Jurnal Jamu Indonesia (2020) 5(2):68-75
ISSN 2407-7178 eISSN 2407-7763
Artikel Penelitian
DOI: https://doi.org/10.29244/jji.v5i2.102
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Pegagan (Centella asiatica) pada Kondisi
Cekaman Salinitas dan Kekeringan
Production of Secondary Metabolite Compounds of Gotu Kola (Centella asiatica) Under
Salinity and Drought Stress
Penulis
Afiliasi
Nur Amallia , Zainal Alim Mas’ud , Diah Ratnadewi
1
3
1
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB University, Bogor,
Jawa Barat, 16680, Indonesia.
2
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB University, Bogor,
Jawa Barat, 16680, Indonesia.
Kata Kunci
Biomassa
Cekaman Abiotik
Triterpena
Keywords
biomass
abiotic stress
triterpene
Diterima : 21 Agustus 2019
Direvisi : 6 Juni 2020
Disetujui : 24 Juni 2020
*Penulis Koresponding
Nur Amallia
email:
amallia.nur@gmail.com
2
ABSTRAK
Pegagan (Centella asiatica) adalah tanaman herbal tradisional yang telah dilaporkan
memiliki berbagai aktivitas farmakologis. Senyawa pada pegagan yang berperan
terhadap aktivitas farmakologis tersebut adalah senyawa golongan triterpena, yaitu
madekasosida (MD), asiatikosida (AS), asam madekasat (AM), dan asam asiatat (AA).
Cekaman dapat mempengaruhi produksi biomassa dan senyawa metabolit sekunder
pada tanaman. penelitian bertujuan menganalisis pengaruh cekaman salinitas dan
kekeringan terhadap biomassa 4 senyawa golongan triterpene pada pegagan.
Pemanenan dilakukan ketika tanaman berumur 8 minggu. Hasil panen dianalisis
biomassanya kemudian diekstraksi menggunakan pelarut metanol untuk selanjutnya
dianalisis kadar metabolit sekundernya menggunakan metode kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT). Biomassa tanaman terendah diperoleh pada perlakuan 50% kapasitas
lapang dan kadar garam 3000 ppm. Kadar MD dan AS tertinggi dicapai pada kondisi
100% kapasitas lapang dan kadar garam 1000 ppm. Adapun kapasitas lapang 50 dan
100% serta kadar garam 1000-3000 ppm tidak mempengaruhi kadar AM dan AS.
ABSTRACT
Gotu kola (Centella asiatica) is a traditional herbal plant that has been reported
have a variety of pharmacological activities. The compounds of gotu kola that play a
role on pharmacological activities are triterpene group compounds, namely
madecasosside (MD), asiaticoside (AS), madecassic acid (AM), and asiatic acid (AA).
Stress can affect the production of biomass and secondary metabolite compounds in
plants. The aims of the study is to analyze the effect of salinity and drought stress on
biomass and 4 compounds of triterpene in gotu kola. Harvesting is done when the plant
is 8 weeks old. The yield of the biomass was analyzed and then extracted using
methanol solvent to be analyzed secondary metabolite levels using the high
performance liquid chromatography (HPLC) method. The lowest crop biomass was
obtained at 50% of field capacity and 3,000 ppm salt content. The highest levels of MD
and AS were established in conditions of 100% field capacity and 1,000 ppm salt
content. The 50 and 100% field capacity and 1,000-3,000 ppm salt content did not
affect the levels of AM and AA.
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Pegagan (Centella asiatica)
pada Kondisi Cekaman Salinitas dan Kekeringan
PENDAHULUAN
Pegagan merupakan tanaman liar yang mudah
ditemukan di sekitar perkebunan, ladang, tepi jalan,
dan pematang sawah. Walaupun demikian, ternyata
pegagan menyimpan banyak sekali manfaat, baik
secara tradisional, maupun modern. Secara tradisional,
pegagan sudah sejak zaman dahulu dimanfaatkan
sebagai pengobatan kulit, di antaranya untuk
menyamarkan stretch mark, mengobati luka bakar dan
jerawat, serta mempercepat penyembuhan luka.
