Badai Nestapa Keluarga saat Kematian Covid Tak Tercatat di Surabaya

CNN Indonesia
Sabtu, 30 Okt 2021 09:54 WIB
Beberapa keluarga heran, kasus kematian terkait Covid-19 tak dicatat pemerintah. Bahkan pada hari kematian, pemerintah justru menyebut nihil.
Sudirman meninggal dunia setelah dinyatakan positif Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur. (CNN Indonesia/Farid)
Surabaya, CNN Indonesia --

Juni 2021 sudah berlalu, tapi mungkin tidak bagi Mega Mustika dan keluarganya. Warga Tandes, Surabaya itu harus menghadapi kenyataan pahit.

Ayah Mega, Sudirman dinyatakan wafat akibat Covid-19 saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan, Surabaya, pada 13 Juni lalu.

Mega juga makin terpukul, saat mengetahui kematian ayahnya itu ternyata tak tercatat dalam laporan harian yang dirilis pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepanjang Juni-Juli lalu Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Timur dan Surabaya, kerap merilis tanggal nol kematian. Hal itu terjadi pada 1, 2, 4, 6, 7, 8, 10, 13, 15, 16, 19 serta 21 Juni. Kemudian di bulan selanjutnya nol kasus kematian juga ditemukan pada 14 dan 18 Juli 2021.

Semua itu bermula di awal Juni lalu. Saat itu Mega mendapatkan kabar dari ayahnya yang mendadak mengeluh tak enak badan sepulang bekerja di Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya mengaku sesak nafas dan demam tinggi.

ADVERTISEMENT

Berbagai upaya dilakukan Mega dan keluarganya. Mulai membeli obat apotek dengan harga selangit, menyewa oksigen dengan harga tinggi dan tarif isi ulang yang mahal, sampai tes swab ke rumah sakit. Semua upaya mereka lakukan dengan biaya sendiri dan uang hasil pinjaman. Ia mengaku keluarganya tak berkecukupan secara finansial.

Ayah Mega dinyatakan positif Covid-19 saat menjalani tes swab antigen di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya. Saat itu Sudirman juga mengalami gejala berat. Tapi ayahnya tak bisa mendapatkan perawatan, lantaran pihak rumah sakit enggan menerima pasien dengan klaim BPJS. Terpaksa mereka pun harus pulang karena tak ada biaya.

"Di sana mereka menerima pasien Covid-19 tapi harus bayar secara umum, tidak di-cover oleh BPJS. Akhirnya kami putuskan pulang karena tidak ada biaya, karena di RS itu biayanya per harinya kisaran belasan sampai puluhan juta," ujar Mega bercerita.

Mereka kemudian menjalani tes swab PCR di puskesmas setempat. Tapi kondisi Sudirman sudah kadung memburuk. Mega kemudian melarikan ayahnya ke RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya.

Namun karena kondisinya berat dan harus segera membutuhkan pertolongan yang lebih memadai, Sudirman kemudian dilarikan ke RSAL Surabaya.

Keluarga Mega Mustika, mengenang Almarhum Sudirman.Keluarga Mega Mustika, mengenang Almarhum Sudirman. (CNN Indonesia/Farid)

Mega sendiri juga dinyatakan positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi di RSUD Bhakti Dharma Husada, Surabaya. Selama dirawat, ia terus berkomunikasi dengan sang ayah. Tapi hal itu berlangsung selama beberapa hari saja. Hingga pada satu hari, di tengah perawatannya, ponsel Mega mendapatkan beberapa pesan belasungkawa.

Ia bingung, dan bertanya balik ke pengirim pesan. "Siapa yang meninggal?" tanya Mega. Namun pesannya itu tak kunjung dibalas. Mega pun berpikir bahwa ucapan simpati dari kawannya tersebut hanyalah bentuk dukungan kepada keluargnya yang sedang mengalami musibah terjangkit virus corona.

Tapi, setelah dinyatakan negatif dan dokter memperbolehkannya kembali ke rumah, barulah Mega tahu, bahwa Sudirman telah pergi pada tujuh hari sebelum kepulangannya, tepatnya pada 13 Juni 2021.

Tangis Mega pun pecah. Tubuhnya lemas, ambruk hingga akhirnya pingsan.

"Saat itu saya baru tahu kalau ayah saya sudah meninggal 7 hari lalu, itu pun saya tahu dari saudara saya. Saya nangis, lemas, sampai pingsan," ujar Mega.

Sepeninggal ayahnya, Mega mengatakan perekonomian keluarganya kian sulit dan terhimpit. Mereka sampai terlilit utang. Sebab, selama ini Sudirman adalah tulang punggung keluarga.

Kehilangan ayahnya, bagi Mega, sama dengan kehilangan penyangga. Bahkan, untuk menebus ijazah adiknya yang baru lulus SMA saja, Mega bingung harus bagaimana.

Tabungan keluarganya, kata Mega, sudah terkuras habis untuk menebus obat hingga melunasi tunggakan tagihan BPJS sebelum mendiang dirawat di rumah sakit. Belum lagi biaya makan serta obat-obatan selama keluarganya isolasi mandiri.

Kini, hidup mereka pun ditopang oleh gaji pas-pasan suaminya yang merupakan pekerja harian. Untuk biaya tambahan, Mega dan ibunya pun harus berjualan makanan ringan kecil-kecilan di kampung mereka tinggal.

Tak Masuk Data Kematian

Mega mencari tahu soal santunan yang dijanjikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada keluarga pasien yang meninggal karena Covid-19.

Dimulai dengan mengakses data kematian Covid-19 yang dipublikasikan Satgas Penanganan Covid-19 Jatim. Namun, betapa kagetnya ia saat melihat bahwa ternyata tak ada satupun kematian yang dicatat pada hari kematian ayahnya, 13 Juni 2021, di Kota Surabaya.

Mega terperangah dan bingung melihat data itu. Padahal, menurut Mega, kematian ayahnya telah disertai dengan surat keterangan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Sudirman wafat karena infeksi Covid-19. Sudirman juga sudah dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil PCR.

"Ayah saya meninggal karena Covid-19 dan itu ada suratnya, benar-benar meninggal di tanggal 13 Juni 2021, tapi saya cek tidak ada," ucapnya.

Untuk memperoleh kejelasan tentang pencatatan kematian ayahnya, 16 September 2021 lalu, Mega pun mengirim surat ke Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Di surat itu Mega mempertanyakan mengapa di hari kematian ayahnya pemerintah justru tak melaporkan satu pun kematian di dalam data yang dipublikasikan.

Infografis Kematian Covid-19 Melonjak saat PPKM DaruratInfografis Kematian Covid-19 Melonjak saat PPKM Darurat. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi)

Nestapa Keluarga saat Kematian Covid Tak Tercatat di Surabaya

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER