Feeds:
Pos
Komentar

Durhaka kepada Allah

Firqah MUJASSIMAH kelak mendapatkan azab kubur karena durhaka kepada Allah seperti mereka mengatakan Tuhan memiliki wajah tanpa kepala dan semua anggota badannya akan binasa kecuali wajahnya

Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H) dalam Tasyniful Masami’ juz 4, halaman 684 mengatakan :

من قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ

BARANGSIAPA yang meyakini ALLAH itu berJISIM tapi tidak seperti JISIM lainya.! MAKA ia telah Kafir (kufur dalam i’tiqod).

Syaikh Muhammad bin Ahmad bin ‘Arofah Ad-Dasuqi al-Maliki (W. 1230H) dalam kitab ilmu tauhid berjudul Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barohin menjelaskan bahwa,

***** awal kutipan *****
و من المعتقد أنه جسم لا كالأجسام فهو عاص غير كافر

Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai JISIM (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan JISIM (bentuk tangan, kaki) makhluk-Nya, maka orang tersebut hukumnya ‘AASHIN atau orang yang telah berbuat DURHAKA kepada Allah dan bukan kafir.

و الاعتقاد الحق اعتقاد أن الله ليس بجسم و لا صفة

I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu BUKANLAH seperti jisim dan bukan pula berupa sifat.

و لا يعلم ذاته الا هو

Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****

Kabar tentang orang-orang yang durhaka kepada Allah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ

Ketika pintu itu dibuka, maka panas dan racunnya langsung menembus badannya dan kuburannya pun menjadi semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulang-tulangnya berserakan.

وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ

Ia kemudian didatangi seorang laki-laki yang berwajah buruk, berpakaian buruk dan berbau busuk.

فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوءُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ

Orang itu berkata kepadanya, “Berbahagialah kamu dengan sesuatu yang membinasakanmu. Hari ini adalah hari kesengsaraanmu yang telah Allah janjikan!”

فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالشَّرِّ

Orang yang mati DURHAKA itu kemudian bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu sangat buruk.”

فَيَقُولُ أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ

Ia menjawab, “AKU adalah AMAL BURUK mu”.

فَيَقُولُ رَبِّ لَا تُقِمْ السَّاعَةَ

dan ia berdoa ” ya Rabb,. Jangan kiamat kau jadikan sekarang! (HR Musnad Ahmad 17803)

KERUSAKAN dalam perkara I’TIQOD atau AKIDAH yang terjadi pada zaman NOW (sekarang) MEMANG telah diingatkan atau dinubuatkan oleh Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib bahwa KELAK pada akhir zaman akan bermunculan orang-orang yang mensifatkan Allah dengan sifat-sifat JISIM yakni sifat-sifat fisikal makhluk atau benda seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat dan ANGGOTA-ANGGOTA BADAN.

Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib mengingatkan bahwa KELAK

قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء

“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM dan ANGGOTA-ANGGOTA BADAN.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi wafat 725 H dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi)

Contohnya firqah MUJASSIMAH yang mengaku-ngaku mengikuti manhaj Salaf mengatakan bahwa contoh yang membedakan dzat Allah dengan makhluk adalah Allah memiliki wajah tanpa kepala sebagaimana yang disampaikan mereka pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=205544789087279&id=100088952772600

Berikut kutipan tulisan mereka,

***** awal kutipan *****
Mengitsbat bahwa Allah memiliki fisik (sesuai yang tertulis pada Nash dan sesuai dengan yang diyakini para Salaful ummah) tidaklah merupakan tajsim.

Nash menyebutkan dengan gamblang bahwa Allah memiliki wajah (wajhullah), namun sama sekali tidak ada nash yang menyebutkan bahwa Allah memiliki kepala.

Ahlussunah menyimpulkan bahwa Allah memiliki wajah tanpa kepala.

