kedelai di lahan kering tersebut sangat tergantung pada penguasaan teknologi yang mampu berpengaruh terhadap meningkatnya produksi kedelai. Terbatasnya ketersediaan air di dalam tanah, akan dapat menghambat serapan unsur hara oleh akar tanaman, proses fotosintesa dan proses fiksasi nitrogen oleh bintil akar yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya produksi tanaman, terutama tanaman kacang-kacangan. Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu tanaman budidaya dengan kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya mengandung protein 30-50% (Richard et al., 1984). Kandungan protein yang tinggi memberi indikasi bahwa tanaman kedelai memerlukan hara nitrogen yang tinggi pula. Di Indonesia sampai saat ini produksi kedelai belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri. Menurut Sumarno (1999) penyebab utamanya adalah luas areal panen belum memadai dan produktivitas masih rendah, selain itu juga karena teknik budidaya yang masih rendah, tingginya serangan hama dan penyakit, serta tingginya harga pupuk. Salah satu usaha untuk ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16002. Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854 e-mail: novikur@yahoo.co.uk

meningkatkan produktivitas kedelai adalah dengan menggunakan inokulan Rhizobium sebagai pupuk hayati. Keuntungan menggunakan inokulan tersebut adalah dari sebagian N yang ditambat tetap berada dalam akar dan bintil akar yang terlepas ke dalam tanah, nitrogen tersebut akan dimanfaatkan jasad lain dan berakhir dalam bentuk ammonium dan nitrat. Apabila jasad tersebut mati maka akan terjadi pelapukan, amonifikasi dan nitrifikasi, sehingga sebagian dari N yang ditambat dari udara menjadi tersedia bagi tumbuhan itu sendiri dan tumbuhan lain di sekitarnya (Soepardi, 1983). Simarmata (1995) mengemukakan bahwa penggunaan berbagai pupuk hayati pada lahan marginal di Indonesia ternyata mampu meningkatkan ketersediaan hara dan hasil berbagai tanaman antara 20100%, serta dapat menekan pemakaian pupuk buatan dan meningkatkan efisiensi pemupukan. Pasaribu et al. (1989) juga mengemukakan bahwa peningkatan hasil kedelai jelas terjadi dengan mengadakan inokulasi Rhizobium japonicum. Selain itu bakteri Rhizobium mempunyai dampak yang positip terhadap sifat fisik dan kimia tanah (Alexander, 1977), serta memiliki wawasan lingkungan. Percobaan-percobaan terdahulu menunjukkan bahwa inokulasi pada tanaman kacang-kacangan memberikan peluang yang cukup besar untuk meningkatkan produksi kacang-kacangan tersebut baik kualitas maupun kuantitas, juga mengurangi penggunaan pupuk buatan (Singleton dan Taveres, 1986), namun dalam kehidupannya bakteri Rhizobium menunjukkan perbedaan kecocokan, baik terhadap varietas tanaman maupun lingkungan tempat tumbuh. Tingkat kecocokan suatu biak Rhizobium dapat


PURWANINGSIH – Seleksi Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah

terlihat dari kemampuan menginfeksi tanaman inang, kemampuan system simbiosis dalam menambat N udara serta tanggapan pertumbuhan tanaman inang (Usman, 1983; Yutono, 1985). Selain itu keberhasilan suatu galur inokulan yang diberikan juga tergantung pada kemampuannya berkompetisi dengan Rhizobium asli (indigenous) yang ada di dalam tanah, dan mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan (Frederick, 1975). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu usaha seleksi biak Rhizobium untuk mendapatkan biak Rhizobium yang efektif, efisien dan sekaligus mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga diperoleh simbiosis yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan biak Rhizobium terseleksi yang efektif dan efisien guna meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai.

Sc = kemampuan bersimbiose. I = rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang diinokulasi. U = rata-rata bobot kering tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa N (K1). N = rata-rata bobot kering tanaman tanpa diinokulasi dan ditambah pupuk N (K2). Nilai Sc dibagi dalam 4 katagori yaitu: E (sangat efektif) jika Sc>0,67, E (efektif) jika 0,33<Sc<0,67, e (kurang efektif) jika Sc< 0,33, dan I (tidak efektif) jika Sc<0. Selain Sc, pengujian tingkat keefektifan ini dilakukan juga dengan membandingkan bobot kering tanaman total yang diuji dengan bobot kering tanaman kontrol dengan ditambah pupuk N (K2) yang dinyatakan dengan persen seperti yang dikemukakan oleh Date (dalam Vincent, 1982).

Tabel 2. Komposisi larutan hara (10 L larutan A + 10 mL larutan B + 100 mL larutan C + 10 mL larutan D).

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di rumah kaca Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi-LIPI, pada tahun 2003/2004, dengan menggunakan media pasir steril, dalam pot-pot plastik berukuran 0,5 galon. Sebanyak 1,8 kg pasir steril sebagai media tumbuh. Biji kedelai dikecambahkan dahulu dalam petridish, setelah berkecambah diinokulasi dengan biak Rhizobium, didiamkan selama 2 jam, kemudian ditanam ke dalam pot percobaan, dan di atasnya ditambah pasir steril yang telah dicampur dengan parafin dan benzol (steril) setinggi 2 cm sebagai penutup biji yang ditanam. Sebagai kontrol tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1), dan tanaman tanpa diinokulasi dan ditambah pupuk N setara dengan 100 kg/ha (K2). Rancangan yang digunakan adalan Rancangan Acak Lengkap dengan masing-masing perlakuan 3 kali ulangan. Untuk mempertahankan kelembaban (24%) dilakukan penyiraman setiap hari dengan menggunakan larutan hara tanpa N terikat seperti yang dilakukan oleh Saono dkk. (1976). Tanaman dipanen pada umur 50 hari, variabel yang diamati meliputi bobot kering tajuk, akar, bintil akar, tanaman total, dan jumlah bintil, komponen tersebut o dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 C selama 24 jam. Analisis data dilakukan dengan uji Duncan pada level 5%. Untuk mengetahui kemampuan bersimbiose (Sc) biakbiak Rhizobium yang diinokulasikan dilakukan penetapan dengan menggunakan cara Brockwell dkk. (1965) sebagai berikut:

I –U Sc = ------N–U

169

Unsur yang dikandung

Larutan A (standar larutan calsium sulfur) B (standar larutan ferric citrate) C (standar larutan Fosfat) D (standar larutan trace element)

CaSO42H2O MgSO47H2O Akuades steril Ferric citrate Akuades steril KH2PO4 KOH Akuades steril MnSO4H2O ZnSO45H2O CuSO45H2O NaMoO22H2O H3BO3 CaCl26H2O Akuades steril

Jumlah 2,5 g 2,5 g 10 L 30 g 1L 30 g 1,96 g 1L 1g 0,25 g 0,25 g 0,06 g 0,50 g 0,05 g 1L

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa biak-biak Rhizobium yang diinokulasikan terhadap tanaman kedelai semuanya mampu membentuk bintil akar, hal ini menunjukkan bahwa biak tersebut dapat bersimbiose secara efektif dengan tanaman kedelai, yang ditandai dengan pertumbuhan vegetatip lebih bagus dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1). Seperti yang dilaporkan oleh Demezas dan Bottomley (1986) bahwa kemampuan simbiosa yang efektif diketahui bahwa biak Rhizobium yang diinokulasikan mampu membentuk bintil akar, yang berarti pengikatan nitrogennya berjalan dengan baik.

Table 1. Hasil isolasi nomor biak yang digunakan dari daerah Wonogiri, Jawa Tengah. No. biak

Tanaman

1W 2W 3W 4W 5W 6W 7W 8W

Kacang hijau Kedelai Kacang hijau Kedelai Kedelai Kacang tanah Kacang tanah Kacang tanah

Asal daerah Talun Ombo Puwun Juwangi Dringo Juwangi Talun Ombo Dringo Puwun

Warna Putih Kekuningan Kekuningan Kekuningan Kekuningan Putih Kekuningan Kekuningan

Diskripsi Pertumbuhan Lebat Sangat lebat Sangat lebat Sangat lebat Sangat lebat Lebat Sangat lebat Sangat lebat

Kelompok (warna koloni) Tumbuh lambat (biru) Tumbuh cepat (kuning) Tumbuh cepat (kuning) Tumbuh cepat (kuning) Tumbuh cepat (kuning) Tumbuh lambat (biru) Tumbuh cepat (kuning) Tumbuh cepat (kuning)


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 168-171

170

Dilihat dari masing-masing variabel yang diamati menunjukkan bahwa untuk bobot kering tajuk nilai tertinggi pada tanaman yang diinokulasi dengan biak No 1 W (isolat dari kacang hijau), mengalami peningkatan sebesar 57,39% dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa N (K1), untuk bobot kering akar nilai tertinggi pada tanaman yang diinokulasi dengan biak No 2 W (isolat dari kedelai) mengalami peningkatan sebesar 89,18% dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa N (K1), dan untuk bobot kering tanaman total nilai tertinggi pada tanaman yang diinokulasi dengan biak No 2 W (isolat dari kedelai) mengalami peningkatan sebesar 56,08% dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa N (K1). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa untuk semua variabel pertumbuhan yang diamati terdapat perbedaan yang nyata antar biak, hal ini menunjukkan bahwa biak tersebut mempunyai kemampuan simbiosis yang efektif yang mana mampu menambat nitrogen dari udara secara maksimal, yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman lebih baik. Pasaribu dkk. (1983) mengemukakan bahwa simbiosis yang efektif dan efisien akan menghasilkan N tertambat yang tinggi, dimana N dapat digunakan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang, sehingga pertumbuhannya akan menjadi lebih baik. Dari keseluruhan variabel yang diamati menunjukkan bahwa dari 8 biak Rhizobium yang diinokulasikan memberikan hasil pertumbuhan yang sangat bervariasi, tetapi apabila dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi (K1) terjadi kenaikan pertumbuhan, hal ini berarti bahwa ada kecocokan/keserasian antara biak yang diinokulasikan dengan tanaman inang. Tabel 3. Nilai rata-rata bobot kering tajuk (BKT), akar (BKA), bintil akar (BKBA), dan tanaman total (BKTT) tanaman kedelai yang diinokulasi dengan biak-biak Rhizobium. Perlakuan

BKT

1W 2W 3W 4W 5W 6W 7W 8W K1 (tanpa N) K2 (+N) BNT 5%

3,51 c 3,40 c 2,38 bc 2,90 c 3,18 a 3,23 c 2,94 c 3,06 a 2,23 d 5,72 0,65

c

BKA

BKBA

abc

0,1405 c 0,3608 a 0,0594 b 0,1501 b 0,1153 b 0,1335 b 0,1165 b 0,1340 0 0 0,0424

0,31 e 0,70 cd 0,51 abc 0,42 ab 0,37 abc 0,42 a 0,31 cd 0,60 ab 0,37 f 0,89 0,15

b

BKTT c

4,0539 c 4,0582 ab 3,1443 bc 3,4796 bc 3,6692 bc 3,8002 b 3,3672 bc 3,7997 a 2,6000 d 6,6100 1,6681

Tabel 4. Pembintilan, nilai kapasitas simbiosis dan persentase keefektifan (PK) biak Rhizobium yang diinokulasikan terhadap tanaman kedelai (umur 50 hari).

Perlakuan

Pembintilan

1W 2W 3W 4W 5W 6W 7W 8W K1 (tanpa N) K2 (+N)

+ + + + + + + + -

Jumlah bintil d

35,33 abc 18,33 ab 13,66 a 13,00 abc 19,00 d 39,33 c 23,33 a 13,00 0 0

Kapasitas simbiosis (nilai riil) (nilai nisbi) e 0,36 e 0,34 e 0,04 e 0,19 e 0,27 e 0,28 e 0,20 e 0,23 0 0 0 0

PK (%) 61,32 61,39 47,56 52,64 55,50 57,49 50,94 57,48 0 0

Tabel 5. Nilai rata-rata tertinggi dan persentase peningkatan hasil pertumbuhan tanaman kedelai yang diinokulasi dengan biak Rhizobium. No. biak (yang % peningkatan tertinggi)(g) *) BKT (umur 50 hari) 1 W (3,51) 57,39 BKA (umur 50 hari) 2 W (0,70) 89,18 BKBA (umur 50 hari) 2 W (0,3608) 0 BKTT (umur 50 hari) 2 W (4,0582) 56,08 JB (umur 50 hari) 7 W (39,33) 0 Keterangan: *) % peningkatan = ((Kn – K1):K1) X 100%; Kn = pengukuran hasil tanaman yang diinokulasi; K1= pengukuran hasil tanaman tanpa diinokulasi. Parameter

Sumarno dan Harnoto (1983) mengemukakan bahwa inokulasi akan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil apabila inokulan yang diberikan mampu bersaing dengan mikroba asli tanah dan inokulan tersebut merupakan inokulan yang efektif dan efisien terhadap tanaman, serta mempunyai keserasian dengan tanaman inangnya, dan Freire (1977) menambahkan bahwa teknik dan waktu inokulasi juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil panen, Setiap biak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam penyesuaian serta kemampuan bersaing dengan mikroba setempat. Ke delapan biak Rhizobium yang diinokulasikan terhadap tanaman kedelai menunjukkan bahwa kemampuan bersimbiose biak No 1 W dan 2 W menunjukkan nilai Sc yang efektif dan biak No 3 W, 4 W, 5 W, 6 W, 7 W, dan 8 W menunjukkan kurang efektif. Dari hasil pengujian kemampuan bersimbiose dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun biak-biak tersebut yang diinokulasikan mampu menginfeksi suatu akar tanaman, belum tentu biak tersebut efektif terhadap tanaman itu (kedelai). Seperti dikemukakan Usman (1983) bahwa suatu bakteri yang dapat menginfeksi tanaman inang tertentu tidak selalu efektif. Banyak jenis Rhizobium yang cukup dan sangat efektif atau tidak efektif sama sekali melainkan biak tersebut mempunyai sifat infektif, namun tidak selalu sanggup membentuk bintil akar efektif penuh, namun dapat membentuk bintil akar efektif parsial, sehingga hasil penambatan nitrogennya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan N tanaman inangnya. Persentase keefektifan biak Rhizobium yang diinokulasikan tertinggi pada tanaman yang diinokulasi dengan biak No 2 W (isolat dari tanaman kedelai), kemudian diikuti pada tanaman yang diinokulasi dengan biak No 1 W, 6 W, 8 W, 5 W, 4 W, 7 W dan 4 W. Persentase keefektifan ini sangat bervariasi tergantung dari keefektifan dari masing-masing biak yang diinokulasikan dan kecocokan terhadap tanaman inang, apabila terjadi kecocokan antara biak dengan tanaman inang akan terjadi simbiose yang efektif. Seperti misalnya isolat yang berasal dari tanaman kedelai menghasilkan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan pada tanaman yang diinokulasi dengan isolat yang berasal dari tanaman kacang hijau. Simbiosis antara strain-strain Rhizobium dengan spesies leguminosa terdapat perbedaan dalam keserasiannya, bahkan perbedaan dalam hubungan simbiosis itu terdapat antara strain-strain Rhizobium dengan varietas tanaman legumonisa. Hubungan yang serasi menghasilkan bintil akar yang sangat efektif dalam menambat N udara (Yutono, 1985). Selain itu faktor lingkungan dan fisiologi juga sangat berpengaruh. Gibson (1981) mengemukakan bahwa pembentukan bintil akar yang baik dari hasil penambatan N pada akar tanaman legume merupakan suatu rangkaian


PURWANINGSIH – Seleksi Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah

yang komplek dari proses fisiologi yang meliputi interaksi antara tanaman inang dengan biak yang diinokulasikan.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua biak yang diinokulasikan mampu membentuk bintil akar, tetapi tidak semua biak efektif untuk tanaman kedelai. Hasil terbaik diperlihatkan oleh biak No. 2 W (isolat dari tanaman kedelai dari Desa Puwun). Biak tersebut dapat dikembangkan sebagai inokulan pupuk hayati untuk tanaman kedelai.

DAFTAR PUSTAKA Alexander. M., 1977. Soil Microbiology. 2nd edition. New York: John Wiley and Sons Inc. Brockwell, J.F., W. Hely, and C.A. Neal-Smith. 1965. Some Symbiotic as effective field nodulation of Lobus hipidus. Australian Journal of Experimental Agriculture and Animal Husbanry 6 (23): 365-370. Demezas. D.H and P.J. Bottomley. 1986. Autecology in Rhizospheres and Nodulating Behavior of Indigenous Rhizobium trifolii. Applied and Environmental Microbiology 52 (4-6): 1014-1019. Frederick.L.R. 1975. Soybean inoculation. In. R.M. Goodman (ed) Expanding the Use of Soybean. Intern. Agronony Publication College of Agriculture University of Illinois, University Press. Urbana Campaign. Freire, J.R.J., 1977. Inoculation of Soybean. In. Vincent, J.M., A.S. Whitney, and J. Bose (eds.). Exploiting the legume Rhizobium symbiosis in tropical agriculture. College of Tropical Agriculture Miscellaneous Publication 145. Hawaii: Departement of Agronomy and Soil Science. University of Hawaii. Gibson. A.H. 1981. Current Perspectives in nitrogen fixation. Proceedings of the Fourth International Symposium on Nitrogen Fixation. Australian Academy of Science. Camberra, Australia. 1-5 December 1980. 534 p.

171

Pasaribu. D., N. Sunarlim, Sumarno, Y. Supriati, R. Saraswati, P. Sutjipto, and S. Karana.1989. Penelitian Inokulasi Rhizobium di Indonesia. Dalam Syam, M., Rusdi, dan A. Widjono. Risalah Penelitian Penambatan Nitrogen Secara Hayati pada Kacang-kacangan. Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian-Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI, Bogor, 30-31 Agustus 1988. Pasaribu. D., N. Sunarlim, M. Fathan, M. Sudjadi, Hartono, dan L. Sumarsono. 1983. Maksimalisasi hasil Kedelai di Wonosari-Yogyakarta. Identifikasi Komponen dan Paket Teknologi Kacang-kacangan pada Lahan Tegalan. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Pangan. Richard. J.D., J.G. Louis, and Henry. 1984. Soybeans Crop Production. 5th edition. Engelwood Cliffs, N.J.: Practice Hall. Inc. Saono, S., H. Karsono, and D. Suseno. 1976. Studies on the effect of different rhizobial strains on Phaseolus lunatus in sand culture. Annales Bogoriense 6 (2): 143-154. Simarmata, T. 1995. Strategi Pemanfaatan Mikroba Tanah (Pupuk Biologi) dalam era Bioteknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Marginal di Indonesia menuju Pertanian Berwawasan Lingkungan. Bandung: Fakultas Pertanian UNPAD. Singleton, P.W., and J.W. Taveres. 1986. Inoculation response of legumes in relation to the number and effectiiviness of indigen Rhizobium population. Applied and Environmental Microbiology 51 (6): 1013-1018. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah 2. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara Bercocok Tanamnya.. Bulletin Teknik Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 6: 1-63. Sumarno, 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai nasional mendukung Gema Palagung 2001. Dalam: N. Sunarlim, D. Pasaribu, dan Sunihardi (ed.). Strategi Pengembangan Kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Puslitbangtan, Bogor, 16 Maret 1999. h: 7-13. Usman. R., 1983. Penelitian Mengenai Isolasi, Media Pembiakan serta Metode Pengelompokan Spesies Rhizobium. [Disertasi S-3]. Bandung: Universitas Padjadjaran. 360 h. Vincent. J.M., 1982. Nitrogen Fixation in Legumes. Sidney: Academic Press. Yutono. 1985. Inokulasi Rhizobium pada kedelai. Dalam Somaatmadja, S., M. Ismunaji, Sumarno, M. Syam., S.O. Manurung, dan Yuswadi (eds). Kedelai. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangtan.


ISSN: 1412-033X Juli 2005

BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 172-174

Influence of Palmitic Acid and Amino Acids Addition on Iturin A Productivity by Bacillus subtilis RB14-CS YULIAR

Microbiology Division, Research Center for Biology, The Indonesian Institute of Science, Bogor 16002. Received: 8 January 2005. Accepted: 5 April 2005.

ABSTRACT The aim of this study was to observe the influence of palmitic acid and amino acids on enhancement of iturin A productivity using Bacillus subtilis RB14-CS. The concentrations of palmitic acid examined were 0.8%, 1.6%, and 3.2%. A good yield was observed when 1.6% palmitic acid was added to Polypepton S medium. The production of iturin A increased about 18% than the control. Addition of 3.2% palmitic acid was not effective on iturin A production. It gave lower pH and slightly higher viable cell number of RB14-CS than control and the others addition concentration. Whereas the addition of 0.8% of each of the following amino acids; L-arg, L-asn , L-gln , L-glu, L-gly, Lleu, L-lys, L-trp, L-tyr, and L-val could not increase iturin A productivity, but changed the proportion of iturin A peaks. L-leu, L-val, and L-asn addition produced the highest proportion of peak 3, 4, and 1 respectively. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: iturin A, Bacillus subtilis RB14-CS, palmitic acid, and L-amino acids.

INTRODUCTION The use of microorganisms for biological purposes has become an effect to control plant pathogens. Various strains of Bacillus subtilis (NB22, YB8, UB24, and SB4) suppressed phytopatogenic fungi or bacteria in vitro and greenhouse test (Phae et al., 1990). Berna et al., (2002) demonstrated that mutant strain of Bacillus sp. has a higher antagonistic activity against the plant pathogen Botrytys cinera (grey mould), Rastonia solanacearum (bacterial wilt) and Erwinia carotovora (bacterial soft rot). As producer of antibiotics, Bacillus spp. secrete three groups of the following lipopeptide antibiotics; surfactin group, iturin group, and plipastatin- fengycin group (Tsuge et al., 2001). Among of these antibiotics, iturin has the strongest antifungal activity on large variety of yeasts and fungi. As iturin A is one of the most powerful antifungal substance, it has good prospect on agriculture and medical application. Since Bacillus produce the lipopeptide antibiotics, therefore why this bacteria suppres various plant pathogens. Iturin families that were found are; iturin A, iturin C, iturin D, iturin E, baccilomycin D, bacillomycin F, bacillomycin L. Iturin A consist of five homologues and the five peaks pattern of iturin A as shown in Figure1. -1 The highest productivity of iturin A was 138 mgl , produced by Bacillus subtilis S499 (Hbid et al., 1996). Beside carbon and nitrogen source, palmitic acid and Lamino acid may also influence the antibiotics production. Palmitic acid was incorporated into lipid moiety of iturin A by B. subtilis on Landy medium (Besson et al., 1990). The metabolism of amino acids, purine, and pyrimidines provides the nitrogenous precursor for antibiotics biosynthesis.

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 18 Bogor 16002. Tel.: +62-251-321038, Fax.: +62-251-325854. e-mail: novikur@yahoo.com

Specific amino acids are direct precursors for many peptide antibiotics (Aharonowitz, 1980). In order to know whether palmitic acid or L- amino acid can enhance iturin A productivity, the addition effect of them to the medium cultivation of Bacillus subtilis RB14-CS was studied.

MATERIALS AND METHODS Microorganism. Bacillus subtilis RB14-CS as mono producer of iturin A was used in this study. This microorganism is belong to Prof. Makoto Shoda laboratory (Chemical Resources Lab., Tokyo Institute of technology). LB medium. This media were used as seed media and consist of 10 g/l polypepton, 5 g/l yeast extract, and 5 g/l NaCl. The pH was adjusted to 7.00 with NaOH. Five milliliters of this media were transferred into a test tube o using micropipette and sterilized at 121 C for 20 minutes. For LB agar media, 2% of agar was added to the media. Polypepton S medium. Polypepton S (3.2 g) were dissolved in 23 ml distilled water in 200 ml flasks and o sterilized at 121 C for 20 min. After sterilization, 6.7% of maltose, 0.5% K2HPO4, 0.05% MgSO4.7H2O, 25 ppm FeSO4.7H2O, 22 ppm MnSO4.5H2O, and 184 ppm CaCl2.2H2O were added into flasks. Pre-cultivation. Five milliliters sterilized LB media in a test tube were added with 5μl of streptomycin (20 mgl-1) and inoculated with 10μl of RB14-CS stock. Inoculated media was incubated at 37oC and shake 124 spm (horizontal shaker) for about 16 hours. Cultivation of RB14-CS on Polypepton S media contains palmitic acid. Three concentrations of palmitic acid i.e 0.8%, 1.6%, and 3.2% were each added into polyppeton S media and inoculated with 400μl RB14-CS, o then incubated at 30 C, 120 spm for 7 days. Cultivation of RB14-CS on Polypepton S that contains L-amino acids. 0.8% of each of L-amino acid i.e L-arg, L-asn , L-gln , L-glu, L-gly, L-leu, L-lys, L-trp, L-tyr,


YULIAR – Iturin A of Bacillus subtilis RB14-CS

173

addition. The pH change in the sample with the addition of 0.8% and 1.6% palmitic acid Peak 1 was almost similar with the control. The range of viable cell number change of the strain was Peak 2 10 8 10 to 10 CFU/ml. R β-amino acid group Figure 4 below illustrates iturin A Peak 1 CH3-CH2-CH2-n-C14- β-amino acid productivity in the presence of 0.8% of each of the following amino acids; L-arg, L-asn , L-gln , Peak 2 CH3-CH2-CH2-anteiso-C15- β-amino acid │ Peak 3 L-glu, L-gly, L-leu, L-lys, L-trp, L-tyr, and L-val CH3 on Polypepton S medium. The addition of Peak 4 these L-amino acids did not improve the iturin Peak 3 CH3-CH-CH2-iso-C15- β-amino acid A productivity, but changed the proportion of │ Peak 5 iturin A peaks (Figure 5). Whereas CH3 suplementation of L-amino acids changed the Peak 4 CH3-CH-CH2-CH2-iso-C16- β-amino acid proportion of iturin A peaks. HPLC separation │ pattern of iturin A homologous is denoted as CH3 peak 1 to peak 5 according to elution time order of HPLC. Each of them (peaks 1 to 5) Peak 5 CH3-CH2-CH2-CH2- -C16- β-amino acid corresponds to the following components respectively; n-C14-β-amino acid , anteisoFigure 1. Structure of iturin A and HPLC elution pattern of iturin A homologues. C15-β-amino acid, iso-C15-β-amino acid, isoC16-β-amino acid, and n-C16-β-amino acids (Fig. 1). When L-leu was supplemented to the and L-val were added into Polypepton S medium before cultivation of RB14-CS the highest proportion of peaks 3 autoclaving. Sterilized media were inoculated with 400μl (iso-C15-β-amino acid) of iturin A was observed. Hourdou o RB14-CS, then incubated at 30 C, 120 spm for 7 days. et al. (1988) observed that leucine increased the production Extraction and measurement of iturin A. The culture of iso-C15-β-amino acid and iso-C15 fatty acid of iturin A. (100μl) were transferred into one milliliter Eppendorf tube, While Besson and Hourdou (1987) observed the influence and diluted with 900μl of the buffer that composed of of leucine on bacillomycin F production, and they found that CH3CN: 10mM CH3COONH4 (35:65; v/v). The mixture were leucine increased both odd iso fatty acid and odd iso β rotated for about 30 minutes at room temperature, and it amino acids to about 55%. By addition of L-val to the o were centrifuged at 15,000x g for 10 minutes at 4 C. The cultivation, the strain produced the highest proportion of supernatant were filtrated through 0.20μm PTFE membrane peak 4 (iso-C16-βamino acid). Hourdou et al. (1988) filter (Advantec 020). This filtrate (20 μl) were injected into reported that valine was found to increase iso-C16 and nODS RP-18C (Merck) column, and monitored by the UV C14-β-amino acid of iturin A. Besson and Hourdou (1987) detector at 205 nm (LC-800 system, JASCO). HPLC was found that valine increased iso C-14 and C-16, but did not performed using acetonitrile: 10mM CH3COONH4= ( 35:65, induce synthesis of iso-C14-β-amino acid on bacillomycin v/v) solvent, and flow rate was 2ml/min, and absorbance production. Akpa et al. (2001) also stated that valine is a o were measured at 30 C. Iturin A production was observed precursor of even fatty acids, and the use of leucine on day 2, day 5, and day 7. increased the rate C15-β-amino acid (44%). Theobald et al. 7 Viable cell number. The culture was diluted 10 times (2000) observed that in a chemically defined medium, L-val in small sterile test tubes, then 100μl of the dilution sample was better nitrogen source than L-glu and L-leu for the was spread onto the LB agar medium. After the plates were simocyclinone D8 production. Whereas Kempf et al., (1999) o incubated in incubator at 37 C overnight, the cell number increased gallidermin production to about 25% by was counted. The viable cell number was observed on day Staphylococcus gallinarum by the addition of glutamic acid -1 2, day 5, and day 7. (final concentration 20 gl ) at fermentation time of 30 hours. The viable cell number and the pattern of pH change of L-amino acids supplementation was almost similar to the RESULTS AND DISCUSSION control one (Table 1). The addition of L-asn gave the smallest cell number on day five, after that all of cell number decreased to about 108CFU/ml. As we see in figure2, the addition of 1.6% palmitic acid on Polypepton S medium enhanced iturin A production Table 1. pH and viable cell number in amino acids experiment 18%. Without an addition the production was about 2200 shown in figure 4. mgl-1 and the addition of 1.6% of palmitic acid yielded iturin -1 A about 2600 mgl . This is in agreement with Hourdou et al. 9 Viable cell number (x10 pH (1988) who reported that by 0.05% of palmitic acid addition Treatment CFU/ml) to the culture medium (LANDY medium), iturin A β-amino Day 2 Day 5 Day 7 Day 2 Day 5 Day 7 acids by GC analysis showed an increase of straight chain Control 13.9 10.1 0.15 7,62 8.75 9.18 β-amino acids: 33% instead of 24% in the control for n-C14 L-arg 16.0 3.4 0.15 7,95 9,06 9.06 and 11% instead of 6% in the control for n-C16. Besson et L-asn 9.1 1.0 0.11 7,71 9.09 9.14 L-gln 11.6 10.4 0.01 7.94 8.92 9.16 al. (1990) also reported that palmitic acid is the precursor of L-glu 9.9 1.13 0.10 8.01 8.20 9.23 β–amino acids of iturin A. L-gly 9.1 8.4 0.12 7.76 8.60 9.16 Figure 3 shows the pH range and viable cell number of L-leu 14.8 13.2 0.20 7.73 8.02 8.87 RB14-CS on iturin A productivity. A high concentration of L-lys 14.1 14.4 0.20 7.54 8.49 8.85 palmitic acid addition (3.2%) was not effective in iturin A L-trp 14.4 5.60 0.27 7.43 8.78 9.04 production. It gave lower the pH and slightly higher of the L-tyr 14.9 9.20 0.22 7.47 8.83 9.04 viable cell number than control and the others concentration L-val 13.6 12.80 0.01 7.59 7.46 8.76 R—CHCH2CO→L-Asn→D-tyr→D-Asn │ ↓ NH←L-ser←D-Asn←L-pro←L -Gln


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 172-174

174

during this study. I also thank Dr. Kazumasa Okuno for his assistance and comment during the experimental work.

3000 Control

Iturin A productivity (mg/L)

2500

Palmitate 0,8% Palmitate 1,6%

2000

Palmitate 3,2%

1500 1000 500 0 0

2

4 Time (day)

6

8

13

10 9

12

8 11

7

10

6

pH

Viable cell number (Log (CFU/mL))

Figure 2. Influence of palmitic acid on iturin A productivity.

5 9

4

8

3 0

1

2

3

Control (log CFU)

4

5

6

7

8

Palmitate 0,8% (logCFU)

Time (day)Palmitate 3,2% (log CFU)

Palmitate 1,6% (log CFU) Control (pH)

Palmiatate 0,8%(pH)

Palmitate 1,6% (pH)

Palmitate 3,2%(pH)

Figure 3. Viable cell number and pH changes in the palmitic acid addition experiment.

Iturin A productivity (mg/L)

2500 2000 Day 2

1500

Day 5

1000

Figure 5. The influence of amino acids addition on the peaks proportion of iturin A.

Day 7

500

REFERENCES L-tyr

L-val

L-trp

L-lys

L-gly

L-leu

L-glu

L-gln

L-asn

L-arg

Control

0

Amino acids addition

Figure 4. The influence of amino acids on iturin A productivity.

CONCLUSION This research can be concluded as follows: (i) supplementation of 1.6% palmitic acid to the Polypepton S medium increased the production of iturin A about 18 %, (ii) the addition of 0.8% of each the following amino acids Larg, L-asn, L-gln, L-glu, L-gly, L-leu, L-lys, L-trp, l-tyr, and Lval could not increase iturin A production, but change the peaks proportion of iturin A, (iii) L-leu addition produced the highest proportion of peak 3, L-val addition gave the highest proportion of peak 4, and L-asn addition resulted the highest proportion of peak 1.

ACKNOWLEDGEMENTS I would like to thank Prof. Makoto Shoda and Prof. Takashi Ano, Chemical Resources Laboratory, Tokyo Institute of Technology for their helpful guidance, and comments

Aharonowitz, Y. 1980. Nitrogen metabolite regulation of antibiotic biosynthesis. Annual Review of Microbiology 34: 209-233. Akpa, E., P. Jacques, B. Wathelet, M. Paquot, R. Fuch, H. Budzikiewicz, and P. Thonart. 2001. Influence of culture conditions on lipopeptide production by Bacillus subtilis. Applied Biochemistry and Biotechnology 91/93: 551-556. Berna,G., A.. Illanes, and L. Ciampi. 2002. Isolation and partial purification of metabolite from a mutant strain of Bacillus sp. with antibiotic activity against plant pathogenic agents. Electronic Journal of Biotechnology 5: 1-9. Besson, F. and M.L. Hourdou, 1987. Effect of amino acids on the biosynthesis of amino acids constituents of Bacillomycins F. Journal of Antibiotics 40: 221-223. Besson, F., M.L. Hourdou, and G. Michel, 1990. Studies on the biosynthesis of iturin, an antibiotics of Bacillus subtilis, and lipopeptide containing βhydroxy fatty acids. Biochemistry and Biophysics Acta 1036: 101-106. Hbid ,C., P. Jacques, H. Razafindralambo, M.K. Mpoyo, E. Meurice, M. Paquot, and P. Thonart, 1996. Influence of the production of two lipopeptides, iturin A and surfactin S1, on oxygen transfer during Bacillus subtilis fermentation. Applied Biochemistry and Biotechnology 57/58: 572-579. Hourdou, M. L., F. Besson, and G. Michel, 1988. Studies on the biosynthesis of β-amino acids, the lipid moiety of iturin A, in Bacilllus subtilis. Journal of Antibiotics 41: 207-211. Kempf, M., U. Theobald, and H.P.Fiedler, 1999. Correlation between the consumption of amino acids and the production of the antibiotic gallidermin by Staphylococcus gallinarum. Biotechnology Letters 21: 959-963. Phae, C.G., M. Shoda, and H. Kubota, 1990. Suppressive effect of Bacillus subtilis and its product on phytopathogenic microorganisms. Journal of Fermentation and Bioengineering 69: 1-7. Theobald, U., J. Schimana, and H. Fiedler. 2000. Microbial growth and production kinetics of Streptomyces antibioticus Tu 6040. Antonie van Leeuwenhoek 78: 307-313. Tsuge, K., T. Akiyama, and M. Shoda, 2001. Cloning, sequencing, and characterization of iturin A operon. Journal of Bacteriology 183: 62656273.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 5 Halaman: 175-177

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Isolation and Identification of Phosphate Solubilizing and Nitrogen Fixing Bacteria from Soil in Wamena Biological Garden, Jayawijaya, Papua SULIASIH♥, SRI WIDAWATI Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences Bogor 16002. Received: 28 October 2004. Accepted: 9 March 2005.

ABSTRACT A study was undertaken to investigate the occurrence of phosphate solubilizing bacteria (PSB) and nitrogen-fixing bacteria (NFB) from soil samples of Wamena Biological Garden (WbiG). Eleven soil samples were collected randomly to estimate microbial population which used 3 6 cells 3 of bacteria/gram of soil and 5.0x10 plate count method. The result showed that the microbial population ranged from 5.0x10 -7.5x10 7 1.5x10 cells of bacteria/gram of soil for PSB and NFB respectively. There were 17 isolates which have been identified till genus and species. The isolated microorganism were identified as PSB i.e. Bacillus sp., B. pantothenticus, B. megatherium, Flavobacterium sp., F. breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Chromobacterium lividum, Enterobacter alvei, E. agglomerans, Pseudomonas sp., Proteus sp. and as NFB i.e. Azotobacter sp., A. chroococcum, A. paspalii, Rhizobium sp., and Azospirillum sp. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: phosphate- solubilizing bacteria, Nitrogen-fixing bacteria, Wamena Biological Garden.

INTRODUCTION Wamena Biological Garden (WBiG) is one of mountain range-biota ex-situ conservation at eastern part of Indonesia. The ex-situ conservation is the first conservation built by Biological Research Center, Indonesian Institute of Sciences. WBiG has unique vegetation and many variations of soil colors. Soil is a unity of subsistence that includes the varieties of microbe, because microbes’ community is one of the important components of soil. Activity and species composition of microbes are generally influenced by many factors including physic-chemical properties of the soil, temperature and vegetation (Jha et al., 1992). The most important role of soil organism in ecosystem is decomposing of organic matters, synthesize and release them into inorganic forms that plant can use (Setiadi, 1989). Most microbes in terrestrial ecosystem are in soil. Bacteria are the most dominant group of soil microbes. In the fertile 6 8 soil, there are 10 -10 cells of bacteria/ gram of soil. Some groups of soil bacteria (nitrogen-fixing bacteria and phosphate-solubilizing bacteria) are useful as biofertilizer. Some plants and microbes species have developed symbiosis or mutually beneficial relationships. Rhizobium is the root of legumes host nitrogen fixing bacteria which can invade root and get sugars from the plant. In return, they convert large amounts of dinitrogen (N2) from the atmosphere into forms that the plants can use (Zahran, 1999). Another nitrogen fixing bacteria living in soil are Azotobacter sp. and Azosprillum sp. Several species of Azotobacter and Azosprillum are known to fix nitrogen

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda No.18 Bogor 16002 Tel.: +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854. e-mail: widadomon@yahoo.com

under field condition in association with roots of plant. Nitrogen-fixing Azosprillum strains have been isolated from tropical and some temperate grass root surface. Some species of Azotobacter from root associations with seasonal grasses are specific hosts, e.g. A. paspalii associated with the root of Paspalum notatum (Berreiner et al., 1976, Elmerich, 1984, Okon, 1985, Okon and LabanderaGonzales, 1994). The other biofertilizer bacteria are genus of Pseudomonas and Bacillus. Those bacteria are able to solubilize available forms of Fe, Ca, Mg, Al bound P. The solubilization effect is generally due to the production of organic acids (Kucey, 1983). The present investigation was carried out to study the occurrence of PSB and NFB from WBiG. The isolated microbes were identified. MATERIALS AND METHODS Soil Surface (0-15 cm) soil samples were collected randomly from 11 different sites of Gunung Susu which was one of WBiG sites. All samples were kept in plastic bags and transported to the laboratory and stored in 4o C prior to be analyzed. These samples were air-dried and ground to pass 2 mm sieve before the chemical analyses. The samples were analyzed for pH, soil chemistry and texture, (Table 1 and 2). Microbial count Microbial population was estimated by plate count method (Ravina et al, 1992; Thompson, 1989; Vincent, 1982). Ten grams soil was suspended in 90 mL sterile distilled water in Erlenmeyer flask and mixed thoroughly for 30 minutes using a mechanical shaker at 110 rpm. Then 1 mL an aliquot transferred with sterile pipettes to 9 mL sterile


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 175-177

176

distilled water in test tube. This suspension was stir for 10 second. A subsequent serial dilution was prepared as 7 above to 10 . From each serial dilution, 0.2 mL of aliquot was transferred to sterile putridity and over poured and o dispersed swirling with agar media (50 C). PSB was grown on Pikovskaya agar media (Sundara Rao and Sinha, 1963, Gaur, 1981), containing of 5g Ca3(PO4)2; ten g glucose; 0.2g NaCl; 2.5mg MgSO4.7H2O; 2.5mg MnSO4.2H2O; 2.5mg FeSO4.7H2O; 5g yeast extract; 20g agar, diluted in 1 l distilled water. The plats were incubated for 7 days at room temperature. Colonies of PSB were detected by clear zones of solubilization around them. For growing Rhizobium was used yeast extract mannitol agar (YEMA) (Subba Rao,1994), containing 10g mannitol; 0.5g K2HPO4; 0.1g NaCl; 0.2g MgSO4.7H2O; 1g yeast extract; 2.5 mL congo red 1%; 20g agar, diluted in 1 l distilled water. The plats were incubated for 7 days at room temperature. Rhizobia colonies have transparent white color, shining. Mannitol Ashby agar medium was used for isolating Azotobacter containing of 20g mannitol; 0.2g K2HPO4; 0.2g NaCl; 0.2g MgSO4.7H2O; 0.1g K2SO4; 5.0g CaCO3; 20g agar, diluted in 1 l distilled water. The plats were incubated for 7 days at room temperature (Subba Rao, 1994). The numbers of Azospirillum bacteria counted on a Okon medium containing of 6.0g K2HPO4; 4.0g KH2PO4; 0.2g MgSO4; 0.1g NaCl; 5g Sucrose; 0.02g CaCl2; 1.0g NH4 Cal; 5.0g NaOH; 2.1mg MnSO4; 10.0mg FeCl3; 2.0mg Na2MoO4.; 0.1g yeast extract; 2.0 mg H3 BO3; 0.04mg Cu(NO3)2; 0.2 mg ZnSO4; 2 mL bromthymol blue 0.5%; 20.0 agar, diluted in 1 L distilled water (Okon et al., 1977). The number of bacterial colony was estimated after 7 days of incubation at room temperature. The isolates were identified follows Bergey’s manual for bacteriology methods systematic (Krieg and Hold, 1984).

RESULTS AND DISCUSSION Table 1 and 2 showed that the result analyses of soil chemical properties varied depending on the vegetations and soil types. Soils that were dominated by Imperata cylindrica indicated to be deficiency of soil nutrient. Setiadi (1989) proposed that the land in area of Imperata cylindrica has eroded, because the plants are less effective to avoid the erosion. In the eroded land, organic matter and nutrient leaching may generally occur, and results in fewer nutrients available. Table 1. Soil physic from 11 sites in Wamena Biological Garden Soil Soil color samples 1 Black 2 Dark brown 3 Brown 4

Brown

5 6 7 8 9 10 11

Brown reddish Red Yellow Gray Black Gray Brown

Soil Texture (%) Vegetation Pittosporum ramiflorum Grevillea papuana Castanopsis accuminattisima Vaccinium varingiaefolium Imperata cylindrica Imperata cylindrica Imperata cylindrica Imperata cylindrica Imperata cylindrica Imperata cylindrica Imperata cylindrica

Sand Clay Dust 5.79 51.37 42.84 7.38 52.08 40.54 20.17 18.56 61.25 16.73 28.01 55.26 16.36 11.51 17.51 10.89 18.03 10.89 15.65

43.45 65.75 41.42 38.82 38.06 38.82 35.74

40.19 22.69 41.06 49.28 43.01 49.28 48.61

Table 2. Soil chemistry from 11 sites of Wamena Biological Garden. Soil N P K C Ca samC/N PH (%) (ppm) (me/100g) (%) (Me/100g) ples 1 0.21 4.8 0.53 2.54 12.10 26.00 5.30 (m) (m) (m) (m) (v.h) (acid) 2 0.30 3.9 0.36 3.05 10.17 19.23 4.80 (m) (l) (l) (h) (l) (h) (acid) 3 0.22 1.6 0.15 3.12 14.48 9.34 4.35 (m) (v.l) (l) (h) (m) (m) (acid) 4 0.23 3.3 0.26 3.85 16.74 8.82 4.90 (m) (l) (l) (m) (h) (m) (acid) 5 0.06 0.2 0.07 0.69 11.50 8.88 5.00 (v.l) (v.l) (v.l) (v.l) (m) (m) (acid) 6 0.06 0.3 0.07 0.62 10.33 9.55 6.05 (v.l) (v.l) (v.l) (v.l) (l) (m) (acid) 7 0.05 0.4 0.05 0.51 10.20 9.34 5.25 (v.l) (v.l) (v.l) (l) (l) (m) (acid) 8 0.04 1.6 0.13 0.36 9.00 9.73 4.60 (v.l) (v.l) (l) (v.l) (l) (m) (acid) 0.06 2.76 11.04 32.90 5.26 9 0.25 2.1 (l) (v.l) (m) (m) (v.h) (acid) (m) 10 0.23 2.7 0.10 2.47 10.74 19.23 4.25 (m) (l) (l) (m) (l) (h) (acid) 11 0.03 0.1 0.05 0.36 12.00 9.03 4.65 (v.l) (v.l) (v.l) (v.l) (m) (m) (acid) Note: v.l = very low; l = low; m = moderate; h = high; v.h = very high

The estimates of total bacteria, PSB and NFB at each sites ranging from 2.95x105-2.5x108cells of bacteria/ gram soil. Soil samples number 2, 3, 4, 9, 10 reveal the number of total bacteria which are higher than samples number 5, 6, 7, 8, 11 (Table 3). Table 3. The population of microbes isolated from 11 sites of Wamena Biological Garden. Soil samples 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Total bacteria (cell/g soil) 8 2.5x10 7 5.0x10 7 2.5x10 8 2.0x10 6 3.5x10 6 2.4x10 6 2.4x10 5 3.0x10 6 5.0x10 7 5.0x10 6 5.5x10

PSB (cell/g soil) 4

5.5x10 6 1.5x10 5 1.1x10 6 1.5x10 6 2.6x10 4 3.5x10 3 5.0x10 4 5.5x10 6 7.5x10 6 2.5x10 5 5.4x10

NFB (cell/g soil) Rhizobium sp. 6 2.5x10 6 1.5x10 6 2.0x10 6 2.0x10 5 4.4x10 5 1.9x10 5 2.2x10 5 2.1x10 6 1.5x10 6 5.0x10 6 2.5x10

Azospirillum Azotobacter sp. sp. 5 7 5.8x10 1.5x10 6 6 1.0x10 1.5x10 6 6 5.0x10 1.5x10 6 6 1.5x10 2.5x10 4 4 6.0x10 2.0x10 5 6 1.0x10 1.0x10 5 1.5x10 4 3 2.0x10 5.0x10 4 4 8.5x10 5.5x10 6 6 1.0x10 2.5x10 5 5 1.2x10 1.5x10

Table 4 showed that the most dominant phosphate solubilizing bacteria found were aerobic spore forming bacteria. Identification of this group showed that Bacillus sp. was the most predominant PSB was found in all of soils tested, followed by B. panthothenticus and B. megatherium were in soil samples numbers 1, 2, 3, 6 and 9 respectively. Other PSB involved were Flavobacterium sp., F. breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Chromobacterium lividum, Enterobacter alvei, E. agglomerans, Pseudomonas sp. and Proteus sp. The finding of predominance of spore formers was in harmony with the work of Taha et al. (1969). He also observed that sporeformer was well known to resist adverse conditions such as high temperature and dryness. Thus the important PSB can overcome such unfavorable conditions. Swaby and Sperber cit. Taha et al. (1969) found that the principal genera of PSB were Arthobacter, Pseudomonas, Xanthomonas, Achromobacter and Flavobacterium. It is well known that the interplay of so many factors such as physicochemical properties of soil, vegetation crop, rotation and environmental conditions greatly influence soil microbial flora.


SULIASIH and WIDAWATI – Phosphate solubilizing and nitrogen fixing bacteria

Table 4. Identified isolates from 11 sites of Wamena Biological Garden. Soil samples 1 2

3

4

Phosphate solubilizing bacteria Bacillus sp. B. panthothenticus, Enterobacter agglomerans Bacillus sp. B. panthothenticus, Chromobacterium lividum, Flavobacterium sp. Bacillus sp. B. panthothenticus, Flavobacterium sp. Klebsiella sp. K. aerogenes Bacillus sp. Enterobacter agglomerans

5

Bacillus sp. Flavobacterium breve, Pseudomonas sp.

6

Bacillus sp. B. panthothenticus, Klebsiella aerogenes, Enterobacter alvei Bacillus sp. Chromobacterium lividum, Enterobacter agglomerans Bacillus sp. Flavobacterium sp. Proteus sp.

7 8

9

Bacillus sp. B. megatherium, Enterobacter alvei

10

Bacillus sp.

11

Bacillus sp. Pseudomonas sp.

Nitrogen-fixing bacteria Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. A. paspalii Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. A. paspalii A. chroococcum Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. A. paspalii, A. chroococcum Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. A. paspalii Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. A. paspalii A. chroococcum

Nitrogen-fixing bacteria such as Rhizobium sp. and Azotobacter sp were found in all of soil tested. Azospirillum was found in almost soil samples except in soil number 7. The isolates of Rhizobium and Azospirillum have already been identified till genus level. Isolates of Azotobacter till genus and species level. Both of Azotobacter paspali and A. chroococum were obtained in soil samples numbers 5, 8, 11. Rhizobium, Azotobacter and Azospirillum are heterotrophic bacteria which depend on outside carbon sources to fix nitrogen. Soil microbes require energy and essential nutrient to grow and reproduce, while plants derive their energy from carbon acquired from the atmosphere by means of photosynthesis. The carbon in organic matter decomposing provides soil microbes with their energy supply (John et al., 2001). The result showed that different soil nutrient status and vegetation type in the investigated sites resulted in the different bacterial population and bacterial type. The difference was caused by releasing organic and inorganic root exudates that can be used by surrounding organism. Jha et al. (1992) and Setiadi (1989) found that biological activity and composition of soil microbes are generally affected by many factors including physico-chemical properties of soil, temperature and vegetation. C availability in soil may affect the numbers and activities of microbes directly. Setiadi (1989) reported that the roots of higher plants might affect significantly the activity and the

177

development of soil microbes. (Katznelson cit. Mukerji and Subba-Rao, 1982) reported that the influence of the root on soil microbes starts immediately after seed germination which increases as the plant grow and reach maximum when plans have reaches the peak of the vegetative growth Stenton cit. Mukerji and Subba-Rao (1982) proposed that the roots of higher plants provide an ecological niche to soil microbes within the soil. Mishara (1969) also reported that different plant species grown in the same type of soil could harbor different microbes in the rhizosphere. CONCLUSSION 3

6

The microbial population range from 5.0x10 -7.5x10 cells of bacteria/g of soil and 5.0x103-1.5x107 cells of bacteria/g of soil for phosphate-solubilizing bacteria and nitrogen-fixing bacteria respectively. There were 17 isolates which have been identified till genus and species. The isolated microorganism were identified as PSB i.e. Bacillus sp., B. pantothenticus, B. megatherium, Flavobacterium sp., F. breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Chromobacterium lividum, Enterobacter alvei, E. agglomerans, Pseudomonas sp., Proteus sp. and as NFB i.e. Azotobacter sp., A. chroococum, A. paspali, Rhizobium sp., and Azospirillum sp. REFERENCES Berreiner, D.J. and J.M. Day. 1976. Assosiative symbioses and free living system. In: Newton, W.E. and C.J. Nyman (eds). Proceedings of the 1st International Symposium on Nitrogen Fixation. Pullman: Washington State University Press. Elmerich, C. 1984. Molecular Biology and Ecology of Diazotrophs associated with non-leguminous plants. Biotechnology 2: 967-978. Gaur, A.C. 1981. Phospho microorganism and various transformation in compost technology, Project Field Document No. 13. Rome: FAO. Zahran, H.H. 1999. Rhizobium-legume symbiosis and Nitrogen-fixation under severe conditions and in an arid climate. Microbiology and Molecular Biology Reviews: 968-989. Jha, D.K., G.D. Sharma, and R.R. Mishara. 1992. Ecology of soil micro-flora and mycorrhizal symbionts. Biological Fertility of Soils 12: 272-278. John, L., D. Herms, B. Stinner, and H. Hostink. 2001. Mulch effect on soil microbial activity, nutrient cycling, and plant growth in ornamental landscape. Ornamental Plant Annual Report and Research Reviews 2001. Ohio state: The Ohio State University. Krieg, N.R. and J.G. Holt. 1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Vol. 1. Baltimore: Williams and Wilkins. Kucey, R.M.N. 1983. Phosphate-solubilizing bacteria and fungi in various cultivated and Virgin Alberta soils. Canadian Journal of Soil Science 63: 671-678. Mishara, R.R. 1969. Nature of rhizosphere fungal flora of certain plants. Plant and Soil 37: 162-166. Mukerji,K.G. and N.S. Subba Rao. 1982. Plant surface microflora and plant nutrition. In: Subba Rao, N.S. (ed.). Advances in Agricultural Microbiology. Oxford: Oxford & IBH Publishing Co. Okon, Y., S.L. Albrecht, and R.H. Burris. 1977. Methods for growing Spirillum lipoferum and for counting it in pure culture and in association with plants. Journal of Applied Environmental Microbiology 33: 85-88. Okon, Y. 1985. Azzospirillum as a potential inoculant for inoculant for agriculture. Trends in Biotechnology 3: 223-228. Okon, Y. and C.A. Labandera-Gonzales. 1994. Agronomic application of Azospirillum; an evolution of 20 years worldwide field inoculation. Soil Biology and Biochemistry 26:1591-1601. Ravina, M.D., M.J. Acea, and T. Carballas.1992. Seasonal fluctuations in microbial populations and aviable nutrients in forest soil. Biological Fertility of Soils 16: 198-204. Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Subba Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sundara Rao, W.V.B. and M.K. Sinha. 1963. Phosphate dissolving microorganism in the soil and rhizosphere. Indian Journal of Agricultural Science 33: 272-278. Taha, S.M., S.A.Z. Mahmoud, A. Halim E. Damaty, and A.M.A. El Hafez. 1969. Activity of phosphate dissolving bacteria in Egyptian soils. Plant and Soil 31: 149-160. Vincent,J.M. 1982. Enumeration and determination of growth. In Vincent, J.M. (ed.). Nitrogen Fixation in Legumes. Sidney: Academic Press. Thompson, J.P. 1989. Counting viable Azotobacter chroococcum in vertisols. Plant and Soil 117: 9-16.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 178-180

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Optimalisasi Media untuk Jumlah Daun dan Multiplikasi Tunas Lidah Buaya (Aloe vera) dengan Pemberian BAP dan Adenin Medium optimization for leaf numbers and shoot multiplication of lidah buaya (Aloe vera) by BAP and adenine supplement LAELA SARI♼ Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911. Diterima: 15 Juli 2004. Disetujui: 2 Pebruari 2005.

ABSTRACT Aloe vera of the Aloeaceae is originated from Canary Island (West Africa). This plant is commonly know in Indonesia and cultivated in large fields or in the house yard for many purposes, such as ornamental and medicine plant. The industries using it as the principle raw material has became more important due to the significant benefits of this plant. This study is purposed to obtain the medium optimization for leaf numbers and shoot multiplication of Aloe vera by BAP and adenine supplement. The shoot of Aloe vera was taken from green house of Biotechnology-LIPI. Shoots sterilized by clorox (sodium hypochlorite) solution 35% and 20% for 30 and 15 min. until get aseptic shoot (in vitro plants). The shoot isolated from in vitro plant into MS (Murashige and Skoog) medium in different concentration of BAP and adenine. The research used factorial Completely Randomized Design with two factors (BAP concentration: 0; 0.5; 1; 1.5; 2 mg/L and adenine concentration 0; 10; 20 mg/L) with 5 replicates. The results obtained have showed that addition 20 mg/L adenine to MS raise the numbers of leaf. The shoot multiplication has been augmented by addition of BAP 1 mg/L and adenine 20 mg/L. The results showed that BAP has a positive role in increasing shoot multiplication rate and that adenine has a synergic effect when added together with BAP. Š 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: optimization, Aloe vera, BAP, adenine, in vitro tissue culture.

PENDAHULUAN Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu dari 10 jenis tanaman di dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan bahan baku industri (Atherton, 1998; Wahjono dan Koesnandar, 2002). Tanaman ini dapat dijumpai di seluruh Indonesia dan umumnya dibudidayakan sebagai tanaman obat keluarga sekaligus tanaman hias pot atau pekarangan. Lidah buaya memiliki daun berwarna hijau berlapis lilin putih, berbentuk agak runcing seperti taji dengan tepi daun bergerigi/berduri kecil. Pemanfaatan lidah buaya sebagai bahan kosmetika dan obat tradisional telah dilakukan sejak 1400 SM, terutama untuk penyubur rambut, penghalus dan pengencang kulit, obat anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri dan regenerasi sel. Akhir-akhir ini diketahui bahwa lidah buaya juga berfungsi menurunkan kadar gula darah, obat kanker dan mengontrol tekanan darah, mengatasi stres dan kecanduan, serta merupakan nutrisi pendukung bagi penderita HIV (Atherton, 1998; Pangabean, 2002). Lidah buaya dikenal dengan sebutan the miracle plant (tanaman ajaib), karena dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit (Plaskett, 2000; Sumarno, 2002). Bahan aktif yang dikandungnya antara lain adalah aloin, glukomannan, acemannan, aloe-emodin, aloenin, folocin, asam sinamat, yang memiliki efek farmakologi sebagai anti radang, anti pencahar, anti diabetes, anti kanker, anti inflamatori, dan anti bakteri. Prospek pengembangan tanaman lidah buaya sangat cerah mengingat jenis ini telah ♼ Alamat korespondensi: Jl Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911 Tel.: +621-8754587. Fax.: +621-8754588. e-mail: laelasari@yahoo.com.

dimanfaatkan dalam bidang kedokteran di 23 negara dan tercantum dalam Daftar Tanaman Obat Prioritas WHO (Anonim, 2000; Tarigans, 2001; Wahjono dan Koesnandar 2002). Multiplikasi lidah buaya biasanya dilakukan melalui pemisahan anakan, stek batang, dan dengan teknik kultur jaringan. Akibat dari perbanyakan vegetatif yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang tersebut, variasi genetik lidah buaya menjadi sempit. Pemuliaan lidah buaya hampir tidak pernah dilakukan, namun silangan alami mungkin dapat ditemukan di daerah pembudidayaan. Untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan bibit, sejalan dengan berkembangnya industri berbahan baku lidah buaya, kiranya perlu dikembangkan teknologi in vitro yang efisien bagi perbanyakan tanaman lidah buaya. Teknik tersebut kelak dapat diterapkan pada varietas terpilih yang berdaya produksi atau mengandung bahan aktif tinggi. Menurut George dan Sherrington (1984) dan Yusnita (2003), kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Meskipun pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh seperti anakan atau mata tunas. Penelitian ini bertujuan untuk mencari media yang optimal bagi pertambahan jumlah daun dan tunas lidah buaya dengan BAP dan adenin pada media MS.

BAHAN DAN METODE Bahan tanaman Bahan eksplan berupa tunas pucuk lidah buaya kultivar kecil, tinggi 3-4 cm dari rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong-Bogor.


SARI – Optimalisasi media tumbuh Aloe vera

Sterilisasi eksplan Tunas pucuk lidah buaya dicuci bersih dengan air mengalir, lalu direndam dalam larutan sabun (sunlight) selama 5 menit dan direndam dalam larutan klorox 35% selama 30 menit. Selanjutnya tunas dicelupkan dalam larutan alkohol 70% selama 2 menit, dan dalam larutan klorox 20% selama 15 menit. Pekerjaan terakhir ini dilakukan dalam laminar air flow cabinet. Setelah itu eksplan tersebut dibilas beberapa kali dengan akuades steril agar bersih dari sisa-sisa klorox dan alkohol. Media tumbuh Media dasar Murashige dan Skoog (MS) (1962), yang dilengkapi dengan gula 30 g/L, agar Gelrite 2,5 g/L serta zat pengatur tumbuh (ZPT) BAP 1 mg/L (media inisiasi) digunakan untuk menginduksi penggandaan tunas in vitro. Tunas yang dihasilkan digunakan sebagai bahan eksplan. Media tersebut diatur keasamannya pada pH 5,7, diberi agar, lalu diautoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1 atm selama 15 menit, kemudian disimpan selama 3 hari untuk mengeliminasi media yang terkontaminasi jamur atau bakteri. Untuk menginduksi penggandaan tunas in vitro lidah buaya, maka dicari kombinasi hormon BAP dan adenin yang optimal (media perlakuan) dalam berbagai konsentrasi (Tabel.1). Tabel 1. Media perlakuan BAP dan adenin. BAP (mg/L) 0 0,5 1 1,5 2

0 1 4 7 10 13

Adenin (mg/L) 10 2 5 8 11 14

20 3 6 9 12 15

Penanaman eksplan Tunas pucuk yang telah disterilkan dibuang daun-daun luarnya, sehingga diperoleh pucuk tunas berukuran ± 1-2 cm. Tunas tersebut ditumbuhkan dalam media tumbuh awal (MS + BAP 1 mg/L), lalu diinkubasikan dalam ruangan bersuhu 25°C yang diberi pencahayaan dari lampu TL selama 16 jam per hari sampai terbentuk tunas baru untuk eksplan, kemudian tunas yang baru (dengan 2 daun) ditumbuhkan kembali pada media tumbuh (Tabel 1). Rancangan penelitian Data penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 ulangan dan pola faktorial (Gasperz, 1991), dengan dua faktor yaitu faktor BAP dan adenin. Perlakuan yang diberikan meliputi konsentrasi BAP

179

(0; 0,5; 1; 1,5; 2 mg/L) dan konsentrasi adenin (0; 10; 20 mg/L). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah daun dan jumlah tunas seminggu sekali sampai data yang diperoleh tidak berubah lagi. Data dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam dan Uji Lanjut Tukey pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan jumlah daun Hasil analisis data pertambahan jumlah daun pada minggu ke-1 s.d. ke-3, menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata, maka hanya data minggu ke-4 s.d. ke-10 yang ditampilkan. Tahap inisiasi (pada media inisiasi) tidak diamati, yakni minggu ke-1 s.d. ke-4 setelah tanam. Pengamatan dilakukan pada media perlakuan mulai minggu ke-1 s.d ke-10. Dalam waktu 1 minggu tunas yang ditumbuhkan pada media perlakuan, tampak mulai menghijau dan jumlah daunnya bertambah 1-2 helai (awal tanam daun berjumlah 2 helai) sampai minggu ke-8. Pertambahan jumlah daun pada minggu ke-9 s.d. ke-10 tidak berbeda nyata (Tabel 2.), sehingga dilaksanakan pemanenan pada minggu ke-10. Secara umum, perlakuan BAP tidak berpengaruh terhadap pertambahan jumlah daun. Perlakuan 3 (MS + adenin 20 mg/L) menunjukkan hasil yang tertinggi dengan nilai rata-rata 7,8 dibandingkan dengan ke-14 perlakuan lainnya (Tabel 2.). Hal ini diduga karena tanpa penambahan BAP, yang sangat berperan dalam multiplikasi tunas, maka tanaman dapat berkonsentrasi dalam penambahan jumlah daun. Pada perlakuan kontrol/perlakuan 1 (MS tanpa ZPT) jumlah daun juga cukup banyak dengan rata-rata 6,6. Media tanpa BAP (perlakuan 1, 2 dan 3) juga menghasilkan pertambahan jumlah daun yang tinggi, sehingga peran BAP tidak nampak pada pertambahan jumlah daun. Pertambahan jumlah daun rata-rata paling sedikit tampak pada perlakuan MS + 2 mg/L BAP + 10 mg/L adenin dan MS + 2 mg/L BAP + 20 mg/L adenin. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan BAP yang terlalu tinggi (2 mg/L) dapat menghambat pertambahan daun (Tabel 2.). Perlakuan MS + 2 mg/L BAP + 10 mg/L adenin dan MS + 2 mg/L BAP + 20 mg/L adenin tidak meningkatkan jumlah daun (jumlah daun tetap) dari minggu ke-7 s.d. ke-10. Sedangkan pada media MS tanpa BAP (kontrol), MS + adenin 10 dan 20 mg/L jumlah daun meningkat sampai minggu ke-10. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh BAP yang berperan dalam menggandakan tunas lebih kuat, sehingga pada media yang mengandung BAP penggandaan tunas lebih menonjol daripada pertambahan jumlah daun.

Tabel 2. Pengaruh hormon BAP dan adenin terhadap jumlah pertambahan daun lidah buaya (umur 1-10 minggu). Minggu ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1. Kontrol 3,6 a 4,4 a 4,6 a 5 bcde 5,8 ef 6,2 de 6 cd 6 def 6,6 ef 6,6 ef 2. Adenin 1 3,2a 4,4 a 5,2 a 5,2cde 6f 62 de 6,4 de 6,6 fg 6,4 ef 6,4 ef 3. Adenin 2 3,2a 4,6 a 5 a 5,4 de 6,2 f 6,6 e 7,2 e 7,6 g 7,8 f 7,8 f 4. BAP 0,5 3,4a 3,8 a 4,4 a 5 bcde 5,4cdef 5,2 cd 5,4 bcd 5,4 bcde 5,8 cde 5,8 cde 5. BAP 0,5+ Adenin 1 2,4a 3,8 a 4 a 5,6 e 5,4cdef 5,4 cd 5,4 bcd 5,4 bcde 6 de 6 de 6. BAP 0,5+ Adenin 2 3a 4a 4,4 a 4,4 ab 4,6abc 4,8 abc 4,6 ab 4,6 abc 4,8 abcd 4,8 abcd 7. BAP 1 3,4a 4,4 a 4a 4,6 abc 5 bcde 5 bc 5,2 bc 5,8 bcde 5,6 bcde 5,6 bcde 8. BAP 1+ Adenin 1 3,2 a 3,6 a 3,4 a 4,6 abc 5 bcde 5 bc 5,4 bcd 5,6 cdef 5,6 cde 5,6 cde 9. BAP 1+ Adenin 2 3a 3,6 a 4,2 a 5,4 de 5,6 def 6 de 6,2 de 6,2 ef 6,2 e 6,2 e 10. BAP 1,5 3a 3,8 a 3,6 a 4,4 ab 5 bcde 5 bc 5b 5 bcd 4,6 abc 4,6 abc 11. BAP 1,5+ Adenin 1 3,8 a 4,2 a 4,4 a 4,8abcd 4,8 abcd 4,8 abc 4,8 ab 4,8 abc 4,8 abcd 4,8 abcd 12. BAP 1,5+ Adenin 2 3,4 a 3,8 a 3,8 a 5,2cde 5 bcde 5 bc 5b 5 bcd 4,6 abc 4,6 abc 13. BAP 2 3a 3,8 a 3,8a 4,8 abcd 4,8 abcd 4,8 abc 4,8 ab 4,4 ab 4,2 ab 4,2 ab 14. BAP 2+ Adenin 1 3,4a 4,2 a 4 a 4,4 ab 4a 4a 4a 4a 4a 4a 15. BAP 2+ Adenin 2 3,6 a 4a 4,2 a 4,2a 4,2 ab 4,2 ab 4 a 4a 4a 4a Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%. Perlakuan


180

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 178-180

Multiplikasi tunas Pengamatan jumlah tunas lidah buaya yang ditanam secara in vitro dengan pemberian beberapa konsentrasi BAP dan adenin memperlihatkan pengaruh nyata, terlihat pada Tabel 3. Tunas in vitro yang digunakan sebagai eksplan dan dikulturkan pada berbagai media perlakuan mulai tumbuh pada minggu ke-3. Pada minggu ke-4 tunas sudah memiliki 2 daun dan tampak menjadi lebih hijau. Multiplikasi tunas terjadi pada semua media yang mengandung BAP dengan kisaran 0,5-2 mg/L, namun jumlahnya berbeda-beda tergantung pada konsentrasi yang diberikan (Tabel 3.).

Hasil analisis statistik, terlihat bahwa selain eksplan, kadar BAP media mempunyai pengaruh pada pembentukan tunas lidah buaya. Hal serupa terlihat pada pembentukan tunas majemuk lidah buaya, yang menghasilkan tunas paling banyak pada media MS + 1 mg/L BAP + 20 mg/L adenin. Hal ini didukung oleh pendapat Hortman dan Kister cit Agusta (1995) dan Wattimena (1998) mengatakan bahwa sitokinin (BAP) berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tunas, berpengaruh terhadap metabolisme sel, pembelahan sel, merangsang sel, mendorong pembentukan buah dan biji, mengurangi dormansi apikal, serta mendorong inisiasi tunas lateral.

Tabel 3. Pengaruh hormon BAP dan adenin terhadap jumlah rataan tunas lidah buaya (umur 10 minggu)

KESIMPULAN

Kadar hormon (mg/L) Jumlah rata-rata tunas BAP Adenin 1 0 0 0,6 a 2 0 10 1,2 a 3 0 20 2,2 a 4 0,5 0 16,4 bcd 5 0,5 10 21,8 cde 6 0,5 20 24,2 de 7 1 0 27,0 d 8 1 10 29,8 ef 9 1 20 40,6 f 10 1,5 0 21,6 cde 11 1,5 10 21,4 cde 12 1,5 20 16,2 bcd 13 2 0 10,4 b 14 2 10 12,2 b 15 2 20 14,6 bc Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%.

Penggandaan tunas yang terbaik diperoleh pada rasio BAP 1 mg/L dan adenin 20 mg/L dengan nilai rata-rata 40,6. Tunas paling sedikit diperoleh pada media kontrol dengan nilai rata-rata 0,6. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar BAP, maka tunas yang dihasilkan semakin banyak, namun agar tunas tersebut dapat tumbuh besar dan membentuk planlet, perlu disubkultur ke media MS tanpa BAP. Penggunaan hormon BAP untuk menggandakan tunas secara in vitro banyak berhasil pada tanaman hortikultura seperti pisang (Imelda, 1991; Yusnita dkk., 1996), pepaya, jeruk, manggis (Litz dan Jaiswal, 1991), nanas bogor (Yusnita dkk., 1999; Imelda dan Erlyandari, 2000), kentang (Satria, 2004), dan durian (Satria dan Zainal, 2004). Di antara berbagai hormon sitokinin sintetik, BAP paling sering digunakan karena sangat efektif menginduksi pembentukan daun dan penggandaan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah (George dan Sherrington, 1984). Pemberian adenin pada konsentrasi yang tepat, bersama-sama dengan BAP mampu meningkatkan multiplikasi tunas lidah buaya. Proliferasi dan perpanjangan tunas yang optimal dapat diperoleh dengan mengontrol rasio konsentrasi BAP dan adenin. Tabel 3 menunjukkan bahwa perbandingan sitokinin (BAP) dan adenin pada konsentrasi yang tepat, sangat menentukan daya multiplikasi tunas in vitro lidah buaya. Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah salah satu penentu keberhasilan kultur jaringan atau kultur in vitro secara umum. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan tunas adalah umur eksplan. Dalam penelitian ini umur lidah buaya yang digunakan sebagai eksplan adalah 4 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tisserat dkk. (1979) yang menyatakan bahwa umur fisiologis eksplan sangat penting dalam menentukan keberhasilan kultur jaringan.

Media optimum bagi penambahan jumlah daun lidah buaya adalah media MS + adenin 20mg/L (perlakuan 3) dengan nilai rata-rata 7,8. Media optimum bagi multiplikasi tunas lidah buaya adalah media MS + BAP 1 mg/L + adenin 20 mg/L (perlakuan 9) dengan nilai rata-rata 40,6. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000. Lidah Buaya ( Aloe vera L.). http://www.asiamaya.com/jamu/isi/ lidahbuaya_aloevera.htm Atherton, P. 1998. Aloe vera-mith or medicine?. http://www.positivehealth. com/permit/articles/aloe%20vera/atherton.htm. Agusta, Y. 1995. Pengujian Beberapa Konsentrasi Paclobutrazol dan BAP terhadap Pertumbuhan dan Hasil Umbi Mini Kentang. Padang: Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk ilmu-ilmu Pertanian, Teknik, Biologi. Bandung: Armico. George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Reading, UK.: Eastern Press. Imelda, M. 1991. Penerapan teknologi in vitro dalam penyediaan bibit pisang. Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer Untuk Industri. PAU Bioteknologi, IPB, Bogor 15-16 Februari 1991. Imelda, M. dan F. Erlyandari. 2000. Produksi bibit nanas bogor (Ananas comosus (L) Merr.) melalui proliferasi tunas. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III, Puslitbang Bioteknologi, LIPI, Cibinong, 7-9 Maret 2000. Litz, R.E and V.S. Jaiswal. 1991. Micropropagation of tropical and subtropical fruit. In: Deberg, P.C. and R.H. Zimmerman (eds.), Micropopagation, Technology and Application. London: Kluwer Academic Publishers. Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Plant Physiology 15: 473-497. Pangabean, F.I. 2002. Lidah Buaya Sembuhkan Bermacam Penyakit Berat. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=37868. 9 Nopember 2002. Plaskett, L. 2000. Aloe vera, Aloe in Alternative Medicine Practice. http://www.wholeleaf.com/aloevera/plaskett.htm. Satria, B. 2004. Perbanyakan vegetatif klon kentang unggul (Solanum tuberosum L.) dengan pemberian konsentrasi BAP pada media MS melalui kultur jaringan. Jurnal Stigma 12 (1): 14-18. Satria, B dan A. Zainal. 2004. Perbanyakan vegetatif durian aripan (Durio zibethinus Murr.) melalui regenerasi kalus in vitro. Jurnal Stigma 12 (1): 19-24. Sumarno. 2002. Program Pengembangan lidah buaya di Indonesia. Pertemuan Nasional Pengembangan Lidah Buaya, Pontianak 21-22 Juni 2002. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak Kalimantan Barat. Tarigans. D.D. 2001. Lidah buaya, Si Tanaman Ajaib. http://www.MagelangBaru.mht/lidahbuaya.htm. Tisserat. E., E.B. Esan, and T. Murashige. 1979. Somatic Embryogenesis in Angiosperms. In: Janick, J. (ed.). Horticultural Reviews, Vol. 1. Wesport: Avi Publishing Company. Wahjono, E. dan Koesnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya secara Intensif. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Wattimena, G.A. 1998. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: PAU Institut Pertanian Bogor. Yusnita, Aprianita, dan D. Hapsoro. 1999. Pengaruh benzyladenine dan naphthaleneacetic terhadap perbanyakan tunas nanas (Ananas comosus L.) in vitro. Jurnal Agrotropika 4 (2): 6-10. Yusnita, 2003. Kultur Jaringan. Cara memperbanyak tanaman secara efisien. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Yusnita, K. Mantja, dan D. Hapsoro. 1996. Pengaruh benziladenin, adenin dan asam indol asetat terhadap perbanyakan tunas pisang ambon kuning secara in vitro. Jurnal Agrotropika 1 (1): 29-32.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 181-184

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Mawar Hijau (Rosa x odorata “viridiflora”) di Kebun Raya Bali: Biologi Perbungaan dan Perbanyakannya Rosa x odorata “viridiflora” (green rose) in Bali Botanical Garden: biological phenology and its propagation HARTUTININGSIH-M. SIREGAR♥, I PUTU SUENDRA, MUSTAID SIREGAR UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan, Bali 82191. Diterima: 15 Desember 2004. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT Rosa x odorata “viridiflora” (green rose) was one of rose collection in Bali Botanical Garden. This shrub had shiny, dark green leaves and sprays of rossete-shaped, double flowers, 4-5 cm across, green ageing to purplish green, with narrow petals that resemble sepals. Phenology flower research was begin from the growth phase and the development until the flower was fall, every phase was identified with one or more changing. Vegetative reproduction should take over for propagation purpose. Vegetative propagation was done by cutting about 15 cm long and 0.8-1.0 cm diameter. The study was carried out in the greenhouse of Bali Botanic Garden by using Completely Randomized Design with 5 treatments: rootone F powder, atonik 1 mL/L, atonik 2 mL/L, IBA 1 mg/L, NAA 1 mg/L and control. Each treatment was done 3 replication had 5 pieces of cutting. The result of research indicated that cutting more responsive to rootone F with highest cutting persentage (66,67%), highest to buds (25 days after planting) and to fast flowering (147 days after planting). Green rose is one of more flowers is not interested by pollinator insect. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: green rose, Rosa x odorata “viridiflora”, phenology.

PENDAHULUAN Marga Rosa (Rosaceae), terdiri dari 150 jenis tanaman yang berbentuk perdu dan memanjat, beberapa jenis merupakan tanaman budidaya. Mawar tersebar luas di Asia, Eropa, Afrika Utara, dan Amerika Utara. Batang mawar umumnya berduri, daun tersusun berseling, bergerigi, panjang antara 2,5-18 cm. Bunga mawar merupakan bunga yang atraktif, harum, dan tersusun membentuk payung. Mawar merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh di daerah dingin atau panas. Mawar sangat toleran terhadap kondisi lingkungan; tumbuh sangat baik pada tanah yang subur, kaya humus, dengan drainase dan kelembaban yang baik. Untuk menghasilkan bunga yang baik, pemupukan dilakukan secara berimbang setiap 3 minggu sekali. Kultivar mawar merupakan persilangan antara jenis-jenis mawar, yang jumlahnya dapat mencapai ribuan kultivar (Brickell, 1996). Tajuk bunga mawar atau mahkota bunga (corolla) terdiri dari beberapa helai daun tajuk (petala). Daun tajuk lebih halus, lemas dan indah warnanya. Pada mawar terdapat daun tajuk yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada daun kelopak. Kehalusan, warna, dan bentuk tajuknya menentukan kecantikan bunga. Warna bunga yang unik akan sangat digemari, warna-warni bunga mawar sangat didominasi warna merah (ruber), putih (albus), dan kuning (flavus). Warna-warna tersebut merupakan hibrid bunga

♥ Alamat korespondensi: Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-368-21273. e-mail: direkbg@singaraja.wasantara.net.id.

mawar yang umum dijumpai. Warna bunga dapat dijadikan daya tarik bagi hewan penyerbuk. Warna merah sering didatangi kupu-kupu, putih dikunjungi lebah, sedangkan hijau didatangi burung. Warna tidak mutlak menjadi daya tarik terhadap serangga, aroma bunga juga merupakan daya tarik tersendiri (Kartapraja, 1997). Taman Mawar (rose collection) Kebun Raya Bali menampilkan koleksi mawar dari berbagai jenis/kultivar, 2 yang menempati suatu areal khusus seluas 1.200 m terletak di vak VII DII. 10, VII D II. 11 dan VII.12. Ada sekitar 950 sampai dengan 1.100 tanaman mawar yang ditanam baik mawar lokal maupun hibrid, antara lain dari Belanda R. fedtschencoana Regel, R. multiflora Thumb. ex Murr., dan R. sweginzowii Koechne (Arinasa dan Astuti, 1999). Bunga mawar lokal, umumnya berukuran kecil-kecil, warna pink, putih susu, putih kemerahan, dan putih kekuningan. Mawar hibrid memiliki lebih banyak variasi warna, di samping memiliki bunga yang besar, warnanya juga menarik,, yaitu: merah tua, merah santan, kuning tua, kuning muda, orange, dan putih. Kebun Raya Bali memiliki koleksi mawar unik, yaitu: mawar hijau (viridis), bunga ini tersusun dari tajuk yang berwarna hijau. Di Bali mawar hijau jarang dijumpai, beberapa informasi mengatakan pernah tumbuh di daerah Kintamani, tetapi saat ini keberadaannya tidak diketahui lagi. Mawar hijau (Rosa x odorata “viridiflora”) atau populer dengan nama green rose, tingginya berkisar 75 cm, daun hijau, mengkilap, merupakan persilangan antara (R. chinensis x R. gigantea) (Brickell, 1996). Tanaman ini berupa semak, batang berduri, daun hijau dengan anak daun 3-5 bentuk lonjong panjang 4-6 cm, bunga muncul pada ranting kecil, membentuk roset dengan bunga tumpuk diameter sekitar 4-


182

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 181-184

5 cm, warna hijau, ungu lembayung hijau, dengan kelopak menyerupai mahkota bunga (Brickell, 1996). Pada umumnya keluarga mawar diperbanyak secara vegetatif, yaitu: dengan stek maupun cangkok. Untuk mempercepat terbentuknya akar diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT). Beberapa zat pengatur tumbuh yang dikenal dan sering digunakan adalah atonik dan rootone F. Atonik adalah zat pengatur tumbuh yang mengandung senyawa nitroaromatik, mengandung natrium ortho nitrofenol 0,2%, natrium 2,4 dinitrofenol 0,05%, natrium para nitrofenol 0,3%, natrium 5 nitro guaikolat 0,1%. Zat ini berfungsi merangsang proses fisiologi dan metabolisme, sehingga unsur hara di dalam tanaman dan hasil serapan dimanfaatkan secara optimal dan berimbang. Pemberian larutan Atonik 2 mL/L dapat memberikan pengaruh nyata pada penambahan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar serta kadar klorofil daun meniran (Moko dkk., 1993). Rootone F, yang diformulasikan oleh Agrocarb adalah zat pengatur tumbuh sintetik berupa serbuk warna putih yang mengandung naftalenasetamida (NAD) 0,067%, 2 metil 1 naftalenasetamida (NAA) 0,013%, 2 metil 1 nafthalen asetat (MNAA) 0,033%, indol 3 butirat (IBA) 0,057%, bahan aktif tersebut termasuk dalam golongan auksin, sedangkan tetramethilthiuram disulfida (thiram) 4%, berfungsi sebagai fungisida (Sudrajat dan Wahyono, 2002). Hormon tumbuh IAA, IBA, dan NAA adalah suatu senyawa sintetis yang dapat mendorong pembentukan akar pada stek. Auksin adalah salah satu hormon pertumbuhan yang mempunyai pengaruh paling besar pada pertumbuhan akar (Hartman dkk., 1997; Gardner dkk., 1991; Salisbury dan Ross, 1992). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari (i) proses pembungaan bunga mawar hijau, (ii) serangga pengunjung bunga mawar hijau dan (iii) proses perbanyakan bunga mawar hijau dengan zat pengatur tumbuh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang dalam teknik perbanyakan dan pengembangannya.

BAHAN DAN METODE Pengamatan pembungaan mawar hijau Pengamatan pembungaan mawar hijau dilakukan di Taman Mawar Kebun Raya Bali, pada satu periode pembungaan mulai bulan Juni 2002 sampai dengan Pebruari 2003, dengan mengambil 3 koleksi tanaman yang terletak di vak VII. Pengamatan morfologi dilakukan dengan mata telanjang dan dengan kaca pembesar. Tahap pertumbuhan dan perkembangan kuncup bunga dimulai sejak kuncup dapat dibedakan dengan tunas daun, setiap tahap dicirikan dengan satu atau lebih perubahan bagian kuncup. Jangka waktu, ukuran dan perkembangan bunga dicatat pada masing-masing tahap. Pengamatan pembungaan meliputi jumlah kuncup bunga, mulai berbunga, lamanya bunga mekar, dan bunga gugur pada setiap periode waktu. Pengamatan serangga pengunjung Pengamatan penyerbukan dilakukan tanggal 1 Oktober sampai dengan 8 Oktober 2003 setiap hari mulai pukul 09.00 sampai dengan 15.00 WITA dengan mencatat jenis dan jumlah serangga pengunjung. Perbanyakan vegetatif mawar hijau Penelitian dilakukan di rumah kaca Pembibitan Kebun Raya Bali dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap. Bahan penelitian yang digunakan adalah stek batang panjang 15 cm, diambil dari bagian tengah batang, diameter 0,8-1,0 cm dengan ujung pangkal miring. Perlakuan terdiri dari: A= rootone F serbuk, B= atonik 1 mL/L, C= atonik 2 mL/L, D= IAA 1 mg/L, E= IBA 1 mg/L, F= NAA 1 mg/L, K= kontrol. Masing-masing perlakuan 3 ulangan, setiap ulangan 5 stek. Semua stek direndam dalam larutan zat pengatur tumbuh selama 1 jam. Sedangkan untuk perlakuan rootone F serbuk, sebelumnya pangkal stek dibasahi dengan air kemudian dilumuri dengan rootone F secukupnya secara merata. Setelah perlakuan diterapkan stek ditanam pada polibag berisi campuran tanah, kompos, dan pasir dengan perbandingan 1: 1: 1. Pengamatan dilakukan terhadap saat keluarnya tunas, persentase stek yang bertunas, jumlah tunas dan jumlah daun. Selanjutnya pertumbuhan tanaman diamati sampai terbentuknya bunga (12 bulan). Untuk menjaga kelembaban dilakukan penyiraman dengan volume air yang sama untuk masing-masing polibag.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembungaan mawar hijau Taman Mawar Kebun Raya Bali merupakan koleksi jenis-jenis mawar dengan berbagai macam warna, areal ini 2 seluas 1200 m , dengan penataan berdasarkan warna bunga. Koleksi mawar hijau merupakan koleksi yang paling sedikit dan terletak di bagian timur. Pengamatan mawar hijau diambil contoh 3 tanaman koleksi. Dari hasil pengamatan dilaporkan bahwa pembungaan mawar terjadi tidak serempak, akan tetapi mawar termasuk rajin berbunga, tidak terpengaruh fluktuasi iklim. Pada musim hujan maupun kemarau, tanaman ini rajin berbunga. Dalam satu pohon rata-rata terdapat 23,4 bunga yang terdiri dari kuncup 15,66, mekar 6,32 dan gugur 1,42. Hasil pengamatan morfologi antara bunga mawar hijau dengan mawar merah disajikan pada Tabel 1. Penampilan bunga mawar hijau kurang menarik dibandingkan mawar merah, dengan struktur bunga yang kasar dan berwarna hijau. Tanaman ini kurang disukai oleh serangga pengunjung. Tabel 1. Perbandingan morfologi bunga antara mawar hijau (Rosa x odorata “viridiflora) dengan mawar merah (Rosa sp.). Parameter

Mawar hijau

Mawar merah

1. 2. 3. 4. 5. 6.

5 4-5 hijau agak kasar banyak kecil-kecil (1-2,5): (0,4-0,5) bergerigi menempel, termodifikasi menjadi tajuk bunga

5 6-7 merah halus 5-banyak agak lebar (2-3,5): (2,4-3,5) halus berdiri sendiri, banyak

Kelopak bunga Diameter bunga (cm) Warna tajuk Struktur tajuk Jumlah tajuk Ukuran tajuk bunga panjang: lebar = p: l (cm)

7. Tepi tajuk bunga 8. Letak benang sari

Tahapan pertumbuhan bunga Pertumbuhan dan perkembangan bunga mawar hijau dari kuncup (seluruh bagian terbungkus oleh kelopak bunga) sampai berakhirnya perbungaan (ditandai dengan seluruh mahkota bunga gugur) memerlukan waktu 75 hari. Perkembangan kuncup bunga sampai menjadi bunga mekar penuh dibagi dalam 4 tahapan (Gambar 1), yaitu:


SIREGAR dkk. – Rosa x odorata “viridiflora� di Kebun Raya Bali

A

B

C

183

D

Gambar 1. Tahapan perkembangan bunga mawar hijau. A. tahap pertama (kuncup), B. tahap kedua (kuncup mengembung), C. tahap ketiga (kuncup pecah), D. tahap keempat (mekar penuh).

Tahap pertama: kuncup. Bunga masih berbentuk kuncup, merupakan tahap perlindungan proses pembungaan, seluruh bagian bunga dilindungi oleh kelopak dengan bulubulu yang halus. Sepintas berbentuk seperti tunas, bagian ujung meruncing. Rasio panjang:lebar kuncup sekitar 1,01,5 cm: 0,3-0,5 cm, tahap ini berlangsung sampai 14 hari. Tahap kedua: penggembungan kuncup. Perkembangan kuncup mulai kelihatan normal, kelopak bunga mulai pecah dan membuka, berwarna hijau. Tajuk bunga jelas terlihat berwarna hijau. Ukuran kuncup bunga bertambah menggelembung dengan ukuran panjang x lebar = 2,5-3,0 x 0,7-1,0 cm. Tahap ini memerlukan waktu hingga 19 hari. Irisan membujur memperlihatkan organ reproduksi mulai terbentuk. Benang sari dengan tangkai sari berwarna kekuningan panjang sekitar 0,5 cm terbungkus rapat oleh lembaran-lembaran tajuk yang berwarna kuning kecoklatan, semakin ke arah luar warna tajuk semakin berubah menjadi kehijauan. Kenampakan morfologi kuncup ini berwarna hijau dengan bagian kelopak sudah membuka dan terjuntai. Tahap ketiga: kuncup pecah. Kelopak bunga sudah mulai terbuka ke arah bawah, diikuti membukanya tajuk bunga, dimulai dari salah satu sisi bunga merekah, lalu keluar tajuk bunga yang berukuran kecil berwarna hijau. Proses membukanya tajuk berangsur-angsur terjadi, membentuk lingkaran sampai terjadi 3 putaran tajuk, selama sekitar 14 hari. Irisan membujur tahap ini tidak memperlihatkan adanya benangsari. Perkembangan selanjutnya ujung tangkai sari termodifikasi menjadi tajuk bunga, sangat jelas sekali tangkai sari masih ada berwarna keputih-putihan, sedangkan bagian ujungnya berwarna hijau membentuk lembaran meruncing, semakin keluar ukurannya semakin lebar membentuk tajuk bunga. Bakal buah sangat jelas. Pada tahap ini ukuran bunga semakin besar sekitar panjang x lebar bunga = 3,0-3,3 x 2,0-2,3 cm. Tahap keempat: mekar penuh. Bunga mulai mekar penuh, ukuran sudah mantap dengan diameter 5-7 cm, warna tajuk hijau, tepi bergerigi (Gambar 2). Dari tahap ketiga menuju keempat diperlukan waktu sekitar 28 hari. Mawar hijau termasuk jenis mawar yang paling lama mempertahankan bunga mekar, dapat mekar penuh sampai 25 hari, lalu berangsur-angsur mengalami pengguguran, dimulai dari bagian dalam gugur satu persatu, sampai akhirnya tajuk gugur semua, diikuti dengan gugurnya kelopak bunga. Dengan mempelajari tahapan pembungaan mawar hijau, dapat disimpulkan bahwa bunga ini termasuk bunga steril, benangsari terbentuk, tetapi pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi tajuk sehingga tidak terjadi proses pembuahan, dan akhirnya tidak terbentuk biji. Beberapa jenis mawar merah dan kuning (Rosa sp.) dapat membentuk biji. Upaya perbanyakan mawar hijau hanya dapat dilakukan secara vegetatif, dengan stek atau cangkok.

A

B

Gambar 2. Morfologi bunga mawar hijau (Rosa x odorata “viridiflora’) tahap mekar penuh (A), dan irisan membujur (B).

Serangga pengunjung Mawar hijau termasuk bunga mawar yang tidak disukai serangga. Dalam pengamatan tidak dijumpai jenis serangga yang secara rutin mengunjungi bunga ini, kalaupun ada hanya sekedar hinggap kemudian terbang lagi. Pengamatan serangga pengunjung dilakukan di lokasi taman mawar, dengan koleksi mawar hijau terletak pada petak paling ujung, kunjungan serangga maupun kupu-kupu jarang sekali terlihat. Beberapa jenis kupu-kupu hanya melintas di atas mawar hijau dan hinggap di mawar lain yang mempunyai mahkota bunga lebih menarik dan berwarna-warni (merah, putih, kuning, dan lain-lain). Pengamatan juga dilakukan di lokasi pembibitan selama delapan hari dimulai pada tanggal 1 Oktober sampai dengan 8 Oktober 2003 setiap hari mulai pukul 09.00 sampai dengan 15.00 WITA. Perlu diketahui bahwa lokasi pembibitan terdapat 35 tanaman yang sedang berbunga, dengan lokasi di sebelah kanan lokasi pembibitan bunga Liliaceae dan sebelah kiri Asteraceae, akan tetapi kunjungan serangga juga masih sepi, beberapa jenis lalat pada waktu pagi sekitar pukul 10.00 WITA pernah terlihat menempel sebanyak 4 ekor, pada siang hari dengan udara cerah jenis kupu-kupu juga tidak hinggap hanya melintas dan kemudian hinggap di lokasi sebelahnya. Gambaran sepintas lokasi pembibitan disiapkan untuk tanaman berbunga semusim misalnya Amaryllidaceae (Crinum, Hippeastrum, Hymenocallis), Cannaceae (Canna), Liliaceae (Aloe, Lilium), Strelitziaceae (Heliconia), Asteraceae (Chrysanthemum, Dahlia), Begoniaceae (Begonia), dan lain-lain. Pengamatan kunjungan serangga pada saat hari yang cerah, pernah ditemukan 6 jenis serangga yang mengunjungi bunga. Pada pagi hari sekitar pukul 09.0011.00 WITA jenis kupu-kupu (1) hanya terbang melintas, kemudian 2 jenis lalat hanya mengunjungi daun dan batang saja sekitar 5-10 menit dengan jumlah 4 ekor, sejenis lebah hanya hinggap, kemudian tercatat sejenis lalat yang juga hinggap di bunga. Pengamatan pada siang hari sekitar pukul 13.00-15.00 WITA kupu-kupu hanya lewat saja, sedangkan lalat sebagai pengunjung setia hinggap di bagian batang dan daun, kemudian mengunjungi bunga hanya sekitar 1 menit saja. Perbanyakan vegetatif mawar hijau Dari hasil pengamatan (Tabel 2. dan 3.) rootone F merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat memacu terbentuknya perakaran pada stek. Stek paling cepat membentuk akar 25 hst (hari setelah tanam), persentase stek yang tumbuh paling tinggi, yaitu: 66,70%. Pertumbuhan selanjutnya menghasilkan tanaman yang kuat


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 181-184

184

dengan jumlah tunas paling banyak 7 tunas dibandingkan kontrol. Jumlah tunas yang banyak mengakibatkan jumlah daun juga meningkat 41 buah dan menghasilkan tanaman yang paling cepat berbunga 147 hst. Rootone F mempunyai bahan aktif yang merupakan senyawa organik yang memiliki daya pengaturan pertumbuhan dan dapat memperbanyak akar.

larutan atonik 2 mL/L dapat memberikan pengaruh nyata pada penambahan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar serta kadar klorofil daun meniran. Perlakuan IAA 1 mg/L dan IBA 1 mg/L, dapat memacu terbentuknya tunas, dan persentase tunas yang tumbuh berturut-turut 50,00% dan 58,33%. Pertumbuhan selanjutnya tanaman mulai berbunga memerlukan waktu lama, 211 hst.

Tabel 2. Perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap saat keluarnya tunas, persentase stek bertunas (%) pada mawar hijau.

KESIMPULAN

Perlakuan A: rootone F B: atonik 1 mL/L C: atonik 2 mL/L D: IAA 1 mg/L E: IBA 1 mg/L F: NAA 1 mg/L Kontrol

Saat keluarnya tunas (hst) 25 25 25 29 25 45

Persentase bertunas (%) 66,67 33,33 50,00 50,00 58,33 30,00

Tabel 3. Perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun (umur 12 bulan) dan saat awal berbunga pada mawar hijau. Perlakuan A:rootone F B: atonik 1 mL/L C: atonik 2 mL/L D: IAA 1 mg/L E: IBA 1 mg/L F: NAA 1 mg/L Kontrol

Tinggi Tanaman (cm) 86 62 62 92 66 58

Jumlah tunas

Jumlah daun

7 6 5 7 3 2

41 43 31 51 28 22

Saat awal berbunga (hst) 147 170 178 211 211 310

Perlakuan atonik 1 mL/L dan 2 mL/L dapat mempengaruhi pertumbuhan stek, stek lebih awal tumbuh 25 hst. Konsentrasi atonik yang lebih tinggi, 2 mL/L, menghasilkan jumlah stek yang bertunas sebanyak 50,00% lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah, yaitu: 1 mL/L hanya 33,33%. Pertumbuhan selanjutnya tanaman mempunyai jumlah tunas yang cukup tinggi, yaitu: pada perlakuan atonik 1 mL/L tinggi tanaman 62 cm, jumlah tunas 6, jumlah daun 43 dan tanaman mulai berbunga pada 170 hst. Sedangkan pada perlakuan atonik 2 mL/L menghasilkan tinggi tanaman 62 cm, jumlah tunas 5, jumlah daun 31, dan mulai berbunga pada 178 hst (Tabel 1.). Atonik mengandung senyawa nitroorganik yang berfungsi merangsang proses fisiologi dan metabolisme sehingga unsur hara di dalam tanaman dan hasil serapan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berimbang. Sesuai dengan hasil penelitian (Moko dkk., 1993) pemberian

Mawar hijau (Rosa x odorata “viridiflora�) atau green rose termasuk bunga yang steril, benangsari terbentuk akan tetapi termodifikasi menjadi tajuk bunga. Pertumbuhan dan perkembangan bunga dari kuncup sampai mekar penuh memerlukan waktu 75 hari, bunga mekar dapat bertahan sampai 25 hari. Perbanyakannya dapat dilakukan dengan stek, rootone F serbuk merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat memacu terbentuknya perakaran, presentase stek hidup tertinggi (66,67%), stek paling cepat terbentuk tunas (25 hst) dan paling cepat menghasilkan bunga (147 hst). Bunga mawar hijau termasuk bunga yang tidak disukai serangga.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan di unit kerja Pembibitan Kebun Raya Eka Karya Bali dalam membantu pelaksanaan penelitian dan rekan I Dewa Putu Darma yang membantu menggambar ilustrasi bunga.

DAFTAR PUSTAKA Arinasa, I.B.K. dan I. P. Astuti. 1999. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in the Bali Botanic Garden. Bali: Indonesian Institute of Science, Indonesia Botanic Garden. Brickell, C. 1996. Encyclopedia of Garden Plants. The Royal Horticultural Society A-Z. London: Dorling Kindersley Limited. Gardner, F.P; R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. (Terjemahan). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hartman, T.H., D.E. Kester, F.T. Davies, and R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation. Principles and Practice. Upper Saddle River, NJ.: Prentice Hall. Kartapradja, R. 1997. Perbaikan varietas dan teknologi produksi bunga mawar. Dalam Kusumo, S., Saifullah dan T. Sutater. Jakarta: Balai Penelitian Tanaman Hias. Puslitbang Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Moko, H., E. Rachmat dan S.M.D. Rosita. 1993. Respon meniran terhadap penggunaan zat pengatur tumbuh. Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung 2 (4). Bogor: 29-30. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan (3). Bandung: Penerbit ITB. Sudrajat, H. dan S.Wahyono. 2002. Pengaruh Rootone-F. terhadap stek batang poko (Mentha arvensis L.). Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Bogor: 328-334.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 185-190

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); Deskripsi dan Sifat-sifat Lainnya Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); description and other characteristics SUMARWOTO♥ Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta 55283 Diterima: 26 Pebruari 2004. Disetujui: 4 Juni 2005.

ABSTRACT The aims of the research was to asses describe and find out the others iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) properties on the vegetative growth and age until reach the generative growth. The research was conducted at the experimental fields of Bogor Agricultural University, Darmaga from November, 1999 to May, 2003 and at the experimental field of the Agricultural Technology Assesment Installation Unit, Sukabumi from February 2001 to April, 2002. It was found that iles-iles showed positive responses to shading, good drainage, and application of high manure (organic matter).The phenological study gave additional information on describing this species and also on cultivation aspects such us: planting distance, planting depth, the best time of harvest, and concentration of tuber and bulbil glucomannan. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Amorphophallus muelleri Blume, description, glucomannan, tuber, bulbil.

PENDAHULUAN Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume; sin. A. blumei (Scott.) Engler; sin. A. oncophyllus Prain) termasuk famili Araceae, merupakan jenis tanaman umbi yang mempunyai potensi dan prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Selain mudah didapatkan, tanaman ini juga mampu menghasilkan karbohidrat dan indeks panen tinggi. Dewasa ini kebutuhan makanan pokok utama berupa karbohidrat masih dipenuhi dari beras, diikuti jagung dan serealia yang lain. Sumber karbohidrat dari jenis umbi-umbian, seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, kimpul, uwi-uwian, ganyong, garut, suweg dan iles-iles pemanfaatannya belum optimal sehingga masih terbatas sebagai bahan makan alternatif di saat paceklik (Kriswidarti, 1980, 1981; Rijono, 1999). Amorphophallus spp. awalnya ditemukan di daerah tropik dari Afrika sampai ke pulau-pulau Pasifik, kemudian menyebar ke daerah beriklim sedang seperti Cina dan Jepang. Jenis A. muelleri Blume, awalnya ditemukan di Kepulauan Andaman India, menyebar ke arah timur melalui Myanmar masuk ke Thailand dan ke Indonesia (Jansen et al. 1996). Tanaman ini merupakan tanaman terna hidup panjang, daunnya mirip sekali dengan daun Tacca (Heyne, 1987). Tunaman ini tumbuh dimana saja seperti di pinggir hutan jati, di bawah rumpun bambu, di tepi-tepi sungai, di semak belukar dan di tempat-tempat di bawah naungan yang bervariasi. Untuk mencapai produksi umbi yang tinggi diperlukan naungan 50-60% (Jansen et al. 1996). Tanaman ini tumbuh dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut, dengan suhu antara 25-35oC, sedangkan curah hujannya antara 300-500 mm per bulan selama periode pertumbuhan. Pada suhu di atas 35o C ♥ Alamat korespondensi: Kampus UPN “Veteran”. Jl. SWK 104 Lingkar Utara Condongcatur Yogyakarta 55283 Tel. +62-274-486692. Fax.: +62-274-486693. e-mail: aaries37@telkom.com

daun tanaman akan terbakar, sedangkan pada suhu rendah menyebabkan iles-iles dorman (Idris, 1972; Perum Perhutani, 1995). Iles-iles termasuk tipe tumbuhan liar (wild type) (Yuzammi, 2000), sehingga di kalangan petani Indonesia tidak banyak dikenal. Tumbuhnya bersifat sporadis di hutan-hutan atau di pekarangan-pekarangan, dan belum banyak dibudidayakan (Hartanto, 1994). Menurut Ermiati dan Laksmanahardja (1996); Hetterscheid dan Ittenbach (1996), iles-iles dapat tumbuh baik pada tanah bertekstur ringan yaitu pada kondisi liat berpasir, strukturnya gembur, dan kaya unsur hara. Di samping itu juga memiliki drainase baik, kandungan humus yang tinggi, dan memiliki pH tanah 6 - 7,5 (Jansen et al. 1996). Lebih lanjut Lingga et al. (1989) menyatakan bahwa memang belum banyak ahli agronomi yang tertarik untuk meneliti aspek-aspek budidaya tumbuhan ini, sehingga pustakanyapun langka. Disadari bahwa deskripsi suatu tumbuhan merupakan hal yang penting, karena mengandung informasi tentang ciri-ciri dan sifat-sifat iles-iles yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam penelitian para pemulia tanaman dan budidaya iles-iles. Beberapa sumber menunjukkan bahwa deskripsi atau ciri-ciri iles-iles belum lengkap, termasuk data pengamatan pada setiap periode tumbuh. Untuk itu agar dapat dikenal dan diketahui lebih mendalam oleh para petani, masyarakat, dan peneliti, deskripsi tumbuhan ini perlu dilengkapi dan dikaji lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian tentang deskripsi iles-iles yang lebih mendalam dan lengkap. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan deskripsi dan sifat-sifat lain iles-iles, sekaligus melengkapi data atau keterangan yang sudah ada sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam budidaya iles-iles. Disamping itu diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi para peminat, pemulia dan peneliti iles-iles.


186

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 185-190

BAHAN DAN METODE Bahan dan pelaksanaan Bahan tanaman diperoleh dari induk tanaman iles-iles berasal dari kebun Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Saradan, Madiun, Jawa Timur berupa tanaman pada stadium masak buah. Cara kerja Awal penanaman biji dilakukan di kebun percobaan Darmaga, IPB pada ketinggian tempat 250 m dpl, musim hujan tahun 2000 di bawah paranet 50% dengan jarak tanam rapat 30x30 cm2 sejumlah 400 polibag. Periode selanjutnya ditanam di bawah tanaman sengon atau 2 Paraserianthes falcataria yang berjarak tanam 1x4 m di kebun percobaan Darmaga dan di bawah tanaman kelapa atau Cocos nucifera berjarak tanam 9x9x9 m3 di kebun Cicurug, Sukabumi pada ketinggian tempat 550 m dpl. Penanaman iles-iles menggunakan jarak tanam 75x75 cm2 dan ukuran lubang tanam 25x25x25 cm3. Pupuk yang diberikan 500 g pupuk kompos dan 25 g pupuk majemuk NPK (15:15:15) tiap lubang tanam. Penanaman dilakukan secara bertahap dan terus menerus mulai benih, bibit, dan tanaman di lapang sampai empat periode tanam, sehingga diperoleh tanaman yang menghasilkan bulbil, bunga dan buah. Pada setiap periode pertumbunan tanaman, dilakukan pengamatan secara intensif terhadap 15 tanaman sampel yang diambil secara acak dari populasi tanaman yang tumbuh. Pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman dilakukan secara manual dan menyemprot dengan pestisida. Adapun pemeliharaan lain dilakukan terhadap tanaman peteduh (pohon sengon atau pohon kelapa), terutama ranting, cabang kering dan daun yang rimbun diatur dengan cara memangkas. Pelaksanaan penelitian pada bulan Nopember 1999 s.d. April 2003. Analisis data Penelitian menggunakan metode deskriptif yaitu metode dalam meneliti suatu obyek atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, dengan tujuan membuat pencandraan (karakter) secara sistematis, faktual dan akurat mengenai sifat-sifat atau karakteristik serta hubungan fenomena yang diamati (Suryabrata, 2003). Pengamatan dilakukan terhadap semua ciri tanaman meliputi organ vegetatif dan generatif serta sifat-sifat lain seperti kadar glukomanan pada berbagai tahap periode tumbuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan pertumbuhan tanaman di dua lokasi yang berbeda tingkat peneduhan, menunjukkan bahwa dalam budidaya iles-iles peteduh mutlak diperlukan. Untuk menentukan derajat peneduhan yang tepat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Menurut Jansen et al., (1996) untuk memperoleh pertumbuhan yang lebih baik, diperlukan peteduh 50-60%. Panjang siklus hidup mulai pesemaian sampai dihasilkan tanaman berbuah dan masak, dipengaruhi oleh adanya musim hujan pada saat mulai pesemaian atau tanam. Pesemaian dimulai November 1999 sampai dengan dihasilkan buah masak memerlukan waktu 38-43 bulan. Rincian waktu dalam satu siklus hidup sebagai berikut: waktu semai 1,5-2 bulan, pertumbuhan dalam polibag 1,5-2 bulan, tumbuh di lapangan pertama 5-6 bulan, dorman pertama 4 bulan, tumbuh di lapangan kedua 5-6 bulan, dorman kedua 4 bulan, tumbuh di lapangan ketiga 56 bulan, dorman ketiga 4 bulan, pembungaan sampai buah

masak 8-9 bulan. Umbi mulai berbunga jika telah mencapai ukuran tertentu yaitu lebih berat dari 500 g, dan telah memasuki minimal dua kali masa pertumbuhan vegetatif. Pertumbuhan selanjutnya diduga bergantian antara pertumbuhan vegetatif dan generatif. Informasi tentang umur mulai berbunga iles-iles belum ada sumber yang menerangkan, sedangkan untuk A. konjac berbunga setelah tanaman berumur 4 tahun (Jansen et al., 1996). Tanaman iles-iles selengkapnya disajikan pada Gambar 1-10. Karakteristik morfologi bagian vegetatif dan generatif, cara perbanyakan tanaman dan perkembangan kadar glukomanan sebagai ciri-ciri iles-iles dari hasil penelitian dan berbagai sumber yang diperoleh disajikan pada Tabel 1. Hasil pengamatan terhadap ciri-ciri iles-iles pada Tabel 1, merupakan koreksi sekaligus melengkapi terhadap data yang telah ada seperti yang disajikan olen Jansen et al. (1996), Ambarwati et al. (2000), dan Sufiani (1993). Dari Tabel tersebut dapat diketahui, perbedaan dan kesamaan serta ciri-ciri lain yang belum pernah ada sebelumnya. Terjadinya perbedaan keterangan, diduga data sebelumnya merupakan hasil pengamatan dari pertumbuhan tanaman di lapangan untuk tanaman yang telah dewasa saja (telah mencapai umur maksimum). Adapun data hasil penelitian diperoleh dari berbagai tingkat periode tumbuh dan masih merupakan proses domestikasi tumbuhan liar seperti ilesiles. Dengan demikian hasil penelitian ini memberikan data deskripsi dan sifat-sifat lain iles-iles yang lebih lengkap dalam satu siklus hidup. Data garis tengah daun, ukuran umbi dan kadar glukomanan pada setiap periode pertumbuhan menunjukkan ukuran yang berbeda-beda. Iles-iles yang semakin banyak memasuki pertumbuhan vegetatif, ukuran garis tengah daun, hasil umbi, maupun kadar glukomanan umbi juga semakin besar. Hal ini dapat diperoleh keterangan bahwa, dalam melakukan penanaman iles-iles jarak tanam hendaknya disesuaikan dengan masa periode tumbuhnya. Periode tumbuh pertama jarak tanam berkisar 2 37,5x37,5 cm , sedangkan periode kedua berkisar menjadi 57,5x57,5 cm2 dan periode ketiga meningkat menjadi 2 hampir dua kali lipat kurang lebih menjadi 100x100 cm . Apabila bahan tanaman berupa umbi, agar diperoleh pertumbuhan tanaman yang baik, kedalaman tanam perlu disesuaikan dengan ukuran (bobot) umbi yang ditanam. Jika bibit berupa bulbil besar kedalaman tanam cukup 5 cm, sedangkan umbi berukuran bobot kurang dari 200 g kedalaman tanam 10 cm, dan jika umbi lebih berat lagi menjadi lebih dalam sampai kurang lebih 15 cm. Panen sebaiknya dilakukan pada keadaan kadar glukomanan umbi sudah maksimum, yaitu setelah tanaman memasuki tiga periode tumbuh dan batang semu terkulai dengan helaian daun berwarna kuning. Tinggi rendahnya kadar glukomanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, jenis tanaman, umur tanaman, lama waktu setelah panen (Outsuki, 1968; Irawati, 1985; Syaefullah, 1990), dan perlakuan menjelang pengeringan, bagian yang digiling, serta alat yang digunaan (Suhirman et al., 1995). Oleh karena itu kadar glukoanan bervariasi sebagai berikut: 24,4-58,3% (Hanif, 1991), 54,3-58,3% (Sait, 1995), 64,98% (Arifin, 2001), Âą 35% (Perum Perhutani, 1995), dan 30% (Purwadaria, 2001). Untuk itu hasil penelitian ini, khususnya data berbagai tingkat periode tumbuh sampai menghasilkan buah masak, variasi kadar glukomanan, merupakan informasi yang penting bagi lingkungan agronomi dan para pemulia tanaman iles-iles. Diharapkan dapat melengkapi data yang telah ada dan dapat mendorong para peminat iles-iles dalam melakukan penelitian yang lebih komprehensif.


SUMARWOTO – Deskripsi Amorphophallus muelleri Bl.

187

Gambar 1. Bibit umur 2 bst di polibag.

Gambar 2. Tanaman dewasa.

Gambar 3. Tanaman di lapang dua periode tumbuh.

Gambar 4. Umbi hasil panen.

Gambar 5. Biji telanjang.

Gambar 6. Bumbil (umbi daun).

Gambar 7. Bibit di pesemaian.

Gambar 8. Bunga kuncup.

Gambar 9. Bunga mekar penuh.

Gambar 10. Buah masak.

Tabel 1. Perbandingan deskripsi iles-iles atau Amorphophallus muelleri Blume, perbanyakan tanaman dan kadar glukomannan hasil penelitian dengan beberapa sumber informasi yang diperoleh peneliti. Deskripsi dan sifat-sifat lain iles-iles Macam ciri

Hasil penelitian

Daun Warna dan keadaan tangkai Bervariasi warna hijau muda sampai hijau tua dan daun atau batang semu. ada bercak putih kehijauan (variasi sangat tinggi).

Permukaan tangkai daun Permukaan daun Bentuk anak helaian daun Jumlah helaian anak daun Warna tepi daun Warna daun Garis tengah kanopi daun

Halus dan licin Halus bergelombang Elip dengan ujung daun runcing Saat flushing berturut-turut 3, 4-5, 5-6 akhirnya 6 helaian anak daun bercabang-cabang dengan 3 anak tangkai daun. Ungu muda (daun muda), hijau (daun umur sedang) dan kuning (daun tua), lebar garis tepi daun 0,3-0,5 mm Hijau muda sampai hijau tua 25-50 cm, satu periode tumbuh 40-75 cm, dua periode tumbuh 50-150 cm, tiga periode tumbuh

Jansen et al. (1996)

Ambarwati et al. (2000)

Sudarsono & Abdulmanaf (1965) cit. Sufiani (1993)

Hijau sampai dengan kecoklatan dengan bercak coklat mudahijau abu-abu bercak kehijauan, kecoklatan Licin Lanset -

Hijau muda sampai hijau tua, bercak putih. Hijau muda sampai tua bergaris dan bercak putih

Hijau muda sampai hijau tua bercak putih

Licin -

Licin -

-

Ungu (daun muda)

Ungu muda (daun muda)

75-200 cm

Hijau sampai hijau tua -

-


SUMARWOTO – Deskripsi Amorphophallus muelleri Bl.

189 Batang, umbi dan bulbil Letak batang Garis tengah batang semu (diukur 10 cm dari tanah)

Bersatu berada sebelah atas umbi, di dalam tanah

-

-

-

5-10 mm, satu periode tumbuh 15-25 mm, dua periode tumbuh 25-50 mm, tiga periode tumbuh Kuning kecoklatan-krem; coklat

-

-

-

Coklat tua

Kelabu kecoklatan

Kelabu coklat

Kuning muda

Kuning

Kuning

-

-

-

-

-

-

Sampai 3000 g

-

-

-

Kasar

-

Ada bulbil

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Halus

Halus

5-6 bulan 40-180 cm

25-40 cm

-

-

Seperti tombak, tetapi pendek dan tidak runcing

-

-

Bunga tersusun atas seludang bunga, putik dan benangsari Seludang pendek, bentuk agak bulat, semi tegak ada satu buah. Warna pink coklat muda, bercak putih -

-

Warna luar umbi batang; bulbil (umbi daun atau umbi tetas atau “katak�) Warna dalam umbi batang; Kuning-kuning kecoklatan; kuning bulbil Warna keripik (gaplek) umbi Putih susu-coklat susu dengan butiran-butiran kristal glukomanan kekuning-kuningan Bentuk umbi batang Bulat agak lonjong berserabut akar dengan bangun teratur Bobot umbi batang 50-200 g, satu periode tumbuh 250-1350 g, dua periode tumbuh 450-3350 g, tiga periode tumbuh Permukaan umbi batang; Halus-Kasar; kasar bulbil Letak bulbil Pada percabangan tulang daun dan anak daun, di atas percabangan tangkai daun pada umbi batang Bentuk bulbil Bulat simetris (bagian tengah); lonjong (dipercabangan tulang daun) Garis tengah bulbil tengah 10-45 mm (tergantung umur tanaman induk dan (sentral) letak di daun) Batang, umbi dan bulbil Bobot bulbil 1-23 g (tergantung umur tanaman induk dan posisi letak pada daun) Garis tengah bulbil 1-5 cm (tergantung umur tanaman & posisi letak pada daun) Susunan jaringan umbi dan Halus bulbil Masa dorman umbi & bulbil 4-5 bulan Tinggi tanaman 20-50 cm, satu periode tubuh 40-75 cm, dua periode tumbuh 75-175 cm, tiga periode tumbuh atau lebih dan dipengaruhi lingkungan tumbuh Bunga Bentuk bunga (cone) Seperti tombak ujung tumpul (Garis tengah 4-7 cm) dan tinggi 10-20,5 cm Sebagian besar bunga muncul pada awal musim hujan, dan sebagian kecil pada akhir musim kemarau Bersifat uniseksual Susunan bunga Bunga tersusun atas seludang bunga, putik dan benangsari. Seludang bunga

Putik Bagian bunga betina dari tongkol Benangsari

Bagian bunga jantan dari tongkol Tangkai bunga

Seludang bunga pendek bentuk agak bulat, agak tegak, satu buah. Bagian bawah hijau keunguan bercak putih, bagian atas jingga bercak putih, tinggi 20-28 cm; garis tengah 6-8 cm. Merah hati (maroon) Tinggi 6-9 cm, Garis tengah 2-4 cm

-

-

Letak benangsari di atas putik Benangsari terdiri atas benangsari fertil (bawah) dan benangsari steril (atas). Bagian steril: kuning kecoklatan, fertil: hijau

-

Tinggi 6 -7,5 cm; garis tengah 2-3 cm.

-

Tinggi 25-45 cm dari permukaan umbi Garis tengah 16,5-28 mm Hijau muda sampai tua berbercak putih kehijauan

-

-

-

Benang sari di atas putik terdiri atas fertil (bawah), steril (atas) Bagian steril: coklat muda sampai tua, fertil hijau Sedang, 25-40 cm -

-

Hijau muda sampai tua bercak putih Licin

Halus dan licin

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Silindris

-

-

Setiap buah 2-3 biji

-

-

Umur buah sampai masak

Berdaging dan majemuk Berwarna hijau waktu muda, kuning kehijauan mulai tua dan orange-merah waktu masak (tua) Bentuk lonjong, meruncing ke pangkal Garis tengah 40-80 mm; Tinggi 10-22 cm 100-450 butir & rata-rata 300 butir per tongkol buah Bentuk oval; Garis tengah, termasuk kulit 8-15,5 mm Tinggi, termasuk kulit biji 10-18 mm Setiap buah terdapat 2-4 lembaga (biji atau ovule) Sifat apomiksis 8-9 bulan dari mulai pembungaan (keluar bunga)

-

-

-

Masa dorman biji

1-2 bulan

5-6 bulan

-

-

Warna dan gambaran tangkai bunga Permukaan tangkai bunga Buah Tipe Warna Bentuk tandan buah Jumlah buah

-


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 185-190

Perbanyakan dan pergantian daun Perbanyakan tanaman

Vegetatif: umbi batang, bagian umbi batang; umbi daun (bulbil) dan daun (stek daun) Generatif: biji Flushing (pergantian daun Tanaman asal biji 3-4 kali dalam satu periode tumbuh) Tanaman asal bulbil atau umbi 0-1 kali Tumbuh Dalam budidaya Masa tumbuh setiap periode 5-6 bulan Kadar glukomanan Kadar glukomanan umbi 35-39%, satu periode tumbuh 46-48%, dua periode tumbuh 47-55%, tiga periode tumbuh 43-49%, bunga muncul (masih kuncup) 40-45%, bunga mekar 32-37%, masa pengisian biji 32-35%, buah mulai masak Kadar glukomanan bulbil 25-30%

KESIMPULAN Deskripsi dan sifat-sifat lain tanaman iles-iles yang disajikan merupakan data yang lebih lengkap, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman para peminat, dan peneliti iles-iles. Diperoleh informasi penting untuk teknik budidaya dalam hal pengaturan jarak tanam. Pada periode tumbuh pertama kisaran jarak tanam 37,5x37,5 cm2; periode tumbuh kedua menjadi 57,5x57,5 cm2; dan ketiga 2 meningkat berkisar menjadi 100x100 cm . Ditinjau dari kandungan glukomanan umbi, telah diperoleh informasi penting mengenai saat panen yakni setelah tanaman memasuki periode vegetatif minimal dua kali dengan kadar glukomanan lebih besar 41,8%. Ditinjau dari bobot umbi, agar diperoleh bobot maksimum saat panen dapat diperpanjang yakni setelah tanaman memasuki periode vegetatif tiga kali atau lebih.

DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, E., R.H. Murti, Haryadi, A. Basyir, dan S. Widodo. 2000. Eksplorasi dan Karakterisasi Iles-iles. Yogyakarta: LP UGM Bekerjasama dengan BPPTPPP/ PAATP Balitbangtan. Arifin, M.A. 2001. Pengeringan Keripik Umbi Iles-iles secara Mekanik untuk Meningkatkan Mutu Keripik Iles. [Tesis]. Bogor: Teknologi Pasca Panen. PPS IPB. Ermiati dan M.P. Laksmanahardja. 1996. Manfaat iles-iles (Amorphophallus sp.) sebagai bahan baku makanan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 15 (3): 74-80. Hanif, Z. 1991. Pengaruh Cara Pengeringan dan Cara Ekstraksi terhadap Rendemen dan Mutu Tepung Mannan Umbi Iles-iles Kuning (Amorphophallus oncophyllus Prain). [Skripsi]. FATETA. IPB. Hartanto, E.S. 1994. Iles-iles tanaman langka yang laku dikespor. Buletin Ekonomi 19 (5): 21-25. Hetterscheid, W. and S. Ittenbach. 1996. Everything you always wanted to know about Amorphophallus, but were afraid to stick your nose into. Aroideana 19: 7-131. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan.

190

Vegetatif: umbi atau bagian umbi dan bulbil Generatif: biji 6 bulan

Vegetatif: umbi batang, umbi bibit Generatif: biji -

-

Lebih tinggi daripada A. variabilis

41,3%

Tinggi sampai dengan sangat tinggi

-

-

-

Liar -

Idris, A. 1972. Pengamatan jenis Amorphophallus dan tempat tumbuhnya di pulau Jawa. Buletin Kebun Raya Bogor 3 (4): 101-107. Irawati, T. 1985. Standar dan Metoda Analisis Iles-iles. [Karya Ilmiah]. Bogor: Pusbinlat Idustri Sekolah Analisis Kimia Menegah Atas, Departemen Perindustrian. Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In Flach, M. and F. Rumawas (eds.). PROSEA: Plant Resources of South-East Asia No 9. Plant Yielding Non-seed Carbohydrates. Leiden: Backhuys Publishers. Kriswidarti, T. 1980. Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl) kerabat bunga bangkai yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya 4 (5): 171-173. Kriswidarti, T. 1981. Pengamatan morfologi jenis-jenis Amorphophallus di Jawa. Dalam: Penelitian Peningkatan Pendayagunaan Sumberdaya Hayati. [Laporan Teknik 1981-1982]. Bogor: Lembaga Biologi Nasional, LIPI. Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P.C. Rahardja, J.J. Afriastini, W. Rini, dan W.H. Apriadji. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Jakarta: Penebar Swadaya. Outsuki, T. 1968. Studies on reserve carbohydrates of flour Amorphophallus species, with special reference to mannan. Botanical Magazine Tokyo 81: 119-126. Perum Perhutani. 1995. Iles-iles (Amorphophallus oncophyllus). Surabaya: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Purwadaria, H.K. 2001. Pengembangan Proses Fraksinasi untuk Meningkatkan Mutu Tepug Iles-iles (Konjac Flour) untuk Ekspor. [Laporan Akhir Tahun RUT VIII-1 Tahun Anggaran 2001]. Bogor: FATETA IPB. Rijono. 1999. Buku Pengelolaan Tanaman Iles-iles (Amorphophallus onchophyllus). Madiun: Perum Perhutani KPH Saradan, Madiun, Jawa Timur. Sait, S. 1995. Mutu umbi iles-iles liar (Amorphophallus oncophyllus) Jawa sebagai bahan baku industri. Warta AKAB 6: 15-21. Sufiani, S. 1993. Iles-iles (Amorphophallus); jenis, syarat tumbuh, budidaya dan standar mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 12: 11-16. Suhirman, S., S. Yuliani, E. Imanuel, dan M.P. Laksmanahardja. 1995. Penelitian Pengolahan Lanjut dan Penganekaragaman Hasil Tanaman Iles-iles. [Laporan Hasil Penelitian Tanaman Industri]. Bogor: BALITRO. Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Syaefullah, M., 1990. Studi Karakteristik Glukomanan dan Sumber “Indegenous� Iles-iles (Amorphophallus oncophyllus) dengan Variasi Proses Pengeringan dan Dosis Perendaman. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Yuzammi. 2000. A Taxonomic Revision of the Terrestrial and Aquatic Aroids (Araceae) in Java. [Thesis]. Sidney: School of Biological Science, Faculty of Life Science, University of New South Wales.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 190-193

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Pertumbuhan Vegetatif pada Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. di Kebun Raya Cibodas Vegetative growth of of Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. at Cibodas Botanic Garden R. SHOLIHIN♥, R. SUBEKTI PURWANTORO UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cipanas Cianjur 43253 Diterima: 3 Pebruari 2005. Disetujui: 14 April 2005.

ABSTRACT A study on the growth of vegetative stadium of Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. has been carried out in Cibodas Botanic Garden. Two bulbs are planted as collection plants since June second 2000. The big one, before dormant was in generative stadium and the other bulb is small one, before dormant was in vegetative stadium. The result of this study indicate that the growth of the big bulb longer than small one. The effect of different stadium before dormant cause the early growth of big bulb is longer than the small one. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Amorphophallus titanum, growth.

PENDAHULUAN

BAHAN DAN METODE

Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. atau lebih dikenal dengan nama bunga bangkai merupakan salah satu anggota suku talas-talasan (Araceae) yang dikelompokkan sebagai jenis tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al. 2001). Menurut Mogea et al. (2001) A. titanum disebut bunga bangkai karena pada waktu bunga mekar mengeluarkan bau busuk yang dapat tercium sampai radius 100 m. Selanjutnya dikatakan bahwa bau tersebut berasal dari asam amino yang keluar melalui permukaan tongkol. Bau busuk yang muncul pada waktu bunga mekar menarik perhatian bagi jenis-jenis serangga pengunjung yang aktivitasnya dapat membantu penyerbukan tumbuhan langka tersebut. Burkill (1966) melaporkan bahwa bunga raksasa yang ukurannya demikian besar tersebut memiliki kombinasi warna merah, hijau, dan kuning emas. Menurut Idris (1974) pengertian masyarakat awam yang disebut bunga pada A. titanum adalah seludang bunganya, sedangkan bunga yang sebenarnya terletak pada permukaan tongkol bagian bawah yang terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Selanjutnya dikatakan bahwa batang vegetatif merupakan batang semu, batang yang sebenarnya terletak di antara batang semu (tangkai daun) dan umbi batangnya. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan vegetatif pada A. titanum yang dikoleksi di Kebun Raya Cibodas pada diameter umbi yang berbeda. Di samping itu penelitian ini juga untuk mengetahui pengaruh perbedaan stadium sebelum masa dorman.

Penelitian dilakukan pada A. titanum koleksi Kebun Raya Cibodas yang ditanam pada ketinggian 1.350 m dpl. selama 4 tahun sejak 2 Juni 2000 sampai 23 April 2004. Umbi berukuran besar (A) dengan diameter 58 cm, umbi kecil (B) dengan diameter 37 cm. Penanaman dilakukan pada lubang kedalaman 80x80x60 cm. Sebelum ditanam media tanam diberi pupuk kandang ½ karung dicampur dengan I karung humus. Dua umbi tersebut ditanam berjarak 5 m dengan keadaan lingkungan agak ternaungi. Untuk menghindari serangan babi hutan dilakukan pemagaran besi setinggi 1,5 m di sekitarnya. Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan menggunakan beberapa parameter: waktu tumbuh tunas, waktu muncul bakal daun, panjang tunas, diameter tunas, tinggi tanaman, diameter tunas vegetatif, diameter tajuk. Pencatatan data dihentikan setelah data yang didapatkan konstan.

♥ Alamat korespondensi: UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI. Kompleks Gd. IX/5, Jl. Juanda 13 Bogor 16122. Tel. & Fax.: +62-251-354150. e-mail: subekti27@yahoo.com.

HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut catatan di Registrasi Kebun Raya Cibodas A. titanum yang dikoleksi merupakan hasil eksplorasi oleh tim yang dipimpin R. Subekti Purwantoro, dengan anggota Didi Supardi, Dian Latifah, R. Sholihin, Ence Sulaiman, dan Dadang, pada tanggal 20 Juni 2000 berasal dari lokasi Bukit Sungai Talang, Dusun Sungai Manau Desa Sungai Kalu Dua Taman Nasional Kerinci Seblat Resort Batang Suliti Kec. Kota Parik Gadang Kab. Solok Sumatra Barat pada ketinggian 850 m dpl. Pengamatan awal pada pertumbuhan A. titanum koleksi Kebun Raya Cibodas (umbi berdiameter 58 cm) yang dilakukan oleh R. Sholihin ketika mekar pertama kali tinggi bunga mencapai 317 cm atau 3,17 m dan diameter bunga mencapai 154 cm atau 1,54 m.


SHOLIHIN dan PURWANTORO – Pertumbuhan Amorphophallus titanum

Pada Gambar 1 A. titanum ketika fase generatif sebelum terjadi masa dorman dapat dilihat bagian-bagian bunga yang terdiri atas bunga jantan dan bunga betina yang terletak pada permukaan tongkol bagian bawah. Bunga betina terletak di bagian bawah dengan panjang bunga 2 cm, berbentuk kerucut, berwarna kuning kehijauan lebar tongkol betina 14-22 cm; bunga jantan terletak di atas bunga betina berbentuk bulat, berwarna kebiruan dengan lebar tongkol jantan 9-11 cm. Keadaan demikian tidak berbeda dengan yang dilaporkan oleh Mogea et al. (2001); Yuzammi dan Astuti (2001). Hasil pengamatan pertumbuhan fase vegetatif ditandai dengan munculnya tunas dari permukaan tanah. Tunas vegetatif berbentuk kerucut, tunas tersebut terbungkus oleh 5-6 daun penumpu/sisik dan kemudian diikuti oleh pertumbuhan calon daun.

191

5-6 daun penumpu/sisik dan kemudian diikuti oleh pertumbuhan calon daun. Pertumbuhan umbi A (umbi besar) lebih lambat dari pada umbi B (umbi kecil) setelah melalui masa dorman. Pada Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa pengamatan minggu ke-47 tinggi tunas vegetatif umbi A (1.430 mm) lebih rendah dari tunas vegetatif umbi B (1.640 mm), tetapi pengamatan minggu ke 48 tinggi tunas umbi A lebih tinggi daripada umbi B. Tinggi tunas umbi A tidak bertambah lagi mulai minggu ke-54 hingga akhir pengamatan (minggu ke-66), demikian pula pada umbi B sejak minggu ke-54 hingga minggu ke-66 tinggi tunasnya tidak bertambah lagi (Gambar 2). Perubahan juga terjadi pada diameter tunas vegetatif A. titanum yang terjadi pada minggu ke-45 dan minggu ke-47 seperti terlihat pada Tabel 1 dan 3. Tabel 1. Parameter yang digunakan pada pertumbuhan A. titanum.

Minggu ke

Gambar 1. Bunga A. titanum pada umbi.

Menurut catatan di Registrasi Kebun Raya Cibodas A. titanum yang dikoleksi merupakan hasil eksplorasi oleh Tim R.S. Purantoro dkk., berasal dari lokasi Bukit Sungai Talang, Dusun Sungai Manau Desa Sungai Kalu Dua Taman Nasional Kerinci Seblat Resort Batang Suliti Kec. Kota Parik Gadang Kab. Solok Sumatra Barat pada ketinggian 850 m dpl. Pengamatan awal pada pertumbuhan A. titanum koleksi Kebun Raya Cibodas (umbi berdiameter 58 cm) yang dilakukan oleh R. Sholihin S.P. ketika mekar pertama kali tinggi bunga dapat mencapai 317 cm atau 3,17 m dan diameter bunga mencapai 154 cm atau 1,54 m. Pada Gambar 1. A. titanum ketika fase generatif sebelum terjadi masa dorman dapat dilihat bagian-bagian bunga yang terdiri atas bunga jantan dan bunga betina yang terletak pada permukaan tongkol bagian bawah. Bunga betina terletak di bagian bawah dengan panjang bunga 2 cm, berbentuk kerucut, berwarna kuning kehijauan lebar tongkol betina 14-22 cm; bunga jantan terletak di atas bunga betina berbentuk bulat, berwarna kebiruan dengan lebar tongkol jantan 9-11 cm. Keadaan demikian tidak berbeda dengan yang dilaporkan oleh Mogea et al. (2001), Yuzammi dan Astuti (2001). Hasil pengamatan pertumbuhan fase vegetatif ditandai dengan munculnya tunas dari permukaan tanah. Tunas vegetatif berbentuk kerucut, tunas tersebut terbungkus oleh

14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66

Tinggi Tunas (mm) Umbi Besar Kecil (A) (B) 0 4 10 20 30 43 34 48 38 53 42 55 46 57 48 61 53 65 54 70 58 75 60 80 89 91 95 102 106 117 113 120 120 138 135 155 150 173 158 183 173 265 285 272 385 470 340 635 382 788 466 897 510 1010 600 1130 695 1140 900 1290 1070 1320 1320 1500 1360 1580 1430 1640 1740 1670 2000 1680 2010 1690 2140 1700 2160 1740 2170 1750 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800 2180 1800

Diameter tunas Umbi Besar Kecil (A) (B) 43,3 86,6 66,6 86,6 80 103,3 96,6 120 107,6 133,3 130 133,3 150 150 176,6 150 195 150 201,6 150 210 153,3 216,6 153,3 216,6 156,6 221,6 156,6 221,6 156,6 223,3 160 225 163,3 226,6 163,3 226,6 163,3 226,6 163,3 226,6 163,3 226,6 163,3 228,3 163,3 228,3 163,3 228,3 163,3 228,3 163,3 228,3 163,3

Diameter tajuk Umbi Besar Kecil (A) (B) 86,6 120 166,6 60 496,6 76,6 570 466,6 683,3 550 766,6 630 770 750 773,3 845 811,6 786,6 818,3 790 845 920 866,6 1033,3 871,66 1028,3 871,66 1045 871,5 1001,6 875 1038,5 883,3 1043,3 886,6 1040 886,6 1038,5 886,6 1038,5 886,8 1038,5 886,6 1038,5 886,6

Tinggi tanaman Umbi Besar Kecil (A) (B) 1340 2180 1860 2290 2560 2410 2830 2520 2940 2610 3170 2630 3310 2640 3360 2665 3385 2615 3400 2670 3400 2680 3400 2680 3430 2680 3430 2725 3430 2725 3430 2725 3430 2725 3430 2725


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 190-193

192

Tabel 2. Pertumbuhan tunas vegetatif A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter Tinggi tunas (mm)

47 Umbi besar (A) 1430

Umbi kecil (B) 1640

Minggu ke: 48 Umbi besar (A) Umbi kecil (B) 1740 1670

61 Umbi besar (A) 2180

Umbi kecil (B) 1800

Tabel 3. Diameter tunas vegetatif pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter Diameter tunas vegetatif (mm)

45 Umbi besar (A) 130

Umbi kecil (B) 133,3

Minggu ke: 47 Umbi besar (A) Umbi kecil (B) 176,6 150

Umbi besar (A) 201,6

Minggu ke: 51 Umbi besar (A) Umbi kecil (B) 2560 2410

Umbi besar (A) 3430

Minggu ke: 52 Umbi besar (A) Umbi kecil (B) 815,3 767,5

Umbi besar (A) 1092,3

49 Umbi kecil (B) 150

Tabel 4. Tinggi tanaman pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter Tinggi tanaman (mm)

50 Umbi besar (A) 1860

Umbi kecil (B) 2290

61 Umbi kecil (B) 2725

Tabel 5. Diameter tajuk pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter Diameter tajuk (mm)

51 Umbi besar (A) 592,3

Umbi kecil (B) 729,3

61 Umbi kecil (B) 867,8

Tabel 6. Waktu pemunculan bagian vegetatif dan mulai dorman pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas. Parameter Muncul tunas vegetatif Muncul bakal daun Mulai masa dorman

Umbi besar (A) 3 bulan 17 hari 8 bulan 3 tahun 5 bulan

Pengamatan minggu ke-45 diameter tunas vegetatif umbi A lebih kecil daripada umbi B, yaitu berturut-turut 130 mm dan 133,3 mm, tetapi 2 minggu kemudian (minggu ke47) diameter tunas umbi A (176,6 mm) lebih besar daripada umbi B (150 mm). Bertambahnya diameter tunas vegetatif terhenti pada minggu ke-56 (umbi B) disusul oleh umbi A pada minggu ke-57. Tidak bertambahnya diameter tunas tersebut berlangsung sampai akhir pengamatan (minggu ke-66) seperti terlihat pada Gambar 3. Pada tinggi tanaman yang diukur dari mulai tumbuh daun sampai dengan daun tumbuh dan berkembang secara maksimal. Perubahan tinggi tanaman dari kedua spesimen yang diamati terjadi pada minggu ke-50 dan minggu ke-51. Pada Tabel 1 dan 4 dapat dilihat bahwa pengamatan minggu ke-50 tinggi tanaman pada umbi A (1,860 mm) lebih pendek daripada tinggi tanaman umbi B (2,290 mm), seminggu kemudian tinggi tanaman pada umbi A (2,560 mm) lebih tinggi dari pada umbi B (2,410 mm). Pada Gambar 4 terlihat simpangan grafik yang menggambarkan perubahan tinggi tanaman dari 2 spesimen koleksi Kebun Raya Cibodas. Pada Gambar tersebut juga dapat dilihat tinggi tanaman umbi A tidak bertambah mulai minggu ke-61 hingga akhir pengamatan (minggu ke-66), keadaan demikian terjadi pada umbi B seminggu setelah itu. Pertumbuhan kedua spesimen A. titanum juga dapat dilihat berdasarkan diameter tajuk. Tabel 1 dan 5 memperlihatkan bahwa diameter tajuk pada umbi A dari awal sampai minggu ke-51 lebih kecil daripada diameter tajuk pada umbi B, namun mulai minggu

Umbi kecil (B) 3 bulan 10 hari 7 bulan 2 tahun 3 bulan

Keterangan Setelah tanam Setelah tunas Setelah tunas

ke-52 diameter tajuk pada umbi A lebih besar dari pada umbi B. Gambar 5 memperlihatkan tidak ada penambahan diameter tajuk. Mulai minggu ke-63 diameter tajuk umbi tidak bertambah hingga akhir pengamatan (minggu ke-66), sedangkan pada umbi B keadaan yang sama terjadi lebih awal yaitu minggu ke-60. Perubahan-perubahan yang terjadi pada keempat parameter pertumbuhan tersebut disebabkan perbedaan fase sebelum masa dorman. Pada umbi A sebelum masa dormansi mengalami fase generatif, sedangkan pada umbi B mengalami fase vegetatif. Menurut Idris (1974) awal fase dorman setelah fase generatif seperti pada umbi A, umbi dalam keadaan kempes/gembos setelah cadangan makanan yang ada digunakan untuk pertumbuhan bunga, sehingga setelah masa dorman fase pertumbuhan tunas vegetatif lebih lambat, sebaliknya umbi B yang sebelum masa dorman mengalami fase vegetatif lebih cepat tumbuh tunas. Tabel 6 menunjukkan bahwa perbedaan umur umbi mempengaruhi fase-fase pertumbuhan vegetatif pada A. titanum, pada umbi besar (A) muncul tunas, muncul bakal daun maupun waktu mulai masa dormansi lebih lama dibandingkan pada umbi kecil (B). Semakin besar ukuran umbi semakin besar pula energi yang diperlukan untuk proses pertumbuhannya. Menurut Darmawan dan Baharsyah (1983) besarnya umbi di dalam tanah tergantung pada pertumbuhan vegetatifnya, makin luas permukaan daunnya maka makin banyak hasil fotosintesis yang dihasilkan yang menyebabkan semakin besar ukuran umbinya.


SHOLIHIN dan PURWANTORO – Pertumbuhan Amorphophallus titanum

193

2500

tinggi tunas (mm)

2000

1500

A B 1000

500

0 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65

m in g g u k e :

Gambar 2. Pertumbuhan tunas vegetatif pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas. A: umbi besar; B: umbi kecil.

Gambar 5. Diameter tajuk pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas

KESIMPULAN Terdapat kecenderungan semakin besar ukuran umbi maka semakin lama pertumbuhan vegetatifnya. Umbi yang sebelum masa dorman mengalami pertumbuhan vegetatif, maka stadium awal pertumbuhan vegetatifnya lebih lama dari pada umbi yang sebelum masa dorman mengalami fase generatif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Gambar 3. Diameter tunas vegetatif pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yuzammi yang menekuni Suku Araceae yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mempublikasi hasil penelitian Amorphophallus titanum.

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 4. Tinggi tanaman pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Burkill, L.H. 1966. A dictionary of the Plant Economics Product of Malay Peninsula, Vol. I. Kuala Lumpur: Ministry of Agriculture and Cooperatives. Hammen, L. van der. 1947. Traces of ancient dichotomies in Angiosperms. Blumea 6(1): 290—301. Idris, S. 1974. Amorphophallus titanium Becc. (bunga bangkai). Buletin Kebun Raya 1 (3): 7-10. Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Herbarium Bogoriense P3 Biologi-LIPI. Yuzami dan I.P. Astuti. 2001. Amorphophallus gigas Teisjm.; terancam punah? Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia. Bogor: LIPI.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 194-198

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove plants in coastal area of Central Java: 2. Floristic composition and vegetation structure AHMAD DWI SETYAWAN

1,3,♼

, INDROWURYATNO1,2, WIRYANTO1,3, KUSUMO WINARNO1,3, ARI SUSILOWATI1

1

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 2 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 3 Program Studi Ilmu Lingkungan, Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126. Diterima: 11 September 2004. Disetujui: 1 Desember 2004.

ABSTRACT The study was intended to observe the vegetation composition and structure of mangrove plants on southern and northern coast of Central Java Province. This research was conducted in July till December 2003, at 20 sites. Laboratory assay was done in Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, and Central Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. Data was collected by using belt transect method, from coast line into landward. The result indicated that in common, the trees strata which also have shoots strata and strata of germs (seedlings); and bushes strata which also have strata of germs (seedlings), if they were compared to the same species then their important value tend to be stable. So it was predictable that in the disturbance condition, the preservation of mangrove was guaranteed, as long as there was no great change on a broad scale.

Š 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: mangrove plants, Central Java Province, composition and vegetation structure.

PENDAHULUAN Tumbuhan mangrove umumnya mudah dikenali karena memiliki sistem perakaran yang sangat menyolok, serta tumbuh pada kawasan pantai di antara rata-rata pasang dan pasang tertinggi (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis dan sub-tropis, didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya berhabitus pohon dan semak, dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah bersalinitas tinggi dan anaerob (MacNae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Aksornkoae, 1993; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003), namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa dkk., 2002). Komposisi dan struktur vegetasi mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998). Kawasan pantai utara dan selatan Jawa Tengah, merupakan bagian pulau Jawa yang secara dinamis mengalami perubahan. Ekosistem mangrove di kawasan ini memiliki bentuk yang beragam. Pantai utara Jawa Tengah

♼ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: uns_journals@yahoo.com

berbatasan dengan laut pedalaman, Laut Jawa, dengan hempasan gelombangnya relatif kecil. Sebaliknya pantai selatan berbatasan langsung dengan laut lepas, Laut Selatan (Samudera Hindia), dengan kondisi gelombangnya sangat besar. Hal ini menyebabkan fisiognomi dan fisiografi vegetasi mangrove di kedua kawasan tersebut berbeda (Steenis, 1958). Di pantai utara Jawa Tengah, sedimen dari sungai dan laut terendapkan pada lokasi-lokasi tertentu yang terlindung dan membentuk tidal flat (tanah lumpur pasang surut). Di pantai selatan, sedimen yang terbawa sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan gumuk pasir (sand dune), sehingga terbentuk laguna (Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk., 2000). Di pantai utara mangrove tidak hanya tumbuh di muara sungai, namun terutama pada kawasan tidal flat, sedangkan di pantai selatan hanya tumbuh di muara sungai. Di pantai selatan terdapat kawasan mangrove terluas di Jawa, yaitu laguna Segara Anakan, Cilacap, yang terbentuk karena adanya perlindungan dari gelombang laut oleh Pulau Nusakambangan dan masukan air tawar dari Sungai Citanduy dan lain-lain (Winarno dan Setyawan, 2003). Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi, energi dan keanekaragaman hayati (Dubayah dkk., 1997). Kanopi hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters dan Reich, 1997; Fahey dkk., 1998). Pengetahuan tentang struktur dan komposisi vegetasi hutan dapat menjadi dasar untuk memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan (Aumeeruddy, 1994). Kesempatan sebuah


SETYAWAN dkk. – Vegetasi mangrove di Jawa Tengah

pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung penampakan anak pohonnya (Clark dan Clark, 1991; Kobe dkk., 1995). Variasi ketersediaan sumberdaya ini beserta perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam menggunakannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan (Latham, 1992; Pacala dkk., 1996). Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan (Finzi dan Canham, 2000). Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar (Kobe dkk., 1995), sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996). Tumbuhan sering dibedakan berdasarkan habitusnya menjadi pohon, semak, dan herba. Pohon memiliki diameter batang > 10 cm, semak memiliki diameter < 10 cm, tetapi tingginnya > 1,5 m, sedangkan herba memiliki tinggi < 1,5 m. Dalam hal ini anak pohon dapat dikategorikan sebagai semak, sedangkan bibit pohon dan bibit semak dapat dikategorikan sebagai herba (Kusmana dan Istomo, 1995). Suksesi di hutan mangrove sangat aktif, arus pasang surut memungkinkan masuknya sedimen dan invasi berbagai spesies dari berbagai lokasi, dengan tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Perubahan fisik di dalam hutan mangrove seperti pengeringan, pembangunan kanalkanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan tambak, menyebabkan perubahan habitat mangrove (Tanaka, 1992), sehingga komposisi dan struktur vegetasi hutan ini dapat berubah-ubah (Odum, 1971). Deposisi sedimen dalam jumlah banyak juga dapat mempengaruhi ketinggian tanah, sehingga mempengaruhi distribusi dan komposisi tumbuhan mangrove (Callaway dan Zedler 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah, mencakup strata berhabitus: (i) pohon, (ii) semak dan anak pohon, serta (iii) herba, bibit (seedling) semak dan bibit pohon.

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di bibir/tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Alat dan bahan Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan mangrove dilakukan tahap-tahap sebagai berikut: koleksi, identifikasi, pembuatan herbarium, dan analisis vegetasi. Dalam hal ini diperlukan perahu motor

195

sebagai sarana transportasi di kawasan mangrove, khususnya di Wulan dan Segara Anakan yang luas. Koleksi. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan, etiket gantung, peta topografi, kompas dan teropong. Identifikasi. Alat yang digunakan adalah: mikroskop, mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau, pinset, dan buku identifikasi. Pembuatan herbarium. Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan herbarium kering adalah: sasak, kertas koran, kertas kardus, tali, gunting, pisau, oven, kertas herbarium, label herbarium, amplop herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening. Sedangkan pada pembuatan herbarium basah adalah: botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air. Analisis vegetasi. Alat yang digunakan pada dasarnya sama dengan alat untuk koleksi ditambah peralatan untuk membuat plot kuadrat meliputi: meteran, tali plastik, dan patok. Cara kerja Koleksi, identifikasi, dan pembuatan herbarium. Koleksi dilakukan di dalam plot kuadrat untuk sampling vegetasi. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi. Identifikasi spesies mangrove mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Identitas tumbuhan, yang meragukan dicocokkan dengan spesimen kering koleksi Herbarium Bogoriense, Bogor. Herbarium dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus pohon dan semak disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar, sedangkan herbarium basah digunakan untuk spesimen yang berair dan lembek, misalnya buah (Lawrence, 1951). Analisis vegetasi. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, yakni dengan meletakkan belt transect ukuran 10X60 m2, dari bibir pantai atau muara sungai ke arah daratan, yang di dalamnya terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan ukuran 10X10 m2 (habitus pohon), 5X5 m2 (habitus semak dan 2 anak pohon), serta 1X1 m (habitus herba, bibit semak, dan bibit pohon). Pada setiap lokasi dari ke-20 lokasi penelitian dibuat 18 plot kuadrat, sehingga terdapat 360 plot untuk setiap strata habitus. Semua spesies tumbuhan di dalam plot diidentifikasi dan diambil sampelnya untuk herbarium. Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap spesies pada setiap strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai penting. Nilai penting merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour dkk., 1987).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang dijumpai di area penelitian tercakup dalam analisis vegetasi, mengingat metode yang digunakan adalah belt transect, sehingga kawasan yang dicakup relatif terbatas. Dalam penelitian yang dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama dengan metode survai (penjelajahan) ditemukan 55 spesies (Setyawan dkk., 2005, dalam jurnal ini). Nilai penting setiap


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 194-198

196

spesies untuk setiap strata habitus disajikan pada Tabel 1. Dalam analisis vegetasi tumbuhan berhabitus pohon yang tercakup sebanyak 8 spesies, semak 5 spesies, adapun herba 5 spesies/kelompok spesies. Kedelapan tumbuhan berhabitus pohon tersebut adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans, Xylocarpus spp., dan Bruguiera spp. Kelima tumbuhan berhabitus semak tersebut adalah Acanthus ilicifolius, Acrostichum spp.,

Derris trifoliata, Pandanus tectorius, dan Calotropis gigantea. Adapun kelima tumbuhan berhabitus herba tersebut adalah Ipomoea pes-caprae, Sesuvium portulacastrum, kelompok rumput, rumput liar lain (belum teridentifikasi), serta kelompok teki. Kelompok rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex littoreus, sedangkan kelompok teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus spp. Tidak semua spesies yang tercakup

Tabel 1. Nilai penting spesies tumbuhan mangrove strata habitus pohon, strata habitus semak dan anak pohon, serta strata habitus herba, bibit semak, dan bibit pohon di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

0 0 0,14 0,13 0,17 0,1 0,17 0,20 ASO 0,31 0,18 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,20 0 0 0,15 0,18 0 0 0,07 0,23 ASO 0,29 0,12 0 ASO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07 0 0,12 0 0 0 0,06 ASO 0,17 0,10 0,13 0,17 0,20

Serayu

Bengawan

0,190 0,136 0,058 0,006 0,053 0,077 0,004 0,013

Strata habitus pohon MAY 0,45 0,69 0,41 0,15 0,22 0,15 0,07 0,51 0,09 0,42 0 0 0 0 MAY 0,19 0,04 0,1 0 0,09 0 0,08 0 0,06 0,06 0,6 0,18 0,13 0 0 0 0 MAY 0,51 0,1 0,18 0,36 0,42 0,33 0,06 0,22 0,83 0,33 0 0 0 0 0 0 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0,06 0 MIN 0 0 0 0 0,08 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,46 MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,17 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Strata habitus anak pohon dan semak

Ijo

Rata-rata

Cingcingguling

MAY 0,49 0,43 0,33 0,26 0,24 0,18 0,10 0,43 0,13 0,32 0 0 0 0 0,1 0 0 0,32 0 0 0,58 0,20 0,20 0 0 0,30 0,04 0,21 MAY 0,23 0 0,17 0 0,11 0 0,22 0 0 0 0,32 0,20 0,62 MAY 0,54 0,27 0,23 0,33 0,30 0,34 0,17 0,26 0,68 0,46 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0,11 0 MIN 0 0 0 0 0,18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,35 0,21 0,21 0,35 0 MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,23 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,14

Lukulo

0,175 0,026 0,109 0,022 0,075

Cakrayasan

0 0 0,14 0,18 0,17 0,10 0,17 0,20 0,17 0,06 0 0,18 0,22 0,25 0,23 0,39 0,52 3,49 ASO 0,33 0,18 0 0 0 0 0 0,07 0,13 0,10 0,51 MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0,03 0 0,10 0,08 0 0 0 0,15 0,18 0 0 0,07 0,23 0,11 0 0,07 0,14 0,18 0,11 0,14 0,18 0,21 2,18 ASO 0,29 0,12 0 0 0 0 0 0 0 0,44 ASO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07 0 0,20 0,17 0 0 0,17 0 0 0 1,50 ASO 0,14 0,13 0,13 0,17 0,2 0 0,13 0 0,04 0 0,09 0,13 0 0,17 0 Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba

Bogowonto

0,163 0,126 0,213 0,005 0,058 0,004 0,004 0,013

Lasem

0,19 3,26 0,19 2,52 0,17 4,25 0 0,10 0,47 1,16 0,07 0,08 0,04 0,08 0,07 0,25

Pasar Bangi

0,19 0,19 0,17 0 0,52 0,10 0,04 0,04

Juwana

MAY 0,40 0,39 0,37 0,19 0,18 0,16 0,10 0,34 0,10 0,32 0 0 0 0 0,10 0 0 0,23 0 0,28 0,03 0,19 MAY 0,19 0 0,13 0 0,10 0 0,21 0 0,09 0,06 0,50 0,20 0,16 0 0 0 0,28 0,13 0 0,48 MAY 0,52 0,20 0,19 0,19 0,26 0,29 0,11 0,23 0,45 0,46 0,12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0,10 0 MIN 0 0 0 0 0,17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,34 0,20 0,19 0,34 0 MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,19 0 MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,14

Tayu

0,186 0,113 0,235 0,003 0,046 0,085 0,004 0,007

Telukawur

3,71 2,26 4,70 0,06 0,91 1,69 0,08 0,14

Bulak

0,11 0,07 0,21 0 0,35 0,07 0,04 0,03

Serang

0,16 0,13 0,17 0 0,48 0,12 0,04 0,04

Sigrogol

0,1 0 0 0,18 0,04 0,27 0,1 0,12 0,25 0,1 0 0,63 0 0 0 0 0 0 0 0 0,25 0,2 0,42 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07

Wulan

Jumlah

Bibit pohon 1. Avicennia spp. 2. Sonneratia spp. 3. Rhizophora spp. 4. Excoecaria agallocha 5. Aegiceras corniculatum 6. Nypa fruticans 7. Xylocarpus spp. 8. Bruguiera spp. Bibit semak 9. Acanthus ilicifolius *) 10. Acrostichum spp.*) 11. Derris trifoliata *) 12. Pandanus tectorius *) 13. Calotropis gigantea Herba 14. Ipomoea pescaprae 15. Sesuvium portulacastrum 16. Rumput (Gramineae) **) 17. Rumput liar lainnya ***) 18. Teki (Cyperaceae) ****)

Muara Dua

Anak pohon 1. Avicennia spp. 2. Sonneratia spp. 3. Rhizophora spp. 4. Excoecaria agallocha 5. Aegiceras corniculatum 6. Nypa fruticans 7. Xylocarpus spp. 8. Bruguiera spp. Semak 9. Acanthus ilicifolius 10. Acrostichum spp. 11. Derris trifoliata 12. Pandanus tectorius 13. Calotropis gigantea

Motean

Avicennia spp. Sonneratia spp. Rhizophora spp. Excoecaria agallocha Aegiceras corniculatum Nypa fruticans Xylocarpus spp. Bruguiera spp.

Tritih

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Kategori

Nama Spesies

Pantai Selatan Pecangakan

Pantai Utara

0,25 0,21 0,25 0 0,50 0,11 0,04 0,04

0,21 0,25 0,28 0 0,37 0,07 0,04 0,07

3,79 2,72 1,15 0,11 1,05 1,53 0,08 0,25

0,17 0,06 0 0,18 0,22 0,25 0,23 0,39 0,51 3,41 0,171 0,08 0 0 0 0 0 0,07 0,13 0,1 0,58 0,029 0,05 0 0,07 0,14 0,18 0,11 0,14 0,18 0,21 2,12 0,106 0,17 0,17 0 0 0 0 0 0 0 0,41 0,021 0,13 0 0,16 0 0 0,10 0 0 0 0,57 0,029

0 0 ASO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,21 0,04 0,14 0,14 0,07 0 0 0,11 0,11 0,07 0,11 0,10 0,14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ASO 0,10 0,07 0 0 0,13 0,20 0 0,23 0,61 0,55 0,83 0 0 0 0,20 0 0 0 ASO 0,23 0 0,15 0,11 0 0 0,11 0 0 0 0 0,14 0,17 0,20 0 0,20 0 0 ASO 0 0,13 0 0 0,16 0,15 0 0 0 0,07 0 0,07 0,10 0,07 0 0 0,08 0 0 0 0,08 0 0 0,14 0,14 ASO 0,13 0

Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi *) Umumnya berkembangbiak secara vegetatif, sedangkan perkembangbiakan secara generatif cenderung kurang berarti. **) Rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex littoreus ***) Rumput liar lain: belum teridentifikasi. ****) Teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus spp.

0,60 0,81 3,24 1,26 0,88

0,030 0,041 0,162 0,063 0,044


SETYAWAN dkk. – Vegetasi mangrove di Jawa Tengah

dalam analisis vegetasi memiliki nilai penting cukup besar, beberapa di antaranya memiliki nilai penting sangat rendah karena penyebarannya yang terbatas dan/atau nilai penutupannya yang kecil, sehingga pengaruhnya terhadap ekosistem relatif dapat diabaikan. Pada habitat yang terfragmentasi, kebanyakan spesies berada pada populasi yang memiliki ciri-ciri tersendiri, mereka dihubungkan oleh migrasi. Lingkungan memperlihatkan dinamika tertentu akibat disturbansi dan suksesi komunitas tumbuhan (Stacey dan Taper, 1992; Crawley, 1997). Selama perubahan kondisi ekologi ini, lokasi boleh jadi kurang sesuai untuk jenis tertentu, sebaliknya sangat cocok bagi spesies pendatang. Dalam kondisi ini banyak komunitas berada dalam suatu kesetimbangan antara pemunahan populasi lokal dan pemantapan populasi baru, yakni mereka tinggal di metapopulasi (Hanski dan Gilpin, 1997). Strata pohon Dalam penelitian ini nilai penting paling besar ditemukan pada Rhizophora spp. (0,235), disusul Avicennia spp. (0,186) dan Sonneratia spp. (0,113). Ketiga spesies ini merupakan tumbuhan mangrove mayor yang biasa mendominasi kawasan mangrove. Dalam penelitian ini penyebaran ketiganya cukup merata, baik di pantai utara maupun selatan Jawa Tengah. Nilai penting terbesar berikutnya adalah N. fruticans (0,085), diikuti A. corniculatum (0,046) dan Bruguiera spp. (0,007). N. fruticans memiliki nilai penting cukup tinggi karena mampu membentuk tegakan murni melalui perkembangbiakan vegetatif yang mendominasi tempat-tempat tertentu pada batas antara ekosistem laut dan tawar. Vegetasi ini membentuk massa yang dominan di Cingcingguling, Ijo, Bengawan, dan Serayu. Ketiadaan atau sedikitnya jenis tumbuhan mangrove lain akibat penebangan oleh penduduk, serta pemeliharaan N. fruticans oleh masyarakat untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti sebagai penahan tanah dari abrasi serta untuk dipanen buah dan daunnya, boleh jadi menyebabkan kesuksesan tumbuhan ini dibanding-kan tumbuhan mangrove lain di kawasan tersebut. Dua spesies yang memiliki nilai penting paling kecil adalah E. agallocha (0,003) dan Xylocarpus spp. (0,004). Keduanya memiliki distribusi sangat terbatas. E. agallocha hanya ditemukan di Juwana, sedangkan Xylocarpus spp. hanya ditemukan di Motean dan Muara Dua (Segara Anakan). Strata semak dan anak pohon Semak dan anak pohon memiliki habitus dan strata yang cenderung serupa, sehingga memiliki peran ekologi yang diperkirakan sama. Dalam penelitian ini anak pohon yang memiliki nilai penting tinggi merupakan genus yang sama dengan pohon, yaitu Rhizophora spp. (0,213), Avicennia spp. (0,163) dan Sonneratia spp. (0,126). Hal ini sangat wajar mengingat hanya pohon-pohon yang telah mapan yang mampu beregenerasi melahirkan keturunan dengan jumlah melimpah, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya suplai baru dari luar kawasan. Dalam penelitian ini rata-rata nilai penting anak pohon tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai penting pohon, sehingga diperkirakan kelestarian jenis-jenis pohon akan bertahan dalam jangka waktu lama, selama kondisi lingkungan tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa di dalam ekosistem tersebut terjadi disturbansi, tegakan tidak atau belum mencapai klimaks, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya tumbuhan muda. Pada kondisi klimaks biasanya bibit pohon akan mulai mati pada saat mencapai umur anak pohon, mengingat pada kondisi ini terjadi

197

kompetisi dengan tumbuhan dewasa, khususnya untuk memperebutkan ruang dan cahaya matahari. Adapun dalam kondisi masih berupa bibit, tumbuhan biasanya masih dapat bertahan karena adanya sisa-sisa cadangan makanan dari biji dan ruang yang cukup, meskipun dengan cahaya matahari yang terbatas karena berada di bawah naungan pepohonan. Semak dengan rata-rata nilai penting paling tinggi dimiliki oleh A. ilicifolius (0,175), diikuti oleh D. trifoliata (0,109). Kedua tumbuhan ini dapat berkembangbiak secara vegetatif serta membentuk massa lebat/tebal yang menghambat pertumbuhan spesies lain. Pada kawasan terbuka akibat penebangan hutan, sebagaimana banyak terjadi di Segara Anakan, keduanya dapat tumbuh lebat dan mendominasi kawasan tersebut. Hal ini merupakan langkah awal proses suksesi sekunder. Keduanya juga tumbuh pada tanah akresi yang baru terbentuk, sebagai langkah awal proses suksesi primer, misalnya di Segara Anakan dan Wulan. Semak lain memiliki nilai penting sebagai berikut: C. gigantea (0,075), Acrostichum spp. (0,026), dan P. tectorius (0,022). P. tectorius merupakan bagian dari formasi hutan pantai yang umumnya ditemukan pada kawasan berpasir dan kering. Adapun C. gigantea merupakan tumbuhan dataran kering dengan penyebaran sangat luas, termasuk di kawasan pedalaman pulau Jawa. Kemampuannya beradaptasi terhadap salinitas dan kekeringan menyebabkannya mampu tumbuh sebagai tumbuhan asosiasi mangrove. Dalam penelitian ini keduanya sering ditemukan pada pematang tambak yang keras dan kering. Sebaliknya Acrostichum spp., sebagai tumbuhan mangrove minor, hanya mampu tumbuh pada tanah mangrove yang becek (water logged). Strata herba, bibit pohon dan bibit semak Herba memiliki habitus serupa dengan bibit pohon dan bibit semak, sehingga secara ekologi diperkirakan memiliki peranan yang sama pula. Besarnya nilai penting bibit pohon, tidak berbeda jauh dengan nilai penting anak pohon dan pohon. Avicennia spp. (0,190), Sonneratia spp. (0,136), dan Rhizophora spp. (0,058) memiliki nilai penting yang cukup tinggi, sehingga dalam jangka panjang diperkirankan kelestariannya akan terjaga. Nilai penting bibit Rhizophora spp. yang lebih kecil dari kedua genus lainnya disebabkan bentuk kanopi bibit pohon ini relatif lurus ke atas, dengan proyeksi ke permukaan tanah lebih sempit sehingga nilai penutupan lebih kecil untuk jumlah individu bibit yang sama. Strata bibit pohon lainnya yang memiliki nilai penting cukup tinggi adalah N. fruticans (0,077). Hal ini terjadi karena tumbuhan tersebut mampu berkembangbiak secara vegetatif membentuk tegakan murni, di samping mampu pula berkembang biak secara generatif. Besarnya nilai penting bibit semak hampir sama dengan nilai penting semak. Hal ini boleh jadi disebabkan hampir semua tumbuhan semak yang ada dapat berkembangbiak secara vegetatif. Dari lima spesies semak tersebut, hanya C. gigantea yang tidak dapat berkembangbiak secara vegetatif. Sebaliknya Acrostichum spp. dan D. trifoliata perkembangbiakan secara vegetatif jauh lebih maju dari pada perkembangbiakan secara generatif. Dalam penelitian ini kelompok herba yang memiliki nilai penting terbesar adalah rumput (rata-rata keseluruhan 0,162), diikuti rumput liar lain (rata-rata keseluruhan 0,063), dan teki (rata-rata keseluruhan 0,044). Adapun dua spesies sisanya adalan I. pes-caprae (0,030) dan Sessuvium portulacastrum (0,041). Kelima spesies/kelompok spesies tersebut memiliki penyebaran yang relatif merata, baik di


198

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 194-198

pantai utara maupun selatan, kecuali I. pes-caprae yang dalam penelitian ini hanya dijumpai di pantai selatan. Spesies ini merupakan bagian dari formasi hutan pantai yang umumnya hanya tumbuh di kawasan pantai berpasir yang kering, sehingga tidak dijumpai di lokasi penelitian di pantai utara yang umumnya berupa kawasan pantai didominasi lumpur. Penelitian Suranto dkk. (2000) menunjukkan bahwa di pantai utara Tuban yang berpasir dan kering terdapat komunitas tumbuhan I. pes-caprae. Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak yang sekaligus memiliki strata bibit semak, apabila diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka nilai pentingnya cenderung tetap. Kondisi ini merupakan sinergi dari banyak faktor mulai dari faktor biotik, abiotik, dan sosial budaya masyarakat yang telah mapan, sehingga diperkirakan kelestarian tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa dalam jangka panjang akan lestari.

KESIMPULAN Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak yang sekaligus memiliki strata bibit semak, apabila diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka nilai pentingnya cenderung tetap. Pada tiga besar tumbuhan mangrove mayor, yaitu Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp. nilai penting pada strata pohon secara berturut-turut adalah0.190, 0.136, dan 0.058; strata anak pohon 0.163, 0.126, dan 0.213, strata bibit pohon 0.186, 0.113, dan 0.235. Oleh karenanya kelestarian tumbuhan mangrove di Jawa Tengah diperkirakan akan terjamin, meskipun dalam kondisi disturbansi, selama tidak terjadi perubahan-perubahan lingkungan secara besar-besaran dalam skala luas. Data ini sekaligus menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik, yang menyebabkan disturbansi ekosistem, sehingga tegakan tidak mencapai klimaks, dengan nilai penting tumbuhan muda relatif tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris: UNESCO. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co. Inc. Callaway J.C, and J.B. Zedler. 1998. Tidal wetland sedimentation impacts: flood-caused bare zones sustained by trampling and high salinities. ASLO/ESA Joint Conference on the Land-Water Interface. St. Louis, June 1998. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer Verlag.

Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on canopy tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology 79: 447-457. Crawley, M.J. 1997. Plant Ecology. Oxford: Blackwell Science. Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S. Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy lidar mission, Land Satellite Information in the Next Decade II: Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112. Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early successional hardwood forests to changes in nutrient availability. Ecology Monograph 68 (2): 183-212. Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light and nitrogen availability in a southern New England forest. Forest Ecology and Management 131: 153-165. Hanski I, and M.E. Gilpin. 1997. Metapopulation Biology: Ecology, Genetics, and Evolution. San Diego, CA: Academic Press. Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995. Juvenile tree survivorship as a component of shade tolerance. Ecology Applied 5 (2): 517-532. Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling performance with resources varied experimentally. Ecology 73: 21292144. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: Joh Wiley and Sons. MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company. Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E. Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1): 144. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan mangrove di Propinsi Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (1): 00-00 (submitted). SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Stacey P.B. and M. Taper. 1992. Environmental variation and the persistence of small populations. Ecological Applications 2: 18-29. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Suranto, Sajidan, Harliyono, K. Winarno, dan S.E. Hariningsih. 2000. Studi variasi populasi Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. BioSMART 2 (1): 28-33. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer Saccharum seedlings in deeply shaded understories of northern Wisconsin: effects of nitrogen and water. Canadian Journal of Forest Research 27: 237-247. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus. Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 199-204

ISSN: 1412-033X Oktober 2005

Gatra Taksonomi Argostemma Wall. (Rubiaceae-Rubioidae) di Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun, dan Gunung Salak berdasarkan Karakter Morfologi The taxonomical aspect of Argostemma Wall. (Rubiaceae-Rubioidae) in Mount GedePangrango, Mount Halimun, and Mount Salak based on morphological characteristics R. SUBEKTI PURWANTORO1,♥, HARRY WIRIADINATA2, SUSIANI PURBANINGSIH3 1

2

UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cianjur 43253. “ Herbarium Bogoriense” Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. 3 Program Studi Biologi, Program Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia (UI) Depok 16424. Diterima: 22 Pebruari 2005. Disetujui: 8 Mei 2005.

ABSTRACT Vegetative character and reproductive at Argostemma from Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, and Mount Salak have been used for the identification of 101 herbarium specimens from Herbarium Bogoriense and new specimens from field. Identifying of herbarium specimens based morphology character on Argostemma hybrid group by previous author still identified as Argostemma montanum. Ovary at Argostemma consist of 2-3 celled, ovary 2 celled is found at A. montanum and A. borragineum, while the ovary of A. uniflorum account of 3 celled. Amount of flower do not range from 3-6, but between 1-8. Study on Argostemma morphology also can be concluded that in Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, and Mount Salak there are 3 Argostemma species, that is A. montanum Blume ex DC, A. borragineum Blume ex DC, and A. uniflorum Blume ex DC. Spreading of Argostemma vertically in Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, and Mount Salak range from 560-2,600 m above sea level. with spreading center 1,000-2,000 m above sea level. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Argostemma, morphological characteristics, herbarium specimens, Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, Mount Salak.

PENDAHULUAN Argostemma Wall. adalah salah satu anggota suku Rubiaceae (Sunarno dan Rugayah, 1992; Sridith, 1999). Menurut Robbrecht (1988) dalam Alejandro dan Leide (2003) Rubiaceae merupakan kelompok tumbuhan vaskuler yang terdiri atas 659 marga dan membawahi tidak kurang dari 13.000 jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa di wilayah Malesia Rubiaceae terdiri atas 150 marga dan 1.830 jenis. Argostemma diperkenalkan pertama kali oleh Wallich pada tahun 1824 (Carey 1975). Pada umumnya Argostemma mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berbatang tegak atau bagian bawah menjalar, tinggi kurang dari 1 m. Daun tunggal, bertulang menyirip, bertangkai daun pendek; duduk daun berseberangan, jarang berkarang semu. Perbungaan hermafrodit, terminalis, tunggal atau dalam perbungaan memayung atau bentuk simosa; lembar kelopak menabung; mahkota menyerupai terompet, ujung tegak atau melengkung ke luar; tangkai benang sari menempel pada pangkal tabung mahkota, kepala sari tegak menghadap ke luar; bakal buah beruang 2; bakal biji banyak; tangkai putik membenang. Buah terlindung oleh lembar kelopak, biji berjumlah banyak berbentuk segi tiga pipih. ♥ Alamat korespondensi: UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI. Kompleks Gd. IX/5, Jl. Juanda 13 Bogor 16122. Tel. & Fax.: +62-251-354150. e-mail: subekti27@yahoo.com.

Dalam perkembangan sejarah taksonomi Rubiaceae, Argostemma di Asia terdiri atas 5 seksi (section), yaitu seksi Argostemma, Pomangium, Argostemella, Elasteimoides, dan seksi Borragineum (Bakhuizen van den Brink Jr. 1953). Kemudian Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) membagi Argostemma di Pulau Jawa menjadi 5 jenis tanpa melalui seksi-seksi tersebut. Pengelompokan Argostemma di Pulau Jawa oleh Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) demikian itu pernah pula dilakukan oleh Miquel (1868) dan Candolle (1830). Mabberly (1990) melaporkan bahwa marga Argostemma terdiri atas 100 jenis. Penyebaran Argostemma di Asia meliputi Nepal, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Serawak, Sabah, Jawa dan Filipina (Candolle, 1830; Miquel, 1868; Holthuis dan Lam, 1942; Lam, 1942; Bakhuizen van den Brink Jr., 1953; Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr., 1965; Sridith dan Puff, 2000). Menurut Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) Argostemma yang terdapat di Pulau Jawa adalah A. uniflorum Blume ex DC, A. borragineum Blume ex DC, and A. montanum Blume ex DC. Selanjutnya Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) yang didukung oleh Steenis (1974) menemukan sekelompok Argostemma yang menurut dugaannya merupakan hibrid alam antara A. montanum dan A. borragineum. Kelompok yang ditemukan di Nirmala Gunung Halimun tersebut mempunyai ciri-ciri: lebih dari separuh bagian pada lembar mahkota berlepasan, keadaan demikian mirip dengan A. borragineum. Sementara itu bentuk bunga, perawakan, dan tabung benang sari sama dengan A. montanum. Penelitian


200

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 199-204

Aditya dan Corpus (2002) mengungkapkan adanya hybrid baru antara A. montanum dan A. uniflorum, tetapi di dalam penelitiannya tidak dilengkapi dengan pertelaan seperti pada hibrid yang pertama. Karakter yang bisa dipilih untuk memisahkan tumbuhan adalah karakter morfologi vegetatif dan karakter morfologi reproduktif. Karakter morfologi vegetatif yang biasa digunakan a.l. ukuran dan bentuk daun, tangkai daun, daun penumpu (petiole) dengan struktur dan macam alat tambahan, sedangkan karakter morfologi reproduktif antara lain morfologi bunga, ukuran perbungaan termasuk daun gagang (bractea), daun gantilan (brakteola), gantilan (pedicel), lembar kelopak, lembar mahkota. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengklarifikasi dengan adanya dugaan hibrid pada Argostemma di Gunung Halimun, Gunung GedePangrango, dan Gunung Salak sesuai dengan laporan dari Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965); Steenis (1974); Aditya dan Corpus (2002).

BAHAN DAN METODE Pengambilan bahan herbarium dan pengamatan morfologi dilakukan pada bulan Nopember 2002 s.d. Januari 2003 di Gunung Halimun, Gunung Gede-Pangrango, dan Gunung Salak berupa 72 spesimen herbarium baru dan 29 spesimen herbarium koleksi Herbarium Bogoriense. Pengkoleksian spesimen dilakukan dengan menyimpan bahan material ke dalam lipatan koran bekas, ditempatkan ke dalam kantong plastik, disiram dengan alkohol 70%. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan, pelabelan, dan pengidentifikasian dilakukan di Herbarium Bogoriense. Dengan menggunakan metode deskriptif (Vogel, 1987), dilakukan pencatatan data taksonomi. Spesimen herbarium dipilah-pilah dalam kelompok-kelompok berdasarkan karakter morfologi, kemudian dilakukan pengamatan dan analisis karakter terhadap kelompok untuk dasar penentuan batasan takson. Kriteria dasar analisis karakter untuk dasar pengelompokan dengan menggunakan metode deskriptif tersebut digunakan karakter-karakter morfologi yang konstan, artinya karakter yang dipakai konsisten pada spesimen satu dengan lainnya. Tahap berikutnya dibuat kunci identifikasi, pertelaan lengkap, dan gambar ilustrasi. Adapun istilah taksonomi dalam penelitian ini menggunakan buku: Glosarium Biologi karangan Rifai dan Emitati (1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN Argostemma di Gunung Halimun, Gunung GedePangrango, dan Gunung Salak dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan karakter morfologi vegetatif dan reproduktif. Pengelompokan jenis Argostemma disajikan pada kunci identifikasi sebagai berikut: 1. a. Perbandingan daun lebih dari 3:1. Perbungaan tunggal. Bakal buah beruang 3 .......... A. uniflorum Blume ex DC. b. Perbandingan daun kurang dari 2:1. Perbungaan sinsinus atau memayung atau anak payung. Bakal buah beruang 2 ………………............................................... 2 2. a. Perbungaan sinsinus, lembar mahkota tergulung balik (revoluted) …………….. A. borragineum Blume ex DC b. Perbungaan memayung atau anak payung, lembar mahkota terlengkung balik (recurved) .......................... ........………………………… A. montanum Blume ex DC

Pertelaan 1. Argostemma uniflorum Blume ex De Candolle A. uniflorum Blume ex De Candolle, Prod. Syst. Nat. 4: 418 (1830), Miq., Ann. Mus. Bot. 4: 229 (1868); Koord., Exk. Von Jav. 3: 247 (1912); Koord., Fl. Von Tjibodas 3: 7 (1918); Bak.f., Blumea 7(2): 332 (1953); Back & Bakh.f., Fl. Jav. 2: 293 (1965); Steenis, The Mts. Fl. Jav., plate: 46.7 (1972). Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO, L. !). Pomangium montanum Zipp. Non Reinward, Miq., Ann. Mus. Bot. 4: 229 (1868). Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO, L. !). Terna: menjalar dengan ujung tegak, batang berbulu jarang coklat kadang-kadang bercabang, 13,5-25 cm. Daun: jorong, melanset, membundar telur sungsang, permukaan atas hijau mengkilat, bulu permukaan atas daun hanya terdapat di sekitar tepi daun, pertulangan berbulu sampai cabang pertama, bulu coklat, jaringan pertulangan membentuk jala tetapi tidak menonjol ke permukaan, jumlah tulang cabang pertama dari ibu tulang 4-7, ujung tulang cabang pertama gundul bersambung ke tulang cabang berikutnya, permukaan bawah berwarna putih perak, tepi daun berbulu teratur, ujung meruncing; pangkal menyadak (oblique) atau menirus (attenuate); pasangan daun sangat berbeda, daun yang kecil seperti daun penumpu, 2-3,7x1-1,9 cm. Tangkai daun: berbulu, 0,4-0,7 cm. Daun penumpu: putih perak, permukaan luar gundul, tepi berbulu teratur, berbentuk menjantung melebar, 0,40,8x0,3-0,6 cm. Perbungaan: memayung (umbelliform), berbunga tunggal; gagang (peduncle) mula-mula berwarna putih setelah tua hijau mengkilat, gundul, 0,55-1,6 cm; daun gagang (bractela) membundar telur, berbulu teratur, ujung melancip, kadang-kadang ujung bercelah, 0,3-0,5x0,1-0,5 cm; panjang gantilan 0,8-2,5 cm; daun gantilan berbentuk benang, 4 lembar, ujung meruncing, 0,4x0,15 cm; permukaan luar dasar bunga berbulu panjang; lembar kelopak hijau muda, permukaan luar berbulu pendek, pertulangan menjala, 1/3 bagian bawah menabung, ujung melancip, 0,2-0,4x0,2 cm; lembar mahkota membundar telur memanjang, berwarna putih, tengah tabung mahkota hijau membintang, tepi berbulu putih, permukaan luar dan dalam gundul, ujung dan sisi-sisinya agak melekuk ke luar, meruncing, 0,7-1,1x0,3-0,5 cm; tabung benang sari berbentuk kerucut memanjang, panjang 1,2 cm, meruncing berwarna putih sampai coklat kekuningan, ujungnya membungkus kepala putik atau tangkai kepala putik yang gundul dan membenang muncul ke luar, kepala benang sari berjumlah 5 menghadap ke luar; kepala putik berwarna putih kekuningan, membulat lonjong (ovoid). Sebaran: Di Jawa, jenis ini hanya ditemukan di bagian barat Propinsi Jawa Barat dan Banten sampai di sekitar pegunungan Priangan, 900-2.000, jenis ini ditemukan di Gunung Baud Puncak pada ketinggian 1.450-1.600 m dpl., di Gunung Halimun ditemukan di 2 lokasi: Ci Kuda Paeh pada ketinggian 1.100-1.250 m dpl. dan di Gunung Botol pada ketinggian 1.500 m dpl., sedangkan di Gunung Salak ditemukan pada ketinggian 1.100-1.950 m dpl. Di samping itu di Sumatra juga ditemukan di Gunung Goh Lembuh Aceh, dekat air terjun Putih pada ketinggian 1.200 m dpl. Habitat: Permukaan lantai hutan berlumut, permukaan batang kayu lapuk berlumut dengan kelembaban tinggi, ternaungi oleh pohon-pohon dan semak-semak. Spesimen yang diamati: Taman Nasional GedePangrango: Gunung Baud: 10.IX.2003.PW 179, 10 IX.2003.PW184, 10 IX.2003.PW197, 10 IX.2003.PW198, 10


PURWANTORO dkk. – Taksonomi Argostemma

IX.2003.PW210, 10 IX.2003.PW211, 10 IX.2003.PW212. Geger Bentang: 26.VII.1928.Steenis 2094, 31.V.1914.Backer 13687. Taman Nasional Gunung Halimun: Gunung Sanggabuwana: 30.III.1918.Backer 23790. Gunung Salak: 16.IX.1913. Backer 9234, 8.18.VII.1974.Afriastini Z., 22.II.2000.Wiriadinata & Hoover 31216. 2. Argostemma borragineum Blume ex De Candolle A. borragineum Blume ex De Candolle, Prod. Syst. Nat. 4: 417 (1830), Miq., Ann. Mus. Bot. 4: 229 (1868); Koord., Exk. Von Jav. 3: 247 (1912); Miq., Fl. Ind. Bat. 2:163 (1856); Bak.f., Blumea 7(2): 332 (1953); Back & Bakh.f., Fl. Jav. 2: 293 (1965); Steenis, The Mts. Fl. Jav., plate: 46.7 (1972). Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO, L. !). Terna: menjalar dengan ujung tegak, bercabang batang berbulu pendek, 20-50 cm. Daun: lebar, permukaan atas daun berbulu bersusuhan tersebar rata, tepi daun berbulu berkelompok-kelompok 2-3 bulu, 7,4-23,2x3,1-5,7 cm. Daun penumpu: interpetiolaris, membundar telur, ujung melancip, 0,4-0,7x0,4-0,7 cm, jumlah tulang cabang pertama 6-8. Perbungaan: berbentuk dobel sinsinus, 7-30 bunga; gagang berwarna hijau pucat, 1-6 cm; daun gagang membundar telur memeluk gagang, ujung melancip, 0,150,7x0,2-0,5 cm; gantilan berwarna putih, berbulu, semakin ke bawah bulu semakin pendek, gantilan menunduk waktu bunga kuncup, setelah buah tua gantilan menjadi tegak, 0,1-1,7 cm; daun gantilan membenang, 0,3-0,4x0,1-0,2 cm; lembar kelopak 1/3 bagian bawah berlekatan, agak tebal, hijau, melancip, 0,2-0,3x0,1-0,2 cm; 2/3 bagian ujung tabung mahkota berlepasan 5 lembar tergulung balik (revoluted), panjang 0,6x0,2 cm, lembar mahkota hijau pucat; tabung benang sari membulat dengan ujung pendek berwarna kuning sampai coklat muda, ujung pendek dengan 5 tonjolan kecil membulat tegak, 0,4x0,2 cm; tangkai kepala putik (stylus) membenang, ujung menebal dan berbulu putih pendek; kepala putik (stigma) putih kekuningan sampai kuning; bunga mekar satu persatu. Sebaran: Pulau Jawa. Pada waktu penelitian lapangan tahun 2002 jenis ini ditemukan di Kebun Raya Cibodas pada ketinggian 1.200 m dpl., di Gunung Kendeng ada pada ketinggian 900-1.200 m dpl., dan di Gunung Salak tersebar pada ketinggian 560-1.230 m. Menurut Steenis (1972) jenis ini termasuk agak jarang (rather rare), hanya ditemukan di Jawa Barat dan Banten pada ketinggian 4001.500 m dpl. Di luar Jawa dapat ditemukan di Lombok, Sumatra, Malaya, dan Borneo. Habitat: Basah, lokasi cekungan lereng pegunungan, pinggir sungai yang berkelembaban tinggi, sangat ternaungi dengan humus yang tebal. Spesimen yang diamati: Taman Nasional GedePangrango: Gunung Betet: 1918.Backer 22573, 1918.Backer 22573. Gunung Gede: 1917.Backer 1906. Karang Gantungan Bogor: (?).Backer 6309. Puncak: 28.XII.1912.Backer 148, 1912.BO-1285509. Situ Gunung: 24.IV.1928.Steenis 164. Taman Nasional Gunung Halimun: Ci Kuda Paeh: 15.IX.2003.PW 202. Gunung Kendeng: 23.XI.2002.PW 199, 22.XI.2002.PW 200, 22.XI.2002.PW 201, 22.XI.2002.PW 213. Nirmala: (?).1913.Backer 10770, 28.XII.1912.Backer 6148, 20.XII.1913.Backer 10866, 5.IX.1941.Steenis 12435. Gunung Salak: (?). Afriastini Z.2, 21.XII.1927.Steenis 151, 13.IX.1913.Backer 9204, 4.XII.2002.PW 181, 4.XII.2002.PW 182.

201

3. Argostemma montanum Blume ex De Candolle A. montanum Blume ex De Candolle, Prod. Syst. Nat. 4: 418 (1830), Miq., Fl. Ind. Bat. 2:163 (1856); Miq., Ann. Mus. Bot. 4: 229 (1868); Koord., Fl. Von Tjibodas 3: 7 (1918); Back & Bakh.f., Fl. Jav. 2: 293 (1965); Steenis, The Mts. Fl. Jav., plate: 46.7 (1972). Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO, L. !). Terna: tegak atau ujung tegak, batang hijau pucat berbulu rapat berbaring ke arah ujung, 15-38 cm. Daun: membundar telur, jorong, lonjong, bagian ujung meruncing, pangkal menirus, seluruh tepi berbulu atau bagian bawah saja atau gundul, 2-4x1-2.8 cm; ukuran pasangan daun relatif sama, permukaan hijau pucat atau hijau mengkilat atau hijau tua kasar, bulu tersebar di seluruh permukaan atas daun atau hanya sekitar tepi saja, ibu tulang dan pertulangan cabang pertama berwarna putih pucat, tidak menonjol ke permukaan, berbulu teratur atau mengelompok, permukaan bawah hijau pucat, pertulangan menonjol ke permukaan berbulu putih sampai pertulangan cabang kedua, berbaring ke arah ujung aksis, jumlah tulang cabang pertama 6-8, ujung tulang cabang tersebut gundul atau berbulu bersambung dengan tulang cabang pertama berikutnya, jaringan pertulangan berupa tonjolan halus ke permukaan. Tangkai daun: berbentuk silinder, berbulu putih, berbaring kearah ujung aksis, 0,3x1,2 cm. Daun penumpu: berbentuk jorong-melanset, sisi luar berbulu jarang, ujung melancip, 0,2-0,5x0,05-0,4 cm. Perbungaan: memayung atau anak payung, jumlah bunga 1-8 bunga; gagang hijau pucat berbulu, 0,9-3,3 cm; daun gagang, 0,5x0,25 cm; gantilan berbulu rapat, panjang 0,4-0,8 cm; daun gantilan menjorong langsing, 4 lembar, panjang 0,3 cm; permukaan dasar bunga berbulu keriting panjang warna putih, ke arah pangkal semakin pendek; tabung kelopak hijau tua, lebih dari separuh lembar kelopak berlepasan, permukaan luar dekat pangkal tertutup bulu, ujung melancip sampai meruncing, 0,2-0,3 cm; lembar mahkota 1/2-2/3 bagian atas berlepasan, lembar mahkota putih agak melebar dengan ujung melancip sampai meruncing, 1/2 bagian yang berlepasan terlengkung balik, tengah mahkota berwarna hijau membintang, permukaan luar berbulu putih pendek; tabung benang sari berbentuk kerucut, melancip, ada yang ujungnya membungkus sebagian atau seluruh kepala putik, tangkai kepala putik membenang putih; kepala putik membulat putih pucat. Sebaran: Di Jawa jenis ini ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penelitian lapangan pada tahun 2002 jenis ini ditemukan di Gunung Gede, Telaga Warna Puncak, Selabintana, Geger Bentang, dan Gunung Baud pada ketinggian 1.200-2.100 m dpl, di Gunung Kendeng, Ci Kuda Paeh, dan Gunung Botol pada ketinggian 1.000-1.600 m dpl., dan Gunung Salak pada ketinggian 900-1.700 m dpl. Di luar Jawa ditemukan di Sumatra dan P. Talaud. Habitat: Kelembaban tinggi pada batu berlumut atau pada permukaan batang Cyathea spp. Spesimen yang diamati: Taman Nasional GedePangrango: Cibeureum: 14.IX.1919.Bakh. v/d Brink 2782. Cibodas: 28.I.1895.Hallier 394, 2.X.1919.Koorders 31873, 1.XI.1908.Koorders 31981b, (?).1908.BO 1374012, (?).1941.Schiffner 2651, 1.IX.1979.Arsin 19654, 6.V.1914.Lorzing 1470, V.1912.Boerlage (BO1335691), (?).Leg Ign 18989. Gunung Baud: 10.IX.2003.PW 196. Gunung Bunder: 25.XII.1929.Steenis 4028. Gunung Gede: 6.IV.1917.Backer 22306. G. Limo: 29.IX.1935.Steenis 6846. Gunung Pangrango: (?).Manchy Sn. (BO 1335229), 1920.Kramer 21, (?).1922.Smith 787, III.1922.Kramer (BO


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 199-204

202

1373991). Geger Bentang: 26.VII.1928.Steenis 2141. Kandang Badak: (?).1925.BO 1335241, (?).Steenis 11, 21.VII.1928.Steenis 1973. Sindanglaya: (?).Ploem 18976. Taman Nasional Gunung Halimun: Nirmala: 25.XII.1913.Backer 11096, IV.1941.Steenis 12439. Gunung Botol: XI.2002.PW 156, XI.2002.PW 162, XI.2002.PW 183, XI.2002.PW 186, XI.2002.PW 219. Ci Kuda Paeh: XI.2002.PW 187, XI.2002.PW 188, XI.2002.PW 190. Gunung Halimun: 17.V.1974.Dransfield 4222. Gunung Kendeng: 22.XI.2002.PW 203, 23.XI.2002.PW 214, 23.XI.2002.PW 215, 23.XI.2002.PW 218. Gunung Salak: 11.V.1900.Koorders 36716, (?).1906.BO 1373997, 12.IX.1913.Backer 9182, 25.IX.1913. 9366, (?).1921.Bakh. v/d Brink 5125, (?).1925.BO 1335239, 3.XII.2002.PW 172, 3.XII.2002.PW 174, 3.XII.2002.PW 175, 3.XII.2002.PW 176, 3.XII.2002.PW 177, 3.XII.2002.PW 178, 3.XII.2002.PW 180, 16.XII.2002.PW 185, XII.2002.PW 189, 18.XII.2002.PW 191, 18.XII.2002.PW 192, 18.XII.2002.PW 193, 18.XII.2002.PW 194, 18.XII.2002.PW 195, XII.2002.PW 205, 15.XII.2002.PW 206, 204, 15.XII.2002.PW 15.XII.2002.PW 207, XII.2002.PW 222, XII.2002.PW 223, XII.2002.PW 224. Pasir Kaca: XII.2002.PW 216, XII.2002.PW 217, XII.2002.PW 220, XII.2002.PW 221. Salak I: XII.2002.PW 208, XII.2002.PW 209. Waroeng Loa: (?).Steenis 175. Perbandingan pertelaan Berdasarkan karakter utama morfologi, bulu permukaan atas daun (trikoma) Argostemma terdiri dari 2 macam, yaitu menyutra (seraceous) dan bersusuhan (strigose). Pada A. borragineum dan A. uniflorum, 1 kelompok spesifik hanya terdapat trikoma yang bersusuhan, sedangkan pada A. montanum dan 4 kelompok lain terdapat 2 macam bulu tersebut. Karakter utama selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan morfologi bunga (Gambar 1, 2, dan 3), ketiga jenis Argostemma dapat dibedakan dengan jelas. Masing-masing lembar mahkota A. uniflorum tersebar mendatar tegak lurus sumbu utama, tabung benang sari

berbentuk kerucut meruncing, lembar mahkota A. borragineum tergulung balik (revoluted), tabung benang sari membulat dengan ujung yang pendek, lembar mahkota A. montanum terlengkung balik (recurved). Pada Tabel 2 terlihat bahwa A. montanum berdasarkan morfologi daun terdapat 5 variasi yang dapat dibedakan berdasarkan warna daun, permukaan atas daun, bentuk daun, penyebaran bulu permukaan atas daun, dan tepi daun. Satu di antara 5 kelompok tersebut adalah kelompok yang karakter morfologinya mirip dengan kelompok Argostemma yang oleh Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965), Steenis (1974), dan Aditya & Corpus (2002) dikatakan hibrid antara A. borragineum dan A. montanum (Kelompok II). Satu-satunya karakter morfologi yang mirip A. borragineum adalah lebih dari separuh bagian lembar mahkota berlepasan, tetapi ujung lembar mahkota terlengkung balik seperti yang terlihat pada kunci identifikasi dan Gambar 3, demikian pula karakter morfologi lainnya menunjukkan persamaan dengan A. montanum seperti pada deskrispsi lengkap yang telah dipaparkan. Pada Kelompok ke IV yang permukaan atas daun mengkilat, bulu daun permukaan atas terdapat di sekitar tepi daun terdiri dari 2 macam bulu yaitu: menyutra dan bersusuhan, tepi daun berbulu teratur, perbungaan memayung, separuh lembar mahkota berlepasan, jumlah bunga selalu lebih dari satu. Kelompok I memiliki karakter setengah sebagian tepi daun berbulu, yaitu ke arah pangkal daun, sedangkan Kelompok III permukaan atas daun hijau mengkilat. Pada Kelompok V permukaan atas daun hijau kasar. Sifat Argostemma yang bunganya mampu menyerbuk sendiri dengan bantuan serangga penyerbuk (hermafrodit), memperkecil kemungkinan terjadinya hibrid alam antara A. montanum dan A. borragineum. A. montanum dan kelima kelompok tersbut bunganya berbentuk bel, lembar mahkota berwarna putih terlengkung balik (recurved), tabung benang sari membentuk kerucut melancip, kepala putik bulat, atau tertutup oleh ujung tabung benang sari.

Tabel 1. Pengelompokan Argostemma berdasarkan karakter utama morfologi daun dan bunga. Karakter morfologi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Warna daun Permukaan atas daun Ukuran dan bentuk daun (cm) Bulu permukaan atas daun Penyebaran bulu permukaan atas daun Penyebaran bulu tepi daun Perbandingan pasangan daun Permukaan bawah daun Jaringan pertulangan permukaan bawah daun Jumlah bunga Perbungaan

uniflorum hijau mengkilat rata 2-3,7x1-1,9 jorong-melanset bersusuhan sekitar tepi daun teratur lebih dari 3 : 1 tidak berbulu tenggelam 1 memayung

Argostemma borragineum hijau tua rata 7,4-3,2x3,1-5,7 jorong bersusuhan seluruh permukaan berkelompok kurang dari 2 : 1 berbulu menonjol halus 7-30 sinsinus

montanum hijau pucat bergelombang 2-4x1-2,8 membundar telur bersusuhan dan menyutra seluruh permukaan teratur Kurang dari 2 : 1 berbulu menonjol halus 1-8 memayung, anak payung

Tabel 2. Argostemma berdasarkan karakter utama morfologi daun dan bunga. Karakter morfologi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Kelompok I Warna daun hijau pucat Permukaan daun bergelombang Bentuk daun membundar telur Bulu permukaan atas daun seluruh permukaan Tepi daun berbulu Bentuk bunga seperti bel Perbungaan memayung, anak payung

Kelompok II hijau pucat bergelombang membundar telur seluruh permukaan gundul seperti bel memayung, anak payung

A. montanum Kelompok III hijau pucat; mengkilat bergelombang jorong seluruh permukaan berbulu seperti bel memayung, anak payung

Kelompok IV hijau tua; mengkilat bergelombang jorong sekitar tepi daun berbulu seperti bel memayung, anak payung

Kelompok V hijau tua; kasar rata lonjong seluruh permukaan berbulu seperti bel memayung, anak payung


PURWANTORO dkk. – Taksonomi Argostemma

Gambar 1. Argostemma uniflorum Blume ex DC. Keterangan: A. Penampang lintang buah muda, B. Perawakan, C. Bunga mekar. bn: bunga, bh: buah, dp: daun penumpu, d: daun, b: batang, ta: tabung antera, dm: lembar mahkota tegak lurus sumbu utama.

Gambar 2. Argostemma borragineum Blume ex DC. Keterangan: A. Penampang lintang buah muda, B. Perawakan, C. Bunga mekar. bh: buah, dp: daun penumpu, d: daun, bt: batang, g: gagang, ta: tabung antera, dm: lembar mahkota tergulung balik.

203

Gambar 3. Argostemma montanum Blume ex DC. Keterangan: A. Penampang lintang buah muda, B. Perawakan, C. Bunga mekar. bn: bunga, bh: buah, dp: daun penumpu, d: daun, b: batang, g: gagang, ta: tabung antera, dm: lembar mahkota terlengkung balik, AmA1: Kelompok I, A1: Kelompok II, AmA2: Kelompok III, A2: Kelompok IV, A3: Kelompok V.

Hasil penelitian ini juga menemukan karakter morfologi penting, yaitu bakal buah. Bakal buah Argostemma tidak hanya terdiri dari 2 ruang seperti yang dikemukakan oleh Backer dan Bakhuzen van den Brink (1965), tetapi ada juga yang berjumlah 3 ruang seperti pada A. uniflorum, Gambar 1. Karakter penting lainnya adalah kisaran jumlah bunga pada A. montanum 1-8 berbeda dengan pendapat Backer dan Bakhuzen van den Brink (1965) yang menyatakan jumlah bunga A. montanum 3-8. Aditya dan Corpus (2002) yang menyepakati tentang dugaan hibrid oleh Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) menyatakan bahwa kelompok hibrid tersebut mempunyai karakter kepala putikselalu terbungkus oleh ujung tabung benang sari. Namun hasil uji karakter menunjukkan karakter tersebut tidak konstan, sebab pada kelompok tersebut ditemukan juga tangkai putik lebih panjang dari pada tabung benang sari. Kepala putik yang terbungkus oleh ujung tabung benang sari maupun yang tidak terbungjus oleh ujung tabung benang sari juga ditemukan pada A. uniflorum dan A. montanum. Persebaran Argostemma secara vertikal baik di G. Gede-Pangrango, G. Halimun maupun G. Salak berkisar antara 560-2.600 m dpl. Pada ketinggian 1.100-1.950 m dpl. merupakan habitat A. uniflorum, A. borragineum tersebar pada ketinggian 560-1.230 m dpl., sedangkan A. montanum terdapat pada ketinggian 700-2.600 m dpl. Pusat penyebaran Argostemma secara vertikal di kawasan penelitian berkisar 1.000-2.000 m dpl.


204

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 199-204

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Berdasarkan identifikasi dengan menggunakan karakter morfologi kelompok Argostemma yang diduga hibrid oleh author sebelumnya masih teridentifikasi sebagai A. montanum. Bakal buah pada Argostemma terdiri dari 2-3 ruang, bakal buah beruang 2 ditemukan pada A. montanum dan A. borragineum, sedangkan A. uniflorum bakal buahnya beruang 3. Jumlah bunga A. montanum tidak berkisar antara 3-8, tetapi berkisar antara1-8. Dari studi morfologi Argostemma juga dapat disimpulkan bahwa di Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun maupun Gunung Salak terdapat 3 jenis Argostemma, yaitu A. uniflorum Blume ex DC, A. borragineum Blume ex DC, and A. montanum Blume ex DC. Penyebaran Argostemma secara vertikal di Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun, dan Gunung Salak berkisar antara 560-2.600 m dpl. Dengan pusat penyebaran pada ketinggian 1.000-2.000 m dpl.

Aditya, E. and N.R. Corpus. 2002. Assesment of putative hybrid of Argostemma (Rubiaceae) in West Java. The sixth Regional Training on Plant Taxonomy, Bogor, 8 July-6 August: 13 hlm. Alejandro, G.D. and S. Leide. 2003. The Philippine Rubiaceae genera: Updated synopsis in intkey database of the delta system. Blumea 48(2): 261-277. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1965. Flora of Java, Vol. 2. Groningen: N.V.P. Noordhoff. Bakhuizen van den Brink Jr., R.C. 1953. Florae Malesianae praecursores, V. Notes on Malaysian Rubiaceae. Blumea 7, 1952-1954: 329-334. Bremer, B. 1989. The genus Argostemma (Rubiaceae-Argostemmateae) in Borneo. Annals of the Missouri Botanical Garden 76 (1): 7-49. Candolle, A.P. de. 1830. Argostemma. Prodromus Systematis Naturalis Regni Vegetabilis 4: 417-418. Carey, W. 1975. Argostemma. Flora Indica 2: 324-325. Holthuis, L.B. and H.J. Lam. 1942. A first contribution to our knowledge of the flora of the Talalaud Islands and Morotai. Blumea 5 (1): 93-145. Koorders, S.H. 1912. Exkursionsflora von Java. Vol. 3. Buitenzorg: Verlag von Gustav Fischer. Koorders, S.H. 1918. Flora von Tjibodas, 3. Band. 2. Abteilung. Batavia: Verlag von Boekhandel Visser & Co. Lam, H.J. 1942. Notes on historical phytogeography of Celebes. Blumea 5 (3): 600-640. Mabberly, D.J. 1990. The Plant Book, A Portable Dictionary of the Vascular Plant. 2nd ed. Cambridge: Cambridge University Press. Miquel, F.A.G. 1856. Argostemma. Flora Indie Batavae 4: 160-166. Miquel, F.A.G. 1868. Argostemma. Annales Musei Botanici 4: 228-230. Rifai, M.A. dan Ermitati. 1995. Glosarium Biologi. Jakarta: Balai Pustaka. Sridith, K. 1999. A synopsis of the genus Argostemma Wall. (Rubiaceae) in Thailand. Thailand Forest Bulletin (Botany) 27: 86-138. Sridith, K. and C. Puff. 2000. Distribution of Argostemma Wall. (Rubiaceae), with special reference to Thailand and sorrounding area. Thailand Forest Bulletin (Botany) 28: 123-138. Steenis, C.G.G.J. van. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden: E.J. Brill. Sunarno, B. dan Rugayah. 1995. Flora Taman Nasional Gede-Pangrango. Bogor: Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi-LIPI. Vogel, E.F. de (ed.). 1987. Manual of Herbarium Taxonomy: Theory and Practice. Jakarta: UNESCO.

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Johanis P. Mogea dan Dr. Eko Baroto Walujo yang telah menguji hasil penelitian ini, yang merupakan penelitian tesis Ps. Biologi Program Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 205-211

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Keanekaragaman dan Potensi Flora di Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara Plants diversity and its potential in Buton Utara Game Reserve, South-East Sulawesi TAHAN UJI♥ "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16013 Diterima: 10 Pebruari 2005. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT Study on richness diversity and potential species of plant in two locations in the Buton Utara Game Reserve had been conducted. One hundred and seventy nine species of plant are collected from this area, and 137 species of them are reported as the potential of species. The largest group is timber (76 species) and the other is medicinal plants (41 species). Other data can be gathered as follows 23 species of fruits, 22 species of ornamental plants, 12 species of vegetable, 7 species of fibre plants and 5 species of poisonous plants. The results of study indicated that biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica), gufi (Intsia bijuga), nato (Palaquium bataanense), kuru (Elmerillia ovalis), keu uti (Drypetes sibuyanensis), rumbai (Pterospermum celebicum), kondongia (Cinnamomum parthenoxylon), and dongi (Dillenia serrata) were very important as commercial timbers. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: species diversity, potential, Buton Utara game reserve, South-East Sulawesi.

PENDAHULUAN Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya mempunyai flora dan fauna yang unik dibandingkan dengan bagian timur dan baratnya, karena menjadi daerah “intermediate” bertemunya flora dan fauna dari kedua daerah tersebut. Kawasan di bagian barat Sulawesi dipengaruhi oleh biogeografi Asia, sedangkan di bagian timurnya dipengaruhi biogeografi Australia (Keng, 1978). Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara (SMBU) di Pulau Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara luasnya mencapai 28.000 hektar merupakan suaka alam terluas dari delapan suaka alam yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara (Anonim, 1999). Selain cukup kaya dengan keanekaragaman jenis dan potensi flora, kawasan ini juga memiliki flora yang unik bahkan cukup banyak jenis-jenis tumbuhan endemik. Sampai saat ini data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman jenis dan potensi flora di SM Buton Utara masih sangat kurang. Keadaan ini antara lain tampak dari sedikitnya jumlah koleksi spesimen herbarium dari kawasan ini yang disimpan di Herbarium Bogoriense. Di samping juga minimnya data/informasi dari hasil-hasil laporan perjalanan maupun publikasi-publikasi khususnya yang mengungkapkan potensi flora di kawasan SMBU. Seperti halnya kawasan-kawasan konservasi lainnya di Indonesia, kawasan hutan di SM Buton Utara juga mulai terancam kelestariannya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya para perambah dan pencuri kayu/rotan. Apabila

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16013. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail: herbogor@indo.net.id.

keadaan ini dibiarkan maka kelestarian hutan akan terancam bahkan dapat berakibat terhadap musnahnya beberapa jenis flora dan fauna. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang kekayaan keanekaragaman jenis dan potensi flora di kawasan SMBU. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengungkapkan kekayaan keanekaragaman jenis dan potensi flora di kawasan SMBU, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan oleh instansi-instansi pemerintah terkait khususnya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dalam pengambilan kebijakan, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi ini.

BAHAN DAN METODE Pengambilan contoh spesimen tumbuhan di lapangan dilakukan dengan metoda jelajah (Rugayah et al., 2004), yaitu dengan cara menjelajahi setiap sudut lokasi yang diteliti. Semua jenis tumbuhan yang dijumpai diambil contoh herbariumnya. Setiap contoh tumbuhan yang dikoleksi diberi nomor koleksi dan dicatat data dan informasi yang diperlukan, antara lain ciri-ciri morfologi tumbuhan, habitat, lokasi (ketinggian dari permukaan laut dan posisi geografis), nama daerah dan kegunaan. Informasi tentang potensi pemanfaatan tumbuhan diperoleh dengan dua cara. Pertama dari data primer dengan cara mewawancarai penduduk lokal yang mengenal dan mengetahui namanama lokal dan kegunaan tumbuhan. Kedua diperoleh dari data/informasi sekunder yaitu dari penelusuran pustakapustaka. Dalam pengelompokan potensi pemanfaatan tumbuhan yang dikoleksi selain didasarkan pada kegunaan utama (primary use) juga kegunaan lainnya (secondary use) (Lemmens et al., 1989).


B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 205-211

206

Penelitian dilakukan di dua lokasi di kawasan SMBU. Lokasi pertama di kawasan hutan sepanjang jalan poros dari Maligano ke arah Ronta pada Km 9 sampai Km 20 pada ketinggian 100-330 m. dpl. Lokasi ini secara geografis terletak pada koordinat dan garis lintang antara 4ยบ41' Lintang Selatan dan 122ยบ53' Bujur Timur. Lokasi kedua di kawasan hutan lereng Gunung Wani pada ketinggian 300600 m. dpl. Secara geografis lokasi kedua terletak pada koordinat dan garis lintang antara 4ยบ26' Lintang Selatan dan 122ยบ 59' Bujur Timur.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil koleksi tumbuhan yang dilakukan di kawasan SM Buton Utara adalah 179 jenis dalam 72 suku yang terdiri atas 108 jenis pohon, 17 jenis perdu, 30 jenis herba, 16

jenis liana dan 8 jenis semak. Berdasarkan informasi dari penduduk lokal maupun penelusuran pustaka, 137 dari 179 jenis tumbuhan yang dikoleksi di SM Buton Utara telah diketahui potensi pemanfaatannya sedangkan 42 jenis lainnya masih belum diketahui potensi pemanfaatannya. Jenis-jenis yang berpotensi sebagai penghasil kayu (timber) adalah yang paling besar jumlahnya yaitu 76 jenis. Di samping itu ditemukan jenis-jenis kelompok tumbuhan berpotensi lainnya yang jumlahnya juga cukup banyak masing-masing adalah kelompok tumbuhan obat (41 jenis), buah-buahan (23 jenis) dan kelompok tanaman hias (22 jenis). Sedangkan kelompok tumbuhan berpotensi lainnya yang jumlah jenisnya relatif kecil adalah kelompok penghasil bahan pewarna (5 jenis), rotan (3 jenis), serat (7 jenis), sayuran (12 jenis), pakan ternak (2 jenis), minyak atsiri (3 jenis), resin (2 jenis) dan penghasil racun (5 jenis) (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar jenis tumbuhan yang dikoleksi di SM Buton Utara dan potensi pemanfaatannya No. Nama suku dan jenis ACANTHACEAE 1. Hemigraphis bicolor Hall. f. ACTINIDIACEAE 2. Saurauia reinwardtiana Blume ANACARDIACEAE 3. Buchanania arborescens (Blume) Blume 4. Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & Rolfe 5. Mangifera indica L. 6. M. quadrifida Jack ANNONACEAE 7. Cananga odorata (Lam) Hook. f. & Thomson 8. Polyalthia celebica Miq. 9. P. lateriflora (Blume) King 10. Uvaria celebica Scheff. APOCYNACEAE 11. Cerbera manghas L. ARACEAE 12. Aglaonema simplex Blume 13. Schismatoglottis sp. ARECACEAE 14. Areca vestiaria Giseke 15. Arenga pinnata (Wurmb.) Merr. 16. Calamus inops Becc. * 17. C. ornatus Blume var. celebicus Becc. * 18. C. zollingeri Becc. 19. Caryota mitis Lour. 20. Licuala celebica Miq. * 21. Livistona rotundifolia (Lam.) Mart. 22. Pinanga celebica Scheff. * # ASPLENIUM GROUP 23. Asplenium nidus L. BALSAMINACEAE 24. Impatiens platypetala Lindl. BEGONIACEAE 25. Begonia isoptera Dryand. 26. B. muricata Blume BIGNONIACEAE 27. Radermachera sp. BURSERACEAE 28. Canarium asperum Benth. 29. C. hirsutum Willd. 30. Santiria laevigata Blume CASUARINACEAE 31. Gymnostoma sumatranum (L.) Johnson CLUSIACEAE 32. Calophyllum soulatri Burm. f. 33. Garcinia celebica L. 34. G. parvifolia (Miq.) Miq.

Nama daerah

Habitus

Potensi dan referensi

-

S

-

-

P

-

Morompo Rao, raghu Wo Kapopo

P P P P

1(A",K) 1(A',K); 3(C,K) 1(A',K); 3(C,K) 1(A',K); 3(C,K)

Ondolia, kuli Kande kande -

P P P L

1(A",K); 10(I) 1(K) 1(A",K) -

Dampaka

P

1(A"); 2(B',K)

-

H H

2(B"); 5(K) -

Galanti Kowala Rotan tohiti Rotan lambang Rotan batang Kabaru-baru Wiu Kombungo

P P L L L P S P P

5(K); 7(F); 8(K) 2(B",K); 3(C,K) 3(E,K); 6(E); 8(K) 3(E,K); 6(E); 8(K) 3(E,K); 6(E); 8(K) 1(A"); 5(K); 8(K) 5(K); 8 (K) 1(A",K); 2(K); 5(K); 8(K) 5(K); 8(K)

-

H

2(B"); 5(K); 8(G)

-

H

5(K)

-

H H

2(B"); 5(K) 5(K)

-

P

-

Wiolo Ragho -

P P P

1(A') 1(K); 11(J) 1(A")

Gu

P

1(A"); 2(K)

Betau Dampingisi

P P P

1(A,K);2,9(B",K) 1(A"); 3(C,K) 1(A"); 3(C,K); 8(G)


UJI – Flora Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara

COMBRETACEAE 35. Terminalia microcarpa Decne 36. T. supitiana Koord. CUNNONIACEAE 37. Weinmannia devolgii H.C.F. Hopkins CYCADACEAE 38. Cycas rumphii Miq. CYPERACEAE 39. Fimbristylis meliacea (L.)Vahl 40. Scleria scrobiculata Nees. DAPHNIPHYLLACEAE 41. Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. DILLENIACEAE 42. Dillenia serrata Thunbr. * DRYNARIA GROUP 43. Drynaria sparsissora (Desv.) T. Moore EBENACEAE 44. Diospyros lanceifolia Roxb. 45. D. pilasonthera Blanco ELAEOCARPACEAE 46. Elaeocarpus glaber Blume 47. E. ovalis Miq. ERYTHROXYLACEAE 48. Erythroxylum ecarinatum Burck. EUPHORBIACEAE 49. Breynia cernua Muell. Arg. 50. Cleistanthus myrianthus (Hassk.) Kurz 51. Drypetes longifolia (Blume) Pax & Hoffm. 52. D. sibuyanensis Pax. & K. Hoffm. 53. Macaranga hispida (Blume) Muell. Arg. 54. M. mappa (L.) Muell. Arg. 55. M. tanarius (L.) Muell. Arg. 56. M. triloba (Reinw. ex Blume) Muell. Arg. 57. Mallotus peltatus (Geiseler) Muell. Arg. FABACEAE 58. Archidendron sp. 59. Cynometra ramiflora L. 60. Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze 61. I. palembanica Miq. 62. Phanera finlaysoniana Benth. 63. P. lingua (DC.) Miq. 64. Pithecellobium celebicum Kosterm. 65. P. splendens (Miq.) Prain # FLACOURTIACEAE 66. Casearia grewiaefolia Vent. 67. Flacourtia inermis Roxb. 68. Pangium edule Reinw. 69. Scolopia spinosa (Roxb.) Warb. FLAGELLARIACEAE 70. Flagellaria indica L. GESNERIACEAE 71. Loxonia burtiana A. Welba 72. Monophyllae marrilliana Blume GNETACEAE 73. Gnetum gnemon L. HYPERICACEAE 74. Cratoxylum celebicum Blume. ICACINACEAE 75. Gomphandra mappioides Valet. 76. Gonocaryum litorale (Blume) Sleumer LAURACEAE 77. Actinodaphne glomerata Nees 78. Cinnamomum iners Reinw. 79. C. parthenoxylon Meissner # LECYTHIDACEAE 80. Barringtonia acutangulata (L.) Gaertn. 81. B. racemosa (L.) Spreng 82. Planchonia valida (DC.) Blume LEEACEAE 83. Leea indica (Burm. f.) Merr. 84. L. aculeata Blume & Spreng 85. L. aequata L. LILIACEAE 86. Dracaena angustifolia Roxb.

207

Kokoleo Ketapang hutan

P P

1(A',K) 1(A')

-

P

-

Potabu

P

2,3,8,9(C); 5(K)

Sasawile

H H

9(H) -

-

P

1(A")

Soni

P

1(A',K), 2(K); 3(C,K)

Katimboga

H

2(B',K); 5

Gito-gito

P P

1(A') 1(A'); 2(B")

Mandole

Pd P

1(A"); 3(C) -

-

P

1(A")

Kabaho-baho Holea rogbine P Keu uti Lapimomea Lapi Lapinko Tofa

S P P P P P P P

2(B') 1(A") 1(A") 1(A",K) 1(A") 1(A") 1(A",K); 2(B") 1(A"); 2(B'); 4(D) -

Namu Gefi Upi Palapi

P P P P L L P P

1(A) 1(A,K) 1(A,K) 2(K) 1(A")

Kolaka Logasi -

P P P P

1(A",K) 3(C,K) 2,9(B') 1(A")

Eurtina

L

7(F)

-

H H

-

Huka

P

3(C,K); 8(G,K)

Holea

P

1(A')

Weleko -

P P

1(A")

Kondongia

P P P

1(A") 1(A') 1(A',K); 2(K)

Wowone Kambahu Behi

P P P

1(A"); 2,9(B',K) 1(A"); 2,9(B',K) 1(A",K)

Kasala-sala Leha

Pd Pd Pd

2(B', K); 4(D) 2(B',K) 2(B')

Molome

P

2(B")


208

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 205-211

LOGANIACEAE 87. Neuburgia celebica (Koord.) Leenh. MAGNOLIACEAE 88. Elmerrillia ovalis (Miq.) Dandy MALVACEAE 89. Urena lobata L. MARANTHACEAE 90. Donax canneiformis (G.Forst.) K.Sch. MELASTOMATACEAE 91. Melastoma malabathricum L. MELIACEAE 92. Aglaia odoratissima Blume 93. Chisocheton seramicus (Miq.) C.DC. 94. Dysoxyllum arborescens (Blume) Miq. MENISPERMACEAE 95. Arcangelicia flava (L.) Merr. # MICROSORIUM GROUP 96. Microsorium sp. MORACEAE 97. Artocarpus elasticus Blume 98. Antiaris toxicaria (Pers.) Lesch. 99. Ficus microcarpa L.f. 100. F. riedelii Miq. 101. F. ribes Reinw. 102. F. septica Burm.f. 103. F. tonsa Miq. MYRISTICACEAE 104. Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb. 105. H. costulata (Miq.) Warb. * 106. H. lanceifolia De Wilde * 107. Knema cinerea (Poir.) Warb. 108. Myristica fatua Hoult. MYRSINACEAE 109. Ardisia sp. 110. Rapanea hasseltii (Blume) Merr. MYRTACEAE 111. Decaspermum fruticosum Forst. 112. Kjelbergiodendron celebicum Koord. 113. Metrosideros petiolata (Val.) Koord. 114. Syzygium litorale (Blume) Amsh. 115. S. zeylanicum (L.) DC. OLEACEAE 116. Chionanthus nitens Koord. & Valeton ORCHIDACEAE 117. Appendicula buxifolia Blume 118. Bulbophyllum sp. 119. Coelogyne speciosa (Blume) Lindl. 120. Eulophia nuda Lindl. 121. Spatoglottis plicata Blume 122. Tropidia angulosa (Lindl.) Blume PANDANACEAE 123. Freycinetia angustifolia Blume 124. Pandanus tectorius Soland. & Park. PASSIFLORACEAE 125. Passiflora foetida L. PIPERACEAE 126. Peperomia candida Miq. POACEAE 127. Leptaspis urceolata R. Br. 128. Oryza meyeriana (Zoll. & Merr.) Baill. 129. Schizostachyum brachycladum (Kurz) Kurz 130. Sorghum propinguum Hitche PODOCARPACEAE 131. Podocarpus wallichianus (Presl) Kuntze 132. Podocarpus neriifolius D. Don ROSACEAE 133. Rubus rosaefolius J.E. Smith 134. R. moluccanus L. RUBIACEAE 135. Anthocephalus chinensis (Lamk.) A.Rich. 136. Anthocephalus sp. 137. Canthium sp. 138. Ixora macrophylla Barth. 139. I. macrothyrsa (Teysm.& Binn.) Jackson 140. Ixora sp. 141. Lasianthus inodorus Blume

-

P

1(A")

Kuru

P

1(A', K)

-

L

-

-

S

2(K); 7(F)

-

Pd

2(B'); 3(C);4(D)

Holea -

P P P

10(I) 1(A") 1(A")

Katolak

L

2, 4 (B, K)

-

H

-

Kumbou Natanamu Kanangka -

P P P P P P P

2(B"); 3(C, K) 1,3(A"); 2,7(B); 9(B,K) 1(A") 2(B) 2(B, K) -

Gharu Pala hutan Saurea

P P P P P

1(A", K) 1(A") 1(A") 1(A"); 3(K) 1(A', K)

-

Pd Pd

1(A")

Kulimonipi Totobonowawi -

P P P P P

1(A") 1(K) 1(A') 1(A'), 3(C,K); 4(D)

Bulabatu

P

-

-

H H H H H H

5(K) 5(K) 5(K) 5(K) 5(K) 5(K)

Tole

L P

1(K); 3(C); 5(K); 10(I)

-

L

3(C,K)

-

H

-

Tulamonipi -

H H S H

-

Magatis Kayu Cina

P P

1(A', K) 1(A', K); 2(B")

-

L L

2(B'); 3(K) 2(B'); 3(C,K)

Bangkali Kokabu Talo-talo Mando-mando Kahara raron

P P Pd P Pd Pd Pd

1(A, K) 1(K) 5(K) -


UJI – Flora Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara

142. Morinda citrifolia var. bracteata (Roxb.) Hook.f. 143. Mussaenda frondosa L. 144. Nauclea sp. 145. Neonauclea calycina (Barth. Ex DC.) Merr. 146. Pavetta sp. 147. Psychotria celebica Miq. 148. Uncaria sp. RUTACEAE 149. Tetradium glabrifolium (Champ. ex Benth.) Hartley 150. Acronychia pedunculata (L.) Miq. SABIACEAE 151. Meliosma sumatrana (Jack) Walp. SAPINDACEAE 152. Pometia pinnata J.R. & G. Forst. SAPOTACEAE 153. Palaquium bataanense Merr. * 154. P. obtusifolium Burck. SELAGINELLACEAE 155. Selaginella wildenowii (Desv.) Baker STERCULIACEAE 156. Guazuma tomentosa Kunth. 157. Melochia umbellata (Houth.) Stapf. 158. Pterospermum celebicum Miq. TACCACEAE 159. Tacca palmata Blume TECTARIA GROUP 160. Stenosemia aurita (Sw.) Presl. 161. Tectaria angulata (Willd.) C. Chr. 162. T. barberi (Hook.) C.Chr. THEACEAE 163. Ternstroemia toquian (Blanco) F. Vill. THYMELEACEAE 164. Phaleria capitata Jack TILIACEAE 165. Microcos sp. 166. Colona scabra (Sm.) Burr. URTICACEAE 167. Dendrochnide stimulan (L.f.) Chew 168. Leucosyke capitellata Wedd. 169. Pipturus argenteus (Forst.) Wedd. 170. Pilea sp. 171. Elatostema sessile Forst. 172. E. sinuatum (Blume) Hassk. VERBENACEAE 173. Clerodendrum deflexum Wall. 174. C. speciosissimum Van Geert. 175. Geunsia hexandra (Teisjm.& Binn.)Koord Kamama 176. Vitex coffasus Reinw. VITACEAE 177. Cayratia geniculata (Blume) Gagnep. ZINGIBERACEAE 178. Costus globosus Blume 179. Alpinia malaccensis (Burm. f.) Roscob

209

Cengkudu -

Pd L P P Pd P L

2(B",K); 4(D) 5(K); 8(G) 1(K) 1(A", K) -

She Sauwia

P P

1(A", K) 1(A'); 2(K)

Tolanga

P

1(A"); 3(C, K)

Kase-kase

P

1, 2, 3 (A, K)

Nato Kuma

P P

1(A, K) 1(A, K)

-

H

2(B", K)

Koba Bolongita Rumbai

Pd P P

1(A", K)

-

H

2(B")

-

H H H

-

Kowara

P

-

Gaharu

P

2(K); 3(C, K); 7(F)

Koba Wulumea

Pd P

-

Silatokarambu -

Pd S S H H H

2,9(B') 2(B') 2(B') -

Behi Kamena mena

P Pd P P

2(B') 2(K) 1(A', K); 2(K)

Biti, owala -

L

-

-

S S

2(B'), 5(K) 5(K); 10(I)

Keterangan: Habitus: P = pohon, Pd = perdu, S = semak, L = liana, H = herba. Potensi pemanfaatan: 1 = penghasil kayu, 2 = tumbuhan obat, 3 = buah-buahan, 4 = penghasil tanin/pewarna, 5 = tanaman hias, 6 = penghasil rotan, 7 = penghasil serat, 8 = penghasil sayuran, 9 = pakan ternak, 10 = penghasil minyak atsiri, 11 = penghasil resin, 12 = penghasil racun. Status: * = tumbuhan endemic, # = tumbuhan langka. Sumber referensi: A = Soerianegara dan Lemmens (1994), A' = Lemmens et al. (1995), A" = Sosef dkk. (1998), B = Padua et al. (1999), B' = Valkenburg dan Bunyapraphatsara (2001), B" = Lemmens dan Bunyapraphatsara (2003), C = Verheij dan Coronel (1991), D = Lemmens dan Soetjipto (1992), E = Dransfield dan Manukaran (1994), F = Brink dan Escobin (2003), G = Siemonsma dan Pileuk (1994), H = Mannetje dan Jones (1992), I = Oyen dan Dung (1999), J = Boer dan Ella (2001), K = Informasi penduduk lokal.

Berikut ini diuraikan beberapa jenis dari kelompok tumbuhan berpotensi penting yang ditemukan di kawasan SMBU. Penghasil kayu Tumbuhan yang dikelompokan sebagai penghasil kayu mencakup jenis-jenis pohon yang hasil kayunya dapat dimanfaatkan antara lain sebagai bahan bangunan rumah, konstruksi jembatan, pembuatan mebel, dan perahu. Dari 76 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil kayu, 9 jenis diantaranya merupakan jenis-jenis pohon yang

bernilai ekonomi cukup tinggi. Kesembilan jenis pohon tersebut adalah biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica), gefi (Intsia bijuga), nato (Palaquium bataanense), kuru (Elmerillia ovalis), kondongia (Cinnamomum parthenoxylon), dongi (Dillenia serrata), keu uti (Drypetes sibuyanensis) dan rumbai (Pterospermum celebicum). Berdasarkan informasi penduduk lokal, pohon biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica) dan gefi (Intsia bijuga) merupakan jenis-jenis pohon penghasil kayu kualitas satu. Pada umumnya penduduk menggunakan ketiga jenis pohon ini sebagai bahan bangunan rumah,


210

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 205-211

lantai, mebel, perahu dan konstruksi jembatan. Di samping itu ketiga jenis pohon ini juga merupakan komoditas kayu perdagangan yang cukup penting. Dalam dunia perdagangan, kayu yang dihasilkan dari jenis-jenis pohon Intsia dikenal dengan nama “merbau� (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Sedangkan pohon nato (Palaquium bataanense) dan kuru (Elmerillia ovalis) oleh penduduk lokal digolongkan sebagai kayu kulitas dua. Kayu kedua jenis pohon ini termasuk jenis kayu yang tahan lama. Penduduk lokal banyak memanfaatkan kayu jenis ini sebagai bahan bangunan rumah dan pembuatan perahu. Di Indonesia, pohon nato hanya dapat ditemukan di Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sedangkan di Filipina, pohon nato dilaporkan sudah langka dengan status rawan (Anonim, 1992). Di kawasan SMBU, dikenal ada 2 macam pohon nato, yaitu nato berbatang merah dan putih. Pohon kondongia (Cinnamomum parthenoxylon) merupakan salah satu “new record� untuk koleksi di Herbarium Bogoriense. Jenis pohon ini dilaporkan juga sudah langka (Anonim, 1992) dan oleh penduduk lokal kayunya dimanfaatkan untuk pembuatan perahu sedangkan kulit batangnya digunakan untuk membasmi kutu. Kayu kondongia berbau harum menyerupai kayu cendana (Santalum album). Di masa depan kayu kondongia kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai pengganti kayu cendana yang mahal harganya dan sulit dicari. Oleh karena itu baik kayu maupun kulit kayu kondongia mempunyai prospek ekonomi penting di masa depan. Selain itu ditemukan pula satu jenis pohon yang dilindungi pemerintah yaitu pohon rumbai (Pterospermum celebicum) (Wiriadinata, 2001). Di Indonesia, pohon rumbai hanya tumbuh di Sulawesi dan Maluku. Jenis pohon ini banyak dimanfaatkan penduduk lokal untuk bahan bangunan rumah dan pembuatan perahu. Jenis pohon lainnya yang juga banyak dimanfaatkan penduduk lokal untuk pembuatan perahu adalah pohon soni (Dillenia serrata). Jenis pohon ini merupakan tumbuhan endemik di Sulawesi. Penduduk lokal juga memanfaatkan buah soni sebagai pengganti buah asam dalam masakan. Demikian pula kulit batangnya dapat digunakan untuk mengobati muntah darah. Tumbuhan obat Tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan obat menempati urutan kedua dengan jumlah 41 jenis. Salah satu jenis tumbuhan obat yang cukup penting dan banyak tumbuh di kawasan SM Buton Utara adalah cengkudu (Morinda citrifolia var. bracteata). Dilaporkan bahwa buah cengkudu dapat mengobati berbagai penyakit penting, antara lain penyakit diabetes, beri-beri, asma, batuk, dan gangguan pernafasan (Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003). Daun cengkudu oleh penduduk lokal dimanfaatkan untuk mengobati luka. Di kawasan SM Buton Utara juga ditemukan satu jenis tumbuhan obat langka yaitu katolak (Arcangelicia flava) dengan status rawan. Air yang terdapat pada batang muda katolak dilaporkan dapat untuk mengobati sariawan dan panas dalam. Sedangkan air rebusan batangnya yang dicampur daun sirih dan jeruk dapat menyembuhkan penyakit kuning, gangguan pencernaan, dan obat cacing (Rifai et al., 1992). Penduduk lokal di sekitar kawasan SM Buton Utara menggunakan air yang terdapat di dalam batang katolak sebagai obat tetes mata khususnya pada penyakit mata merah atau trachoma. Pohon kowala (Arenga pinnata) yang merupakan salah satu jenis tumbuhan yang dilindungi keberadaannya oleh pemerintah (Wiriadinata, 2001) juga banyak tumbuh di kawasan SMBU. Pohon ini merupakan salah satu jenis

tumbuhan yang dapat memberikan penghasilan tambahan bagi penduduk lokal. Karena di samping mengambil niranya untuk dijadikan gula dan minuman beralkohol, penduduk juga memanfaatkan air rebusan akarnya untuk diminum sebagai obat batu ginjal. Di samping pohon kowala, pohon kombungo (Livistona rotundifolia) juga merupakan jenis pohon yang dilindungi pemerintah (Wiriadinata, 2001). Jenis pohon ini juga banyak tumbuh di kawasan SMBU. Penduduk lokal menggunakan kulit batang kombungo sebagai salah satu campuran obat untuk mengobati penyakit yang tergolong berat, yakni penyakit-penyakit yang secara medis sangat sulit disembuhkan atau sifatnya menahun dan sering kambuh, antara lain asma, alergi dan penyakit TBC (Windadri dan Uji, 2003). Buah-buahan Dari 23 jenis buah-buahan yang ditemukan dan dapat dimakan, jenis-jenis pohon dari suku Anacardiaceae dan Clusiaceae merupakan jenis-jenis yang cukup penting sebagai sumber plasma nutfah buah-buahan di kawasan ini. Jenis-jenis tersebut antara lain wo (Mangifera indica), kapopo (Mangifera quadrifida), rao (Dracontomelon dao), dampingisi (Garcinia parviflora), dan Garcinia celebica. Dampingisi mempunyai perawakan pohon yang pendek, tingginya antara 2-5 meter sehingga berpotensi sebagai material batang bawah untuk usaha pemuliaan kerabat manggis (Verheij dan Coronel, 1991). Demikian pula Garcinia celebica, jenis ini juga berpotensi sebagai batang bawah, karena mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan manggis (G. mangostana) ( Uji, 2004). Jenis lainnya yang juga cukup penting sebagai penghasil buah yaitu huka (Gnetum gnemon). Jenis ini selain dimakan buahnya, daun mudanya digunakan untuk sayur terutama sebagai campuran makanan balita dan dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan. Tanaman hias Dari 22 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman hias, jenis-jenis dari suku Arecaceae dan Orchidaceae perlu mendapatkan perhatian khusus. Beberapa jenis dari suku Arecaceae yang menarik sebagai tanaman hias, antara lain galanti (Areca vestiaria), kabarubaru (Caryota mitis), wiu (Licuala celebica), kombungo (Livistona rotundifolia), dan Pinanga celebica. Wiu dan Pinanga celebica merupakan jenis endemik di Sulawesi. Bahkan dilaporkan keberadaan Pinanga celebica sudah langka (Anonim, 1992). Jenis-jenis dari suku Orchidaceae yang berpotensi penting sebagai tanaman hias, antara lain Appendicula buxifolia, Coelogyne speciosa, Eulophia nuda, Spatoglottis plicata, dan Tropidia angulosa. Satu dari 5 jenis anggrek tersebut, yaitu Spatoglottis plicata sudah banyak dibudidayakan. Jenis tumbuhan lainnya yang juga berpotensi penting sebagai tanaman hias adalah Begonia isoptera dan B. muricata. Begonia isoptera yang berbunga kekuningan tumbuh melimpah di pinggiran sungai sedangkan B. muricata banyak tumbuh di bebatuan. Penghasil rotan Ditemukan 3 jenis Calamus sebagai penghasil rotan yang berpotensi di kawasan ini, yaitu rotan tohiti (Calamus inops), rotan lambang (C. ornatus var. celebicus), dan rotan batang (C. zollingeri). Dua dari 3 jenis Calamus ini termasuk jenis endemik, yaitu C. inops dan C. ornatus var. celebicus (Dransfield dan Manokaran, 1994). Penduduk lokal menggunakan jenis-jenis rotan tersebut untuk bahan baku pembuatan mebel, tali, anyaman keranjang dan tikar.


UJI – Flora Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara

Rotan batang merupakan salah satu jenis rotan yang paling banyak diambil penduduk. Jenis rotan ini selain berdiameter paling besar juga kualitas rotannya paling bagus di bandingkan jenis rotan lainnya. Oleh karena itu keberadaan rotan batang di kawasan SM Buton Utara perlu mendapatkan perhatian khusus terutama terhadap kelestariannya.

211

ditemukan 8 jenis tumbuhan endemik, yaitu: rotan tohiti (Calamus inops), rotan lambang (C. ornatus var. celebicus), wiu (Licuala celebica), Pinanga celebica, soni (Dillenia serrata), gharu (Horsfieldia irya), Horsfieldia lanceifolia, dan nato (Palaquium bataanense).

DAFTAR PUSTAKA Tumbuhan berpotensi lainnya Di samping jenis-jenis tumbuhan berpotensi yang telah diuraikan di atas, terdapat kelompok jenis lainnya yang juga bernilai guna, antara lain sebagai bahan pewarna, pakan ternak, tumbuhan racun, penghasil serat, minyak atsiri, dan penghasil resin (Tabel 1). Batang katolak (Arcangelisia flava) dan akar cengkudu (Morinda citrifolia var. bracteata), masing-masing merupakan penghasil bahan pewarna kuning dan merah-kuning (Padua et al., 1999; Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003). Sedangkan galanti (Areca vestiaria), eurtina (Flagellaria indica), Donax canneiformis, Urena lobata, tole (Pandanus tectoriuas), dan gaharu (Phaleria capitata) merupakan jenis-jenis penghasil serat (Brink dan Escobin, 2003). Adapun wiolo (Canarium asperum) dan ragho (Canarium hirsutum) berpotensi sebagai penghasil resin (Boer dan Ella, 2001). Pohon ondolia atau kuli (Cananga odorata), holea (Aglaia odoratissima) dilaporkan menghasilkan minyak atsiri ( Oyen dan Dung, 1999). Tumbuhan racun juga dapat ditemukan di kawasan ini, antara lain natanamu (Antiaris toxicaria). Penduduk menggunakan getah natanamu untuk berburu binatang liar. Caranya dengan mengoleskan getah natanamu pada ujung anak panah. Di samping itu penduduk juga menggunakan racun ikan yang diambil dari buah wowone (Barringtonia acutangula) dan kambahu (B. racemosa).

KESIMPULAN Suaka Margasatwa Buton Utara kaya dengan keanekaragaman jenis dan potensi tumbuhan. Tujuh puluh enam dari 179 jenis tumbuhan yang dikoleksi di kawasan SM Buton Utara berpotensi sebagai penghasil kayu bahan bangunan rumah, konstruksi jembatan, mebel dan pembuatan perahu. Sembilan dari 76 jenis pohon penghasil kayu merupakan jenis-jenis yang bernilai ekonomi cukup tinggi, yaitu biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica), gufi (I. bijuga), nato (Palaquium bataanense), kuru (Elmerrilia ovalis), keu uti (Drypetes sibuyanensis), rumbai (Pterospermum celebicum), kondongia (Cinnamomum parthenoxylon) dan dongi (Dillenia serrata). Kawasan ini juga cukup kaya dengan obat. Tercatat 41 jenis ditemukan sebagai tumbuhan penghasil obat-obatan dan satu jenis di antaranya yaitu katolak (Arcangelisia flava) merupakan tumbuhan obat langka. Di samping itu juga

Anonim. 1992. Indonesia Conservation Status Listing Threatened Plants Unit. Cambridge: World Conservation Monitoring Centre. Anonim. 1999. Informasi Kawasan Konservasi Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen Kehutanan, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara, Sub Balai KSDA Sulawewsi Tenggara. Brink, M. and R.P. Escobin (eds.). 2003. Fibre Plants. Leiden: Backhuys Publisher & Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Boer, E. and A.B. Ella (eds.). 2001. Plants Producing Exudates. Bogor: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Dransfield, J. and N. Manokaran (eds.). 1994. Rattans. Bogor: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Keng, H. 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore: Singapore University Press. Lemmens, R.H.M.J., P.C.M. Jansen, J.S. Siemonsma and F.M. Stavast (eds.). 1989. Basic List of Species and Commodity Grouping Version. Wageningen: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Lemmens, R.H.M.J. and N.W. Soetjipto (eds.). 1992. Dye and Tannin Producing Plants. Bogor: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, and W.C. Wong (eds.). 1995. Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Bogor: Plant Resources of SouthEast Asia (PROSEA). Lemmens, R.H.M.J. and N. Bunyapraphatsara (eds.). 2003. Medicinal and Poisonous Plants 3. Leiden: Backhuys Publishers/ Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Mannetje, L.T. and R.M. Jones (eds.). 1992. Forages. Bogor: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (eds.). 1999. Essential Oil Plants. Leiden: Backhuys Publisher/ Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1999. Medicinal and Poisonous Plats 1. Leiden: Backhuys Plublisher/ Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Rifai, M.A., Rugayah, and E.A.Widjaja (eds.). 1992. Tiga puluh tumbuhan obat langka Indonesia. Sisipan Floribunda 2: 10. Rugayah, E.A.Widjaja, dan Praptiwi (eds.) 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi. Siemonsma, J.S. and K. Pileuk (eds.). 1994. Vegetables. Bogor: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Soerianegara, I. and R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1994. Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: Plant Resources of South East Asia (PROSEA). Sosef, M.S.M., L.T. Hong, and S. Prawirohatmodjo (eds.). 1998. Timber Trees: Lesser-known Timbers. Leiden: Backhuys Publisher/Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah, dan Potensi Buahbuahan Asli Kalimantan. BioSMART (6) 2: 117-125. Valkenburg, J.L.C.H. and Bunyapraphatsara (eds.). 2001. Medicinal and Poisonous Plants 2. Leiden: Backhuys Publisher/Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Verheij, E.W.M. and R.E. Coronel (eds.). 1991. Edible Fruits and Nuts. Wageningen: Pudoc/Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). Windadri, F.I. dan T. Uji. 2003. Tumbuhan Berpotensi Ekonomi Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Wiriadinata, H. 2001. Tumbuhan . Dalam: Noerdjito, M. dan I. Maryanto (ed.). Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Cibinong-Bogor: Puslit Biologi-LIPI, The Nature Conservancy, and USAID.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 212-216

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Berkayu sebagai Bahan Baku Perahu Tradisional oleh Suku Yachai di Kabupaten Mappi The use of vascular plants as traditional boat raw material by Yachai tribe in Mappi Regency SERLLY LANOEROE, ELISA MARKUS KESAULIJA, YOHANES YOSEPH RAHAWARIN♥ Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari 98314, Irian Jaya Barat (Papua). Diterima: 7 Pebruari 2005. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT This research is executed aim to know the plant species and the way of exploiting permanent wood upon which traditional boat making by Yachai tribe in Mappi regency. The Method that used in this research is descriptive method with the structural semi interview technique and direct perception in field. Result of research indicate that the tribe Yachai exploit the plant species have permanent wood upon which traditional boat as much 26 species from 14 family. There are 8 wood species which is often used for the body of boat and also own the good quality according to Yachai tribe, that is Atam (Scihizomeria serrata Hochr), Batki (Adinandra forbesii Baker. F), Chomach (Gordonia papuana Kobuski), Rupke (Tristania sp.), Bao (Dillenia papuana artelli), Top (Buchanania macrocarpa Laut), Mitbo (Cordia Dichtoma Forst.), and Yunun (Camnosperma brevipetiolata Volkens). While to part of oar exploit 2 wood species that is Bach (Buchanania Arborescens.Bi) and Tup (Litsea ampala Merr). Yachai Tribe recognized 3 boat model owning different size measure and function, that is Junun Ramchai, Junun Pochoi and Junun Toch. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: vascular plants, traditional boat, Yachai tribe, Mappi Regency.

PENDAHULUAN Secara geografis Indonesia terletak antara 95°-141° BT dan antara 6°LU-11°LS. Letak geografis tersebut menyebabkan Indonesia memiliki sumberdaya alam yang potensial. Terdapat kurang lebih 13.000 pulau (besar dan kecil) yang dipisahkan oleh perairan dan sangat membutuhkan alat transportasi darat maupun laut. Sebagai negara kepulauan sarana transportasi yang biasa digunakan adalah perahu/kapal (Junus dkk., 1985). Kayu merupakan jenis bahan baku yang paling banyak digunakan dalam pembuatan perahu oleh berbagai suku di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena sebagai negara yang beriklim tropik Indonesia memiliki keanekaragaman jenis flora yang tinggi. Menurut Martawijaya (1993) diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 4000 jenis kayu, kurang dari jumlah ini sekitar 400 jenis tumbuhan berkayu yang dianggap sudah dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat. Propinsi Papua merupakan daerah pemusatan kehidupan tumbuhan paling kaya di Indonesia dengan bentangan daratan yang luas hingga mencapai ketinggian 5.000 m dpl. dengan pengecualian daerah tadah hujan di bagian tenggara, merupakan hutan subur beriklim basah tropik serta mengandung kekayaan floristik yang luar biasa proporsinya. Kebutuhan kayu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari, baik untuk kebutuhan dalam rumah maupun di luar rumah, seperti konstruksi ♥ Alamat korespondensi: Jl. Gunung Salju Amban PO BOX 153, Manokwari 98314. Tel. +62-986-211065, Fax. +62-986-213069. e-mail: yohanesrahawarin@yahoo.com

rumah, perabot rumah tangga, pagar rumah, jembatan, serta berbagai alat transportasi seperti kapal kayu, perahu dan gerobak (Petocz, 1987). Suku Yachai merupakan salah satu etnik di propinsi Papua yang bermukim di daerah aliran sungai Obaa, wilayah kabupaten Mappi. Suku ini dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih bergantung pada sumberdaya hutan dan perairan. Pola kehidupan demikian menyebabkan suku Yachai menggunakan perahu sebagai alat transportasi. Perahu berperan penting bagi kehidupan masyarakat tradisional suku Yachai dalam kegiatan transportasi antar kampung, sebagai perahu pencari ikan, perahu berburu, bahkan dalam sejarah peradaban suku Yachai perahu memegang peranan penting misalnya saat perang antar suku yang dikenal sebagai zaman mengayau. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini telah banyak mempengaruhi peradaban suku bangsa di dunia, termasuk suku Yachai di kabupaten Mappi. Perkembangan ini mengancam kelestarian pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat dalam proses pembuatan perahu. Sejauh ini belum terdapat informasi tentang pemanfaatan jenis kayu sebagai bahan baku perahu oleh suku Yachai, oleh sebab itu kajian untuk mengetahui kearifan tradisional dalam proses pembuatan perahu perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan cara pemanfaatan tumbuhan berkayu sebagai bahan baku pembuatan perahu tradisional oleh suku Yachai di kabupaten Mappi. Hasil penelitian ini merupakan informasi dasar mengenai pengetahuan tradisional pembuatan perahu tradisional khususnya suku Yachai. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi rencana pengelolaan dan pelestarian jenis-jenis kayu perahu di Papua khususnya kabupaten Mappi.


LANOEROE dkk. – Perahu tradisional oleh Suku Yachai

BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik wawancara semi struktural dan pengamatan langsung di lapangan. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mappi, yang berlangsung dari tanggal 19 Juni s.d. 20 Agustus 2004. Subyek penelitian ini adalah masyarakat suku Yachai yang mengetahui dan memanfaatkan perahu tradisional. Obyek yang diamati adalah jenis-jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan perahu tradisional. Pengambilan contoh responden terbagi menjadi dua, yaitu: responden kunci dan responden umum. Responden kunci terdiri dari kepala suku, tokoh adat, kepala kampung, dan tokoh masyarakat, sedangkan responden umum diambil secara acak sebesar 10% dari jumlah kepala keluarga yang ada. Variabel yang diamati adalah pengetahuan tradisional suku Yachai dalam membuat perahu tradisional, yang meliputi: (i) jenis dan kriteria tumbuhan berkayu sebagai bahan baku perahu tradisonal, (ii) model dan fungsi perahu tradisonal, (iii) proses pembuatan perahu tradisional, (iv) motif ukiran pada dayung dan badan perahu tradisional, (v) cara dan waktu pengambilan bahan baku perahu tradisonal, (vi) cara perlindungan dan pemeliharaan perahu tradisonal. Untuk jenis kayu perahu yang belum diketahui nama ilimiahnya dibuatkan spesimen herbarium untuk diidentifikasi pada Herbarium Manokwariense (MAN), Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati, Universitas Negeri Papua (PPKH) UNIPA Manokwari.

213

bahan baku perahu tradisional suku Yachai diperlihatkan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jenis tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perahu didominasi oleh famili Myrtaceae diikuti oleh Clusiaceae, Dipterocarpaceae, dan Anacardiaceae. Hal ini disebabkan areal tempat tinggal suku Yachai didominasi oleh tipe vegetasi dari hutan dataran rendah yang tersebar dari ketinggian 0-600 m dpl, dengan topografi agak berbukit.

Model dan fungsi perahu tradisional suku Yachai Suku Yachai di Kabupaten Mappi menyebut perahu dalam bahasa Yachai adalah Junun. Model perahu memiliki ciri utama menggunakan ukiran pada bagian depan perahu (Badun) serta tidak memiliki semang. Berdasarkan fungsi dan bentuknya terdapat 3 (tiga) model perahu yang dikenal dalam kehidupan suku Yachai, yaitu: Junun Ramchai, Junun Pochoi, dan Junun Toch. Secara umum fungsi dan kegunaan masing-masing perahu adalah sebagai berikut: Junun Ramchai adalah perahu yang fungsi utamanya sebagai sarana transportasi untuk berbagai keperluan ke ibukota distrik atau transportasi antar kampung. Junun Pochoi adalah perahu yang biasa digunakan dalam kegiatan memancing atau mencari ikan secara tradisional. Junun Toch adalah perahu yang digunakan pada zaman dahulu dalam kegiatan berperang (mengayau). Kondisi perairan kabupaten Mappi yang terdiri atas sungai dan anak sungai yang panjang serta sebagian besar merupakan daerah berawa, menyebabkan model perahu Junun Ramchai dan Junun Pochoi paling banyak digunakan sebagai sarana transportasi sungai, ataupun untuk menangkap ikan/hasil buruan. Pada penelitian ini model perahu tradisional yang diamati Junun Ramchai dan Junun HASIL DAN PEMBAHASAN Pochoi. Ciri fisik dari masing-masing model perahu tradisional suku Yachai seperti diperlihatkan pada Gambar Jenis Tumbuhan Berkayu Sebagai Bahan Baku Perahu 1, 2, dan 3. Tradisional Pemanfaatan jenis tumbuhan berkayu sebagai Junun Ramchai banyak diminati oleh masyarakat suku Yachai sebagai alat transportasi antar kampung. Hal ini terlihat dari ukuran perahu dengan Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan berkayu sebagai bahan baku perahu tradisional Suku Yachai. panjang 7-9 m dan lebar 1 m serta dapat menampung sampai Tujuan Nama ilmiah Famili Nama daerah 8 orang. Sebagai sarana pemanfaatan transportasi, perahu ini memiliki Anacardiaceae 1. Buchanania arborescens Bl. Bach Dayung motif ukiran pada bagian depan 2. Buchanania macrocarpa Laut Top Badan perahu 3. Camnosperma brevipetiolata Volkens. Junun Badan perahu perahu yang dikenal dengan 4. Cordia dichotoma Forst.f Boraginiaceae Mitbo Badan perahu sebutan Badun Wabub (kasuari). 5. Canarium decumanum Burseraceae Minang Badan perahu Kehidupan masyarakat suku 6. Lophopetalum forsteniana Miq. Celastraceae It Badan perahu Yachai yang memiliki kebiasaan 7. Calophyllum congestiflorum A.C.Sm. Madu Badan perahu Clusiaceae meramu (subsisten) pada daerah 8. Calophyllum papuanum Lauterb. Titem Badan perahu berawa dan banyak sungai 9. Calophyllum pseudovitiensis L.F. Wat Badan perahu mengharuskan setiap kepala 10. Calophyllum savanarum A.C.Sm. Kore Badan perahu keluarga memiliki perahu. 11. Scihizomeria serrata Hochr. Cunoniceae Atam Badan perahu 12. Dillenia papuana Martelli Dilleniaceae Bao Badan perahu Terdapat beberapa aturan adat 13. Hopea papuana Diels Dipterocarpaceae Kit Badan perahu yang berlaku, seperti terlihat 14. Hopea similis Sloot. Kib Ndingach Badan perahu pada Gambar 1., adanya dua 15. Vatica papuana Dyer Acha Badan perahu buah dayung (Dokak) yang 16. Litsea ampala Merr. Lauraceae Tup Dayung menyilang antara badan perahu 17. Aglalia sp. Meliaceae Mat Badan perahu yang menandakan bahwa 18. Syzygium buettnerianum (K.Schum) Pachpoch Badan perahu Myrtaceae perahu tersebut tidak dapat 19. Syzygium sp. Tatcham Badan perahu dipergunakan oleh orang lain 20. Syzygium papuasica M.p. Borok Badan perahu 21. Tristania sp. Rupke Badan perahu selain pemilik perahu. 22. Tristania ferruginea C.T.White. Boe Badan perahu Pelanggaran terhadap simbol 23. Nageia wallichiana (pres L) O. Kuntze. Podocarpaceae Nachai Badan perahu adat ini akan mendapat sangsi 24. Adina sp. Rubiaceae Petim Badan perahu adat bahkan dapat 25. Adinandra forbesii Baker.f Theaceae Batki Badan perahu mengakibatkan hukuman mati. 26. Gordonia papuana Kobuski. Chomach Badan perahu


214

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 212-216

Gambar 1. Ciri fisik model Junun Ramchai. Keterangan: panjang 7-9 m, lebar 1 m.

Gambar 5. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan perahu.

Gambar 2. Ciri Fisik Model Junun Pochoi. Keterangan: panjang 3-4 m, lebar 0,5 m.

Gambar 6. Kegiatan pembuatan ukiran dayung.

Gambar 3. Sketsa model Junun Toch. Keterangan: panjang 7-9 m, lebar 1 m.

Gambar 7. Pembuatan jalur penarikan bahan baku perahu.

Gambar 4. Ciri fisik ukiran bagian depan perahu.

Gambar 8. Motif ukiran dan ukuran dayung tradisional Suku Yachai. Keterangan: A. Ik Dokak, B. Rur Dokak, C. Riyae Dokak. Panjang kepala dayung Âą 0,5-1 m; panjang tangkai dayung Âą 1,51 m.


LANOEROE dkk. – Perahu tradisional oleh Suku Yachai

Pengambilan Bahan Baku (7-10 orang)

Pembersihan/Potong Ujung & Pangkal (1-2 orang)

Penarikan Bahan Baku Ke Tepi Sungai (7-10 orang)

Pembentukan Badan Perahu/Rimbas Kasar (2-3 orang) Pembentukan Bagian Luar perahu

Penggalian Bagian Dalam perahu

Pengasaran/Penggarangan Badan Perahu

Rimbas Halus (1orang Tenaga Terampil)

Pembuatan Ukiran Pada depan (Badun) Perahu (1 orang Tenaga Terampil)

Junun Pochoi

Junun Ramchai Junun Toch

Gambar 9. Skema proses pembuatan perahu tradisional.

Junun Pochoi adalah salah satu model perahu yang biasanya digunakan untuk mencari ikan serta memiliki daya tampung ± 2 orang. Ukuran Junun Pochoi tidak terlalu besar, yaitu: panjang antara 3-4 m, lebar 40-50 cm. Hal ini bila dibandingkan Junun Ramchai yang memiliki kapasitas lebih besar. Motif ukiran pada bagian depan perahu Junun Pochoi berbeda dengan Junun Ramchai. Motif ukiran yang sering digunakan dan telah dikenal oleh suku Yachai adalah Mandockoi Wabub (ikan). Motif ukiran pada depan perahu menandakan perbedaan antara perahu yang satu dengan yang lainnya, dan telah menjadi totem pada suku Yachai sebagai simbol adat dari nenek moyang serta menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Perahu model Junun Toch digunakan pada zaman nenek moyang suku Yachai yang seringkali terjadi perang antar suku demi mempertahankan wilayahnya. Jenis perahu perang ini sudah tidak ditermukan lagi di sekitar perairan sungai Obaa, namun masih bisa digambarkan oleh para tetua adat seperti sketsa pada Gambar 3. Ukuran Junun Toch menurut para tokoh adat setempat memiliki panjang ± 7-9 m, dan lebar 1 m dengan daya muat biasanya 5-6 orang. Di dalam perahu terdapat peralatan perang seperti panah, kapak, dan tombak serta dihias pada bagian badan perahu dengan ukiran-ukiran yang digosok dengan menggunakan lumpur. Motif ukiran pada bagian depan perahu Junun Toch yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Mamin Rup yang memiliki arti pertumpahan darah (perang).

215

Kriteria pemilihan jenis kayu perahu Badan perahu (Dedo) Suku Yachai cenderung memilih jenis kayu yang kuat, ringan, tidak mudah pecah, tidak berlubang, memiliki cabang bebas yang tinggi, lurus, kayu tidak keras supaya mudah diukir pada bagian depan perahu, serta tahan terhadap organisme perusak kayu khususnya binatang laut/air. Dari 24 Jenis kayu yang digunakan, hanya delapan jenis yang sering digunakan untuk badan perahu antara lain batki (Adinandra forbesii Baker.f), rupke (Tristania sp.), yunun (Camnosperma brevipetiolata Volkens.), top (Buchanania macrocarpa Laut), Atam (Sccihizomeria serrata Hochr.), chomach (Gordonia papuana Kobuski.), mitbo (Cordia dichtoma Forst.f), dan bao (Dillenia papuana Martelli). Kedelapan jenis kayu di atas memiliki keunggulan dibanding kayu lainnya karena jenis-jenis tersebut memiliki kelas kuat II-III, kelas awet II-III, dengan berat jenis kayu 0,55-0,80, serta umur pakai 3-5 tahun (Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya, 1976) Dayung (Dokak) Untuk bagian dayung suku Yachai cenderung memilih kayu yang tidak terlalu berat, tidak mudah patah, tidak terlalu keras. Dipilihnya kayu yang tidak terlalu keras agar dayung tersebut dapat diukir sesuai motif ukiran dalam suku Yachai. Terdapat 11 motif ukiran pada dayung Suku Yachai antara lain Dokak kende dokak, Riyae dokak, Kajo abur dokak, Rur dokak, Wari dokak, Ik yachand dokak, Chaingga dokak, Naper dokak, Ra kound dokak, Mind dokak, dan Petit dokak. Namun saat ini suku Yachai hanya menggunakan 7 motif ukiran, yaitu: Riyae dokak, Ik yachan dokak, Dokak kende dokak, Petit dokak, Rur dokak, Wari dokak, dan Kajo abur dokak. Ukiran Rur Dokak bermotif kupu-kupu yang telah menjadi totem dalam kehidupan suku Yachai sebagai lambang persaudaraan. Sedangkan ukiran Riyae dokak bermotif penyu yang artinya kehidupan abadi. Beberapa motif ukiran dayung suku Yachai disajikan pada Gambar 8. Suku Yachai dalam pembuatan dayung mengenal dua jenis kayu, yaitu: bach (Buchanania arborescens BI.) dan tup (Litsea ampala Merr.). Menurut masyarakat setempat bahan kedua kayu ini cocok untuk bahan baku dayung karena ringan, tidak mudah patah dan mudah diukir. Kegiatan pembuatan ukiran pada dayung diperlihatkan pada Gambar 6. Cara dan waktu pengambilan bahan baku Proses pengambilan bahan baku perahu oleh suku Yachai diawali dengan memberikan tanda pada pohon yang akan ditebang. Tanda tersebut dilakukan sesuai dengan arah terbit matahari dengan memotong batang pohon seperti huruf “V” biasanya dilaksanakan pada pagi hari. Pemberian tanda ini dimaksudkan untuk menentukan bagian batang pohon yang akan digali sebagai badan perahu. Tidak terdapat acara ritual atau upacara adat di dalam pengambilan bahan baku perahu tradisional. Sebelum pohon ditebang biasanya dibersihkan dahulu arah rebah pohon, agar tidak mengalami kesulitan dalam penarikan kayu. Selanjutnya dibuatkan jalur kayu yang diberikan bantalan dari tiang-tiang kayu untuk ditarik ke tepi sungai, pada pagi hari (Gambar 7). Proses pembuatan perahu tradisional Pada awal pembuatan perahu, bahan dicincang kasar untuk menentukan bagian depan dan belakang, serta badan perahu. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudahkan proses pembuatan perahu. Tahap selanjutnya adalah


216

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 212-216

kegiatan rimbas perahu. Rimbas perahu terbagi menjadi dua, yaitu:, rimbas kasar berupa pekerjaan pembentukan bagian luar dan penggalian badan perahu. Rimbas halus dilakukan setelah badan perahu hasil rimbas kasar telah melewati proses penggarangan. Penggarangan dilakukan dengan cara membakar badan perahu dengan daun kelapa kering agar perahu yang dihasilkan kering dari getah pohon. Hal ini dimaksudkan agar perahu kuat dan tahan terhadap serangan binatang air perusak kayu perahu. Selanjutnya tahap pembuatan ukiran pada bagian depan perahu. Motif ukiran disesuaikan dengan perahu yang akan dihasilkan. Skema proses pembuatan perahu tradisional suku Yachai diperlihatkan pada Gambar 9. Tenaga kerja Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembuatan perahu tradisional suku Yachai berjumlah antara 11-13 orang. Untuk kegiatan pengambilan bahan baku, pembersihan ujung dan pangkal pohon serta penarikan bahan baku ke tepi sungai dibutuhkan 7-10 orang. Untuk pekerjaan pembentukan badan perahu secara kasar dibutuhkan 2-3 orang. Sedangkan 2 orang lainnya masingmasing terdiri dari 1 orang tenaga terampil untuk rimbas halus dan 1 orang pengukir bagian depan perahu. Peralatan dan waktu pembuatan perahu Peralatan yang digunakan untuk membuat perahu, yaitu: kapak (Nugget/Chamba), parang (Akib), rimbas (Khaytangget), dan pisau (Tokak) (Gambar 5). Kapak dan parang digunakan untuk menebang dan membersihkan batang dari ranting-ranting. Rimbas digunakan untuk membentuk badan perahu bagian luar maupun dalam, serta menghaluskan badan perahu, sedangkan pisau digunakan untuk membuat ukiran pada bagian depan perahu. Kehidupan suku Yachai yang berpola meramu mengakibatkan perahu menjadi kebutuhan utama, sebagai sarana transportasi. Kondisi ini berakibat pada proses pembuatan perahu yang dikerjakan relatif singkat. Waktu yang dibutuhkan dalam membuat sebuah perahu Âą 3-5 hari untuk Junun Pochoi dan Âą 2-4 minggu untuk Junun Ramchai. Pemeliharaan dan perlindungan perahu secara tradisional Perlakuan untuk memperpanjang masa pakai perahu dilakukan setelah perahu selesai dikerjakan. Perlakuan yang diberikan berupa pembakaran badan perahu bagian luar dengan daun kelapa (Cocos nucifera) kering, selanjutnya dilakukan perimbasan terakhir. Pembakaran ini dimaksudkan agar perahu yang dihasilkan benar-benar kering dari getah pohon serta menjadi kuat dan tahan terhadap serangan binatang air perusak kayu perahu. Kegiatan pemeliharaan dan perlindungan yang biasa dilakukan suku Yachai untuk memperpanjang masa pakai perahu meliputi: (i) Perahu sesegera mungkin diangkat ke tepi sungai, apabila sudah tidak digunakan lagi. Jika terlalu lama berada dalam air akan mudah diserang binatang perusak dan lumut. (ii) Apabila sudah tidak digunakan lagi dan telah diangkat ke tepi sungai, maka perahu tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung dan harus berada di tempat teduh agar badan perahu tidak retak atau pecah. (iii) Pada waktu tertentu bagian dalam perahu dibersihkan dari lumut dan sisa air dengan mengikisnya. KESIMPULAN DAN SARAN Suku Yachai memanfaatkan sebanyak 26 jenis dari 14 famili tumbuhan berkayu sebagai bahan baku perahu tradisional. Terdapat 8 jenis kayu yang sering digunakan

untuk badan perahu dan berkualitas baik, di antaranya atam (Scihizomeria serrata Hochr.), batki (Adinandra forbesii Baker.f), chomach (Gordonia papuana Kobuski.), rupke (Tristania sp.), bao (Dillenia papuana Martelli), top (Buchanania macrocarpa Laut), mitbo (Cordia dichtoma Forst.f), dan yunun (Camnosperma brevipetiolata Volkens.). Sedangkan untuk bagian dayung dimanfaatkan 2 jenis kayu, yaitu: bach (Buchanania arborescens BI.) dan tup (Litsea ampala Merr.). Terdapat 3 jenis perahu dalam kehidupan suku Yachai yang memiliki fungsi dan ukuran yang berbeda, yaitu: Junun Ramchai, Junun Pochoi dan Junun Toch. Model Junun Toch yang merupakan perahu perang sudah tidak ditemukan lagi. Kriteria pemilihan jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan badan perahu tradisional adalah kuat, tidak mudah pecah, lurus, ringan, memiliki batang bebas cabang yang tinggi, tidak keras sehingga mudah dibentuk dan diukir serta tahan terhadap organisme perusak kayu khususnya binatang laut/air. Sedangkan kriteria pemilihan jenis kayu untuk dayung adalah: tidak terlalu berat, tidak mudah patah, dan tidak terlalu keras agar mudah diukir. Bahan baku perahu diperoleh dari areal hutan sekitar kampung yang diawali dengan memberikan tanda seperti huruf “V� pada pohon yang akan ditebang sebagai petunjuk untuk bagian badan perahu yang akan digali. Proses pembuatan perahu diawali dengan pengambilan bahan baku, pembersihan ujung dan pangkal, penarikan ke tepi sungai, pembentukan badan perahu/rimbas kasar, penggalian badan perahu dan pembentukan bagian luar, penggarangan badan perahu, rimbas halus, pembuatan ukiran pada depan perahu (Badun). Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan perahu adalah kapak (Nugget/Chamba), parang (Akib), rimbas (Khaytangget), pisau (Tokak). Tenaga kerja dalam proses pembuatan perahu tradisional berjumlah antara 11-13 orang. Lama pengerjaan perahu untuk model Junun Pochoi 3-5 hari dan Junun Ramchai 2-4 minggu. Perlakuan yang diberikan untuk memperpanjang masa pakai perahu dilakukan melalui proses penggarangan, pengikisan badan perahu dari lumut/binatang perusak serta perahu dilindungi dari sinar matahari langsung untuk mencegah retak dan pecah pada badan perahu. Untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui status populasi jenis kayu perahu yang biasa digunakan suku Yachai. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sifat fisika dan mekanika jenis kayu perahu tradisional. Untuk mencegah kepunahan jenis kayu perahu yang sering digunakan masyarakat, maka perlu dilakukan upaya konservasi berupa penyuluhan dan penanaman kembali jenis-jenis kayu tersebut. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya, 1976. Mengenal Beberapa Jenis Kayu Irian Jaya. Jilid I. Jayapura: Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya Duwila, 2003. Pemanfaatan Jenis-Jenis Kayu Sebagai Bahan Baku Pembuatan Perahu Tradisional oleh Masyarakat Kampung Wariap Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari. [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan UNIPA. Fatubun, H.M. 2003. Jenis Tumbuhan Berkayu yang Dimanfaatkan dalam Kehidupan Suku Biak di Kampung Auki Distrik Padaido Kabupaten Biak Numfor. [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan UNIPA. Junus., A.R. Wasaraka., J.J. Fransz., M. Rusmaedi., Soeyitno., S. Sanggen., dan Ny. Digut. 1985. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Ujung Pandang.. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Martawijaya, A. 1993. Sifat dan Kegunaan Kayu Merbau. Seminar Sehari Optimalisasi Pemanfaatan Kayu Merbau Indonesia, Jakarta. Petocz, 1987. Konservasi Alam dan Pengembangan di Irian Jaya. Strategi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Rasional. Jakarta: PT. Temprint.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 217-219

ISSN: 1412-033X Juli 2005

Jenis-jenis Pengganti Pinang dan Gambir dalam Budaya Menginang Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua The alternative choices of masticatory customs by local people in Wasur National Park, Merauke, Papua SITI SUSIARTI♼ Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. Diterima: 11 Maret 2005. Disetujui: 4 Juni 2005.

ABSTRACT The flora diversity and the interesting customs in East Indonesia, particularly in Papua, have not been explored intensively. This study encountered the relationship between traditional customs and usage of plant species by the local people in Wasur National Park Area, Merauke sub-district, Merauke district. One of them was masticatory. It has been well known by Indonesians in most parts of Indonesia, including societies in Wasur National Park. The major societies live in Wasur National Park are Kanum, Morori and Marind. Besides gambir (Uncaria gambir Roxburgh) and sirih (Piper betle L.), the young fruit of betel nut (Areca catechu L.) is usually consumed it as masticatory materials, by man and women. Several plant species, usually used alternative choices by Kanum, Morori and Marind were openg (Exocarpus latifolius R.Br.; Santalaceae), tawal (Celastraceae), sambiwal (Erythroxylum ecarinatum Burck; Erythroxylaceae), ntuo (Cryptocaria nitida R.A.Philippi; Lauraceae) and agya (Endiandra montana C.T. White; Lauraceae). Š 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: masticatory customs, Wasur National Park, Papua.