Pegagan juga telah dilaporkan memiliki aktivitas
farmakologis sebagai antipenuaan (Malamardi et al.
2003), antikanker (Wang et al. 2013), antibakteri
(Pitinidhipat dan Yasurin 2012, Rattanakom dan
Patchaneeyasurin 2015), antioksidan dan antidiabetes
(Dewi dan Maryani 2015), mempercepat penyembuhan
luka (Yao et al. 2015), antijamur (Idris dan Nadzir 2017),
antiinflamasi (Saha et al. 2013), dan pengobatan
Alzheimer (Chiroma et al. 2019). Banyaknya manfaat
dan aktivitas farmakologis tersebut disebabkan oleh
tingginya kandungan metabolit sekunder golongan
triterpena dalam pegagan.
Metabolit sekunder adalah produk metabolisme
yang sifatnya nonesensial bagi pertumbuhan suatu
organisme dan ditemukan berbeda-beda antarspesies.
Senyawa metabolit sekunder tidak selalu dihasilkan
oleh suatu spesies, tetapi hanya pada fase atau waktu
tertentu ketika dibutuhkan. Fungsi senyawa metabolit
sekunder pada suatu tanaman meliputi alat pertahanan
diri dalam suatu lingkungan tertentu dan alat untuk
berinteraksi dengan lingkungannya. Madekasosida,
asiatikosida, asam madekasat, dan asam asiatat adalah
metabolit sekunder golongan triterpena yang
merupakan senyawa penciri pegagan (Hashim et al.
2011).
Cekaman adalah kondisi perubahan lingkungan yang
tidak menguntungkan dan dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Respons
tanaman terhadap keberadaan cekaman dapat
berbeda-beda antarspesies, tergantung jenis, waktu,
dan tingkat cekaman yang diberikan. Secara umum,
cekaman dibagi menjadi cekaman biotik dan abiotik.
Menurut Mahajan dan Tuteja (2005), cekaman biotik
terdiri atas patogen, serangga, herbivora, dan hewan
pengerat; sementara cekaman abiotik terdiri atas suhu,
salinitas, air, radiasi, cekaman kimiawi, dan cekaman
mekanis. Cekaman salinitas dan kekeringan merupakan
cekaman
abiotik
yang
paling
memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Umumnya
respons tersebut dapat diukur dari biomassa dan
kandungan metabolit sekundernya.
69
Basyuni et al. (2019) melaporkan bahwa cekaman
salinitas yang diberikan pada bakau spesies Avicennia
offinalis dapat meningkatkan kandungan poliisoprenoid
pada daunnya. Sementara pada bakau spesies Brugiera
cylindrica dan Xylocarpus granatum, cekaman salinitas
meningkatkan kadar poliisoprenoid pada akar.
Penelitian yang dilaporkan Jimenez-Herrera et al.
(2019) menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat
meningkatkan kandungan triterpena pada buah, daun,
dan batang pohon zaitun Olea europaea. Cekaman
yang sengaja diberikan pada suatu tanaman diharapkan
dapat meningkatkan jumlah metabolit sekunder dalam
tanaman tersebut sebagai respons pertahanan diri.
Penelitian bertujuan menganalisis pengaruh
cekaman salinitas dan kekeringan terhadap biomassa
dan kadar senyawa metabolit sekunder golongan
triterpena tanaman pegagan (C. asiatica).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober
2018−Juli 2019 di Laboratorium Kimia Organik,
Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, IPB.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain bibit
pegagan diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian (BB Biogen), Bogor; tanah andosol diperoleh
dari Cikabayan, Dramaga, Bogor; kompos merk Aneka
Kompos; polibag 20x20 cm; metanol teknis satu kali
distilasi; metanol mutu KCKT (Merck, Darmstadt,
Jerman); asetonitril mutu KCKT (Merck, Darmstadt,
Jerman);
akuabides;
standar
madekasosida,
asiatikosida, asam asiatat, dan asam madekasat.
Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain peralatan kaca
yang lazim terdapat di laboratorium, neraca analitik
(Sartorius, Bradford, Jerman), oven, radas distilasi,
penguap putar (Rotavapor R-114 waterbath B-480,
Swiss) , mikropipet, membran filter Whatman (ukuran
pori 0.45 µm; PTFE; P/N E252, Buckinghamshire,
England), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan
spesifikasi: tipe Hitachi, detector UV-Vis L-2420, oven L2300, kolom Shim-pack VP-ODS C18 (150 x 4.6 mm).
Penanaman
Bibit tanaman pegagan diperoleh dari Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor.
Penanaman dilakukan di Dramaga , Bogor dengan titik
geografis antara 6° 30’−6° 45’ LS dan 106° 30’−106° 45’
70
Amallia et al.
BT, ketinggian tempat antara 145−400 m dpl, pada
suhu udara rata-rata harian 22.6−32.9 °C dan tekanan
udara 987.2−991.7 mb. Setelah berumur 3 minggu,
bibit ditanam pada media campuran tanah andosol dan
kompos dengan perbandingan 1:1 (v/v). (Lampiran 1) .
Setiap polybag terdiri atas satu tanaman yang diambil
dari anakan dengan jumlah daun 3−4 helai. Perlakuan
kapasitas lapang dan garam dimulai pada 1 minggu
setelah ditanam di media baru. Perlakuan yang
diberikan yaitu kapasitas lapang (KL) 50 dan 100% serta
kadar garam (KG) 1 000; 2 000; dan 3 000 ppm
sehingga diperoleh 6 perlakuan. penyiraman dilakukan
2 hari sekali dan disesuaikan dengan kondisi tanaman.
Kontrol diberikan dalam bentuk 60% KL tanpa cekaman
garam.
Pemanenan dan Pengukuran Biomassa Tanaman
Tanaman dipanen pada umur 8 PST. Pengukuran
dilakukan terhadap produksi biomassa berupa bobot
basah dan kering keseluruhan tanaman.
Ekstraksi
Ekstraksi
dilakukan
dengan
cara
maserasi
menggunakan pelarut metanol. Sampel dimaserasi
dengan metanol sebanyak 200 mL selama 2x10 jam,
dipekatkan menggunakan penguap putar, kemudian
dihitung rendemennya.
Analisis KCKT
Analisis kadar senyawa triterpena mengacu pada
metode yang dikembangkan oleh Rafi et al. (2018).
Sebanyak 200 mg ekstrak disuspensi dalam 5 mL
metanol dan diultrasonikasi selama satu jam pada suhu
ruang.
Larutan
sampel
kemudian
disaring
menggunakan membran filter 0.45 µm dan ditera
dalam labu takar 10 mL menggunakan metanol
sebelum dianalisis. Larutan standar madekasosida,
asiatikosida, asam madekasat, dan asam asiatat yang
digunakan adalah 25, 50, 100, 200, dan 250 ppm.
Kondisi alat yang digunakan meliputi instrument
KCKT Shimadzu LC-20A, detector diode-array UV-Vis.
Fase diam yang dipakai yakni kolom C18 shim-pack
Shimadzu VP-ODS 150 x 4.6 mm ukuran partikel 4.6
µm. Sementara fase geraknya adalah asetonitril dan air
menggunakan program elusi gradien selama 40 menit
dengan laju alir 1 mL/menit. Kolom dijaga pada suhu
40°C dan analisis dilakukan pada panjang gelombang
206 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Cekaman Salinitas dan Kekeringan terhadap
Biomassa Tanaman
Cekaman kekeringan dan salinitas merupakan
cekaman
abiotik
yang
paling
memengaruhi
produktivitas tanaman dan berdampak pada semua
proses dasar tanaman, mulai dari perkecambahan
hingga semua aspek fisiologis yang vital (Zhang et al.
2011). Tanaman yang tumbuh pada kondisi cekaman
kekeringan dan salinitas menghadapi cekaman osmotik
dari terganggunya homeostatis dan keseimbangan ion
(Guo et al. 2015).
KL menunjukkan jumlah maksimal air yang mampu
ditahan oleh tanah terhadap gravitasi. Perlakuan KL
yang digunakan yaitu 50 dan 100%. Pemilihan KL
didasarkan pada penelitian Rahardjo et al. (1999) yang
melaporkan bahwa pegagan tidak mampu tumbuh
pada kondisi KL 40% dan kurang dari itu. KG 1 000; 2
000; dan 3 000 ppm dipilih berdasarkan Ibrahim et al.
(2018) yang melaporkan bahwa pegagan dapat
bertahan pada KG 0-5 000 ppm selama 12 minggu.
Kontrol merupakan perlakuan tanpa cekaman garam
dan 60% KL berdasarkan Rahardjo et al. (1999) yang
melaporkan bahwa asiatikosida, asam asiatat, dan
asam madekasat mencapai kadar yang optimum pada
kondisi tersebut.
Tabel 1. Biomassa Tanaman dan Rendemen Hasil Ekstraksi
KL (%)
50
50
50
100
100
100
Blanko
Perlakuan
KG (ppm)
1 000
2 000
3 000
1 000
2 000
3 000
Basah
14.4107
11.0491
8.1195
8.5988
11.5050
11.7757
8.5206
Keterangan: KL = kapasitas lapang, KG = kadar garam
Bobot (gram)
Kering
3.7298
3.0044
1.9804
2.4753
2.8969
2.8160
2.2063
Ekstrak
0.4706
0.3961
0.2732
0.3370
0.3673
0.3818
0.2950
Rendemen
(%)
12.62
13.18
13.80
13.61
12.68
13.56
13.37
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Pegagan (Centella asiatica)
pada Kondisi Cekaman Salinitas dan Kekeringan
Gambar 1.
71
Senyawa Penciri Tanaman Pegagan
Biomassa dari keenam perlakuan dan kontrol tersaji
pada Tabel 1. Bobot terendah diperoleh pada
perlakuan 50% KL dan KG 3 000 ppm. Hal ini terjadi
karena tingkat salinitas yang tinggi dan kurangnya
pasokan air pada tanaman menyebabkan penurunan
serapan hara, menciptakan ketidakseimbangan
osmotik,
dan
gangguan
metabolisme
yang
mengakibatkan gangguan dalam berbagai aktivitas
fisiologis dan penurunan pertumbuhan tanaman secara
keseluruhan (Meng et al. 2016). Untuk mengatasi efek
samping ini, tanaman merespons dengan mengurangi
pemanfaatan energi untuk pertumbuhan dan
perkembangan sehingga energi tersebut dapat
digunakan untuk penyesuaian kondisi ekstrem (Parida
et al. 2018). Tanaman juga merespons kekeringan
secara fisik dan fisiologis dengan penutupan stomata
untuk mengurangi laju transpirasi. Stomata merupakan
organ transpirasi tanaman tempat pengambilan CO2
dan pelepasan O2. Penutupan stomata akibat cekaman
kekeringan menyebabkan kurangnya pasokan CO2 dan
H2O sebagai bahan utama proses fotosintesis yang
berakibat pada terganggunya proses fotosintesis itu
sendiri. Gangguan pada proses fotosintesis inilah yang
mengakibatkan penurunan biomassa tanaman.
Sementara O2 yang tidak dilepas dapat berubah
menjadi ROS sehingga kadar ROS pada tanaman
tersebut menjadi lebih tinggi. Biomassa terbanyak
diperoleh pada kondisi 50% KL dan KG 1 000 ppm.
Menurut Mittler (2017), tingkat ROS yang tepat dapat
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimal.
Maka, perlakuan 50% KL dan KG 1 000 ppm merupakan
perlakuan yang membuahkan tingkat ROS yang tepat
sehingga menghasilkan pertumbuhan tanaman yang
optimal.
Tanaman yang diukur biomassanya kemudian
diekstraksi dengan cara maserasi. Selain maserasi,
ekstraksi dapat dilakukan dengan cara refluks,
soxhletasi, dan distilasi. Cara maserasi dipilih untuk
mencegah terjadinya degradasi termal pada senyawa
target. Maserasi dilakukan menggunakan pelarut
metanol. Pelarut dipilih berdasarkan penelitian Artanti
et al. (2014) yang melaporkan bahwa kandungan
triterpena total tertinggi dari pegagan diperoleh dari
ekstrak metanol dibandingkan dengan ekstrak etanol.
Selain itu, metanol merupakan pelarut yang dapat
digunakan untuk mengekstraksi senyawa golongan
terpena dan glikosida (He et al. 2012). Ekstraksi
terhadap
seluruh
bagian
tanaman
pegagan
menghasilkan rendemen 12.62−13.80%. Persentasi
rendemen yang dihasilkan telah memenuhi syarat
mutu herba pegagan menurut Depkes RI (2009), yakni
rendemen tidak kurang dari 7.20%.
72
Amallia et al.
Tabel 2. Kadar Empat Senyawa Triterpena Pegagan
Perlakuan
KL (%)
50
50
50
100
100
100
Blanko
KG (ppm)
1 000
2 000
3 000
1 000
2 000
3 000
Kadar (mg g-1 sampel)
MD
AS
AM
2.21
5.10
1.38
2.78
5.56
0.90
2.62
4.90
1.16
5.56
10.26
1.34
2.68
5.16
2.04
2.25
4.20
1.16
2.27
4.30
1.20
AA
3.61
3.04
2.34
2.68
3.99
2.53
2.72
Keterangan: KL = kapasitas lapang, KG = kadar garam, MD = madekasosida,AS = asiatikosida, AM = asam madekasat, AA = asam
asiatat
Gambar 1.
Mekanisme Degradasi Metakrolein (atas) dan Metil Vinil Keton (bawah) (Schone 2014)
Pengaruh Cekaman Salinitas dan Kekeringan terhadap
Kadar Metabolit Sekunder
Menurut Hashim et al. (2011), madekasosida (MD),
asiatikosida (AS), asam madekasat (AM), dan asam
asiatat (AA) adalah metabolit sekunder golongan
triterpena yang merupakan senyawa penciri pegagan
(Gambar 1). Kadar keempat senyawa tersebut
ditentukan menggunakan KCKT. Menurut BahadirAcikara et al. (2018), metode KCKT dapat digunakan
untuk analisis kuantitatif senyawa triterpena glikosida
pada ekstrak kasar.
MD dan AS merupakan senyawa saponin terpenoid
atau triterpena glikosida, yakni triterpena hidrofobik
yang mengikat gula hidrofilik. Gula yang terdapat pada
MD dan AS adalah 2 glukosa dan 1 rhamnosa. Sanchez
et al. (2012) melaporkan bahwa pada kondisi
kekurangan air, terjadi peningkatan kadar gula, seperti
fruktosa, glukosa, galaktosa, dan maltosa. Peningkatan
tersebut terjadi karena gula dapat berperan sebagai
osmoprotektan, yakni senyawa hidrofilik yang
diproduksi secara alami oleh tanaman untuk
melindungi sel dari cekaman kekeringan, baik secara
fisik maupun fisiologis (cekaman salinitas). Penggunaan
gula sebagai osmoprotektan diduga mengakibatkan
rendahnya kadar MD dan AS. Maka, kadar MD dan AS
tertinggi diperoleh pada kondisi 100% KL dan KG 1 000
ppm (Tabel 2). Perlakuan tersebut merupakan
perlakuan dengan cekaman paling “ringan” dan kondisi
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Pegagan (Centella asiatica)
pada Kondisi Cekaman Salinitas dan Kekeringan
paling optimum tanaman untuk menghasilkan MD dan
AS tertinggi. Pada perlakuan lain yang lebih ekstrem,
gula digunakan sebagai osmoprotektan sehingga kadar
MD dan AS menjadi lebih rendah.
Parida et al. (2018) melaporkan bahwa kondisi
lingkungan yang ekstrem seperti salinitas dan
kekeringan yang tinggi dapat memicu peningkatan
produksi ROS dalam kloroplas dan mitokondria.
Menurut Mittler (2017), metabolisme tanaman yang
normal membutuhkan ROS optimal untuk proliferasi
dan diferensiasi seluler yang memungkinkan tanaman
mencapai pertumbuhan dan perkembangan maksimal.
ROS yang rendah dapat menghambat pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, sedangkan ROS yang
terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya stres oksidatif
dan kerusakan organel sel yang vital pada tanaman.
Pencegahan terhadap kerusakan sel ini dilakukan
tanaman dengan memproduksi lebih banyak senyawa
antioksidan yang dapat menangkap ROS. Senyawa
triterpena terbentuk melalui reaksi penggabungan 6
unit isoprena dari jalur MEP atau 2 unit seskuiterpena
yang dihasilkan melalui jalur MVA. Seskuiterpena
tersusun dari 3 unit isoprena. Menurut Affek & Yakir
(2002) serta Fan & Zhang (2004), isoprena dapat
bereaksi dengan ROS menghasilkan metakrolein dan
metil vinil keton. Kedua senyawa ini selanjutnya dapat
terdegradasi menjadi hidroksi oksobutanal (HOB),
hidroksi butanadion (HDMG), dihidroksi butanon
(DHB), dihidroksi metilpropanal (DHMP), hidroksi
metilmalonaldehida
(HMM),
asam
piruvat,
metilglikoksal, hidroksiaseton, dan glikoksaldehida
(Schone 2014) (Gambar 2), sehingga dapat
memengaruhi kadar triterpena tanaman. Kadar MD
dan AS yang tinggi pada perlakuan 100% KL dan KG 1
000 ppm diduga karena perlakuan tersebut
menghasilkan cekaman paling “ringan” dan merupakan
kondisi paling optimum tanaman untuk menghasilkan
MD dan AS. Pada perlakuan cekaman lain, dihasilkan
ROS dengan jumlah lebih banyak yang mengakibatkan
terdegradasinya isoprena untuk mengurangi efek
negatif dari ROS. Selain itu, tanaman memproduksi
berbagai antioksidan seperti monoterpena, diterpena,
karotenoid (tetraterpena), tokoferol, dan polifenol
untuk menangkap ROS sehingga kadar triterpena yang
dihasilkan tanaman tersebut berkurang.
Kadar AM dan AA pada semua perlakuan tidak jauh
berbeda dan relatif rendah. Hal ini terjadi karena AM
dan AA merupakan hasil dari hidrolisis AS dan MD.
Suasana air yang hampir sama pada perlakuan yang
diberikan mengakibatkan kadar AM dan AA yang
dihasilkan tidak berbeda jauh. Selain itu, umur
73
tanaman ketika dipanen masih relatif muda. Pada
tanaman muda, biosintesis metabolit sekunder yang
terjadi belum maksimal seperti pada tanaman yang
sudah dewasa. Hal ini disebabkan CO2 dan H2O yang
diperoleh ketika proses fotosintesis lebih banyak
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman daripada untuk mempertahankan diri dari
lingkungan. Menurut Nomi (2018), kadar MD, AS, AM,
dan AA maksimal diperoleh ketika tanaman dipanen
pada umur 4 bulan (sekitar 17 minggu).
SIMPULAN
Biomassa tanaman terendah diperoleh pada
perlakuan 50% kapasitas lapang dan kadar garam 3 000
ppm, sedangkan tertinggi pada perlakuan 50%
kapasitas lapang dan kadar garam 1 000 ppm. Kadar
madekasosida dan asiatikosida tertinggi dicapai pada
kondisi 100% kapasitas lapang dan kadar garam 1 000
ppm. Adapun perlakuan yang diberikan tidak
memengaruhi kadar asam madekasat dan asam asitat
pada pegagan. Cekaman salinitas berupa kadar garam 1
000−3 000 ppm serta cekaman kekeringan berupa
kapasitas lapang 50 dan 100% memengaruhi biomassa
serta kadar madekasosida dan asiatikosida, tapi tidak
memberikan pengaruh yang berarti pada kadar asam
madekasat dan asam asiatat tanaman pegagan
berumur 8 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Affek HP, dan Yakir D. 2002. Protection by isoprene
against singlet oxygen in leaves. Plant Physiol.
129:269-277. doi: 10.1104/pp.010909.
Artanti N, Dewi RT, Maryanti F. 2014. Pengaruh lokasi
dan pelarut pengekstraksi terhadap kandungan
fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak pegagan
(Centella asiatica L. Urb). JKTI. 16(2):88-92.
Bahadir-Acikara O, Ozbilgin S, Saltan-Iscan G,
Dall’Acqua S, Rjaskova V, Ozgokce F, Suchy V,
Smejkal K. 2018. Phytochemical analysis of
Podospermum and Scorzonera n-hexane extracts
and the HPLC quantitation of triterpenes. Molecules.
23:1-12. doi: 10.3390/molecules23071813.
Basyuni M, Sagami H, Baba S, Oku H. 2019. Response of
polyisoprenoid concentration and profile in three
groups of mangrove seedlings of coping with longterm salinity. Biodiversitas. 20(1):320-326. doi:
10.13057/biodiv/d200137.
Chiroma SM, Baharuldin MTH, Taib CMT, Amom Z,
Jagadeesan S, Adean MI, Mahdi O, Moklas MAM.
2019. Protective effects of Centella asiatica on
cognitive deficits induced by D-gal/AlCl3 via
74
inhibition of oxidative stress and attenuation of
acethylcholinesterase level. Toxics. 7:1-19. doi:
10.3390/toxics7020019.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2009. Farmakope Herbal Indonesia. Ed ke-1. Jakarta
(ID): Depkes RI.
Dewi RT, Maryani F. 2015. Antioxidant and -glusidase
inhibitory compounds of Centella asiatica. 17:147152.
Procedia
Chem.
doi:
10.1016/j.proche.2015.12.130.
Fan J, Zhang R. 2004. Atmospheric oxidation
mechanism of isoprene. Environ. Chem. 1:140-149.
doi:10.1071/EN04045
Guo R, Yang Z, Li F, Yan C, Zhong X, Liu Q, Xia X, Li H,
Zhao L. 2015. Comparative metabolic responses and
adaptative strategies of wheat (Triticum aestivum)
to salt and alkali stress. BMC Plant Biologi. 15:1-13.
doi: 10.1186/s12870-015-0546-x.
Hashim P, Sidek H, Helan MHM, Sabery A, Palanisamy
UD, Ilham M. 2011. Molecules. 16:1310-1322. doi:
10.3390/molecules16021310.
He W, Fu Z, Zeng G, Zhang Y, Han H, Yan H, Ji C, Chu H,
Tan N. 2012. Terpene and lignan glycosides from the
twigs and leaves of an endangered conifer, Cathaya
argyrophylla. J Phytochem. 83:63-69. doi:
10.1016/j.phytochem.2012.07.013.
Ibrahim MH, Shibli NI, Izad AA, Zain NAM. 2018.
Growth, chlorophyll fluorescence, leaf gas exchange
and phytochemicals of Centella asiatica exposed to
salinity
stress.
ARRB.
27(2):1-13.
doi:
10.9734/ARRB/2018/41014.
Idris FN, Nadzir MM. 2017. Antimicrobial activity of
Centella asiatica on Aspergillus niger and Bacillus
subtilis. Chem Eng Transactions. 56:1381-1386. doi:
10.3303/CET1756231.
Jimenez-Herrera R, Pacheco-Lopez B, Peragon J. 2019.
Water stress, irrigation, and concentrations of
pentacyclic triterpenes and phenols in Olea
europaea L. cv. Picual olive trees. Antioxidants.
8(294):1-14. doi: 10.3390/antiox8080294.
Mahajan S, Tuteja N. 2005. Cold, salinity, and drought
stresses: an overview. Arch Biochem and Biophys.
444:139-158. doi: 10.1016/j.abb.2005.10.018.
Maramaldi G, Togni S, Franceschi F, Lati E, 2013. Antiinflammaging and antiglycation activity of a novel
botanical ingredient from African biodiversity
(Centevita). Clin Cosmet Investig Dermatol. 7:1-9.
doi: 10.2147/CCID.S49924.
Meng F, Luo Q, Wang Q, Zhang X, Qi Z, Xu F. 2016.
Physiological and proteomic responses of diploid
and tetraploid black locust (Robinia pseudoacacia L.)
Amallia et al.
subjected to salt stress. Sci Rep. 14:20299–20325.
doi: 10.3390/ijms141020299.
Mittler R. 2017. ROS are good. Trends Plant Sci.
22(1):11-19. doi: 10.1016/j.tplants.2016.08.002.
Nomi AG. 2018. Pemrofilan metabolit pegagan
(Centella asiatica) berdasarkan umur tanam
menggunakan
spektrum
infra-merah
dan
kromatograsi cair [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Parida AK, Panda A, Rangani J. 2018. Plant Metabolites
and Regulation Under Environmental Stress. Ahmad
P, Ahanger MA, Singh VP, Tripathi DK, Alam P,
Alyemeni MN, editor. Cambridge (GB): Elsevier Inc.
hlm 89-131. doi: 10.1016/B978-0-12-8126899.00005-4.
Pitinidhipat N, Yasurin P. 2012. Antibacterial activity of
Chrysanthemum indicum, Centella asiatica and
Andrographis paniculate against Bacullus cereus and
Listeria monocytogenes under osmotic stress. AU
J.T. 15(4):239-245.
Rafi M, Handayani F, Darusman LK, Rohaeti E,
Yudiwanti W, Sulistiyani, Honda K, Putri SP. 2018. A
combination of simultaneous quantification of four
triterpenes and fingerprint analysis using HPLC for
rapid identification of Centella asiatica from its
related plants and classification based on cultivation
ages. Ind Crop and Prod. 122(5):93-97. doi:
10.1016/j.indcrop.2018.05.062.
Rahardjo M, Rosita SMD, Fathan R, Sudiarto. 1999.
Pengaruh cekaman air terhadap mutu simplisia
pegagan (Centella asiatica). Jurnal Littri. 5(3):92-97.
Rattanakom S, Patchaneeyasurin. 2015. Chemical
profiling of Centella asiatica under different
extraction solvents and its antibacterial activity,
antioxidant activity. Orient J Chem. 31(4):24532459. doi: 10.13005/ojc/310480.
Saha S, Guria T, Singha T, Maity TK. 2013. Evaluation of
analgesic and anti-inflammatory activity of
chloroform and methanol extracts of Centella
asiatica Linn. ISRN Pharmacol. 1-6. doi:
10.1155/2013/789613.
Sanchez DH, Schwabe F, Erban A, Udvardi MK, Kopka J.
2012. Comparative metabolomics of drought
acclimation in model and forage legumes. Plant Cell
Environ.
35:136-149.
doi:
10.1111/j.13653040.2011.02423.x.
Schone L, Schindelka J, Szeremeta E, Schaefer T,
Hoffmann D, Rudzinski KJ, Szmigielski, Herrmann H.
2014. Atmospheric aqueous phase radical chemistry
of the isoprene oxidation products methacrolein,
methyl vinyl ketone, methacrylic acid, and acrylic
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Pegagan (Centella asiatica)
pada Kondisi Cekaman Salinitas dan Kekeringan
acid – kinetics and product studies. Phys Chem
Chem
Phys.
16:6257-6272.
doi:
10.1039/C3CP54859G.
Wang L, Xu J, Zhao C, Zhao L, Feng B. 2013.
Antiproliferative, cell-cycle dysregulation effects of
novel asiatic acid derivatives on human non-small
cell lung cancer cells. Chem Pharm Bull.
61(10):1015-1023. doi: 10.1248/cpb.c13-00328.
Yao CH, Yeh JY, Chen YS, Li MH, Huang CH. 2015.
Wound-healing effect of electrospun gelatin
75
nanofibers containing Centella asiatica extract in a
rat model. J Tissue Eng Regen Med. 11(3):905-915.
doi: 10.1002/term.1992.
Zhang J, Zhang Y, Du Y, Chen S, Tang H. 2011. Dynamic
metabonomic responses of tobacco (Nicotiana
tabacum) plants to salt stress. J Proteome Res.
10(4):1904-1914. doi: 10.1021/pr101140n.