Hal ini tentunya merupakan poin yang MEMBEDAKAN dzat Allah dengan makhluk.
***** akhir kutipan *****

Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi (W. 597H) menuliskan kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) menyampaikan bahwa firqah MUJASSIMAH tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.

***** awal kutipan *****
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****

Lalu mereka bertanya, “Apakah tangan (yad) Allah tidak kekal seperti wajah Allah” sebagaimana tangkapan layar (screenshot) di atas.

Tampaknya firqah MUJASSIMAH meyakini SEMUA anggota badan tuhan mereka akan BINASA kecuali wajahnya.

Jadi firqah MUJASSIMAH menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti dengan Angry Bird yakni burung yang hanya tampak wajah pemarahnya sebagaimana yang disampaikan oleh ustadz Abdul Somad dalam video pada https://youtube.com/watch?v=9I-Wn8DNK6I

Firqah MUJASSIMAH mengingkari CONTOH Sahabat yang mentakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU artinya kecuali kekuasaan-Nya seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ketika menjelaskan menjelaskan firman Allah surat Al Qasas [28] ayat 88 berkata,

الا وجهه الا ما ابتغى به وجهه ويقال كل وجه متغير الا وجهه وكل ملك زاىل الا ملكه

(Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas), terbitan Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 2011), hlm. 416)

Begitupula Imam Bukhari (W. 256H) mentakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU artinya kecuali kekuasaan-Nya,

Imam Bukhari berkata,

كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه

Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya yaitu kecuali kekuasaan-Nya.

Penelusuran manuskrip Shahih Bukhari yang asli contohnya dilakukan oleh Assoc. Prof. Dr. Menachem Ali, Ahli Filologi dari Universitas Airlangga Surabaya sebagaimana tulisan Beliau pada https://khazanah.republika.co.id/berita/pyofqg385/mulkahu-atau-malikahu-pada-kitab-sahih-bukhari

Contoh ustadz firqah Wahabi Al Mujassimah mengingkarinya dan menterjemahkan perkataan Imam Bukhari,

كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه

diterjemahkan artinya adalah,

“Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya yaitu kecuali MALIKAHU (Pemilik Wajah)” sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtube.com/watch?v=xWJBtq-NZ0c

Padahal dari kata MALIKAHU tidak ada yang dapat diterjemahkan artinya adalah wajah.

Jika ILLA WAJHAHU ditakwil ILLA MALIKAHU yakni ملك (“malika”) artinya pemilik maka mereka terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD karena ILLA MALIKAHU artinya “kecuali pemilik-Nya” atau “kecuali pemilik Allah” sebab dhamir HU di situ merujuk kepada Allah. Jadi maknanya Allah ada yang memilikinya.

Begitupula jika ILLA MALIKAHU dari kata MALIK sehingga diartikan “kecuali raja-Nya atau penguasa-Nya” dan dhamir HU di situ merujuk kepada Allah maka maknanya Allah punya Raja atau Penguasa lain selain Diri-Nya, Ini secara akidah sangat berbahaya.

Contoh lainnya firqah Mujassimah “SYULIT” menerima kenyataan Imam Bukhari menakwil kecuali WAJHAHU dengan kecuali MULKAHU adalah ulama rujukan firqah Wahabi, ahli (membaca) hadits, Albani (W 1420H) dalam karyanya yang berjudul al Fatawa, halaman 523 ketika ditanya tentang penakwilan

كل سيء هالك إلا وجهه

QS al-Qashash [28] : (88)

البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه

kecuali WAJHAHU seperti dalam Shahih al-Bukhari adalah kecuali MULKAHU

Ahli (membaca) Albani menjawab,

Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali MULKAHU” maka

هذا لا يقوله مسلم مؤمن

“Ini TIDAK SEPATUTNYA dikatakan oleh seorang muslim yang beriman sebagaimana tangkapan layar (screenshot) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2021/01/bukan-muslim-yang-beriman.jpg

Jadi secara tidak langsung ahli (membaca) hadits Albani MENYALAHKAN Imam Bukhari dan memvonis BUKAN MUSLIM yang beriman

Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya secara TEKSTUAL yakni memahaminya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.

Contohnya Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah akidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Jadi BEDAKANLAH antara ARTI dengan MAKNA supaya tidak terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD

Contohnya, “tangan kanan” mempunyai makna dzahir dan makna majaz (makna kiasan) yakni makna dzahirnya adalah organ atau bagian dari anggota tubuh sebelah kanan dan makna majaznya adalah UNGKAPAN tangan kanan digunakan untuk orang yang dipercaya atau kepercayaan seseorang.

Contoh lainnya ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan besi, ringan tangan mempunyai MAKNA yang berlainan.

Contoh firqah MUJASSIMAH mengatakan Tuhan MEMILIKI betis dan kelak akan disingkapkan karena pemahaman mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka KELIRU dalam MEMAKNAI firman Allah Ta’ala yang ARTINYA, “pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa” (QS Al Qalam [68] : 42).

Berikut kutipan penjelasan pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi al-Hanbali (W. 597H)

***** awal kutipan *****
MAKNA yang benar sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa yang dimaksud “Saq”, “ساق” dalam ayat ini adalah “asy-Syiddah”, “الشدة”, artinya “kesulitan yang sangat dahsyat”; dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “Hari di mana kesulitan yang sangat dahsyat akan diangkat (dihilangkan)”.
***** akhir kutipan *****

Begitupula Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan firman Allah yang artinya, “pada hari betis disingkapkan ” (QS Al Qalam [68] : 42).

هو عبارة عن شدة الأمر يوم القيامة للحساب والجزاء

ungkapan ini menggambarkan tentang dahsyatnya keadaan pada hari kiamat, yaitu sewaktu hisab dan pembalasan dilaksanakan.

Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-qalam-dengan-terjemahan-dan-tafsir/5

Dalam bahasa Arab UNGKAPAN menyingkapkan betis (Saq) sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qutaibah,

***** awal kutipan *****
“Dasar penggunaan kata “Saq” dalam makna ini adalah karena bila seseorang tengah menghadapi urusan yang besar dan dahsyat maka ia membutuhkan kepada KEKUATAN TEKAD dan KESUNGGUHAN dalam menghadapinya, lalu ia MENYINGSINGKAN (menyingkapkan) celananya hingga NAMPAK betisnya.

Dari sini kemudian kata “Saq” dalam bahasa Arab biasa dipergunakan (dipinjamkan) untuk MENGUNGKAPKAN tentang adanya kesulitan yang sangat dahsyat” (dalam Istilah Ilmu Balaghah disebut Majaz Isti’arah).
***** akhir kutipan *****

Contoh lainnya dalam bahasa Indonesia, ungkapan “tidak tampak batang hidungnya” maknanya tidak tampak kelihatan orangnya.

Begitupula dalam masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Qur’an, mereka biasa menggunakan kata wajhun (wajah) dalam makna majaz (kiasan / metaforis) untuk mengungkapkan DIRI atau SOSOK seseorang demi memuliakannya.

Contohnya mereka untuk menghormati yang datang mengatakan,

jaa’a wajhul qoumi

telah datang wajah kaum.

Oleh karenanya para mufassir (ahli tafsir) seperti contohnya Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah Ta’ala surat al-Qashash [28] ayat 88 menakwilkan ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan إلا إياه (ILLA IYYAHU) yang artinya kecuali Dia yakni kecuali Allah. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)

Contoh lainnya, Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain

كل شيءٍ هالك إلا وجهه – إلا إياه

Segala sesuatu akan binasa ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajahNya yaitu إلا إياه (ILLA IYYAHU) yang artinya kecuali Dia yakni kecuali Allah.

Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-qasas-dengan-terjemahan-dan-tafsir/9

Begitupula orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH sehingga mereka mengatakan Tuhan punya atau memiliki tangan sebagai jarihah (anggota badan) untuk menciptakan Nabi Adam alaihissalam adalah karena mereka belum dapat membedakan ARTI dengan MAKNA.

Firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shad [38] : 75) MAKNANYA adalah UNGKAPAN untuk menunjukkan kemuliaan kedudukan Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis

Imam As Suyuthi (W 911 H) dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75)

أي توليت خلقه وهذا تشريف لآدم

MAKNANYA yang telah Aku atur penciptaannya secara langsung; ungkapan ini dimaksud memuliakan kedudukan Nabi Adam

Tafsirnya dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-sad-dengan-terjemahan-dan-tafsir/8

Begitupula pengertian Allah Ta’ala menciptakan empat hal dengan tangan-Nya yakni, Arsy, Qalam (pena), surga Adn dan Nabi Adam alaihissalam MAKNANYA adalah adanya kekhususan dalam empat hal tersebut seperti Nabi Adam alaihissalam diciptakan dari tanah secara langsung tanpa melalui ayah dan ibu.

Contoh lainnya tentu BUKANLAH Allah Ta’ala mempergunakan qalam (pena) di tangan-Nya NAMUN dijelaskan oleh Sultannya Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitab Sirrul Asrar (rahasia di balik rahasia)

***** awal kutipan *****
وقلما لكونه سببا لنقل العلم ، كما أن القلم سبب نقل العلم في عالم الخروقات .

disebut juga qalam (pena) karena ia yang menjadi sebab perpindahan ilmu (dari Allah kepada makhluk-Nya) seperti halnya mata pena yang telah menggoreskan (mengalihkan atau mewariskan) ilmu di alam huruf (dunia keilmuan yang tertulis).
***** akhir kutipan *****

Jika memahami firman Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR maka PASTI akan menemukan PERTENTANGAN dengan sabda Rasulullah atau fiman Allah yang lain seperti contohnya BERTENTANGAN dengan firman Allah surat Ali Imron [3] ayat 59 bahwa sesungguhnya penciptaan Nabi Adam alaihissalam dan semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama yakni cukup dengan Qudrah dan Kehendak Allah yakni Kun Fayakun.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya permisalan (penciptaan) Isa (tanpa ayah) di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam (tanpa ayah dan ibu). Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS Ali Imron [3] : 59)

Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka PASTILAH yang SALAH atau KELIRU adalah pemahamannya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)

Pada kenyataannya orang-orang yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti manhaj Salaf dan menisbatkan sebagai SALAFI dan mereka mengaku pula dari kalangan MODERN sehingga dijuluki SALAFI KONTEMPORER (Salaf yang Khalaf) ADALAH,

mereka yang mengikuti paham Wahabi (WAHABISME) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W. 1206H) yang meneruskan KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W. 728H) karena TERKECOH oleh Ibnu Taimiyah yang MELABELI pemahamannya sebagai mazhab atau manhaj SALAF sehingga mereka terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH.

Berikut kutipan fatwa atau pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu Fatawa 4/149

***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****

Ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan terjerumus durhaka (‘aashin) kepada Allah karena mengingkari MAKNA MAJAZ dalam Al Qur’an.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Iman hal. 94 mengatakan,

***** awal kutipan *****
فهذا بتقدير أن يكون في اللغة مجاز ،

“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk majaz dalam bahasa.

فلا مجاز في القرآن ،

Sementara dalam al-Qur’an TIDAK ADA bentuk majaz
.
بل وتقسيم اللغة إلى حقيقة ومجاز تقسیم مبتدع محدث لم ينطق به السلف

Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat (makna dzahir) dan majaz adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan *****

Padahal dalam percakapan antar manusia saja dikenal MAKNA DZAHIR atau MAKNA TERSURAT dan MAKNA MAJAZ (kiasan/metoris) atau MAKNA TERSIRAT.