PENDAHULUAN Keanekaragaman floristik di Kawasan Timur Indonesia beserta keanekaragaman budayanya cukup menarik, namun belum banyak yang diungkapkan terutama di Papua. Kebiasaan menginang sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara luas sejak zaman dahulu, baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku maupun Papua. Kebiasaan menginang ini diperkirakan muncul sebelum abad ke-4 Masehi. Kebiasaan menginang dikenal hampir oleh semua kelompok etnis di Papua mulai dari etnis yang mendiami kawasan pesisir pantai selatan, sampai daerah Kerom, perbatasan antara RI dan Papua Niugini, sedangkan di pedalaman Kabupaten Jayawijaya dan Paniai tradisi menginang di masa lampau tidak dikenal (Hamzuri dkk., 1997). Menurut Hamzuri dkk. (1997) kebiasaan menginang tidak berbeda dengan praktek kenikmatan lain, seperti tembakau, teh, dan kopi, sehingga penginang yang sudah kecanduan sukar untuk menghilangkannya. Praktek menginang mempunyai efek positif karena bahan yang dikinang mengandung antiseptik yang dapat memperkuat gigi. Disamping itu sirih yang dikunyah dapat mengurangi bahaya karies gigi dan menjaga kesehatan mulut (Sundari dkk., 1992). Hal ini terjadi karena daun sirih dan daun

♼ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail: herbogor@indo.net.id

gambir mempunyai aktifitas antioksidan (Diantini dkk., 2001). Pada abad ke-16, di Maluku telah tercatat enam jenis pinang dan sirih yang digunakan masyarakat (Hamzuri dkk., 1997). Menurut Heyne (1987) dan Jansen et al., (1993), tumbuhan yang dimasukkan dalam kelompok bahan untuk menginang terutama dari suku Arecaceae, Moraceae, Piperaceae, Sterculiaceae, Fabaceae, dan Rubiaceae. Nilai-nilai budaya seringkali merupakan ungkapan nyata dari kearifan generasi terdahulu dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan menjalankan kehidupan secara lebih sejahtera. Budaya menginang dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya merupakan salah satu warisan pengetahuan tradisional yang memiliki nilai-nilai positif, sehingga perlu dilestarikan, termasuk pada masyarakat Kanum, Marori dan Marind di kawasan Taman Nasional (TN) Wasur, Merauke, propinsi Papua.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode partisipasi langsung pada masyarakat di kawasan TN Wasur yang meliputi Desa Wasur, Sota, Rawa Biru, Yang Gandur, dan Onggaya yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Merauke, Kabupaten Merauke, propinsi Papua. Kawasan ini berbatasan dengan negara tetangga Papua Niugini. Masyarakatnya terdiri dari suku Kanum, Marori, dan Marind. Data dan informasi diperoleh melalui wawancara secara langsung terhadap lebih dari 30 anggota masyarakat, termasuk para tetua adat. Informasi jenis-jenis tumbuhan pengganti pinang dicatat, termasuk cara pemanfaatan,


218

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 217-219

tempat tumbuh dan nama daerahnya. Untuk keperluan identifikasi dan nama baku ilmiahnya, setiap jenis tumbuhan diambil contoh herbariumnya. Selain data lapangan juga diperiksa spesimen herbarium koleksi Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, LIPI untuk melengkapi aspek botani lain seperti penyebarannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kebiasaan menginang dikenal hampir di seluruh kelompok etnis di kawasan bumi Cendrawasih, termasuk masyarakat Kanum, Marori dan Marind. Kebiasaan menginang ini sudah lama dilakukan oleh wanita dan pria, baik tua maupun muda, hal ini juga menjadi sarana bersosialisasi sehari-hari. Setiap suku mempunyai bahasa lokal tersendiri untuk perkataan menginang dan perlengkapan untuk menginang, seperti pinang, gambir, sirih, dan kapur (Tabel 1.). Tabel 1. Nama/istilah menginang dan bahannya dari masyarakat Kanum, Marori, dan Marind. Nama/istilah Menginang Pinang Gambir Sirih Kapur

Kelompok masyarakat Kanum Marori serei/ ngo/ krei-ra woyouw konji sonom agya ake teh yorwo bond (kwoi)

Marind kavos kamis ake ngol koi

Ketiga suku menggunakan perlengkapan menginang yang cukup beragam yaitu pinang (Areca catechu L.), sirih (Piper betle L.), gambir (Uncaria gambir Roxburgh), kapur, dan tembakau. Tembakau biasanya dibeli di pasar dengan harga Rp. 1.000,- per potong, sedangkan pinang kering kadangkala dijual di toko/ pasar. Bagian tanaman sirih yang biasanya paling banyak dimanfaatkan adalah buah, akar, batang, dan daunnya. Bagian pinang yang dimanfaatkan untuk menginang adalah buah muda. Sirih dan pinang ditanam dan dipelihara di pekarangan rumah, perkampungan atau lingkungan yang berdekatan dengan desa. Tumbuhan pengganti pinang, yaitu openg, sambiwal, tawal, ntuo, dan agya diperoleh dari hutan di sekitar desa dalam TN Wasur. Ramuan untuk menginang dari setiap suku terdapat sedikit perbedaan, misalnya sebagian masyarakat Marind tidak menggunakan gambir, yaitu pada masyarakat Marind Deg (Marind Pedalaman). Masyarakat Kanum, Marori, dan Marind juga menggunakan beberapa jenis tumbuhan sebagai bahan pengganti pinang dan gambir. Jenis-jenis tumbuhan pengganti pinang adalah kulit kayu openg (Exocarpus latifolius R.Br.; Santalaceae), kulit kayu tawal; (Celastraceae), kulit kayu sambiwal (Erythroxylum ecarinatum Burck; Erythroxylaceae), dan kulit buah dan daun muda ntuo (Cryptocaria nitida R.A.Philippi; Lauraceae), sedangkan pengganti gambir adalah kulit kayu dan buah agya (Endiandra montana C.T. White; Lauraceae). Budaya menginang merupakan kebiasaan masyarakat peramu yang diturunkan dari generasi ke generasi dan telah merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat di Irian Jaya. Seperti halnya diungkapkan dalam Hamzuri dkk. et. al. (1997), sebelum menginang terlebih dahulu disediakan bahan-bahan ramuan, baik ramuan pokok maupun ramuan

pelengkap. Ramuan pokok terdiri atas: buah pinang, buah sirih, dan kapur sirih. Sedangkan ramuan pelengkap terdiri atas: buah pinang hutan, kulit kayu, dan buah kelapa muda yang kecil. Apabila datang pergantian musim, pinang dan sirih tidak berbuah, maka masyarakat menggantinya dengan ramuan pelengkap (ramuan cadangan) sesuai dengan pengetahuannya. Hamzuri dkk. (1997) menyatakan bahwa daerah lain di Papua mengenal pengganti buah pinang dan buah sirih, yaitu kulit kayu dakue di Kabupaten Jayapura; buah akes dan kulit kayu knei di Kabupaten Biak Numfor; buah komorifu dan buah atau kulit karakarawo di Kabupaten Yapen Waropen; buah sunggeri dan kulit kayu apaimo di Kabupaten Manukwari; kulit kayu ayahne di Kabupaten Sorong. Nama-nama pengganti buah pinang dan buah sirih ini belum teridentifikasi nama ilmiahnya. Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir yang dimanfaatkan masyarakat di kawasan TN Wasur ini belum tercatat dalam Heyne (1987) dan Jansen et al. (1993). Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan untuk menginang berasal dari suku Arecaceae, Moraceae, Piperaceae, Sterculiaceae, Fabaceae dan Rubiaceae. Jenis tumbuhan tersebut umumnya termasuk tumbuhan berkayu (Jansen et al., 1993). Jenis-jenis pengganti pinang di TN Wasur ini tumbuh di hutan savanah di antara jenis Melaleuca sp. dan. Eucalyptus sp. Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir selain di TN Wasur, ditemukan juga pada berbagai kawasan, misalnya Exocarpus latifolius R.Br. (Santalaceae). Jenis berperawakan pohon ini dapat mencapai tinggi 15 m dengan diameter 40 cm. Berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense, daerah persebarannya di Jawa: Puger, Besuki, Bondowoso, Baluran, Sumenep, Kangean; Bali; Sumbawa; Flores: Flores Barat, Manggarai, G. Rinca; Sumba; Timor; Sulawesi: Pangkadjene, Selayar; Maluku: P. Obi, P. Aru, Kei, Ternate, Halmahera; Irian Jaya, P.N.G, dan Filipina. Jenis ini tahan terhadap kekeringan dan tumbuh dari hutan pantai yang agak terbuka, di antara pantai berpasir, pada savanah Eucalyptus, hingga ketinggian 600 m dpl. Koleksi Herbarium Bogoriense mencantumkan bahwa daun jenis ini dicampur sirih dimanfaatkan masyarakat Desa Waifoi (nama lokal: katanye), Pulau Waigeo, Irian Jaya, sedangkan masyarakat di kawasan TN Wasur memanfaatkan kulit kayunya. Menurut Jansen et al. (1993) E. latifolius termasuk tumbuhan berkayu wangi. Menurut Heyne (1987), jenis tumbuhan dari suku yang sama yaitu cendana (Santalum album L.) dimanfaatkan pula sebagai pengganti pinang. Erythroxylum ecarinatum Burck, (Erythroxylaceae), umumnya berbentuk pohon kecil namun ada pula yang dapat mencapai tinggi 20-30 m. Berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense, daerah persebarannya meliputi Sulawesi: Donggala; Maluku: Ambon, Buru, Morotai, Seram; Irian Jaya: Biak, Fak-fak, Mimika, Lembah Kebar, S. Idenburg, dan Manokwari; Filipina: Palawan. Sedangkan menurut Steenis (1958) dan Woodley (1991) tumbuhan tersebut dapat ditemukan juga di Malaysia Timur serta Melanesia: P. Solomon. Menurut Woodley (1991) maupun dari koleksi Herbarium Bogoriense habitat dari jenis ini tumbuh baik pada hutan sekunder muda, hutan sekunder, maupun hutan primer dari dataran rendah sampai ketinggian 1500-2000 m dpl. Menurut Woodley (1991), jenis ini dimanfaatkan untuk obat di Sulawesi dan PNG, daunnya dicampur dengan garam dan dikunyah, lalu getahnya ditelan untuk mengobati sakit perut dan mencegah muntah. Daun jenis ini mengandung alkaloid, terutama tropakokain, sedangkan daun dari marga yang sama yaitu Erythroxylum


SUSIARTI – Pengganti pinang dan gambir di TN Wasur, Merauke

coca Lamk mengandung alkaloid kokain, daun Erythroxylum cuneatum (Miquel) Kurz yang biasa dimanfaatkan sebagai racun ikan atau tonik mengandung beberapa jenis alkaloid, akar Erythroxylum australe F. Muell. juga mengandung alkaloid (Imam dkk., 1988). Menurut Mandagi dan Wresniwiro (1995), kokain diekstrak dari daun coca yang ditanam di dataran tinggi Andes, Amerika Selatan sejak masa prasejarah. Daun tersebut dikunyah untuk mendapatkan kesegaran dan melepas lelah, seperti tembakau yang dikunyah di Amerika Utara. Cryptocarya nitida R.A. Philippi (Lauraceae) yang berperawakan pohon ini dapat mencapai tinggi pohon 2025 m dengan diameter 20-45 cm. Berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense, daerah persebarannya meliputi Irian Jaya: Biak; Maluku: Ternate dan G. Para-para (Morotai). Jenis ini tumbuh pada hutan primer, hutan tua, pada dataran miring dengan ketinggian 3-1000 m. dpl. Endiandra montana C.T. White (Lauraceae) berperawakan pohon; dapat mencapai tinggi 24 m dengan diameter 43 cm. Berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense, daerah persebarannya meliputi Maluku (Morotai), Irian Jaya dan PNG. Jenis ini tumbuh pada hutan hujan sekunder, pada dataran rendah dengan ketinggian 30-1000 m. dpl., jenis ini kadang tumbuh berasosiasi dengan Flindersia spp. dan Acacia spp. Tawal berperawakan pohon kecil; termasuk Suku Celastraceae. Suku Celastraceae ditemukan di Jawa dan Sumatra. Kulit kayunya biasanya termasuk kayu yang awet. Uji tes alkaloid anggota suku Celastraceae misal Bhesa archboldiana, pada daun dan kulit kayu menunjukkan hasil positif (Hartley, 1973). Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir perlu dilestarikan melalui usaha pengembangan dan budidaya karena belum ada usaha masyarakat untuk menanamnya. Pengambilan secara terus menerus langsung dari alam dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan. Tercatat jenis Erythroxylum ecarinatum telah dikonservasi secara ex situ di Kebun Raya Bogor (Astuti dkk., 2001).

KESIMPULAN Budaya menginang telah dikenal masyarakat Kanum, Morari, dan Marind yang bermukim di kawasan T.N. Wasur.

219

Masyarakat menggunakan beberapa jenis tumbuhan sebagai pengganti pinang dan gambir, yaitu: openg (Exocarpus latifolius, Santalaceae), tawal (Celastraceae), sambiwal (Erythroxylum ecarinatum, Erythroxylaceae), ntuo (Cryptocaria nitida, Lauraceae), dan agya (Endiandra montana, Lauraceae). Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir ini belum diungkapkan pemanfaatannya secara luas dan belum dibudidayakan masyarakat, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan akibat diambil secara terus menerus dari alam. Tercatat jenis Erythroxylum ecarinatum telah dikonservasi secara ex situ di Kebun Raya Bogor.

DAFTAR PUSTAKA Astuti, I.P., L.P. Soewilo, T.D. Said, and R.N.A. Kosasih (eds.). 2001. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in the Bogor Botanical Garden. Bogor: Botanic Gardens of Indonesia, Indonesian Institute of Sciences. Diantini, A., I. Sofyan, A. Subarnas, and R. Mustanchie. 2001. Antioxidant activity of the metanol extracts of Piper betle Linn. and Uncaria gambir (HUNTER) ROXB. leaves. In: Kosela, S., W. Priyono, E. Saepudin, S. Hudiyono, and F. Roza (eds.). Proceeding of International Seminar on Natural Products Chemistry and Utilization of Natural Resources, UI, Depok, Indonesia, 5-7 Juni 2001. Hamzuri, M. Husni, dan T. R. Siregar (ed.). 1997. Budaya Menginang di Daerah Irian Jaya, Maluku dan Sulawesi. Jakarta: Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Hartley, T.G. 1973. A survey of New Guinea plants for alkaloids. Lloydia 36 (3): 217-319. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan R.I. Imam, Y.M.A., W.C. Evans, and R.J. Grout. 1988. Alkaloids of Erythroxylum cuneatum, E. ecarinatum and E. australe. Phytochemistry 27 (7): 2181-2184. Jansen, P.C.M., R.H.M.J. Lemmens, L.P.A. Oyen, J.S. Siemonsma, F.M. Stavast, and J.L.C.H. van Valkenburg (eds.). 1993. Plant Resources of South-East Asia. Basic List of Species and Commodity Grouping. Final version. Wageningen : Pudoc. Mandagi, J. dan M. Wresniwiro. 1995. Masalah Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya serta Penanggulangannya. Jakarta: Pramuka Saka Bhayangkara. Steenis, C.G.G.J. van 1955-1958. Flora Malesiana. Series I. Spermatophyta. Vol 5: 547-548. Jakarta: Noordhoff-Kolff N.V. Sundari, S, Koensoemardijah, dan Nusratini. 1992. Minyak atsiri daun sirih dalam pasta gigi; Stabilitas fisis dan daya antibakteri. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1 (1): 5-6. Woodley, E. (ed.). 1991. Medicinal Plants of Papua New Guinea. Part 1. Morobe Province: Verlag Josef Margraf.


BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 3 Halaman: 220-223

ISSN: 1412-033X Juli 2005

REVIEW: Social and Environmental Issues of Danau Sentarum National Park, West Kalimantan ONRIZAL1,♥, CECEP KUSMANA2, BAMBANG HERO SAHARJO3, IIN PURWATI HANDAYANI4, TSUYOSHI KATO5 1

Forestry Department, Faculty of Agriculture, North Sumatra University, Medan 20155 2 Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor 16680. 3 Laboratory of Forest and Land Fires, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor 16680. 4 Soil Science Department, Bengkulu University, Bengkulu 38371 5 Japan International Cooperating Agency (JICA), Indonesian representative, Bogor 16000 Received: 3 March 2005. Accepted: 6 May 2005.

ABSTRACT Danau Sentarum National Park (DSNP) is a cluster of lakes located in Kapuas Hulu District, West Kalimantan Province with the total area of 132,000 ha. From 1981 to January 1999 this site was recognized as Suaka Margasatwa Danau Sentarum (Danau Sentarum Wildlife Reserve). Since 1994 this site had been declared as Ramsar site. DSNP is a “monumental site”, since the only undisturbed peat swamp forest was found in this site. Peat swamp forest in the national park stores the oldest tropical peat in the world. The lakes and the peat swamp forest in DSNP that always flood is the biggest water reservoir for West Kalimantan Province. Peat swamp forest in the national park served as water reservoir in the national park, which was able to keep 300 – 400 % of moisture content from dry weight basis. Based on our investigation, the decreasing income of fisherman and natural resources destruction affected other community to do illegal logging supported by investors from neighboring country in which they can get cash money easily. Using special approaches in law enforcement, technological, socio-economical, socio cultural and ecological aspects should solve social problems faced by DSNP. Eco-tourism might be one alternative solution for DSNP as one of tourism object. © 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Danau Sentarum National Park, West Kalimantan, social issues, environmental issues.

INTRODUCTION Danau Sentarum National Park (DSNP) is a cluster of lakes located about 700 km from Kapuas River in Kapuas Hulu District, West Kalimantan Province (Anshari et al., 2002). Based on the decree of Ministry of Forestry and Estate No. 34/Kpts – II/1999 dated 4 February 1999, the Lake Sentarum was declared as National Park with the total area of 132,000 ha. From 1981 to January 1999 this site was recognized as Suaka Margasatwa Danau Sentarum (Danau Sentarum Wildlife Reserve) based on the decree of Directorate General of Forestry, No. 2240/DJ/1981 (Anshari et al., 2002). Furthermore, since 1994 this site had been declared as Ramsar site (D’Cruz and O’Callaghan, 1994, Giesen, 1995a, 1995b, 1996; Anshari et al., 2002). The lakes in DSNP are in open areas and influenced by monsoonal condition. The water level may reach 12 meter deep in rainy season and decrease in dry season. When water level in Kapuas River decreases, water will flow from the lake to the river. On the other hand, the Natural Park may gradually dry especially during long dry season (Giesen, 1987, 1995a, 1995b, 1996, Jansen et al., 1994, Jeanes, 1996, 1997, Jeanes and Meijaard, 2000; Anshari et ♥ Corresponding address: Jl Tri Dharma Ujung No. 1, Kampus USU-Medan 20155 Tel. & Fax.: +62-61-8220605 e-mail: onrizal03@yahoo.com

al., 2002) (Figure 1). Therefore, flora, fauna and human activities have been adapted to the tidal pattern of the lakes in DSNP. Recorded data shows that DSNP is a “monumental site”, since the only undisturbed peat swamp forest was found in this site. Anshari et al. (2001) reported that peat swamp forest in the national park stores the oldest tropical peat in the world. Peat found in the beach (marine) is originated from mangrove, while peat swamp forest found in the lakes of the National Park is predicted come from heath (‘kerangas’) vegetation. The lakes and the peat swamp forest in DSNP that always flood is the biggest water reservoir for West Kalimantan Province. During rainy season, the exceeding water flow from rainfall is hold by the National Park, so that Kapuas River is not flooding. On the other hand, when water level of Kapuas River tend to decrease during dry season, water from the national park flows to the river and make a balance of the river debit. Recently, climate changes globally, which may cause longer dry season that leads to global warming in the future. During the last ten years, DSNP experienced three times of dry season in the period of 1994 and 2001. In the year 2002, water level of the lakes fluctuated highly in which water level decreased in early June and increased in July, then decreased in August (Anshari et al., 2002). Normally, there is one to three dry month’s period in the lakes of DSNP. However, the lakes experienced seven dry months period in 1997 (Jeanes and Meijaard, 2000; Anshari et al., 2002). The increase of dry period may be influenced by


ONRIZAL et al. – Issues on Danau Sentarum National Park

climate change and human activity surrounding and in the area of DSNP. Environmental destruction and the lost of forest in West Kalimantan may cause high surface run off which lead to highly fluctuated of water level in Kapuas River. Kapuas River increases and tends to over flow during rainy season; meanwhile the water level may decrease rapidly when rainfall decreases.

A

B Figure 1. Lake Tapak Luar, one of the lakes in DSNP with the background of Semujan hill in two seasons: (A) rainy season (December 2003, Photo by Bambang Hero Saharjo), and (B) dry season (June 2004, Photo by Onrizal)

SOCIAL ISSUES DSNP area has socio economic and culture values related with the life and activities of local community who live in and surrounding the area. Therefore, those values need to be taken into account in DSNP management by policy makers. Recorded data showed that about 1800 household (9000 people) stay in DSNP whereby most of their income depends on the natural resources sustainability of the park. They are consisted of “Melayu” (Malay) communities who stay near the river and lakes and “Dayak Iban” communities who live near the forest area in the park (Anshari et al., 2002). Malay communities dominate the area in which about 80% of them live in the park. Most of the people are “nelayan” (fisherman) (Giesen, 1987, Jansen et al., 1994; Anshari et al.,2002). They constitute a group and establish

221

a village (“kampong”) in the National Park. Some of them stay in permanent or semi permanent houses and some of them still stay in “lanting” (floating house) on the river site and lake. In addition to the local people living in the park, some other people also come to DSNP periodically. The local people informed that they normally come in fishing time during dry season when the water level of the lake decreases, in the period of June to August. Each village has their own working area that has been agreed upon by the community. A leader of the fisherman who is selected through local agreement arranges fishing activities. The agreement varies from one village to another (Anshari et al., 2002). However, it is cleared that the differences of opinion among the villages seem not to be a serious problem so far. Fisherman community in DSNP does not depend only on fishing activities but they also grow fish in a “keramba” (a basket put in the stream) in their village (Anshari et al., 2002). Fish species grown in “keramba” are Channa micropeltes, Leptobarbus hoevenii, Oxyleotris marmorata, Pangasius nasutus. C. micropeltes and O. marmorata are carnivores consuming small fish. They are kept in the “keramba” for at least one year. To grow fish in “keramba” has been intensively carried out and large number of small fishes has been capture to feed the fish. This activity may affect fish population in the park. Based on our observation, agricultural activities in DSNP are relatively in a small scale. Those activities are traditionally implemented by most of “Dayak” communities by doing shifting cultivation on hillside around the forest area. Main agricultural commodity is rice. Beside corn, sweet potato and horticulture commodities are also planted. Fruit trees are normally planted around their village. Beside agriculture practices, “Dayak” community is also doing hunting of turtle and other animals. On the other hand, since the access to Malaysia is relatively near, the local people informed that many young people leave their village and go for work in Malaysia. From September to February in each year, some people in DSNP are busy with many activities dealing with honeybee harvesting. During that period wild honeybees (Apis dorsata) move to DSNP. It is correspond to the flower season of forest trees in the park. The communities living in the national park know traditional method how to keep the wild honeybee. They used a kind of wood for a nest that locally called “tikung”. One beekeeper has about 40 – 60 “tikung”, some of them have around 100, and others have no “tikung”. One “tikung” which is kept intensively may produce around 10 – 20 kg honey (Anshari et al., 2002, LSM Riak Bumi, 2003). The regulations applied in DSNP are originated from traditional custom. These rules are maintained by the community in order to manage their life in the park. Their ancestor had executed the agreements for years. Recently, however, new values had been established based on agreement. The lost of income of the fisherman due to the decrease of water resources quality affect the lost of chance for the community to participate in sustainability activity for DSNP management. On the other hand, based on our investigation, the decreasing income of fisherman and natural resources destruction affected other community to do illegal logging sponsored by investors from neighboring country in which they can get cash money easily. The investor usually called “cukong” that sometime caused horizontal conflict between party who really want to protect the national park and another party who really want to join the investor.


222

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 220-223

Using special approaches in law enforcement, technological, socio-economical, socio cultural and ecological aspects should solve social problems faced by DSNP. Problems in DSNP are multidimensional in motive. Furthermore, land clearing and land preparation by slashand-burn method in the buffer zone area may cause a negative impact on the national park ecosystem.

ENVIRONMENTAL ISSUES Environmental quality degradation Recently, DSNP is facing environmental problems, which lead to land degradation due to high exploitation activity in the forest in and around the National Park, particularly during wet season. The intensive fishing activity and growing fish in “keramba” had been found to decrease fish population in Kapuas River which leads to difficulties in finding fish during wet season. Logging and land clearing activities in and around the national park have caused negative impacts to the water quality of the lakes in DSNP. As natural resources of water and forest exploitation in and around the national park increases, the transportation and the migration of people to the national park has also increased significantly. Accessibility for people going through the national park has increased since there was a change of availability of transportation and other facilities. Transportation services from outside DSNP to villages in the lakes that normally by “motor Bandung” have changed to speedboat. Using speedboat will spend only 2-3 hours from Semitau (village in outside DSNP) to Semangit (one of the village in DSNP), while using “motor Bandung” needs 3-4 times longer. Recently, “motor Bandung” is not operated regularly, because the people prefer to use speedboat for daily transportation. Condition around DSNP has rapidly changed, especially in buffer zone between Lanjak and Badau. Based on our observation, located as a district border, Badau become a transit city, which is noisy and grows rapidly. Economic activities seem starting to grow up in this area, marked by the development of supermarkets and hotels. Those changes also accompanied by negative social impacts such as gambling, drug abuse and prostitution. Next to Badau, Lanjak is a strategic sub-district located between Putussibau and Badau. Lanjak is the final destination for logging or sawn timber transportation before entering Indonesia-Malaysian border and recognized as one of the biggest route for illegal logging in West Kalimantan. Decreasing of fish population Fish population in DSNP is decreasing due to human activities mostly, like using equipment and other fishing facilities, which cause negative impacts to the fish sustainability in Kapuas catchment’s area. Using poison called “bubu warin”, strum technique in several places, chemical poisoning, and cut pond have caused bad impacts since those things decrease the chance for fish population to grow up (Anshari et al., 2002). Fishing baby fish in DSNP is strongly related to the activity of growing fish in “keramba”, especially “toman” species. The baby fishes from various species are being captured and used as food for “toman”. This causes disturbance of population’s in DSNP. Anshari et al. (2002) reported that the activity had been done for at least 10 year and seemed to create negative impacts. Most fishermen

feel that fish population in the lakes, including baby fish, decreased year by year. A strong impact to the economical performance seems to be experienced by people dealing with the fish business including fisherman. From fish biodiversity point of view, scarcity of certain species had been found such as the exporting fishes of Scleropages formosus (arowana), Botia macracanthus (ulang uli), and Oxyeleotris marmorata, some species even becoming disappeared such as Balantiocheilos meloptrus, Neobarynotus microlepis, Maerochirichthys maerochirus. Decline of water quality Decline of water quality in DSNP is not only due to human activities in the park but also surround the park, especially northern part of the buffer zone. It is due to the intensively opening access to Badau especially to the neighboring country by which forest resources exploitation has been increased in Kapuas Hulu district. Logging activities in water catchments area around DSNP effect directly to the hydrological balance in the national park area. The increasing number of water transportation activities across the lakes of the national park has also negative impacts to water quality such as gasoline and wood chemical substances used in the exploitation. Forest resources exploitation which focuses on logging often ignores conservation aspect. Although it might not be a permanent business, certainly causes forest destruction. This lead to difficulties in natural regeneration and increase of fire risk. The forest is also treated with erosion and flood which lead to soil degradation. Eroded soil layer may increase the particle entering water body which finally shallower the lakes and Kapuas river. Natural forest stands closed to DSNP with their richness of biodiversity have been functionally changed when a company replaced the stand with oil palm plantation (Anshari et al., 2002). Furthermore, local people are still applying slash and burn method for agricultural activity which consist of cutting, drying and burning trees. Meanwhile, rubber and pepper are being planted as agricultural estate crop. The alteration of Dipterocarps forest is strictly affect water balance in DSNP. Fluctuation of lake’s water level The fluctuation of lake’s water level is periodically change and depends on the condition of water catchments area around the national park. The water level in the national park is highly influenced by rainfall, surface run-off and the ability of peat swamp forest to store the water. The rainfall and surface run-off seem to be directly affected by canopy cover and the condition of natural forest near the national park. Klepper (1994) reported that peat swamp forest in the national park served as water reservoir in the national park, which was able to keep 300 – 400 % of moisture content from dry weight basis. The alteration of hydrological pattern that occur in DSNP is highly related to the shifting of rainy and dry season and water level of the lakes. Nowadays, local people living in DSNP are finding difficulties in predicting the shifting period of rainy and dry season. This problem may affect seasonal calendar, which is very important in scheduling of fishing period. Without proper seasonal calendar, fishing activity may be disturbed and affect their income directly. Forest and land fires Forest and land fires often occur in DSNP. Based on pollen analysis and coal analysis data, peat swamp forests


ONRIZAL et al. – Issues on Danau Sentarum National Park

in the national park have frequently experienced fires since 20.000 years ago (Anshari et al., 2002). Forest fire had been reported also by environmentalist and researcher who visited the lake of Kapuas in the last centuries. Recently, fire become more quite frequently occurs especially during dry season. Until nowadays, all fires which had occurred in the area were due to human activities. According to pollen analysis by Anshari et al. (2001), fire occurred in the peat swamp forest area had not destroyed the habitat and neither caused disappearing of trees formation. About 1.400 years ago, forest fire tended to improve trees formation and affect the changing of closed forest to become open forest (Table 1). Nowadays, fires become a very serious problem. Table 1. Predicted burned area in the DSNP in the period of 19731997 (Anshari et al., 2002). Year

Burned area (ha)

1973 1990 1994 1997

5483 9045 11105 18905

Forest and land fires occurred in DSNP is closely related to human activity, including their motivation in expanding of fishing area. During dry season, thousand of people from village around Kapuas River come for fishing. Therefore, the activities during that time are very intensive. Negative impact of the fires is the alteration of forest structure and composition. Frequent fire occurrences may increase the chance of this area become cogon (“alangalang”) grassland (Saharjo et al., 2004). Anshari et al. (2002) informed that several wildlife such as Pongo pygmaeus (“orang utan”) and Nasalis lavartus (“bekantan”) were forced to move to the unburned area in which plenty of foods are available. Fires in 1997 caused wild bee of Apis dorsata stop building their nest in DSNP since haze/ smoke produced by burning disturbed their activities. Besides, the trees whereby the honeybees place their nest were burned out. This caused extreme (more than 90%) of decreasing of honey production during 1997 – 1999. However, the farmer could get the honey for daily need but not for sale. Based on our investigation, the decreasing income of fisherman and natural resources destruction affected other community to do illegal logging supported by the investor from neighboring country in which they can get cash money easily Biodiversity One of the special natures of DSNP is the richness of flora and fauna (Saharjo et al., 2004). Recorded data show that there are more than 500 trees species, 260 species of fish, 300 species of birds, 11 species of turtles and 3 species of crocodiles. Besides, the national park area is a habitat for Pongo pygmaeus (orang utan), Hylobates muelleri (siamang), Nasalis lavartus (bekantan), Macaca fascicularis (long tail monkey), Helarctos malaganus (honey bee), Sus barbatus (wild pig), some species of deer, snakes and lizards (Giesen, 1987, 1995a, 1996, Jansen et al., 1994; Jeanes and Meijaard, 2000). Eco-tourism An idea to create DSNP as a tourism object had been initiated since the park had the status as wildlife reserve in

223

the period of 1994-1995 (Giesen, 1995a, 1995b, 1996, Jeanes and Meijaard, 2000). The idea appeared when the uniqueness and specific of DNSP have particular attention from domestic and also foreign tourists to come. Besides, since the national park had been recorded as one of Ramsar site in Indonesia, the national park is become more valuable to be “sold” for international community. Several benefits that might be taken from DSNP as the tourism object are as follows (i) availability of fund for managing DSNP, (ii) creating job opportunities for the people living in and around the park, (iii) reducing natural resources exploitation pressure on DSNP by local people, (iv) being a source of income for Kapuas Hulu District. However, establishment of DSNP as one of tourism object probably will cause several negative impacts as follows (i) decreasing of environmental quality, (ii) destruction of ecological condition, (iii) economical dependent, (iv) negative changing of socio cultural condition. Eco-tourism might be one alternative solution for DSNP as one of tourism object. Unfortunately, the word is easily said but not in implementation, because it cannot be run amateur but it must be conducted professionally. One important thing is that opening the protected area to be an open access area must be carefully considered and should be done through an integrated study. REFERENCES Anshari, G.Z., A.P.Kershaw., and S. van der Karrs. 2001. A late Pleistocene and Holocene pollen and charcoal record from peat swamp forest, Lake Sentarum Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 171: 213-228 Anshari, G.Z., Y.C.T. Anyang., D. Kusnandar., V. Heri and A. Jumhur. 2002. Taman Nasional Danau Sentarum: Lahan Basah Terunik di Dunia. Pontianak: Riak Bumi dan Yayasan Konservasi Borneo. D’Cruz, R. and B. O’Callaghan (eds.). 1994. Priorities and institutional mechanisms for wetland protection and wise use in South-east Asia. Proceedings of the Ramsar Regional Workshop. AWB Publication No. 107. Bogor, Indonesia. 29 March – 1 April 1994. Giesen, W. 1987. Danau Sentarum Wildlife Reserve: Inventory, Ecology and Management Guidelines. Bogor: WWF/PHPA. Giesen, W. 1995a. Importance of the Danau Sentarum Wildlife Reserve (West Kalimantan, Indonesia) to Conservation. Bogor: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Giesen, W. 1995b. The Flooded Forests and Blackwater Lakes of Danau Sentarum, West Kalimantan, Indonesia. Bogor: UK-ITFMP report for AWB/PHPA. Giesen, W. 1996. Habitat Types and their Management: Danau Sentarum Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme/PHPA. Jansen, R., W. Giesen, E. Widjanarti, and V. Deschamps. 1994. An Introduction to the Danau Sentarum Wildlife Reserve. Bogor: Asian Wetland Bureau. Jeanes, K.W. and E. Meijaard, 2000. Habitat characteristic and biodiversity distribution within and surrounding Danau Sentarum. Borneo Research Bulletin 31: 230-245 Jeanes, K.W. 1996. Danau Sentarum Wildlife Reserve: Catchments Developing Review, Reserve Boundary Review and Buffer Zone Proposal. Survey report, Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme: Project 5-Conservation, Wetland International-ODA. Jeanes, K.W. 1997. A Biophysical Profile of Danau Sentarum Wildlife Reserve. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme: Project 5-Conservation, Wetland International-DFID. Klepper, O. 1994. A Hydrological Model of the upper Kapuas River and the Lake Sentarum Wildlife Reserve. Bogor: Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation and Asian Wetland Bureau. LSM Riak Bumi. 2003. Laporan Proyek: Pembinaan Lebah Madu Liar untuk Konservasi Lahan Basah dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Taman Nasional Danau Sentarum, Periode Oktober 2002-September 2003. Pontianak: LSM Riak Bumi. Saharjo, B.H., B. Sumawinata, and G. Anshari. 2004. Taman Nasional Danau Sentarum yang sedang murung. Warta Konservasi Lahan Basah 12 (1): 7, 25.


ISSN: 1412-033X

Struktur Genetik Sebaran Populasi Salvia japonica Thunb. (Labiatae) di Kebun Raya Universitas Osaka City, Kisaichi, Prefektur Osaka, Jepang SUDARMONO Variasi Isozim dan Morfologi pada Anopheles subpictus Grassi Vektor dan Nonvektor Malaria RUBEN DHARMAWAN, DARUKUTNI, SATIMIN HADIWIDJAJA, ADI PRAYITNO Analisis Filogenetik Rhizobia yang Diisolasi dari Aeschynomene spp. EVI TRIANA Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena terhadap Kematangan dan Hara Kompos, serta Kandungan Mikrobia Pelarut Fosfat dan Penambat Nitrogen SRI WIDAWATI Pengaruh pH terhadap Aktivitas Endo-1,4-β-glucanase Bacillus sp. AR 009 IMAN HIDAYAT Karakterisasi Pigmen dan Kadar Lovastatin Beberapa Isolat Monascus purpureus ERNAWATI KASIM, SRI ASTUTI, NOVIK NURHIDAYAT Diversity and Growth Behaviour of Nepenthes (Pitcher Plants) in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan Province TRI HANDAYANI, DIAN LATIFAH, DODO Jenis-jenis Tumbuhan Sumber Pakan dan Tempat Bersarang Kuskus (Phalangeridae) di Cagar Alam Biak Utara, Papua HADI DAHRUDDIN, WARTIKA ROSA FARIDA, AEP SYAEPUL ROHMAN Perilaku Makan Oposum Layang (Petaurus Breviceps) di Penangkaran pada Malam Hari WARTIKA ROSA FARIDA, A. PERDANA, D. DIAPARI, A.S. TJAKRADIDJAJA Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Kerangas Bekas Kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat ONRIZAL, CECEP KUSMANA, BAMBANG HERO SAHARJO, IIN PURWATI HANDAYANI, TSUYOSHI KATO Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Alam Rimbo Panti, Propinsi Sumatera Barat RAZALI YUSUF, PURWANINGSIH, GUSMAN Pola Reproduksi Burung Jalak Gading (Turdius sp.) di Gunung Lawu, Jawa Tengah AGUNG BUDIARJO Keragaman Serangga pada Tanaman Roay (Phaseolus lunatus) YAYAN SANJAYA, WIWIN SETIAWATI Jenis Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya secara Tradisional oleh Suku Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur, Merauke ANTONIUS ETUS HARBELUBUN, YOHANES YOSEPH RAHAWARIN Bahan Rempah Tradisional dari Masyarakat Dayak Kenyah Di Kalimantan Timur SITI SUSIARTI, FRANCISCA MURTI SETYOWATI Review: Capsicum spp. (Cabai): Asal, Persebaran dan Nilai Ekonomi TUTIE DJARWANINGSIH

224-229

230-234

235-240 241-244

245-247 248-251 252-256

257-262

263-266 267-269

270-275 276-280 281-285 286-290

291-293 294-298

Gambar sampul depan: Nepenthes ampullaria Jack (FOTO: TRI HANDAYANI)

Terbit empat kali setahun


potong di sini

Yth.: Pembaca dan Kolega Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut: ☻Jawa: Rp. 100.000,00. ☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00. Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941. Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal: Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

potong di sini

dengan besar biaya: Lama waktu Jawa Rp. 100.000,00 1 tahun Rp. 200.000,00 2 tahun Rp. 300.000,00 3 tahun

Kirim dengan perangko

Luar Jawa Rp. 130.000,00 Rp. 260.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama

: …………………………………………

Alamat

: ………………………………..……….

………………………………………………………… ………………………………………………………… Tel. & Fax : ………………………………………… E-mail

: ………………………………….……..

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: unsjournals@yahoo.com Website: www.unsjournals.com


Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal:

dengan besar biaya: Lama waktu Jawa Rp. 100.000,00 1 tahun Rp. 200.000,00 2 tahun Rp. 300.000,00 3 tahun

Kirim dengan perangko

Luar Jawa Rp. 130.000,00 Rp. 260.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama

: …………………………………………

Alamat

: ………………………………..……….

………………………………………………………… ………………………………………………………… Tel. & Fax : ………………………………………… E-mail

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: unsjournals@yahoo.com Website: www.unsjournals.com

potong di sini

Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

: ………………………………….……..

Yth.: Pembaca dan Kolega

☻Jawa: Rp. 100.000,00. ☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00. Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941. Surakarta, 1 Januari 2005

potong di sini

Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut:


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


ISSN: 1412-033X

Perubahan Kadar Dopamin, Homovanillic Acid (HVA) serta Interleukin-1β (IL-1β) dan 153-156 Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) pada Cerebral Palsy SATIMIN HADIWIDJAJA Ekspresi Protein p53, pRb, dan c-myc pada Kanker Serviks Uteri Menggunakan 157-159 Pengecatan Imunohistokimia ADI PRAYITNO, RUBEN DARMAWAN, ISTAR YULIADI, AMBAR MUDIGDO Kajian Pembentukan Warna pada Monascus-Nata Kompleks dengan Menggunakan 160-163 Kombinasi Ekstrak Beras, Ampas Tahu dan Dedak Padi sebagai Media TIAS HESTI KUSUMAWATI, SURANTO, RATNA SETYANINGSIH Transesterifikasi Ester Asam Lemak Melalui Pemanfaatan Teknologi Lipase 164-167 RINI HANDAYANI, JOKO SULISTYO Seleksi Biak Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah terhadap Pertumbuhan Tanaman 168-171 Kedelai (Glycine max L.) pada Media Pasir Steril di Rumah Kaca SRI PURWANINGSIH Influence of Palmitic Acid and Amino Acids Addition on Iturin A Productivity by Bacillus 172-174 subtilis RB14-CS YULIAR Isolation and Identification of Phosphate Solubilizing and Nitrogen Fixing Bacteria from 175-177 Soil in Wamena Biological Garden, Jayawijaya, Papua SULIASIH, SRI WIDAWATI Optimalisasi Media untuk Jumlah Daun dan Multiplikasi Tunas Lidah Buaya (Aloe vera) 178-180 dengan Pemberian BAP dan Adenin LAELA SARI Mawar Hijau (Rosa x odorata “Viridiflora”) di Kebun Raya Bali: Biologi Perbungaan dan 181-184 Perbanyakannya HARTUTININGSIH-M. SIREGAR, I PUTU SUENDRA, MUSTAID SIREGAR Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); Deskripsi dan Sifat-sifat Lainnya 185-189 SUMARWOTO Pertumbuhan Vegetatif pada Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. di Kebun Raya Cibodas 190-193 R. SHOLIHIN, R. SUBEKTI PURWANTORO Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi 194-198 AHMAD DWI SETYAWAN, INDROWURYATNO, WIRYANTO, KUSUMO WINARNO, ARI SUSILOWATI Gatra Taksonomi Argostemma Wall. (Rubiaceae-Rubioidae) di Gunung Gede199-204 Pangrango, Gunung Halimun, dan Gunung Salah berdasarkan Karakter Morfologi R. SUBEKTI PURWANTORO, HARRY WIRIADINATA, SUSIANI PURBANINGSIH Keanekaragaman dan Potensi Flora di Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara 205-211 TAHAN UJI Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Berkayu sebagai Bahan Baku Perahu Tradisional oleh 212-216 Suku Yachai di Kabupaten Mappi SERLLY LANOEROE, ELISA MARKUS KESAULIJA,YOHANES YOSEPH RAHAWARIN Bahan Rempah Tradisional dari Masyarakat Dayak Kenyah Di Kalimantan Timur 217-219 SITI SUSIARTI, FRANCISCA MURTI SETYOWATI REVIEW: Social and Environmental Issues of Danau Sentarum National Park, West Kalimantan 220-223 ONRIZAL, CECEP KUSMANA, BAMBANG HERO SAHARJO, IIN PURWATI HANDAYANI, TSUYOSHI KATO Gambar sampul depan: Rosa x odorata “viridiflora” (Foto: HARTUTININGSIH-M. SIREGAR)

Terbit empat kali setahun


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.