Kedaulatan Digital dan Geopolitik 4.0

Bagikan artikel ini

Dari perspektif geopolitik, hari ini — kedaulatan digital menjadi aspek sangat vital disebabkan data dan digital —dalam konteks tertentu— ia lebih berharga dibanding minyak, emas dan gas bumi, meski hal itu tidak bersifat hitam putih atau tidak serta merta. Artinya, jika perilaku geopolitik para adidaya tempo doeloe selalu menyasar target minyak dan gas sebagai tujuan (geoekonomi) melalui perang (militer) konvensional ataupun perang nirmiliter, misalnya, atau kerap terjadi peperangan terbuka antarnegara-negara akibat isu (rebutan) sumber-sumber minyak. Agaknya di era revolusi industri 4.0, “ruh”-nya geopolitik berubah menjadi pencaplokan data dan pengendalian digital melalui cyber warfare (peperangan siber). Kenapa? Betapa hampir semua aspek kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (pancagatra) dan trigatra yang meliputi geografi, demografi dan sumber daya alam (SDA) — selain semua hampir berbasis internet, juga bisa dikendalikan lewat IT.

Jadi, kedaulatan digital di era 4.0 adalah urgen lagi vital bagi sebuah negara. Cina misalnya, boleh dijadikan rujukan soal kedaulatan digital karena beberapa sosial media asing semacam Facebook, IG, WA, Twitter dan lain-lain termasuk YouTube tidak boleh masuk alias diblokir. Sebaliknya, ia meyediakan Baidu sebagai gantinya google, ataupun Weibo sebagai pengganti Facebook dan Twitter untuk warganya.

Terkait uraian di atas, retorikanya adalah, apakah doktrin Henry Kissinger: “control oil and you control nation, control food and you control the peoples” sudah dianggap masa lalu dan basi? Tidak juga. Sudah diingatkan di atas, itu tidak serta merta. Tidak hitam putih. Akan tetapi di era kini, potensi ancaman asing di sebuah negara selain occupation (pendudukan) ruang digital melalui pencurian data kependudukan akibat lemahnya kedaulatan digital, juga yang memprihatinkan ialah larinya dana rakyat ke luar akibat banyaknya aplikasi dan sosial media produk asing beroperasi secara masive.

Mencermati konstelasi dunia digital hari ini, kita teringat ujaran leluhur tempo doeloe: “nglurug tanpa bala“, atau istilah kerennya diplomasi atau occupation without troops. Tampaknya hal tersebut kini nyata terjadi. Dan tidak boleh dipungkiri, Cina merupakan salah satu rujukan negara yang memiliki kedaulatan digital relatif optimal.

Sesuai judul, kini beralih ke geopolitik 4.0 meski hanya sekilas. Ya. Geopolitik adalah ilmu negara, kata Frederich Ratzel, science of the state. Geopolitik adalah kebijakan negara atau bangsa sesuai posisi geografisnya. Itu singkat dèfinisi menurut KBBI, 2001.

Ya. Inti geopolitik adalah (dimensi/teori) ruang, living space atau labensraum — kendati ada dimensi lain seperti dimensi frountier contohnya, atau politik kekuatan, serta dimensi keamanan negara dan bangsa. Terkait judul di atas, fokus bahasan hanya pada teori ruang atau labensraum saja, sedang teori lainnya nanti sekilas dibahas untuk sekedar menyambungkan materi bahasan.

Manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup. Konsep lama geopolitik tentang penguasaan ruang melalui penggunaan kekuatan (power concept), baik kekuatan senjata/militer maupun nirmiliter/sosial, dan pengaruh kemajuan iptek telah menjadikan dunia terasa sempit dan hampir tanpa batas. Nah, pada konsep (geopolitik) lama ini, iptek dengan segala kecanggihannya ternyata hanya dianggap faktor yang berpengaruh belaka, bukan sebagai senjata dalam penguasaan ruang. Akan tetapi di era 4.0 ini, tampaknya iptek dalam hal ini IT justru menjadi “senjata utama” daripada sejata militer dan nirmiliter/sosial.

Teori ruang mengajarkan, bagaimana bangsa – bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Ratzel merumuskan bahwa hanya bangsa unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng serta melegitimasi hukum ekspansi. Ia menjelaskan, jika ruang diperluas akan ada yang diuntungkan dan dirugikan. Bila ruang tidak memiliki nilai strategi, akan dicampakkan. Bertambah atau berkurangnya ruang suatu negara karena berbagai sebab selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara.

Dalam dimensi keamanan negara dan bangsa pun, ruang dapat diartikan secara riil, fisik geografi contohnya, namun ruang dapat juga diartikan secara semu atau nonfisik seperti dunia maya, cyber space dan/atau kedaulatan digital. Inilah “ruang baru” di era 4.0 yang mutlak harus dikelola oleh negara. Kenapa? Bahwa di era 5.0 nantinya, dominasi dan peran IT serta dunia siber bakal semakin vital lagi urgen. Jika tidak, maka dunia digital Indonesia bakal menjadi lahan empuk bagi aplikasi dan media sosial asing punya yang beroperasi di ruang siber kita. Alipay, misalnya, atau WeChat, Facebook, IG dan lain-lain adalah contoh masuknya unsur asing dan “pendudukan” terhadap wilayah siber kita, sedang rakyat hanya menonton atas larinya dana rakyat keluar tanpa bisa berbuat apa-apa karena ketiadaan kedaulatan digital. Inilah yang kini terjadi di depan mata.

Akhirnya tibalah pada sumir simpulan dan rekomendasi tulisan sederhana ini, antara lain yaitu:
Pertama, bahwa ruang sebagai inti geopolitik di era 4.0 adalah cyber space, dunia maya dan/atau dunia digital. Artinya, perlu disegerakan proses UU Siber yang merupakan induk regulator dalam hal kedaulatan siber di Indonesia. Mengapa? Karena berkurang atau bertambahnya ruang siber oleh berbagai sebab selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara;

Kedua, Lemhannas RI selaku think tank negara dan/atau presiden — harus segera mengkonsep dan merumuskan apa yang kelak disebut dengan istilah geopolitik 4.0, geostrategi 4.0 dan geoekonomi 4.0 melalui analogi serta inovasi konsep geopolitik yang sudah ada.

Demikialah adanya, demikian sebaiknya.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com