Ibnu Taimiyyah melarang takwil dengan makna majaz TIDAK TERBATAS pada sifat Allah namun Beliau mengingkari makna majaz dalam Al Qur’an SECARA MUTLAK seperti contohnya yang dikabarkan pada https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (W. 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)

CONTOHNYA ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) berkata

فَالْمَفْهُوْمُ مِنْ هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ لله تَعَالَى يَدَيْنِ مُخْتَصَّتَيْنِ بِهِ ذَاتِيَتَيْنِ لَهُ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلَالِهِ وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ خَلَقَ آدَمَ بِيَدِهِ دُوْنَ الْمَلَائِكَةِ وَإِبْلِيْسَ وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ يَقْبِضُ الْأَرْضَ وَيُطَوِّي السَّمَاوَاتِ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَأَنَّ يَدَيْهِ مَبْسُوْطَتَانِ

“Dapat dipahami dari firman Allah Ta’ala ini bahwa Ia MEMILIKI tangan tertentu yang bersifat DZAT, yang layak dengan keagungan-Nya, dan Allah Ta’ala Maha Suci, Ia MENCIPTAKAN Adam dengan tangan-Nya sendiri, tidak melalui Malaikat atau Iblis. Dan Ia Maha Suci yang MENGGENGAM bumi dan MELIPAT langit MENGGUNAKAN tangan kanan-Nya, dan tangan Allah TERBENTANG” (Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Juz 3, Hal 84)

Firqah MUJASSIMAH sering mengatakan manhaj Salaf mengitsbatkan atau menetapkannya SESUAI dengan MAKNA yang LAYAK bagi-Nya.

NAMUN firqah MUJASSIMAH sampai sekarang belum dapat menjawab pertanyaan apa MAKNA TANGAN yang LAYAK bagi Allah dan tangan BUKAN MAKNA namun ARTI dari yad

TERJEMAHAN atau ARTI itu BUKANLAH MAKNA karena ARTI sebuah teks/nash dapat bermakna dzahir maupun bermakna majaz (kiasan / metaforis)

JUMHUR ulama telah SEPAKAT yakni TERLARANG MEMAKNAI tangan Allah sebagai JARIHAH atau ANGGOTA BADAN atau ORGAN atau ALAT seperti untuk menciptakan Nabi Adam alaihissalam

Contohnya Imam Ahmad bin Hanbal (W 241 H) menjelaskan,

ليستا بجارحتين وليستا بمركبتين وَلَا جسم وَلَا جنس من الْأَجْسَام وَلَا من جنس الْمَحْدُود والتركيب والأبعاض والجوارح

Keduanya bukan ORGAN tubuh UNTUK BEKERJA, bukan SUSUNAN, bukan JISM atau pun JENIS dari JISM, bukan KATEGORI sesuatu yang bisa DIUKUR, TERSUSUN, FRAGMEN atau ANGGOTA tubuh untuk BEKERJA (JAWARIH alias bukan ALAT untuk menciptakan nabi Adam).

وَلَا يُقَاس على ذَلِك لَا مرفق وَلَا عضد وَلَا فِيمَا يَقْتَضِي ذَلِك من إِطْلَاق قَوْلهم يَد إِلَّا مَا نطق الْقُرْآن بِهِ أَو صحت عَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم السّنة فِيهِ

“Tangan” itu tak bisa dikiaskan dengan apa pun (dari bagian makhluk-Nya), bukan siku, bukan lengan, dan bukan pula apa yang dipahami dari kata “tangan” secara umum, kecuali apa yang diucapkan oleh (LAFADZ) al-Qur’an atau apa yang shahih dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (al-Khallal, al-‘Aqîdah, 104).

Begitupula Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berkata,

ﺃَﻥَّ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﻗَﻮْﻟِﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ: (ﺑِﻴَﺪَﻱَّ) ﺇِﺛْﺒَﺎﺕُ ﻳَﺪَﻳْﻦِ ﻟَﻴْﺴَﺘَﺎ ﺟَﺎﺭِﺣَﺘَﻴْﻦِ، ﻭَلَا ﻗُﺪْﺭَﺗَﻴْﻦِ، ﻭَلَا ﻧِﻌْﻤَﺘَﻴْﻦِ لَا ﻳُﻮْﺻَﻔَﺎﻥِ ﺇِلَّا ﺑِﺄَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻧِّﻬُﻤَﺎ ﻳَﺪَاﻥِ ﻟَﻴْﺴَﺘَﺎ ﻛَﺎلْأَﻳْﺪِﻱ

Sesungguhnya makna firman Allah Ta’ala dengan dua yad-ku adalah menetapkan dua yad BUKAN dua JARIHAH (anggota badan), bukan dua qudroh, bukan dua nikmat, Allah tidak disifati dengan dua sifat itu kecuali dikatakan keduanya adalah dua yad bukan seperti tangan-tangan mahluk. (Al Ibanah)

Lalu Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berkata :

بِالْمَعْنَی الَّذِيْ أَرَادَهُ

Dengan makna yang Allah kehendaki. (Al Ibanah) .

Serupa dengan Imam Ahmad bin Hanbal di atas yang mengatakan

إِلَّا مَا نطق الْقُرْآن بِهِ أَو صحت عَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم السّنة فِيهِ

kecuali apa yang diucapkan oleh (LAFADZ) al-Qur’an atau apa yang sahih dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”

Jadi Imam Ahmad bin Hanbal maupun Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari memilih beriman dan membiarkan sebagaimana KABAR yang DATANG yakni sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan MAKNANYA kepada Allah Ta’ala.

Firqah MUJASSIMAH mengingkari atau “SYULIT” menerima kenyataan Salafus Sholeh pada umumnya (mayoritas) beriman dan membiarkan sebagaimana KABAR yang DATANG atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah.

Contoh pengingkaran mereka dengan mengatakan, “TIDAK MUNGKIN Salafus Sholeh tidak mengetahui maknanya dan TIDAK MUNGKIN pula Rasulullah tidak menjelaskan maknanya kepada Salafus Sholeh”

Salafus Sholeh yang berbahasa ibu dengan bahasa Arab tentu BUKAN TIDAK mengetahui MAKNA DZAHIRNYA

NAMUN para ulama seperti contohnya pembesar mazhab Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu memang harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan NAMUN jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dimaknai dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang MUSTAHIL bagi Allah atau sifat yang TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi Allah MAKA berarti teks tersebut BUKAN dalam makna dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.

Jadi JIKA dipaksakan DIMAKNAI dengan MAKNA DZAHIR akan TERJERUMUS mensifatkan Allah dengan sifat yang MUSTAHIL bagi Allah atau sifat TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi Allah seperti memaknai sifat Allah atau mensifatkan Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA ulama Salaf (terdahulu) maupun ulama Khalaf (kemudian) telah SEPAKAT meyakininya BUKAN dalam MAKNA DZAHIR dan MEMALINGKANNYA dari makna dzahirnya.

PERBEDAAN di antara ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (kemudian) hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya SESUAI kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun TIDAK diberi makna tetapi TAFWIDH yakni diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.

Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala

Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.

Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Salafus Sholeh sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh Ad Dzahabi dalam kitab Mukhtashar Al Uluw.

***** awal kutipan *****
Sufyan Ats Tsauriy (W. 191H) mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,

الرحمن على العرش استوى كيف استوى

“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?”

Robi’ah menjawab,

الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق

“Istiwa’ itu telah diketahui (disebutkan dalam Al Qur’an), Al Kaifu ghairu maquul (Al Kaifa yakni sifat makhluk atau benda tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah) Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadznya).”
***** akhir kutipan *****

Contoh penjelasan dari Salafus Sholeh seperti dari Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?

فكلهم قالوا لي أمروها كما جاءت بلا تفسير

Maka semuanya berkata dan memerintahkan kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang TANPA TAFSIR”

Begitupula Sufyan bin Uyainah (W. 198H) berkata:

ما وصف الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه فقراءته تفسيره،

“Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan (teks atau lafadz) tersebut adalah tafsirannya.

ليس لأحد أن يفسره بالعربية ولا بالفارسية

Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al Imam Baihaqi kitab Al Asma’ wa ash Shifat 2:117)

Jadi Salafus Sholeh dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan BANYAK MAKNA) terkait sifat-sifat Allah pada umumnya (mayoritas) memilih ITSBAT LAFADZ TANPA TAFSIR yakni mereka membenarkan dan mengitsbatkan (menetapkan) dengan MEMBIARKAN sebagaimana KABAR yang DATANG atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan BUKAN berdasarkan MAKNANYA secara bahasa artinya mereka MEMALINGKAN teks atau lafadznya dari makna dzahir maupun makna majaz secara keseluruhan atau global (IJMALI) dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAKWIL IJMALI.

Sedangkan para ulama khalaf (kemudian), dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA mereka menakwilkan atau memaknai ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) tersebut dengan makna yang patut (layak) bagi Allah Ta’ala yang SESUAI dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSHILI.

Jadi TAFWIDH disebut juga TAKWIL IJMALI, sedangkan TAKWIL seperti contohnya TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ disebut TAKWIL TAFSHILI.

Kesimpulannya TAFWIDH dan TAKWIL itu hanya sebuah PILIHAN karena sama-sama MENGINGKARI atau MEMALINGKAN dari MAKNA DZAHIRNYA.

Ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) TERBUKTI tidak mengikuti Salafus Sholeh karena Ibnu Taimiyah MENGINGKARI atau MENOLAK TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah.

Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat berkata,

أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد

“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)

Firqah MUJASSIMAH mengingkari atau menolak pilihan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah maka sama artinya mereka terjerumus mengingkari firnan Allah Ta’ala surat Ali Imran [3] ayat 7

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran [3] ayat 7 tentang DUA PILIHAN dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat dengan makna.

PILIHAN PERTAMA jangan mencari-cari takwilnya, beriman sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH artinya menyerahkan maknanya kepada pengucapnya yakni Allah Ta’ala dan Rasulullah yang menyampaikannya.

Firman Allah yang artinya, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, (sebagaimana TEKS atau LAFADZNYA), semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. (QS. Ali Imran [3] : 7)

Al Hafizh Adz Dzahabi menjelaskan pengertian TAFWIDH adalah,

فَقَولُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابِهِ: الإِقرَارُ، وَالإِمْرَارُ،

“Pendapat kami dalam masalah dan bab ini adalah: mengakuinya dan membiarkannya (sebagaimana teks atau lafadznya)

وَتَفْويضُ مَعْنَاهُ إِلَى قَائِلِه الصَّادِقِ المَعْصُومِ

dan TAFWIDH MAKNA (mengembalikan maknanya) kepada pengucapnya ash Shadiq al Ma’shum (yakni Rasulullah)” (Siyaru alaminubala Adz Dzahabi 8/105)

Pilihan KEDUA adalah mengikuti TAKWIL dari Ulil Albab yakni orang-orang yang dianugerahi hikmah oleh Allah Ta’ala.

Firman Allah yang artinya

“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripada ayat-ayat mutasyabihat) MELAINKAN (kecuali) Ulil Albab (orang-orang yang dianugerahi hikmah oleh Allah) (Q.S. Ali Imran [3] : 7)

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).

Contohnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas radhiyallahu anhu agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil dan hikmah (pengetahuan yang dalam tentang Al Qur’an dan Hadits)

اَللَّهُمَّ فَقِّهُّ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhuttakwil

Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil Al Qur’an.

atau doa Rasulullah lainnya,

Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at takwila qurana

Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alimkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)

Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah mengingatkan bahwa firqah Wahabi yakni orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) yang meneruskan KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) yang SUDAH DITAUBATINYA adalah,

يقولون على الله الكذب وهم يعلمون

Mereka MENYEBARLUASKAN KEBOHONGAN mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.

Ibnu Taimiyyah beruntung masih diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk bertaubat persis sebelum Beliau wafat di penjara ~ semoga Allah menerima taubatnya.

Pada hakikatnya firman Allah Ta’ala dalam surat Ali Imran [3] ayat 7 DITUJUKAN kepada firqah MUJASSIMAH yakni orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan KARENA mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH yakni mereka menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah seperti mereka mengatakan bahwa Allah memiliki wajah tanpa kepala, pinggang, betis dan dua tangan yang kedua-duanya kanan.

Firman Allah yang artinya, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (SELALU dengan MAKNA DZAHIR) untuk menimbulkan FITNAH dengan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal tidak ada yang mengetahui TAKWILNYA melainkan Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 7)

Pengertian orang-orang yang “MENCARI-CARI TAKWILNYA” atau “mengada-ngada takwil” adalah mereka MENTAKWIL yakni memaknai TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, ketika menafsirkan (QS. Ali Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari

لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس

kalangan orang-orang jahil (TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR) yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.

Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-ali-imran-dengan-tafsir/1

Apabila mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna HARUS dimaknai dengan MAKNA DZAHIR dan TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA MAJAZ maka apakah menurut mereka wajah Allah BERADA di Timur dan Barat karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah [2] : 115)

Oleh karenanya para ulama terdahulu telah MENGKAFIRKAN ulama rujukan bagi firqah Wahabi, yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang SEBELUM bertaubat menetapkan sifat-sifat JISIM dan anggota-anggota badan dalam pengertian DITETAPKAN KUFUR dalam perkara I’TIQOD atau akidah BUKAN dalam pengertian MEMBATALKAN keislamannya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj,

***** awal kutipan *****
ووقوعه في حق رسول الله ﷺ ليس يعجب فإنه وقع فى حق الله سبحانه وتعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علواً كبيراً فنسب إليه العظائم كقوله إن الله تعالى جهة ويداً ورجلاً وعيناً وغير ذلك من القبائح الشنيعة .

PENGHINAAN Ibnu Taimiyyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan PENGHINAAN dengan MENETAPKAN ARAH, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji.

ولقد كفره كثير من العلماء عامله الله بعدله وخذل متبعيه الذين نصروا ما افتراه على الشريعة الغراء

Ibnu Taimiyyah ini telah DIKAFIRKAN (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyyah atas syari’at yang suci ini.
***** akhir kutipan *****

Begitupula para ulama telah melarang menjuluki ulama rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebagai Syaikhul Islam BAGI yang telah mengetahui perkataan atau pendapat KUFURNYA.

Contohnya Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H) mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.

Al Hafidz, Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikatakan “membela” ke-Syaikhul Islam-an ulama rujukan bagi firqah Wahabi mengingatkan CONTOH KEKELIRUAN Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang mengatakan Istiwa Allah dengan dzat-Nya karena sama artinya Allah BERBATAS dengan Arsy sebagaimana yang disampaikan dalam kitab Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155.

***** awal kutipan *****
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah SIFAT HAKIKAT bagi Allah,

وأنه مستو على العرش بذاته

dan sesungguhnya Allah BERISTIWA di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.

فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.

Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan (SAMA ARTINYA) Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,

فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله

Maka yang DICELA adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
***** akhir kutipan *****

Ibnu Taimiyah dipenjara oleh pemerintahan Sultan Muhammad bin Qolaawuun di salah satu menara Benteng Damascus di Syria dan diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah SESAT dan MENYESATKAN berdasarkan fatwa Qodhi empat mazhab yaitu :

  1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
  2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi B4k4r rhm.
  3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
  4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Imam Taqiyuddin As-Subki dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :

“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830